Puisi memang bukan sebuah hasil reportase. Meskipun selalu berangkat dari fakta. Atau lewat imajinasi, yang toh juga tak bisa lepas dan pasti tegak di atas fakta. Imajinasi paling liar pun pasti berangkat dari fakta yang hendak diingkarinya. Jadi jangan direcoki dengan kesibukan memisahkan fakta dan imajinasi dalam puisi. Keduanya silakan diadon dicampur dibancuh sesedap-sedapnya senyaman-nyamannya.
Menyair adalah pekerjaan melapis, membungkus, mengemas fakta dan imajinasi, atau sebaliknya menelanjangi, mengosongkan dan membongkarnya. Sehingga, kalau terperdengarkan, mengutip Octavio Paz, suara-suara lain yang dilupakan bahkan ditindas oleh sejarah. Mungkin itu sejarah kita sendiri. Ringan saja. Tentang keterpesonaan kita suatu kali pada pemandangan telaga jernih yang dilampui oleh benderang bulan dan bayang-bayang pohon di tepiannya. Imajinasi pun dengan subur bisa tumbuh dari kenyataan indah itu. Itu juga sejarah kan? Tapi kita biasanya akan melupakan saja itu karena banyak hal "besar" lainnya yang merasa paling punya hak untuk diberi tempat dalam ingatan. Puisi tidak. Di dalamnya kita bisa mengabadikan menyuarakan hal-hal remeh tadi.
Walakhir, relevan rasanya kalau kita dengar suara kutipan dari Percy Bysshe Shelley. Katanya, puisi adalah cermin yang membuat indah kenyataan-kenyataan yang didistorsikannya.[ha]