Panggung itu kosong,
hanya jiwa melolong.
Kau tak mendengar sakitnya sampai jua,
hingga ia menyebut nama: nama Kita....
Mei 2003
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Friday, April 30, 2004
Thursday, April 29, 2004
Sajak Sam Haidy
SCRABBLE
You said, give me some letters
five is enough
Then I give you B, L, A, C, and K
I spell it : BACK...
Yeah, you got it.
But I haven't ask you
why you still keep one
Before you leave
you whispered once
the reason
: I'll bring it as the souvenir
just for God!
I asked, why you pick that one?
Because L, is the initial for Love...
Dari sajak SCRABBLE-nya
Hasan Aspahani, dengan sedikit modifikasi
pada bagian ending-nya)
Dari weblog PENGIGAU RESAH
SCRABBLE
You said, give me some letters
five is enough
Then I give you B, L, A, C, and K
I spell it : BACK...
Yeah, you got it.
But I haven't ask you
why you still keep one
Before you leave
you whispered once
the reason
: I'll bring it as the souvenir
just for God!
I asked, why you pick that one?
Because L, is the initial for Love...
Dari sajak SCRABBLE-nya
Hasan Aspahani, dengan sedikit modifikasi
pada bagian ending-nya)
Dari weblog PENGIGAU RESAH
[Tentang Penyair] Prajurit Pembebas
PENYAIR adalah prajurit yang membebaskan kata-kata dari kekuatan kuasa definisi.
* Eli Khamarov
* Eli Khamarov
Enam Haiku Dingin Beku
Sajak Basho
berjalan kaki malam hari;
lampu menggantung rendah
minyaknya nyaris beku.
cukup hujan itu saja;
semak rendah di padang itu
bertukar cerah dengan gelap
hujan musim dingin
jatuh di kandang sapi;
mengokok ayam jantan
baru tumbuh bawang prei
sudah tercuci putih salju, -
uh, betapa dingin gigilnya!
laut mengelam sendiri;
suara-suara bebek liar
pucat lalu melindap.
sakit dalam perjalanan
mimpiku mengambang
di atas tambatan memucat.
berjalan kaki malam hari;
lampu menggantung rendah
minyaknya nyaris beku.
cukup hujan itu saja;
semak rendah di padang itu
bertukar cerah dengan gelap
hujan musim dingin
jatuh di kandang sapi;
mengokok ayam jantan
baru tumbuh bawang prei
sudah tercuci putih salju, -
uh, betapa dingin gigilnya!
laut mengelam sendiri;
suara-suara bebek liar
pucat lalu melindap.
sakit dalam perjalanan
mimpiku mengambang
di atas tambatan memucat.
Tuesday, April 27, 2004
Kekasih
Sajak Rainer Maria Rilke
Engkau hilang, sejak kita baru memulai,
Kekasih, engkau yang tak pernah sampai,
Aku tak tahu apa lagu, yang membujukmu terbuai.
Aku tak lagi hendak, mencoba mengengenalmu banyak,
sejak masa yang kelak, datang serentak menyentak.
Segalanya, membayang-bayangiku, di jauh jarak itu,
apa yang telah berlaku, lansekap, kota, menara dan
jembatan, dan jalan lintas angin yang tak tertebak
dan pulau-pulau itu, sekali terkembang melesat
tumbuh mahadahsyat bersama dewa-dewa:
tumbuh memberi makna bagiku,
dan bagi engkau yang menghindar dari pandangku.
Ah, engkaulah dulu taman-taman itu,
Ah, aku menatapimu dengan semacam harap.
Ada jendela terbuka di rumah desa - dan engkau
di sana ada: nyaris saja ada. Dekat gapaiku,
engkau yang tafakur termangu.
Jalan-jalan yang ketelusuri, engkau juga ada
di sana, berjalan ke arah lurus,
dan sesekali, di kaca cermin kedai itu
masih berkelebatan engkau, memeranjatkan,
dan serta merta membawa kembali bayangku sendiri.
Siapa juga yang kelak tahu, bila burung yang sama
tak berkicau di sana, terbang di atas kita, kemarin,
lalu memisah, di senja kala?
Beloved
You, lost from the start,
Beloved, never-achieved,
I don't know what melodies might please you.
I no longer try, when the future surges up,
to recognise you. All the vast
images in me, in the far off, experienced, landscape,
towns, and towers and bridges and un-
suspected winding ways
and those lands, once growing
tremendous with gods:
rise to meaning in me,
yours, who escape my seeing.
Ah, you were the gardens,
ah, I saw them with such
hope. An open window
in a country house - and you almost appeared,
near me, and pensive. Streets I discovered -
you'd walked straight through them,
and sometimes the mirror in the tradesman's shop
was still dizzy with you and, startled, gave back
my too-sudden image. - Who knows, if the same
bird did not sound there, through us,
yesterday, apart, in the twilight?
Engkau hilang, sejak kita baru memulai,
Kekasih, engkau yang tak pernah sampai,
Aku tak tahu apa lagu, yang membujukmu terbuai.
Aku tak lagi hendak, mencoba mengengenalmu banyak,
sejak masa yang kelak, datang serentak menyentak.
Segalanya, membayang-bayangiku, di jauh jarak itu,
apa yang telah berlaku, lansekap, kota, menara dan
jembatan, dan jalan lintas angin yang tak tertebak
dan pulau-pulau itu, sekali terkembang melesat
tumbuh mahadahsyat bersama dewa-dewa:
tumbuh memberi makna bagiku,
dan bagi engkau yang menghindar dari pandangku.
Ah, engkaulah dulu taman-taman itu,
Ah, aku menatapimu dengan semacam harap.
Ada jendela terbuka di rumah desa - dan engkau
di sana ada: nyaris saja ada. Dekat gapaiku,
engkau yang tafakur termangu.
Jalan-jalan yang ketelusuri, engkau juga ada
di sana, berjalan ke arah lurus,
dan sesekali, di kaca cermin kedai itu
masih berkelebatan engkau, memeranjatkan,
dan serta merta membawa kembali bayangku sendiri.
Siapa juga yang kelak tahu, bila burung yang sama
tak berkicau di sana, terbang di atas kita, kemarin,
lalu memisah, di senja kala?
Beloved
You, lost from the start,
Beloved, never-achieved,
I don't know what melodies might please you.
I no longer try, when the future surges up,
to recognise you. All the vast
images in me, in the far off, experienced, landscape,
towns, and towers and bridges and un-
suspected winding ways
and those lands, once growing
tremendous with gods:
rise to meaning in me,
yours, who escape my seeing.
Ah, you were the gardens,
ah, I saw them with such
hope. An open window
in a country house - and you almost appeared,
near me, and pensive. Streets I discovered -
you'd walked straight through them,
and sometimes the mirror in the tradesman's shop
was still dizzy with you and, startled, gave back
my too-sudden image. - Who knows, if the same
bird did not sound there, through us,
yesterday, apart, in the twilight?
