SIAPA yang suka mencurigai dan melarang sajak, pergilah nonton Dead Poets Sicoety. Dan jangan tidur. Sebab di sana Tuan akan menyaksikan suatu kekuatan yang ganjil yang bernama puisi.
     Puisi dalam film ini, merupakan tokoh utama yang tidak tampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Semula anak-anak itu hidup dalam tertib. Kini mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik: keindahan, kebebsan, permainan, kegembiraan, impian, cinta dan akhirnya kematian.
     Tapi apa itu puisi, jangan minta definisi. Yang jelas, ia bukan hanya serangkaian kata-kata bagus, yang di Indonesia dulu disebut "syair". Konon, Boris Pasternak, penyair Rusia itu, pernah mengatakan apa arti puisi baginya, " Puisi adalah manis kacang kapri yang mencekik mati, air mata dunia di atas bahu." Dengan kata lain: sesuatu yang konkret, juga sesuatu yang intens.
     Tak mudah, memang, untuk memahami itu. Sebab, sebuah sajak yang indah seakan-akan selalu berakhir sebagai sebuah enigma, sebuah sihir, sebuah cerita misteri: penuh daya pukau tapi juga penuh kemungkinan. Di dalamnya rasa, renungan, dan rekaan bergelora, bebas, seperti kata hati yang tidak ditekan.
     Maka, ketika seorang guru muda (demikianlah kita lihat dalam film itu) datang ke sebuah sekolah tua dan memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya, yang terjadi adalah sebuah transformasi besar.
     Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka seakan-akan kena sulap dan terbawa masuk ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang dicemaskan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan yang basah, dan membayangkan bahwa mereka adalah anggota Dead Peots Society. Padahal, yang mereka ikuti adalah panggilan keprbadian mereka sendiri: mereka tak takut lagi menjelajah.
     Dalam sejarah kita, kita pun punya Dead Poets Society. Anggota awalnya adalah Rustam Effendi. Pada tahun 1924 penyair lakon Bebasari ini menulis sebuah sajak yang kemudian termahsyur: ia buang dan mungkiri aturan lama karena ia tak ingin mengikuti kekakangan sosial, karena ia hanya ingin mengikuti perasaan hatinya: "sebab laguku menurut sukma."
     Rustam Effendi, kemudian, tak hanya mau membebaskan diri dari aturan syair. Aturan itu adalah sisa tradisi yang membelenggu, cerminan sebuah masyarakat yang terpasung. Rustam Effendi pun kemudian menjadi seorang revolusioner. Ia ingin menggaribawahi pembangkangan itu, yang dimulai dengan puisi.
     Pada tahun 1936, S. Takdir Alisyahbana memproklamasikan pembangkangan yang lain: ia menyatakan akan meninggalkan alam kehidupan yang tenteram. Kehidupan lama itu baginya seperti "tasik yang tenang tiada beriak" yang "diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan." Alam yang tak mencekik, memang, tapi tak lagi memuaskan. Di dalam ketenangan itu, jiwa sang penyair justru gelisah. "Gunung pelindung rasa penghalang," katanya dalam sajak Menuju ke Laut. Maka, hatinya pun "berontak", "hendak bebas" dan "menyerang segala apa menghadang". Takdir memulai suatu eksplorasi ke arah Indonesia yang lebih dinamis.
     Dan itu tak berhenti padanya. Di awal 40-an, ada Chairil Anwar. Kita semua tahu bagaimana penyair itu menamakan dirinya "binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kita juga ingat bagaimana dia berseru agar para penulis menggores dan membedah segalanya, sebab tak ada tabu dan tak bisa disentuh, "juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati!"
     Siapa yang suka mencemaskan puisi, baiklah kita ingatkan: Chairil adalah anggota terkemuka Dead Poets Society. Ia memang berbahaya, tapi siapa yang bisa membantah bahwa ia telah memberi inspirasi kepada banyak orang? Setelah Chairil, tema pembangkangan dan pembebasan tetap kembali, dan inspirasi itu bangkit terus. Rendra mengelu-elukan figur "orang urakan", orang yang menampik konvensi umum. Sutardji Calzhoum Bachri membebaskan kata dari ikatan kebersamaan bahasa --- kebersamaan yang ditentukan kamus.
     Mungkin karena itulah, ada orang mencurigai keberandalan puisi. Ada orang (antara lain Stalin) yang menyensor sajak dan memenjarakan penyair. Ada mereka yang ibarat Khattam-Shud dalam cerita Salman Rushdie, Haroun adn The Sea of Stories.
     Dalam dongeng yang penuh makna ini, Khattam-Shud adalah penguasa Tanah Chud yang kelam, dengan para pengikut yang fanatik yang bersumpah membisu. Mereka menampik kata, memusuhi bahasa, membekukan sastra. Khattam-Shud dan pengikutnya bekerja 24 jam meracuni Lautan Cerita karena ia membenci cerita. "Padahal dunia tidak dimaksudkan untuk kegembiraan.... Dunia adalah untuk Pengontrolan."
     Siapa yang mengontrol puisi.
* Dari buku Catatan Pinggir 4 (Pustaka Utama Grafiti, 1995)