ADA pembaca yang dengan nafsu memburu pesan dan makna ke dalam puisi-puisi yang dibacanya. Maka puisi dihadapinya seperti hewan buruan. Begitu pesan didapatkan makna diringkusnya, maka ia merasa telah menaklukkan puisi yang dibacanya. Puisi memang harus memiliki makna. Bila tidak? Dia akan jadi sia-sia. Tetapi makna itu tidak harus hadir seperti biji di dalam daging buah. Dia bisa hadir dalam rasa dalam daging buah ketika ia tergigit dan sarinya menyentuh syaraf lidah. Apapun rasanya, maniskah, asinkah, atau pahitkah. Jadi agak kurang adil juga kalau lekas menganggap puisi tidak bermakna apa-apa hanya karena -- ibarat buah yang terbelah -- kita tidak menemukan biji tepat di tengahnya. Jadi, jangan menghukum dengan kalimat, "Ini buah gumpa!" Buah itu tidak mandul, meski tak ada biji di dalamnya. Atau karena pahit rasanya. Bagi kita tidak, mungkin bagi burung atau ulat buah itu alangkah lezatnya.
   LALU ada penyair yang memanfaatkan puisinya sebagai penyampai pesan-pesannya. Dia ingin mengisi makna dalam puisinya dengan pesan-pesannya itu. Dia ingin pembaca membaca puisinya itu dan memaknainya seperti dia memaknai puisinya. Rasanya, ini juga sebuah bentuk ketidakadilan terhadap puisi. Justru, keasyikan menulis puisi itu bisa lebih asyik kalau kita sendiri menebak-nebak apa makna yang kelak menyelinap ke dalam puisi kita. Justru, puisi yang asyik, akan mengundang beragam tafsir karena memang tidak menutup dirinya pada makna yang tunggal. Bahwa kita pun juga bebas memaknai puisi kita sendiri ketika membaca kelak, meskipun tidak lagi mengulangi apa yang dulu menggerakkan kita ketika menuliskannya dulu. Ke dalam puisi, biarkanlah makna-makna ramai datang dan pergi. [hah]