SETELAH menulis puisi lalu apa? Bisa apa saja. Pertama tentu untuk diri kita sendiri. Puisi, adalah anak-anak batin yang -- percayalah -- kelak bisa membalas budi atas jasa kita melahirkannya. Kita bisa membimbingnya. Dengan menunjukkannya pada orang lain. Mengirimkannya ke media agar terbit dan dibaca banyak orang. Atau mengirimkannya ke milis dan menampilkannya di situs pribadi.
Atau mengumpulkannya kemudian ditawarkan ke penerbit untuk dijadikan buku. Atau simpan saja di laci. Ya, simpan saja di laci. Puisi kalau memang punya daya hidup, dia tak akan mati iseng sendiri dimakan busut jamur. Bukankah Emily Dickinson hanya mempublikasikan tak lebih dari sepuluh puisi semasa hidupnya? Padahal kita tahu kemudian ternyata dia menulis tak kurang dari enam ribu sajak indah! Dan sajak-sajak itu yang kemudian mengabadikan namanya.
Atau musnahkan saja. Konon itu yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri. Semua karya-karya awalnya, kata sahabat dekatnya, dimusnahkan karena tak memuaskannya. Lalu kini kita mengenalnya dengan sajak-sajak yang tegas menyosokkan dia sebagai penyair seperti apa.
Karena itu, menulislah. Menulislah. Menulislah. Puisi tak akan mengkhianati kita.[ha]