Beberapa Bilah Pisau
/1/
Pulang dari toko berbelanja,
ia batal membeli bingkai,
dia sudah melupakan potret
diri sendiri yang hendak dipajangnya
di garasi dan kamar mandi,
juga foto yang paling lucu,
yang sudah disiapkannya
kelak sebagai pengiring
peti mati berisi jenazah sendiri.
"Buat apa?" katanya kepada
pertanyaannya sendiri.
"Aku sudah ketemu apa
yang benar-benar aku perlu,"
katanya sambil membongkar
tas belanjaannya, mengeluarkan:
Pisau pengusir risau.
Pisau penakluk igau.
Pisau pencincang galau.
/2/
Ada pisau yang luar biasa tajamnya, dia bisa
mendengar jerit kesakitan yang tak bersuara.
"Cocok untuk disimpan di ranjang,
untuk berjaga-jaga, atau dijadikan
teman di tempat tidur saja,"
kata si penjaga toko pisau.
Dia bergidik mendengar penjelasan itu,
lalu terbayang apel yang tak pernah
tuntas ia gerogoti karena selalu didahului
ngantuk, juga leher dan selangkangannya.
"Mau kita coba, Tuan?" tawar si penjaga toko.
"Tidak," jawabnya segera.
/3/
Pisau yang lain adalah sebilah pisau tua,
sudah terasah ribuan kali, sehingga susah
juga dibedakan punggung dan matanya.
"Kalau Tuan tak menghendakinya, kita tukar
saja..."
"Tidak, biarkan saja. Saya tahu pisau seperti
ini, sukanya dipergunakan untuk apa?"
"Oh, ya. Untuk apa ya kira-kira..."
"Dijadikan hiasan dinding saja. Memangnya
ada kegunaan lainnya..."
"Oh, ya ya ya..." kata si penjaga toko,
sambil tak sengaja melihat bayangan dirinya
di bilah tepian pisau yang mungkin sama tua
dengan dirinya.
/4/
"Kalau pisau yang jenaka ini, gunanya apa?"
tanyanya kepada sang penjaga toko.
"Oh, itu pisau sulap. Dia memang suka
melucu. Suka menghilang tiba-tiba,
suka nyanyi sendiri lagu potong bebek angsa
dan lawakannya yang paling lucu adalah
ketika ditikamkan ke jantung seorang
penonton oleh si tukang sulap pemiliknya
dalam satu pertunjukan sirkus. Lalu,
Tuan tahu apa yang terjadi kemudian?"
"Tidak usah," katanya. Lalu dalam hatinya
berkata, "Tak mungkin orang lain lebih
tahu daripada saya. Apalagi dia yang
seorang penjaga toko itu..."
"Sebenarnya, saya sayang sama pisau
itu, sebab waktu itu, si tukang sulap
itu sendiri yang menjualnya ke sini. Masih
dengan dandanan badut, sepulang
pertunjukan terbaiknya. Sayang, katanya,
itu penampilan terakhirnya," kata si
penjaga toko itu.
/4/
Pulang dari toko belanja,
ia menyusun pisau-pisau
yang baru dibelinya.
Sampai dia tertidur di sofa
belum juga terjawab pertanyaan
yang tiba-tiba menggodanya,
"Pisau apa yang paling cocok
ditancapkan di jantung kuburan
sebagai pengganti batu nisan?"
April 2004
Pulang dari toko berbelanja,
ia batal membeli bingkai,
dia sudah melupakan potret
diri sendiri yang hendak dipajangnya
di garasi dan kamar mandi,
juga foto yang paling lucu,
yang sudah disiapkannya
kelak sebagai pengiring
peti mati berisi jenazah sendiri.
"Buat apa?" katanya kepada
pertanyaannya sendiri.
"Aku sudah ketemu apa
yang benar-benar aku perlu,"
katanya sambil membongkar
tas belanjaannya, mengeluarkan:
Pisau pengusir risau.
Pisau penakluk igau.
Pisau pencincang galau.
/2/
Ada pisau yang luar biasa tajamnya, dia bisa
mendengar jerit kesakitan yang tak bersuara.
"Cocok untuk disimpan di ranjang,
untuk berjaga-jaga, atau dijadikan
teman di tempat tidur saja,"
kata si penjaga toko pisau.
Dia bergidik mendengar penjelasan itu,
lalu terbayang apel yang tak pernah
tuntas ia gerogoti karena selalu didahului
ngantuk, juga leher dan selangkangannya.
"Mau kita coba, Tuan?" tawar si penjaga toko.
"Tidak," jawabnya segera.
/3/
Pisau yang lain adalah sebilah pisau tua,
sudah terasah ribuan kali, sehingga susah
juga dibedakan punggung dan matanya.
"Kalau Tuan tak menghendakinya, kita tukar
saja..."
"Tidak, biarkan saja. Saya tahu pisau seperti
ini, sukanya dipergunakan untuk apa?"
"Oh, ya. Untuk apa ya kira-kira..."
"Dijadikan hiasan dinding saja. Memangnya
ada kegunaan lainnya..."
"Oh, ya ya ya..." kata si penjaga toko,
sambil tak sengaja melihat bayangan dirinya
di bilah tepian pisau yang mungkin sama tua
dengan dirinya.
/4/
"Kalau pisau yang jenaka ini, gunanya apa?"
tanyanya kepada sang penjaga toko.
"Oh, itu pisau sulap. Dia memang suka
melucu. Suka menghilang tiba-tiba,
suka nyanyi sendiri lagu potong bebek angsa
dan lawakannya yang paling lucu adalah
ketika ditikamkan ke jantung seorang
penonton oleh si tukang sulap pemiliknya
dalam satu pertunjukan sirkus. Lalu,
Tuan tahu apa yang terjadi kemudian?"
"Tidak usah," katanya. Lalu dalam hatinya
berkata, "Tak mungkin orang lain lebih
tahu daripada saya. Apalagi dia yang
seorang penjaga toko itu..."
"Sebenarnya, saya sayang sama pisau
itu, sebab waktu itu, si tukang sulap
itu sendiri yang menjualnya ke sini. Masih
dengan dandanan badut, sepulang
pertunjukan terbaiknya. Sayang, katanya,
itu penampilan terakhirnya," kata si
penjaga toko itu.
/4/
Pulang dari toko belanja,
ia menyusun pisau-pisau
yang baru dibelinya.
Sampai dia tertidur di sofa
belum juga terjawab pertanyaan
yang tiba-tiba menggodanya,
"Pisau apa yang paling cocok
ditancapkan di jantung kuburan
sebagai pengganti batu nisan?"
