Banyak pengapresiasi menilai keberhasilan puisi tercapai jika penyair bisa mengendalikan emosi saat menuliskannya. Juga ketertiban dan keteguhan si penyair menjaga jarak aman dengan bahan yang diolahnya menjadi puisi. Tidak tertarik lalu terjebak ke obyek yang hendak digubahnya ke dalam puisi. Ketika kita terpesona dengan suatu peristiwa atau terpukau keindahan, respon yang paling murni adalah mengucapkan kata-kata kekaguman. Verbal. Jujur. Spontan. Misalnya, "Oh alangkah indahnya pemandangan ini." Tapi jangan sebut itu puisi.
Jika ingin menuliskan juga puisi dari kekaguman itu ada beberapa cara. Bisa seperti yang disarankan oleh Rainer Maria Rilke. Kita harus melihat banyak, mendengar banyak, tersesat di hutan, duduk di samping orang yang sakratul maut atau yang melahirkan. Menjadi saksi peristiwa yang menggugah emosi kita. Lalu melupakan saja semua. Ketika ia datang sebagai kenangan, nah, itulah saat yang tepat untuk menuliskannya sebagai puisi. Mungkin itulah yang dimaksud dengan menjaga jarak aman dengan bahan syair kita.
Ada memang, penyair yang mengandalkan impresi spontan. Tapi, tetap saja, biasanya dia sudah terlatih untuk mengendalikan dan menyimpan bekal energi puisi yang penuh di memorinya. Peristiwa yang datang hanya jadi pemantik. Penulis haiku yang piawai tampaknya mengandalkan cara ini. Pemandangan sekilas yang memikat hati kuat-kuat, hasilnya haiku yang bergema nyaring.
Penyair Emily Dickinson punya rumusan bagus soal kait kelindan antara puisi dan emosi. Puisi, katanya bukan mengembalikan emosi yang hilang, tapi sebuah pelolosan diri dari jebakan emosi; dia bukan ekspresi dari kepribadian, tapi pelarian dari kepribadian. Tapi, katanya, tentu saja hanya yang punya kepribadian dan punya emosi yang tahu apa artinya keinginan lolos dari kedua hal itu, emosi dan kepribadian.[ha]