Monday, October 27, 2003

[Ruang Renung # 17] Teleskop, Stereoskop dan Mikroskop

Bagaimana kalau keinginan untuk menulis puisi tentang kejadian masa sekarang atau bahkan keinginan utk menggambarkan tentang suatu keadaan yang mungkin akan terjadi pada suatu masa nanti? Biasanya para penyair atau seniman mempunyai kepekaan yang lebih dalam membaca suatu keadaan saat ini. Bukankah dengan demikian belum terjadi kenangan karena kejadiannya belum berlalu. Apakah dengan demikian keadaan emosi si penyair terhadap bahan yang akan diolahnya menjadi puisi menjadi kabur atau dengan kata lain tidak terjaga dengan aman? Dan mengapa pula harus perlu menjaga jarak dan mengendalikan emosi, bukankah akan menghambat ekspresi yang ingin disampaikan dalam puisinya? (Budi, milis penyair@yahoogroups.com, 27/10).



Menulis puisi bisa diibaratkan melihat melalui teleskop, pemandangan yang jauh. Atau melihat sebuah bentang alam yang luas lalu menyalinnya sebagai sketsa pada selembar kertas. Salinan berupa sketsa itu pasti tidak akan bisa menangkap garis besarnya jika kita tidak mengambil jarak. Misalnya jika kita hanya mengamati secara dekat batang pohon yang tegak di antara pepohonan lain dalam lansekap itu. Kecuali jika kita hanya ingin menulis tentang warna dan pola rekahan batang pohon. Karena itu ambillah jarak. Saat menarik garis toh kita harus juga mengalihkan pandangan dari obyek yang kita tulis, berpusat perhatian pada ujung pena dan kertas kosong saja. Di sinilah perlunya mengambil jarak, jarak waktu dan jarak fisik. "Semua puisi yang buruk, berangkat dari perasaan asli. Menulis sesuatu yang alami adalah menulis apa adanya. Dan yang apa adanya itu tidak artistik," kata Oscar Wilde.



Menulis puisi juga bisa diandaikan seperti melihat dua lembar foto udara di bawah stereoskop. Pada jarak fokus yang tepat, gambar dua dimensi menjadi nampak mana bukit dan lembah, mana pohon dan padang rumput, menjadi tiga dimensi. Seorang yang menulis puisi bukan seorang cenayang. Dia tidak membebani puisi-puisinya dengan keinginan meramalkan masa depan. Seorang penulis puisi yang peka sejajar dengan kartografer yang terlatih. Tanpa stereoskop -- seperti meramal -- dia bisa menentukan tanda-tanda geografis pada selembar foto udara.



Meskipun memang ada syair-syair piawai yang teruji waktu yang seolah-olah saat ditulis bagai hendak meramal menembus zaman, seperti hendak membuktikan kebenaran kini. Mungkin seperti sajak Nizar Qabbani yang hingga sekarang relevan dengan keadaan di Palestina dan Timur Tengah umumnya.... bagi penyair Arab, kata-kata tak ada bedanya dengan air mata. Ah, sajak yang bagus mestinya memang bisa relevan dengan zaman hingga kapanpun. Tapi, sebaiknya menulislah saja. Biarlah, waktu kelak yang menguji daya hidup dan relevansi puisi-puisi kita. Puisi adalah lavanya imajinasi yang ledakannya mencegah gempa yang lebih dahsyat, tulis Lord Byron. Kelak jika gempa itu tak terhindari, bukan berarti puisi kita gagal. Anggap saja itu sebagai peramalan atau peringatan dini saja.



Menulis puisi, tidak seperti menulis prosa (terutama novel) yang -- sebaliknya -- pengandaiannya adalah mengamati preparat di bawah mikroskop. Diperlukan menangkap detail. Keunggulan fiksi jenis ini justru pada kemampuan membuat deskripsi yang lengkap. Deskripsi peristiwanya, deskripsi karakter tokohnya, deskripsi lokasi kejadiannya. [ha]