PULANG dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.
- Mau kemana kalian? -
"Entahlah..."
"Kami tak tahu hendak kemana.."
"Bingung. Kami baru saja melarikan diri dari sebuah puisi."
- Puisi? Puisi siapa?"
"Seorang penyair besar yang enak saja mati, setelah menuliskan kami..."
"Ya, enak saja dia. Dia sekarang tidak lagi menulis puisi. Apalagi menengok-nengok kami terperangkap di dalam puisi."
"Ya, enak banget. Dia mati, dan kami harus menjaga namanya di dalam puisi-puisinya."
SI Penyair lalu mengajak kata-kata itu bermalam barang semalam di rumah kontrakannya. Hari sudah menjelang senja.
- Kalian bisa istirahat tidur di Kamus Besar...
"Terserah sajalah. Aku ingin baring-baringan saja sebentar. Letih juga menjadi predikat dalam kalimat si penyair sialan itu," kata kata kerja.
"Kamus Besar? Boleh juga, tuh. Aku ingin meninjau lagi. Aku ini sebenarnya kata benda atau kata sifat," kata sebuah kata yang memang tidak jelas klasifikasinya.
- Ya, silakan saja. Istirahatlah - kata si Penyair.
TENGAH malam tiba.
Si Penyair belum tidur. Seperti biasanya. Dia membuka laptop dan mulai mengetuk-ngetuk huruf dan tanda aca. Mencari ilham untuk menulis satu dua puisi. Lalu dia teringat kata-kata yang ditemuinya sepulang dari bioskop sore tadi. Buru-buru dia mengambil kamus lecek dan membuka halaman-halaman di mana kemungkinan kata-kata itu berada. Tapi, itu juga sia-sia.
- Kemana ya mereka? -
Belum terjawab bingungnya. Hingga kepentok matanya pada selembar kertas. Ada tulisannya. Dia pun membaca: Kami sudah tahu rencana burukmu. Dasar penyair murahan. Kau pikir kami tidak tahu, kalau kau mau memerangkap kami lagi di dalam puisi? He he. Kasihan deh lo... Kalau mau jadi penyair, cari dong kata-kata lain. Jangan bisanya cuma memperdaya kami.
Des 2003