SESUNGGUHNYA, pekerjaan menyair, pada salah satu dari banyak jalan masuknya, memanglah sebuah pekerjaan menerjemahkan keasingan. Jadi, tak usah ragu, tak perlu takut dan tak pada tempatnya jika menganggap pekerjaan menerjemahkan sajak-sajak asing sebagai kerja kepenyairan kelas dua. Anggap saja itu sebagai latihan. Nikmati saja proses mencari padanan kata-kata asing ke dalam bahasa ibu. Atau sebut saja itu sebagai bagian dari upaya untuk belajar mengusai bahasa negeri asing di mana puisi itu ditulis.
     Bukankah Chairil Anwar juga menerjemahkan puisi asing? Amal Hamzah juga menerjemahkan Tagore? Seperti juga dilakukan Hartoyo Andangjaya. Bukankah MS Merwin juga menerjemahkan sajak-sajak Neruda dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris? Bukankah Tagore sendiri menerjemahkan sajak-sajaknya sendiri yang semula ditulisnya dalam bahasa Bengali ke dalam Bahasa Inggris? Seperti yang juga diperbuat oleh Iqbal dari Bahasa Parsi ke Inggris.
     Banyak petunjuk teknis bagai mana sebuah puisi diterjemahkan. Pada dasarnya prosesnya adalah sebagai berikut. Pertama tangkaplah suasana sajak asing itu seerat-eratnya. Lalu resapkan suasana itu. Lalu telusurilah kata demi katanya, mencari terjemahannya dengan berpatokan pada suasana yang sudah terpegang tadi. Dan terakhir, mestinya puisi yang terterjemahkan tadi tetaplah menghasilkan sebuah puisi dalam bahasanya yang baru.[hah]