April 2004
Kematian Sang Penyair
Sajak Hasan Aspahani
betapa singkat,
betapa berliku,
jalan menuju-Mu.
betapa dekat,
betapa tak tahu,
jalan menuju-Mu.
padahal, akhirnya
kita toh hanya,
: ingin
menjadi
seorang
Aku.
(yang tertunduk takluk,
terduduk di kaki Waktu)
menyairkan sebait mimpi,
: hidup seribu tahun lagi.
April 2004
KARET (DAERAHKU Y.A.D)
Sajak Sam Haidy
Saat tangan yang jahil
bertutur ajal memanggil
tahukah Chairil
ia 'kan berumur kerdil?
Saat tubuh yang malang
mengumbar nafsu binatang
sadarkah si jalang
sudah dekat saat pulang?
Sajak Hasan Aspahani
betapa singkat,
betapa berliku,
jalan menuju-Mu.
betapa dekat,
betapa tak tahu,
jalan menuju-Mu.
padahal, akhirnya
kita toh hanya,
: ingin
menjadi
seorang
Aku.
(yang tertunduk takluk,
terduduk di kaki Waktu)
menyairkan sebait mimpi,
: hidup seribu tahun lagi.
April 2004
KARET (DAERAHKU Y.A.D)
Sajak Sam Haidy
Saat tangan yang jahil
bertutur ajal memanggil
tahukah Chairil
ia 'kan berumur kerdil?
Saat tubuh yang malang
mengumbar nafsu binatang
sadarkah si jalang
sudah dekat saat pulang?
[Panegyric] Huruf n
   Saya tiba-tiba saja bertanya, kenapa saya tidak pernah bertanya tentang huruf ini? Ya, huruf n ini. Huruf ke-14 dalam alfabet ini. Padahal, tiba-tiba saja saya juga menyadari betapa dimanjakannya huruf n ini. Saya ingat pada pelajaran matematika. Persamaan sederhana. Angka yang harus dicari pada sebuah deret bilangan. Bilangan ke-n. 2 + n = 4, n = berapakah?
   Saya tiba-tiba saja bertanya, setelah papan ketik di laptop Twinhead, dengan prosessor Pentium I ini bermasalah pada huruf n. Hanya huruf n. Masalahnya? Dia tidak berfungsi. Tapi, pada kali lain, dia suka muncul sendiri. nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn...terus saja kalau tidak ditahan dengan tombol Enter, barisan huruf itu tak akan berhenti.
   Itu artinya, saya harus membawa laptop yang saya beli di toko komputer bekas ini ke tempat servis. Sementara itu saya masih harus tetap menulis puisi, menyunting tulisan, dan belajar bersama Shiela. Ada dua pilihan untuk mengatasi ulah si huruf n ini. Pertama, pakai papan kunci lain. Tapi, ini tidak saya lakukan karena tempat menghubungkan kabelnya adalah tempat yang sama dengan maus. Padahal, saya sudah sangat terbiasa bekerja dengan si tikus berekor panjang ini.
   Maka, pilihan kedua yang saya lakukan. Termasuk untuk menulis huruf n dalam tulisan ini. Caranya? Cari huruf n di arsip terdahulu, sorot lalu kopi (tekan tombol CTRL+C). Ketika huruf n diperlukan tinggal memunculkannya dengan menekan tombol CTRL+V. [hah]
Sunday, April 25, 2004
Epitaf di Makamnya
Sajak Rainer Maria Rilke
Mawar, oh fakta ditolak makna, bungah rasa,
tak ada seorang pun tidur, di bawah berlapis-lapis,
kelopak mata.
Her Epitaph
Rose, oh pure contradiction, delight,
of being no-one's sleep under so many
eyelids.
Mawar, oh fakta ditolak makna, bungah rasa,
tak ada seorang pun tidur, di bawah berlapis-lapis,
kelopak mata.
Her Epitaph
Rose, oh pure contradiction, delight,
of being no-one's sleep under so many
eyelids.
Saturday, April 24, 2004
[Kata Pujangga] Penyair adalah Burung
SEORANG penyair adalah burung yang membawa ketakjuban. Dia lari dari kerajaan surga lalu tiba di dunia ini untuk berkicau semerdu-merdunya dengan suara bergetar. Bila kita tidak menanggapi dengan cinta di hati, dia akan kembali mengepakkan sayapnya lalu terbang kembali ke negeri asalnya.
* Kahlil Gibran (1833-1931)
[Kata Pujangga] Pikiran yang tidak Normal
MUNGKIN tak ada orang yang bisa jadi penyair, atau bahkan tak ada yang bisa menikmati puisi tanpa sedikit ketidaknormalan pikiran.
* Thomas B. Macaulay (1800-1859)
* Thomas B. Macaulay (1800-1859)
Gitar
Sajak Federico Garcia Lorca
Dengar ratap rintih gitar itu
mulai mengiang.
Gelas-gelas fajar pecah
terhempas terbanting.
Ratap rintih gitar itu
terdengar lagi.
Membisukannya?
Ah, tak ada guna.
Dia merintih: menyanyi satu lagu
seperti rintih arus
seperti rintih angin
melintas di padang salju.
Mustahil saja,
membekap mulutnya.
Dia merintih untuk
dia yang jauh di sana.
Padang pasir di selatan kepanasan,
merindukan putih bunga camellia.
Rintih anak panah lepas tanpa sasaran
malam tanpa pagi
dan burung pertama yang mati
di secabang pohon.
Oh, gitar!
Hati yang terbantai sampai mati
ditebas lima mata pedang.
Oldman with Guitar, PICASSO
The Guitar
The weeping of the guitar
begins.
The goblets of dawn
are smashed.
The weeping of the guitar
begins.
Useless
to silence it.
Impossible
to silence it.
It weeps monotonously
as water weeps
as the wind weeps
over snowfields.
Impossible
to silence it.
It weeps for distant
things.
Hot southern sands
yearning for white camellias.
Weeps arrow without target
evening without morning
and the first dead bird
on the branch.
Oh, guitar!
Heart mortally wounded
by five swords
Dengar ratap rintih gitar itu
mulai mengiang.
Gelas-gelas fajar pecah
terhempas terbanting.
Ratap rintih gitar itu
terdengar lagi.
Membisukannya?
Ah, tak ada guna.
Dia merintih: menyanyi satu lagu
seperti rintih arus
seperti rintih angin
melintas di padang salju.
Mustahil saja,
membekap mulutnya.
Dia merintih untuk
dia yang jauh di sana.
Padang pasir di selatan kepanasan,
merindukan putih bunga camellia.
Rintih anak panah lepas tanpa sasaran
malam tanpa pagi
dan burung pertama yang mati
di secabang pohon.
Oh, gitar!
Hati yang terbantai sampai mati
ditebas lima mata pedang.
