Monday, October 27, 2003

[Ruang Renung # 16] Ihwal Penyair Telah Mati

Sosok seniman selalu digambarkan suka tampil dan berkelaku aneh bin tidak lazim. Pun penyair. Atau suka melabrak kesopanan-kesopanan umum. Atau secara terbuka menunjukkan sisi buruk dirinya. Terima saja apa adanya. Kutuk yang buruk, jangan diteladani. Pisahkan dia dengan karyanya. Kita boleh tidak sependapat dengan keyakinan moral si penyair. Dia bukan nabi yang harus diikuti. Baiklah kita berurusan dengan karya saja. Tapi tetap saja jangan butakan diri dengan biografi penyairnya. Karena itu akan melengkapi pemahaman kita atas karya-karyanya.



Memang tidak enak rasanya melihat aktor kegemaran kita dalam kesehariannya berkelaku tidak sesuai dengan perannya seperti dalam lakon yang kebetulan peran itulah yang membuat kita mengidolakannya. Tapi sebuah panggung pementasan memang bukan hidup yang sebenarnya kan? Mari kita ambil kutipan dari Gola Gong. Di dunia ini, tulisnya, yang paling penting, kita bisa berlapang dada menerima segala macam bentuk karya tulis. Percayalah, tak ada penulis yang tak menuliskan maksud baiknya.



Saya juga ingin mengutip Tulus Wijanarko yang menurutnya memisahkan karya seni dengan kreatornya (sang seniman), sangat mungkin menjadikan karya seni sebagai sebuah hasil kerajinan. Penyair yang karyanya begitu religius, namun sikap dan perilaku hidupnya bertentangan dengan karyanya, pastilah seorang yg hanya piawai dan terampil mengolah kata-kata. Maka, karyanya akan berhenti sebagai hasil kerajinan mengolah kata-kata.



"Tetapi entah kenapa, ada bagian yang saya setujui atas titah: pengarang telah mati, setelah karyanya jadi," tambahnya. Itu terutama dalam soal penafsiran atas karya yang bersangkutan. Pengarang, menurut Tulus, tak punya otoritas terhadap sang pembaca dalam menafsirkan karyanya. Begitu ia mulai menerang-nerangkan karyanya, selesailah dan habislah karya itu. Karena keindahan karya terletak pada kemampuannya membuka tafsir-tafsir baru. [ha]