SEBERMULA, tampaknya sajak-sajak memang untuk spontan dilisankan. Menyimpannya dalam bentuk tulisan adalah upaya untuk menyimpan, dan menyebarluaskan. Kumpulan syair dan kisah Mastnawi karya Jalaluddin Rumi yang terdiri dari enam buku, mulanya hanyalah selembar coretan yang disimpan di surbannya. Lalu ketika berehat sejenak dalam perjalanan bersama seorang muridnya tulisan pada kertas itu dibacakannya. Dan dimulailah proses bersyair yang panjang. Rumi menari seperti kerasukan, sambil menyanyikan sajak-sajak dan kemudian dicatat oleh muridnya. Kadang tiba-tiba saja dia "membacakan" sajak baru langsung dari buku di kepalanya. Lain waktu saat berbincang-bincang dia membacakan syair yang begitu saja terlintas di pikirannya. Apa yang tercatat oleh si murid itulah kemudian yang sampai kepada kita.
Atau seperti riwayat asal mula haiku. Beberapa orang penyair berkumpul. Lalu saling berbalas dan saling melengkapi sajak-sajak pendek tentang musim dan alam di mana mereka hadir. Terus menerus, bersahutan, dan berhenti ketika sudah mencapai bilangan puluhan bahkan ratusan.
Atau seperti tradisi berpantun. Misalnya saat rombongan pengantin pria datang melamar. Di depan pintu ada yang menantang untuk menjual pantun. Kepiawaian menyusun pantun dan langsung mengucapkannya dipertunjukkan saat itu. Tanpa konsep. Tanpa contekan. Spontan.
Atau seperti yang kita kenal sekarang. Seperti Rendra yang membacakan sajak-sajaknya di panggung dengan teatrikal. Seperti Sutardji yang selalu memukau di panggung pembacaan puisnya. Atau seperti lomba deklamasi dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda. Atau kita baca saja sajak di kamar dengan redup lampu baca. [ha]