Oldman with Guitar, PICASSO
The Guitar
The weeping of the guitar
begins.
The goblets of dawn
are smashed.
The weeping of the guitar
begins.
Useless
to silence it.
Impossible
to silence it.
It weeps monotonously
as water weeps
as the wind weeps
over snowfields.
Impossible
to silence it.
It weeps for distant
things.
Hot southern sands
yearning for white camellias.
Weeps arrow without target
evening without morning
and the first dead bird
on the branch.
Oh, guitar!
Heart mortally wounded
by five swords
Lorca, Sang Penyair dari Granada
Dibantai di Atas Makam Saudara,
Bukunya Dibakar di depan Umum
RIWAYAT HIDUP seorang penyair adalah puisi, yang lain hanyalah catatan kaki. Kutipan dari penyair Rusia pasca-Stalin Yevgeny Yevtushenko itu sangat pas dipadankan kepada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca. Tak heran bila Steven Spielberg pun tertarik memfilmkannya kisah penyair yang hilang ketika genderang Perang Sipil Spanyol 1930-an itu baru saja ditabuh.
    Lorca selalu disebut sebagai penyair dan dramawan spanyol terpenting di Abad 20. Ia lahir di Fuente Vaqueros, 5 Juni 1899. Ayahnya memiliki tanah pertanian yang subur di sekitar Granada serta rumah peristirahatan yang nyaman di kota itu. Tapi yang diidolakan Lorca adalah ibunya, seorang pemain piano yang berbakat.
    Setelah lulus dari sekolah menengah, Lorca melanjutkan ke Sacred Heart University. Dia mengambil studi hukum di sana sambil juga ikut kursus seni. Buku pertamanya terbit di tahun 1919. Buku itu, Impresiones y Viajes, terilhami perjalanannya bersama kelas seni yang dia ikuti ke sebuah Kastil dua tahun sebelum buku itu terbit. Pada tahun terbitnya buku itu juga, Lorca menggelandang ke Madrid. Di kota itu dia betah tinggal selama limabelas tahun. Lorca tidak menamatkan sekolahnya, dan memilih hidup sepenuhnya untuk seni.
    Dia lalu menjadi pengaggas sejumlah pertunjukan teater, membacakan sajak-sajaknya di depan umum, dan mengumpulkan banyak lagu-lagu rakyat. Di periode padat kegiatan itu dia sempat menerbitka El Maleficio de la Mariposa (1920), sebuah drama yang menyulut skadal besar ketika dipentaskan. Dia juga lalu menerbitkan Libro de Poemas (1921), kompilasi puisi yang ditulis berdasarkan lagu-lagu rakyat Spanyol. Sebagian besar karya Lorca bertema populer yaitu kehidupan kaum Gipsi dan tentang Flamenco.
    Tahun 1922, Lorca meggalang Festival Cante Jondo yan pertama. Inilah pagelan yang menampilkan para penyanyi dan gitaris "Deep Song" paling tersohor di Spanyol saat itu. Sajak-sajaknya yang ditulis di awal tahun 1920 banyak dijadikan syair lagu saat itu. Pada saat itu, Lorca juga bergabung dengan sekelompok seniman yang menamakan kelompoknya Generation del 27 yang juga beranggotakan Salvador Dali dan Luis Bunuel. Kedua nama ini menularkan surealisme kepada Lorca. Pada tahun 1928, Lorca menerbitkan kumpulan sajaknya yang langsung melambungka namanya ke puncak popularitas. Buku itu berjudul: Romancero Gitano (The Gypsy Ballads). Selama hidupnya, Lorca sempat menyaksikan buku itu terbit sampai tujuh kali cetak ulang.
    Tahun 1929, Lorca mengembara ke New York. Dia sangat memfavoritkan kawasan kumuh dan padat bernama Harlem; dia dekat dengan kehidupan kaum Afro-Amerika yang banyak tinggal di kawasan itu karena mengingatkanya pada kehidupan orang Gipsi di Spanyol. Tahun 1930, Lorca kembali ke Spanyol setelah negaranya itu memproklamasikan kemerdekaan. Lorca aktif bergerak bersama Second Ordinary Congress of the Federal Union of Hispanic Students sejak November 1931. Kongres itu setuju dan memutuskan untuk membangun sebuah "Barraca" di tengah kota Madrid yang kemudian menghasilkan sejumlah drama-drama penting. Lalu, "La Barraca" juga menjadi teater keliling yang tampil di tempat terbuka di sejumlah kota dan desa di Spanyol. Sebagian yang ditampilkan adalah karya Lorca sendiri seperti tiga serangkai karya bertema tragedi Bodas de sangre (1933), Yerma (1934), dan La Casa de Bernarda Alba (1936).
    Tahun 1936, Lorca tinggal di Callejoes de Garcia, kota kelahirannya, saat itulah Perang Sipil Spanyol pecah. Hingga pada akhir bulan Juli. Lorca ditangkap oleh tentara Franquist. Setelah beberapa hari di tahanan, Lorca dijemput tentara untuk "menemui" saudara iparnya Manuel Fernandez Montesinos, seorang sosialis bekas Walikota Granada yang dibunuh oleh tentara dan jenazahnya diseret di jalanan. Ketika Lorca tiba di makam sang sepupu Lorca dipaksa turun dari mobil. Saksi mata melihat Lorca dihajar dengan popor senjata dan tubuhnya dihujani peluru. Lorca benar-benar dihabisi. Bukunya dibakar di Plaza del Carmen Granada. Buku itu kemudia diumumkan sebagai barang terlarang.
    Hingga hari ini, tak ada yang tahu dimana tubuh sang penyair dibuang.[hah]
Beberapa karya penting Lorca: Puisi: Impresiones y viajes (1918), Libro de poemas (1921), Canciones (1927), Romancero Gitano ("The Gypsy Ballads") (1928), El poema del Cante Jondo (1932), Llanto por Ignacio Sanchez Mejias (1935), Lament for the Death of a Bullfighter and Other Poems (1937), Poeta en Nueva York ("Poet in New York") (1940) , Selected Poems (1941), In Search of Duende (1998) Prose disunting dan diterjemahkan oleh Christopher Maurer, serta Puisi diterjemahkan oleh Norman di Giovanni dkk. Drama: El malificio de la mariposa (1920), Mariana Pineda (1927), La zapatera prodigiosa ("The Shoemaker's Marvelous Wife") (1930), Amor de Don Perlimplin con Belisa en su jardin (1931), Bodas de sangre ("Blood Wedding") (1933), Yerma (1934), La casa de Bernarda Alba ("The House of Bernarda Alba") (1936), The Comedies (1955) English translations.
