SUTARDJI membahas Sapardi dalam tulisan yang cukup panjang. Bahasannya itu disampaikan dalam Temu Kritikus dan Sastrawan 1984, kerja sama Ditjen Depdikbud dengan Dewan Kesenian Jakarta. Sutardji dalam tulisan itu secara khusus membahas kumpulan sajak Perahu Kertas (Balai Pustaka, 1983). Tulisan itu kemudian diterbitkan redaksi majalah budaya Sagang Nomor 31 April 2001. Kita mengutipnya dari majalah yang terbit di Pekanbaru itu.
TENTANG IMAJI SAJAK SAPARDI: ... Jika dalam "Dukamu Abadi" Sapardi masih memperhatikan musikalitas, ritme dan kata-kata dalam persajakannya, makadalam sajak-sajaknya yang prosa boleh dika tidak lagi memperdulikan segi-segi musikalitas, irama kata. Konsentrasi Sapardi kelihatannya hanya diarahkan pada imaji itu sendiri. Kalimat dengan kata-katanya hanya alat untuk membentuk imaji. Kata-kata menjadi tidak penting. Tidak perlu diusahakan untuk mandiri, karena itu bukan kebutuan Sapardi dalam sajaknya yang imajis itu. Kemandirian imaji itulah yang terutama diusahakannya. Jelas konsep memandang kata dalam kepenyairan seperti ini dalam bentuk jeleknya bisa menimbulkan resiko, bentuk fisik kata atau kalimat bisa kurang diperhatikam. Yang lebih dipentingkan kehadiran imaji visual yang mengesan dalam diri pembacanya.
Konsekuensi lain dari imaji adalah segala-galanya puisi, Sapardi mempersetankan bentuk-bentuk formal konvensional puisi. Dengan halus penyair mengejek atau menantang bentuk formal itu.... Janganlah diharapkan pada sajak-sajak Sapardi permainan kata atau bahasa yang segar.
TENTANG MAKNA SAJAK SAPARDI: Memasuki dunia sajak-sajak Sapardi serasa memasuki suatu dunia yang aneh, suatu hal yang sebenarnya lumrah kalau memasuki dunia sebuah sajak, karena sebuah sajak menampilkan dunia yang unik. Tapi tentu saja sebuah sajak tidak hanya sekadar aneh ataupun unik saja. Sebuah sajak harus bisa memberikan arti bagi pembacanya agar tidak menjadi sia-sia. Arti dalam upaya pemahaman akan hidup, dari upaya mendapatkan makna. Menulis sajak bukanlah sekadar mengkongkretkan pengalaman puitik. Tapi dengan kehadirannya konkret dari pengalaman itu memberikan kesempatan, mengimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran. Mungkin persoalan paling penting bagi pembaca dalam berhadapan dengan puisi Sapardi (juga puisi modern lainnya) adalah mendapatkan arti atau makna dari membaca sajak-sajak tersebut. Terlebih dalam sajak Sapardi, upaya kita mencari makna dalam sajak-sajak ini menjadi sulit. Hampir tak ada pernyataan dalam sajak yang bisa mengarahkan atau yang bisa memberikan atapa maunya sang penyair atau aku penyair dalam sajaknya.
TENTANG KATA-KATA SAJAK SAPARDI: Maka tinggal kita dalam sajak Sapardi seakan-akan hilang tersesat tanpa pedoman. Tapi untung ada juga hal-hal yang meski sedikit dan sering kabur yang bisa sekadarnya memberi arah. Seperti pengulangan kata-kata yang sama atau hampir sama. Kata-kata sehubungan air misalnya: gerimis, hujan, air, selokan, kabut, telaga. Imaji-imaji yang hampir semua sama itu, bukanlah berarti langsung memberikan kita arah lurus dan jelas seperti untuk pemahaman dan pengambilan makna dari sajak-sajaknya. Kadang malahan imaji yang didukung oleh kata-kata yang mengarah sama itu bisa menghapuskan pemahaman atau pengertian yang buat sementara telah kita dapat atau mengaburkannya. Demikan pula sering muncul kata-kata sehubungan dengan waktu: ini hari, waktu itu, malam tadi, pagi tadi, siang tadi, kemudian, sejak, pagi harinya dan lain-lain dan sebagainya.
MEMAHAMI SAJAK SAPARDI: Upaya pemahaman sajak-sajak Sapardi baru lebih mungkin, setelah masuk ke dunia sajak Sapardi, kemudian mengambil jarak dengan dunia sajak tersebut, memikir-mikirkannya. Di sinilah mungkin kenapa orang menyebut sajak-sajak Sapardi berkecenderungan menekankan sisi intelek. Kalau kita tidak mengambil jarak dan hanya masuk saja kedalam dunia yaitu kita hanya ikut tercekam, terpesona, tidak faham ataupun pasrah saja seperti halnya subjek-subjek dalam sajak-sajak itu. Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih baik didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu.[ha]