CHAIRIL Anwar cuma hidup 27 tahun. Singkat, dan hanya sedikit menulis puisi. Tapi seolah berkejaran dengan maut dia benar-benar memanfaatkan hidupnya yang lekas itu. Dia sudah berhasil meninggalkan jejak sangat berarti dan mempengaruhi kepenyairan berikutnya. Sosoknya, riwayat hidupnya, tafsir atas kepenyairan dan tentu saja atas syair-syairnya, terus menjadi dan memberi ilham. Sesungguhnya dia sendiri seperti ditakdikan sebagai puisi: bebas mengundang banyak tafsir dan orang pun bebas memaknai. Dia menjadi semacam patokan, semacam ukuran, sebagai rujukan yang menarik.
     Selalu ada alasan untuk mengajukan tanya, "Hei sejauh mana kau mengenal dia?"
     Selalu menantang untuk membandingkan, "Sedalam Chairilkah sudah kau korek kata?"
     Dan selalu mengusik untuk menggugat, "Sehebat apa kau bisa mengelak pengaruh Chairil dalam sajak-sajakmu?"
     Maka, biarkanlah Chairil hidup seribu tahun lagi tambah seribu tahun lagi seperti cita-cita tersebutkan dalam bait puisinya. Sesekali kagumilah. Pada bagian lain campakkan dia. Pada sisi lain teladanilah. Dan saat lain lupakanlah.
     Biarkan dia tenang dalam matinya. Tak perlu merindu-rindukan akan lahir lagi seoang Chairil. Biarkanlah secara alami lahir penyair lain yang bukan Chairil, yang bukan Rendra, yang bukan Taufik yang bukan Sutardji, yang bukan Afrizal, yang bukan Sapardi yang bukan Pinurbo. Seperti juga kita boleh berharap lahir lagi penyair yang bukan Tagore, bukan Gibran, bukan Li Po, bukan Neruda. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kereta-kereta bayi bagi kelahiran bayi-bayi penyair baru. Bukan menggedor-gedor keranda penyair yang sudah lama mati.[hah]