Thursday, October 23, 2003

[ Ruang Renung # 7] Apakah Konsep Puisi Itu?

"Kalau boleh saya bertanya, konsep puisi dalam konteks ini apa maksud dan wujud nyatanya? Saya masih bingung, karena memang baru satu tahunan ini saya berkecimpung dalam membuat puisi. Maklum jika terkesan terlalu bodoh. Karena, ya, saya masih amatir. Makanya, saya mau belajar lebih." .....dari milis penyair@yahoogroups.com.



Mari kita sama-sama belajar. Keinginan untuk belajar lebih itu berkah. Tentang konsep puisi paling mudah kalau kita mencontohkan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Pada kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (Sinar Harapan, 1981) yang tak berkata pengantar itu dituliskan kredonya yang termahsyur. Katanya, kata-kata bukanlah alat mengantar pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Dan seterusnya....hingga akhirnya pada paragraf akhir ditulisnya: ...Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata (memang ditulis dengan huruf kapital, HA). Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. Lalu baca juga Pengantar Kapak pada bab Kapak di buku itu.



Apa yang dirumuskan si penyair dalam kredo itu berhasil mengkonsepkan seluruh puisi-puisinya di buku itu. Kalau kini Tardji menganggap kredo itu tak membebaskan imaji lagi, itu perkara lain. Dan kemudian dia menulis puisi dengan konsep yang lain, ya tak harus dicap dia telah berkhianat. Atau memang berkhianat untuk mencari tantangan kreativitas baru.



Puisi mbeling yang dijurumudikan oleh Remy Silado juga ada konsepnya. Bahwa menulis puisi tidak harus serius. Tidak harus berluhur-luhur. Enteng saja. Kadang seperti plesetan saja. Atau sekadar melucu. Tidak harus abadi. Jufa sah saja itu sebagai konsep. Atau jauh ke yang lampau lagi, seperti Chairil Anwar yang dengan puisi ia ingin mengorek kata sampai ke sumsum ulangnya. Dan terbukti dia membuktikan baitnya yang ingin hidup seribu tahun lagi itu. Atau seperti konsepnya sajak-sajak Pujangga Baru yang ingin mewarisi kebudayaan dunia, dan melupakan tradisi yang lapuk lama? Menulis bentuk soneta dan sajak bebas, melupakan pantun-gurindam-talibun-ghazal. Itu juga konsep. Tapi, jangan terlalu sibuk direcoki teori begini. Berkembanglah dan belajarlah secara alami. Bukankah kata penyair Ralph Waldo Emerson (1803-1882) ada dua kelas penyair - penyair-penyair dengan pendidikan dan latihan, mereka kita hargai; dan penyair-penyair yang dibesarkan alam, mereka kita cintai.



Penyair-penyair kita yang kuat, bersama alam yang diakrabi dan dihidupinya membangun kerangka konsep yang kuat dengan sajak-sajaknya. Dan membuat sajak yang kuat dengan konsep yang dirumuskannya. [ha]