Dibantai di Atas Makam Saudara,
Bukunya Dibakar di depan Umum
RIWAYAT HIDUP seorang penyair adalah puisi, yang lain hanyalah catatan kaki. Kutipan dari penyair Rusia pasca-Stalin Yevgeny Yevtushenko itu sangat pas dipadankan kepada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca. Tak heran bila Steven Spielberg pun tertarik memfilmkannya kisah penyair yang hilang ketika genderang Perang Sipil Spanyol 1930-an itu baru saja ditabuh.
    Lorca selalu disebut sebagai penyair dan dramawan spanyol terpenting di Abad 20. Ia lahir di Fuente Vaqueros, 5 Juni 1899. Ayahnya memiliki tanah pertanian yang subur di sekitar Granada serta rumah peristirahatan yang nyaman di kota itu. Tapi yang diidolakan Lorca adalah ibunya, seorang pemain piano yang berbakat.
    Setelah lulus dari sekolah menengah, Lorca melanjutkan ke Sacred Heart University. Dia mengambil studi hukum di sana sambil juga ikut kursus seni. Buku pertamanya terbit di tahun 1919. Buku itu, Impresiones y Viajes, terilhami perjalanannya bersama kelas seni yang dia ikuti ke sebuah Kastil dua tahun sebelum buku itu terbit. Pada tahun terbitnya buku itu juga, Lorca menggelandang ke Madrid. Di kota itu dia betah tinggal selama limabelas tahun. Lorca tidak menamatkan sekolahnya, dan memilih hidup sepenuhnya untuk seni.
    Dia lalu menjadi pengaggas sejumlah pertunjukan teater, membacakan sajak-sajaknya di depan umum, dan mengumpulkan banyak lagu-lagu rakyat. Di periode padat kegiatan itu dia sempat menerbitka El Maleficio de la Mariposa (1920), sebuah drama yang menyulut skadal besar ketika dipentaskan. Dia juga lalu menerbitkan Libro de Poemas (1921), kompilasi puisi yang ditulis berdasarkan lagu-lagu rakyat Spanyol. Sebagian besar karya Lorca bertema populer yaitu kehidupan kaum Gipsi dan tentang Flamenco.
    Tahun 1922, Lorca meggalang Festival Cante Jondo yan pertama. Inilah pagelan yang menampilkan para penyanyi dan gitaris "Deep Song" paling tersohor di Spanyol saat itu. Sajak-sajaknya yang ditulis di awal tahun 1920 banyak dijadikan syair lagu saat itu. Pada saat itu, Lorca juga bergabung dengan sekelompok seniman yang menamakan kelompoknya Generation del 27 yang juga beranggotakan Salvador Dali dan Luis Bunuel. Kedua nama ini menularkan surealisme kepada Lorca. Pada tahun 1928, Lorca menerbitkan kumpulan sajaknya yang langsung melambungka namanya ke puncak popularitas. Buku itu berjudul: Romancero Gitano (The Gypsy Ballads). Selama hidupnya, Lorca sempat menyaksikan buku itu terbit sampai tujuh kali cetak ulang.
    Tahun 1929, Lorca mengembara ke New York. Dia sangat memfavoritkan kawasan kumuh dan padat bernama Harlem; dia dekat dengan kehidupan kaum Afro-Amerika yang banyak tinggal di kawasan itu karena mengingatkanya pada kehidupan orang Gipsi di Spanyol. Tahun 1930, Lorca kembali ke Spanyol setelah negaranya itu memproklamasikan kemerdekaan. Lorca aktif bergerak bersama Second Ordinary Congress of the Federal Union of Hispanic Students sejak November 1931. Kongres itu setuju dan memutuskan untuk membangun sebuah "Barraca" di tengah kota Madrid yang kemudian menghasilkan sejumlah drama-drama penting. Lalu, "La Barraca" juga menjadi teater keliling yang tampil di tempat terbuka di sejumlah kota dan desa di Spanyol. Sebagian yang ditampilkan adalah karya Lorca sendiri seperti tiga serangkai karya bertema tragedi Bodas de sangre (1933), Yerma (1934), dan La Casa de Bernarda Alba (1936).
    Tahun 1936, Lorca tinggal di Callejoes de Garcia, kota kelahirannya, saat itulah Perang Sipil Spanyol pecah. Hingga pada akhir bulan Juli. Lorca ditangkap oleh tentara Franquist. Setelah beberapa hari di tahanan, Lorca dijemput tentara untuk "menemui" saudara iparnya Manuel Fernandez Montesinos, seorang sosialis bekas Walikota Granada yang dibunuh oleh tentara dan jenazahnya diseret di jalanan. Ketika Lorca tiba di makam sang sepupu Lorca dipaksa turun dari mobil. Saksi mata melihat Lorca dihajar dengan popor senjata dan tubuhnya dihujani peluru. Lorca benar-benar dihabisi. Bukunya dibakar di Plaza del Carmen Granada. Buku itu kemudia diumumkan sebagai barang terlarang.
    Hingga hari ini, tak ada yang tahu dimana tubuh sang penyair dibuang.[hah]
Beberapa karya penting Lorca: Puisi: Impresiones y viajes (1918), Libro de poemas (1921), Canciones (1927), Romancero Gitano ("The Gypsy Ballads") (1928), El poema del Cante Jondo (1932), Llanto por Ignacio Sanchez Mejias (1935), Lament for the Death of a Bullfighter and Other Poems (1937), Poeta en Nueva York ("Poet in New York") (1940) , Selected Poems (1941), In Search of Duende (1998) Prose disunting dan diterjemahkan oleh Christopher Maurer, serta Puisi diterjemahkan oleh Norman di Giovanni dkk. Drama: El malificio de la mariposa (1920), Mariana Pineda (1927), La zapatera prodigiosa ("The Shoemaker's Marvelous Wife") (1930), Amor de Don Perlimplin con Belisa en su jardin (1931), Bodas de sangre ("Blood Wedding") (1933), Yerma (1934), La casa de Bernarda Alba ("The House of Bernarda Alba") (1936), The Comedies (1955) English translations.
Tikungan Sungai
Sajak Federico Garcia Lorca
    
Aku ingin kembali ke masa kanak,
dari sana lalu ke bayang-bayang.
    Burung bul-bul, maukah kau ikut?
        Ayo!
Aku ingin kembali ke bayang-bayang,
dan dari situ lalu ke bunga-bunga.
     Wangi, akankah juga kesana?
        Ayo!
Aku ingin kembali ke bunga-bunga
dan dari sana lalu
ke hati sendiri.
     Cinta, maukah kau turut bersama?
        Ah, Selamat tinggal!
(Bagi hatiku yang terbuang!)
River Bend
I want to return to childhood
and from childhood to the shadows.
     Are you going, nightingale?
        Go!
I want to return to the shadows,
and from the shadows to the flower.
     Are you going, fragrance?
        Go!
I want to return to the flower
and from the flower
to my heart.
     Are you going, love?
        Farewell!
