Syair-syair imajis yang berhasil umumnya bermain-main di antara gejala alam yang terbentang yang membangkitkan momen puitik, lalu disusun-digubah-disalin ke dalam bait-bait yang kemudian secara ringan tapi kuat mengikutkan perasaan si penyair yang menulisnya. Atau sebaliknya. Lalu dimanakah peran imajinasi?
Ketika proses menyusun ulang tadi berlangsung, pada saat itulah imajinasi mestinya memainkan perannya. Kecermatan mengamati alam dan kepekaan pada perasaan sendiri serta keliaran imajinasi yang dipergunakan serentak seharusnya bisa mengalirkan bait-bait dengan lincah dan bertenaga dan menghadirkan imaji yang bukan sekadar salinan lagi. Syair-syair klasik China, pada karya Li Po misalnya, bisa menjadi contoh yang baik: O betapa terangnya pendar di kaki ranjangku -- // Sudah turunkah salju di situ? // Aku tergerak menoleh, cerah sinar bulan kutemu//
Terbenam lagi, tiba-tiba terbersit rumah di benakku.
Gejala alam seperti apa yang hendak kita salin? Perasaan hati seperti apa yang hendak kita abadikan? Dan seliar apa imajinasi yang hendak kita lepaskan? Itulah yang mestinya terus menerus kita pertanyakan sampai ia sebati dengan kerja menyair yang hendak kita seriusi. Setiap syair lahir, adalah jawaban yang berbeda-beda dari pertanyaan-pertanyaan tadi. Mungkin relevan kalau kita kutip penyair Percy Bysshe Shelley. Puisi, katanya, adalah rekaman dan momentum terbaik dan paling membahagiakan dari pikiran yang terbaik dan yang sangat membahagiakan pula.[ha]