Monday, April 12, 2004

Papa... Deja Sortie

RAZIA AGUSTUS



Kepada Sobron Aidit



   SAYA anak negeri Indonesia yang lahir awal 70-an, sedang membaca buku Anda Razia Agustus (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004). Belum tamat memang. Baru tiga cerita pendek dalam buku itu yang selesai, Razia Agustus, Bang Amat dan Ziarah. Saya merasa sedang membaca sisi lain dari sejarah negeri ini. Sejarah bagi generasi kami diajarkan bukan seperti sebuah pemandangan yang dihamparkan apa adanya. Kami, oleh guru-guru yang sudah dibentuk pola pikirnya oleh kurikulum negara tidak pernah diajari untuk jadi dewasa lalu bisa menjadi bijak ketika menyikapi lanskap sejarah yang apa adanya itu. Sejarah bagi kami diajarkan seperti petunjuk mengemudi, penuh rambu, peringatan dan petunjuk.



   BANG Amat yang Anda ceritakan dalam buku kumpulan cerita pendek itu tidak pernah kami baca sebagai seorang manusia yang utuh. Dia dimonsterkan oleh pelajaran sejarah kami. Dia sampai kepada kami sebagai tokoh yang tidak punya masa lalu. Juga tokoh-tokoh lainnya. Ada bagian dalam ingatan negeri ini yang hendak atau sudah dihapus. Dan upaya itu berhasil. Terutama pada generasi kami. Karena itu cerita Anda membangkitkan simpati saya. Ini juga tidak diajarkan kepada kami. Bagaimana bersimpati kepada manusia pelaku sejarahnya, sambil membaca sejarah dengan apa adanya.



   PAPA Sobron, baiknya aku memanggilmu begitu saja. Seperti dalam salah satu cerita pendekmu dalam buku itu: Papa... Deja Sortie. Seperti itulah juga, aku ingin membuat pengandaian seteleh membaca ceritamu. Seperti ada yang terlepas, sesuatu yang lama kuderita: ketidaktahuan, kebodohan kami yang memang dikehendaki terjadi di negeri ini. Ceritamu, Papa Sobron, bukan sebuah operasi besar memang, hanya sebuah terapi tusuk jarum yang ah... kau sendiri tak yakin apakah memang itu yang menyembuhkan? Tapi, Papa, memang ada yang berubah dalam anatomi ingatanku setelah aku membacanya dan aku berseru:...Deja Sortie!



    Mana yang rekaan dalam cerita-ceritamu? Pertanyaan ini mengusik-usik juga. Jawabku sendiri: dengan hidup yang sedemikian berat, pelik -- dan karenanya teramat menarik dan berharga untuk dituliskan -- kau memang tidak perlu membancuhnya dengan imajinasi. Walaupun, Papa, ada beberapa cerita dalam bukumu itu harus aku baca seperti fragmen tulisan dalam buku best seller A Cup of Chicken Soup for The Soul. Kisah nyata yang menyentuh dan menghangatkan jiwa saya.[hah]