HALO! Ya, di sini Kutaraja.
TAPI hari ini tak ada peristiwa yang layak dilaporkan.
Tak ada. Memang, tadi ada suara berondongan senjata
yang mual-mual lalu muntah peluru. Ada juga suara orang
tertembak. Ya, semacam itulah. Tapi sesudah itu sungguh
hanya ada sepi. Sepi yang membekas pada lubang peluru yang
menembus huruf Z pada papan pengumuman ZONA DAMAI,
di tepi jalan yang lengang setelah dilalui panser dan tank,
sepi yang menggigil di redam jam malam.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.
TAPI, hari ini masih tidak ada berita. Memang, tadi ada
lagi yang tertembak. Tentu saja luka. Tentu saja ada darah
panas yang tumpah. Tapi, setelah itu segera saja dingin
merembes ke tanah. Tewas? Mungkin saja. Tapi, nanti saja.
Kita pastikan jumlahnya. Memang tadi ada beberapa yang
terkapar lalu diselimuti dengan kain spanduk CoHA
(Kesepakatan Penghentian Permusuhan). Memang tak jelas lagi
terbaca tulisannya. Merah huruf merah darah terbancuh jadi
bercak-bercak bahang, lalu hanya amis yang mengeja udara.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.....
Mei 2003
* Puisi yang kutulis ketika Darurat Militer dimulai di Aceh, dan selama sebulan, setiap pagi aku menelepon Iwan B Mohan wartawan di surat kabar kami yang meliput di sana. Kabar duka cita Ersa Siregar tiba-tiba mengingatkanku dan membimbing aku kembali untuk membaca puisi ini.[HAH]