Thursday, October 23, 2003

[Ruang Renung # 8] Tentang Keindahan dan Makna

Siapakah yang hendak mengatakan bahwa puisi itu tidak indah. Hasil sulingan kata-kata sebagai gerbang menuju makna. Tapi saya hendak mengatakan bahwa sebagai mana layaknya gerbang, dia selalu lebih sempit dari ruangan. Lalu hendak kemanakah jiwa yang lapang harus melampiaskan maknanya? Gerbang tak cukup luas bagi jiwa yang berjalan. Ruang pun tak ingin didiami oleh jiwa yang tak pernah berhenti. Bagaimanakah saya harus menulis puisi? Bagaimanakah daya 26 huruf yang membangun kata dan kalimat itu dapat menyampaikan maksud dan makna yang ada dalam jiwa ini. ... Jikalau puisi akan memuaskan jiwamu maka tulislah puisi itu... ( dipotong dan disalin dari milis penyair@yahoogroups.com).



Puisi itu keindahan. Ya. Tapi sebagai mana keindahan yang tak berwajah tunggal, puisi pun tak hanya menampakkan keindahan dari satu tampak sisi wajahnya. Puisi yang indah tidak harus menetes dari penyulingan kata-kata. Penyair bukan hanya harus menjadi penyuling kata. Dia bisa diibaratkan apa saja. Penyair juga bisa membuat keindahan itu dengan menciduk segelas air lumpur lalu memberinya makna. Keindahan puisi bisa dilihat seperti keringat di dahi petani yang menyiangi gulma di antara tanaman padinya. Atau bahkan air ompol bayi yang diserap popoknya. Tantangannya selalu saja: bisakah dia memberi kandungan makna pada apa yang hendak dia ruwat dia sulap atau dia jelmakan jadi keindahan itu?



Ada makna pada puisi yang membuatnya jadi tidak sia-sia. Seberapa banyak yang bisa dimaknai pada sebuah puisi? Itulah tantangan terbesar bagi sebuah puisi. Puisi yang sekadar berindah-indah tapi kopong maknanya hanya akan jadi deretan kalimat-kalimat klise basi. Puisi yang baik adalah ruang yang lapang dan tentu saja juga gerbang yang mengundang siapapun untuk datang bersenang. Seberapa lapang ruang dalam puisi kita? Itulah juga tantangan terbesar bagi kerja menyair kita.



26 huruf dalam abjad kita hanyalah lambang bunyi. Tak ada tantangan apa-apa disitu. Meskipun ada yang menyebut puisi membuka jalan ke masa depan bahasa, kita toh tidak harus mencipta atau mengusulkan huruf baru dalam puisi kita. Semuanya dipertaruhkan pada kata. Tanah liat bagi permainan puisi adalah kata. Karena itu menulis puisi bukan sekadar memuaskan jiwa. Menulis puisi juga merupakan kerja yang terus membuat gelisah, dan penasaran yang tak henti menuntut jawaban. [ha]



T. S. Eliot (1888 - 1965)







Puisi sejati dapat berkomunikasi sebelum dia dimengerti.