(To my abandoned heart!)
    
Aku ingin kembali ke masa kanak,
dari sana lalu ke bayang-bayang.
    Burung bul-bul, maukah kau ikut?
        Ayo!
Aku ingin kembali ke bayang-bayang,
dan dari situ lalu ke bunga-bunga.
     Wangi, akankah juga kesana?
        Ayo!
Aku ingin kembali ke bunga-bunga
dan dari sana lalu
ke hati sendiri.
     Cinta, maukah kau turut bersama?
        Ah, Selamat tinggal!
(Bagi hatiku yang terbuang!)
River Bend
I want to return to childhood
and from childhood to the shadows.
     Are you going, nightingale?
        Go!
I want to return to the shadows,
and from the shadows to the flower.
     Are you going, fragrance?
        Go!
I want to return to the flower
and from the flower
to my heart.
     Are you going, love?
        Farewell!
(To my abandoned heart!)
Thursday, April 22, 2004
Nyanyian Kecil tentang
Hasrat yang Pertama
Sajak Federico Garcia Lorca
Pada pagi yang hijau
Aku ingin menjelma jadi hati.
Sebuah hati.
Dan pada malam yang matang
aku ingin menjelma jadi burung bul-bul.
Burung bul-bul.
(Jiwa,
bertukarlah ke warna jingga.
Jiwa
bertukarlah ke warna cinta.)
Pada pagi yang berkehidupan
aku ingin menjelma jadi diri sendiri.
Sebuah hati.
Dan pada malam yang luruh
aku ingin menjelma jadi suara sendiri.
Burung bul-bul.
Jiwa
bertukarlah ke warna jingga.
Jiwa,
bertukarlah ke warna cinta!
Little Song of First Desire
In the green morning
I wanted to be a heart.
Heart.
And in the ripe evening
I wanted to be a nightingale.
Nightingale.
(Soul,
go the colour of oranges.
Soul
go the colour of love.)
In the living morning
I wanted to be me.
Heart.
And at evening's fall
I wanted to be my voice.
Nightingale.
Soul
go the colour of oranges.
Soul,
go the colour of love!
Hasrat yang Pertama
Sajak Federico Garcia Lorca
Pada pagi yang hijau
Aku ingin menjelma jadi hati.
Sebuah hati.
Dan pada malam yang matang
aku ingin menjelma jadi burung bul-bul.
Burung bul-bul.
(Jiwa,
bertukarlah ke warna jingga.
Jiwa
bertukarlah ke warna cinta.)
Pada pagi yang berkehidupan
aku ingin menjelma jadi diri sendiri.
Sebuah hati.
Dan pada malam yang luruh
aku ingin menjelma jadi suara sendiri.
Burung bul-bul.
Jiwa
bertukarlah ke warna jingga.
Jiwa,
bertukarlah ke warna cinta!
Little Song of First Desire
In the green morning
I wanted to be a heart.
Heart.
And in the ripe evening
I wanted to be a nightingale.
Nightingale.
(Soul,
go the colour of oranges.
Soul
go the colour of love.)
In the living morning
I wanted to be me.
Heart.
And at evening's fall
I wanted to be my voice.
Nightingale.
Soul
go the colour of oranges.
Soul,
go the colour of love!
[Tentang Puisi] Puisi = Cahaya
PUISI adalah sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia untuk membuat hidupnya bermakna. Puisi, pada akhirnya, bukan sesuatu yang kita lihat. Yang lebih tepat, puisi adalah cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan sesuatu itu adalah hidup.
PADA akhirnya, seorang penyair mungkin lebih takut kepada seorang dogmatis daripada seorang sentimentalis. Yang pertama, ingin mengekstrak pesan dari puisi lalu mencampakkan puisinya, sedangkan yang kedua adalah orang yang berkata, "Oh, tolong biarkan saja saya menikmati puisi apa adanya."
* Robert Penn Warren
PADA akhirnya, seorang penyair mungkin lebih takut kepada seorang dogmatis daripada seorang sentimentalis. Yang pertama, ingin mengekstrak pesan dari puisi lalu mencampakkan puisinya, sedangkan yang kedua adalah orang yang berkata, "Oh, tolong biarkan saja saya menikmati puisi apa adanya."
* Robert Penn Warren
[Tentang Puisi] Catatan Kaki
BIOGRAFI seorang penyair adalah puisinya. Yang lain hanya catatan kaki.
* Yevgeny Yevtushenko
* Yevgeny Yevtushenko
Wednesday, April 21, 2004
Dipisahkan oleh Pagi
Sajak Robert Browning
Laut yang tiba tergesa, dikepung semenanjung,
Matahari menjenguk di balik lingkaran gunung:
Yang lurus: setapak bagi langkah kemenangannya,
Dan dunia yang lelaki, tinggalkan ia untukku saja.
Parting at Morning
Round the cape of a sudden came the sea,
And the sun looked over the mountain's rim:
And straight was a path of gold for him,
And the need of a world of men for me.
Laut yang tiba tergesa, dikepung semenanjung,
Matahari menjenguk di balik lingkaran gunung:
Yang lurus: setapak bagi langkah kemenangannya,
Dan dunia yang lelaki, tinggalkan ia untukku saja.
Parting at Morning
Round the cape of a sudden came the sea,
And the sun looked over the mountain's rim:
And straight was a path of gold for him,
And the need of a world of men for me.
Dipertemukan oleh Malam
Sajak Robert Browning
1
Membangunkan ikan-ikan kecil dari lelap pejam
Laut abu-abu dan daratan panjang hitam
Dan kuning sepenggal bulan sepegapaian
Dan ombak kecil melompat mengagetkan
Aku sampai di teluk kecil menghela haluan
Dan laju pun kandas perlahan di pasir banjir.
2
Lalu pantai pun beraroma hangat laut;
Seberang tiga padang sebelum sampai ladang;
Seketukan di jendela, menggores tajam kaca,
Dan sesemburan sinar biru: sebuah korek menyala,
Dan suara yang lebih lirih pekik girang dan gentarnya,
Lebih lirih dari jerit dua jantung bertukar debar.
1
Membangunkan ikan-ikan kecil dari lelap pejam
Laut abu-abu dan daratan panjang hitam
Dan kuning sepenggal bulan sepegapaian
Dan ombak kecil melompat mengagetkan
Aku sampai di teluk kecil menghela haluan
Dan laju pun kandas perlahan di pasir banjir.
2
Lalu pantai pun beraroma hangat laut;
Seberang tiga padang sebelum sampai ladang;
Seketukan di jendela, menggores tajam kaca,
Dan sesemburan sinar biru: sebuah korek menyala,
Dan suara yang lebih lirih pekik girang dan gentarnya,
Lebih lirih dari jerit dua jantung bertukar debar.
Penari Spanyol
Sajak Rainer Maria Rilke
Bagai batangan korek di pegangan tangan, putih,
setiap ujungnya terbakar, lidah api menyambar
sebelum berkobar juga dalam debar nyala --: pada
lingkar pertama penyaksi mata, menderu, panas,
terang lepas, gerak tarian di tengah lingkaran itu
pun mulai menebar menyulut mata.
Segalanya terbakar sempurna, tiba-tiba saja.
Lewat kerling, ia sulutkan jua api di rambutnya,
menukar memutar segala: seni tari yang berani,
dia kenakan busana, hasrat hati yang menyala,
kedua lengan bangkit, menggapai, bertepukan
seperti ular yang tegak terperanjat.
Dan kemudian: ketika api kian berkobar menakutkan,
direnggutnya semua lalu membuang ke luar arena,
sepenuh yang ia kuasa, sepenuh bangga, gerak tubuh
angkuh, dan saksikanlah: dia berebah di sana,
menggerigis lantai dasar, masih berkobar menyala,
menyerah ia tak hendak---
Hingga ia percaya telah menaklukkan segalanya,
dan senyum yang mengajak, ditengadahnya wajah,
lalu memberi tanda dengan kaki yang kecil bertenaga.
SPANISH DANCER by Bob Rohm
Spanish Dancer
As a wooden match held in the hand, white,
on all its sides shoots flickering tongues
before it flashes into flame—: within the inner
circle of onlookers, hurried, hot, bright,
her dance in rounds begins to flicker and spread.
And suddenly, everything is completely fire.
One glance and she ignites her hair,
turning all at once with daring art
her entire dress into a passion of flame,
from which, like startled snakes,
the naked arms awake and reach out, clapping.
And then: as if the fire were growing scarce,
she takes it together and throws it off,
masterfully, with proud, imperious gestures,
and watches: it lies there raging on the ground,
still flaring up, refusing to give in—.
Till triumphantly, self-assured and with a sweet
welcoming smile, she raises her face,
then stamps it out with small, powerful feet.
Bagai batangan korek di pegangan tangan, putih,
setiap ujungnya terbakar, lidah api menyambar
sebelum berkobar juga dalam debar nyala --: pada
lingkar pertama penyaksi mata, menderu, panas,
terang lepas, gerak tarian di tengah lingkaran itu
pun mulai menebar menyulut mata.
Segalanya terbakar sempurna, tiba-tiba saja.
Lewat kerling, ia sulutkan jua api di rambutnya,
menukar memutar segala: seni tari yang berani,
dia kenakan busana, hasrat hati yang menyala,
kedua lengan bangkit, menggapai, bertepukan
seperti ular yang tegak terperanjat.
Dan kemudian: ketika api kian berkobar menakutkan,
direnggutnya semua lalu membuang ke luar arena,
sepenuh yang ia kuasa, sepenuh bangga, gerak tubuh
angkuh, dan saksikanlah: dia berebah di sana,
menggerigis lantai dasar, masih berkobar menyala,
menyerah ia tak hendak---
Hingga ia percaya telah menaklukkan segalanya,
dan senyum yang mengajak, ditengadahnya wajah,
lalu memberi tanda dengan kaki yang kecil bertenaga.
SPANISH DANCER by Bob Rohm
Spanish Dancer
As a wooden match held in the hand, white,
on all its sides shoots flickering tongues
before it flashes into flame—: within the inner
circle of onlookers, hurried, hot, bright,
her dance in rounds begins to flicker and spread.
And suddenly, everything is completely fire.
One glance and she ignites her hair,
turning all at once with daring art
her entire dress into a passion of flame,
from which, like startled snakes,
the naked arms awake and reach out, clapping.
And then: as if the fire were growing scarce,
she takes it together and throws it off,
masterfully, with proud, imperious gestures,
and watches: it lies there raging on the ground,
still flaring up, refusing to give in—.
Till triumphantly, self-assured and with a sweet
welcoming smile, she raises her face,
then stamps it out with small, powerful feet.
[Kata Pujangga] Puisi tak mengusik Inkuisisi, Thomas Hardy
Andai saja Galileo menyatakan dalam puisi bahwa bumi mengitari matahari, inkuisisi gereja mungkin tidak akan merasa terusik.
* Thomas Hardy, Penyair Amerika
Perlombaan Menulis Puisi
tentang Seorang Presiden
Sang penjaga kamar mayat
menulis sebaris kalimat:
Presiden adalah...(lalu
dia teringat, berpuluh mayat
tersimpan di ruang pendingin
tanpa nama, tak ada yang akan datang
menjemput, kecuali catatan sekadarnya,
sebab-sebab kematiannya). "Mereka
harus dimakamkan segera..."
Seorang penyiar radio digoda oleh
bait-bait puisi di benaknya. Lalu
dia menulis: Presiden adalah ...
(dia pun mengingat-ingat lagi,
kalimat-kalimat analisa para
pengamat yang dia wawancarai, dia
pun membayangkan lagi, wajah mereka
yang enggan menyebut nama sendiri,
yang berkata, "saya hanya menyimpan
satu suara, hanya satu suara, yang hendak
kuberikan nanti ketika kusebut sepasang
nama, nama yang tidak mengenal saya.
Setelah itu aku tak punya apa-apa."
Seorang anak TK, memainkan crayonnya
gambar manusia yang sangat sederhana.
Yang tidak merujuk ke siapa-siapa. Yang
tak bernama, dipenuhi seluruh warna.
Kepada ayahnya dia minta dituliskan
kata-kata: "Ini presiden kita..."
Ayahnya tertawa teringat puisi yang
hendak ditulisnya. Lalu berkata
kepada anakknya, "Aku kirim gambar
ini nanti ke panitia lomba mewarnai.
Semoga jurinya tidak buta warna."
April 2004
tentang Seorang Presiden
Sang penjaga kamar mayat
menulis sebaris kalimat:
Presiden adalah...(lalu
dia teringat, berpuluh mayat
tersimpan di ruang pendingin
tanpa nama, tak ada yang akan datang
menjemput, kecuali catatan sekadarnya,
sebab-sebab kematiannya). "Mereka
harus dimakamkan segera..."
Seorang penyiar radio digoda oleh
bait-bait puisi di benaknya. Lalu
dia menulis: Presiden adalah ...
(dia pun mengingat-ingat lagi,
kalimat-kalimat analisa para
pengamat yang dia wawancarai, dia
pun membayangkan lagi, wajah mereka
yang enggan menyebut nama sendiri,
yang berkata, "saya hanya menyimpan
satu suara, hanya satu suara, yang hendak
kuberikan nanti ketika kusebut sepasang
nama, nama yang tidak mengenal saya.
Setelah itu aku tak punya apa-apa."
Seorang anak TK, memainkan crayonnya
gambar manusia yang sangat sederhana.
Yang tidak merujuk ke siapa-siapa. Yang
tak bernama, dipenuhi seluruh warna.
Kepada ayahnya dia minta dituliskan
kata-kata: "Ini presiden kita..."
Ayahnya tertawa teringat puisi yang
hendak ditulisnya. Lalu berkata
kepada anakknya, "Aku kirim gambar
ini nanti ke panitia lomba mewarnai.
Semoga jurinya tidak buta warna."
April 2004
Monday, April 19, 2004
Sevilla, Lagu Kecil
Sajak Federico Garcia Lorca
    Ketika hari masih pagi lagi
di kebun jeruk, kebun rimbun.
Sewarna emas, lebah kecil,
terbang mencari sari madu.
    Dimanakah madu? Dimanakah?
    Madu ada di bunga biru,
Isabel.
Di bunga-bunga di sana,
bunga rosemary.
    (Kursi kecil emas
untuk orang Moor.
Kursi berhias kertas
untuk saudara sepupu.)
    Ketika hari masih pagi lagi
di kebun jeruk, kebun rimbun.
Little Song of Seville
    At the dawn of day
in the orange grove.
Little bees of gold
searching for honey.
    Where is the honey
then?
    It's in the flower of blue,
Isabel.
In the flower
there, of rosemary.
    (A little gold chair
for the Moor.
A tinsel chair
for his spouse.)
    At the dawn of day
in the orange grove.
    Ketika hari masih pagi lagi
di kebun jeruk, kebun rimbun.
Sewarna emas, lebah kecil,
terbang mencari sari madu.
    Dimanakah madu? Dimanakah?
    Madu ada di bunga biru,
Isabel.
Di bunga-bunga di sana,
bunga rosemary.
    (Kursi kecil emas
untuk orang Moor.
Kursi berhias kertas
untuk saudara sepupu.)
    Ketika hari masih pagi lagi
di kebun jeruk, kebun rimbun.
Little Song of Seville
    At the dawn of day
in the orange grove.
Little bees of gold
searching for honey.
    Where is the honey
then?
    It's in the flower of blue,
Isabel.
In the flower
there, of rosemary.
    (A little gold chair
for the Moor.
A tinsel chair
for his spouse.)
    At the dawn of day
in the orange grove.
Prelude
Sajak Federico Garcia Lorca
Belukar poplar tengah berluruhan,
menyisakan bagi kita: bayangan.
Belukar poplar tengah berluruhan,
menyisakan buat kita: hembusan
Sepoi yang terbungkus kafan
penuh sepanjang awang surga
Tapi, ada yang tertinggal mengapung
gema-gema suara sepanjang sungai.
Dunia: cacing-cacing yang bercaya
merasuk kepada kenangan masuk.
Dan jantung-jantung terkecil
tumbuh bertunasan di jemariku.
//
Prelude
(From Amor: with wings and arrows)
The poplar groves are going,
but leave us their reflection.
The poplar groves are going,
but leave us the breeze.
The breeze is shrouded
full length below the heavens.
But it has left there, floating,
its echoes on the rivers.
The world of the glow-worms
has pierced my memories.
And the tiniest of hearts
buds from my fingertips.
Belukar poplar tengah berluruhan,
menyisakan bagi kita: bayangan.
Belukar poplar tengah berluruhan,
menyisakan buat kita: hembusan
Sepoi yang terbungkus kafan
penuh sepanjang awang surga
Tapi, ada yang tertinggal mengapung
gema-gema suara sepanjang sungai.
Dunia: cacing-cacing yang bercaya
merasuk kepada kenangan masuk.
Dan jantung-jantung terkecil
tumbuh bertunasan di jemariku.
//
Prelude
(From Amor: with wings and arrows)
The poplar groves are going,
but leave us their reflection.
The poplar groves are going,
but leave us the breeze.
The breeze is shrouded
full length below the heavens.
But it has left there, floating,
its echoes on the rivers.
The world of the glow-worms
has pierced my memories.
And the tiniest of hearts
buds from my fingertips.
Bumi
Sajak Federico Garcia Lorca
Kita mengembara
menembus bayang maya
cermin tak berlapis perak,
menerobos cahaya kristal
tanpa gelap mega.
Bila bunga-bunga lili
telah bertumbuhan,
bila seluruh akar-akar
bertatapan dengan bintang
dan jenazah itu tak
memejamkan matanya,
kita tak ubahnya sekawanan angsa.
Lukisan Boo Ehrsam
Earth
We travel
over a mirror
without silver,
over a crystal
without cloud.
If the lilies were to grow
upside down,
is the roses were to grow
upside down,
if all the roots
were to face the stars
and the dead not shut
their eyes,
we would be like swans.
Kita mengembara
menembus bayang maya
cermin tak berlapis perak,
menerobos cahaya kristal
tanpa gelap mega.
Bila bunga-bunga lili
telah bertumbuhan,
bila seluruh akar-akar
bertatapan dengan bintang
dan jenazah itu tak
memejamkan matanya,
kita tak ubahnya sekawanan angsa.
Lukisan Boo Ehrsam
Earth
We travel
over a mirror
without silver,
over a crystal
without cloud.
If the lilies were to grow
upside down,
is the roses were to grow
upside down,
if all the roots
were to face the stars
and the dead not shut
their eyes,
we would be like swans.
Gambar Sebuah Taman II
Sajak Federico Garcia Lorca
Bulan mendamba lelaki
siapa dia bisa melupa?
Mimpi merasuki bumi
mengeras mengkristal.
Geram dan pucat pasi
mengharap laut jadi lelap
lalu menyisiri rambutnya
dengan tangis batu koral.
Ramput ikalnya bersinar
Siapa dia bisa melupa?
ada di dadanya seratus
bibir: sumber semata air.
Ada lembing raksasa
menderu memperisainya
Ada ombak tanpa gerak
laut datar tak beriak.
Tapi Bulan Sang Bulan
Bilakah dia datang lagi?
Tengok, tirai-tirai angin
gemetar tak juga berhenti.
Bulan mendamba lelaki
Siapa dia bisa melupa?
Mimpi merasuki bumi
mengeras mengkristal.
///
Print of the Garden II
The Moon widow
who could forget her?
Dreaming that Earth
might be crystal.
Furious and pallid
wishing the sea to sleep
combing her long hair
with cries of coral.
Her tresses of glass
who could forget them?
In her breast the hundred
lips of a fountain.
Spears of giant
surges guard her
by the still waves
of sea-flats.
But the Moon Moon
when will she return?
The curtain of wind
trembles without ceasing.
The Moon widow
who could forget her?
Dreaming that Earth
might be crystal.
Bulan mendamba lelaki
siapa dia bisa melupa?
Mimpi merasuki bumi
mengeras mengkristal.
Geram dan pucat pasi
mengharap laut jadi lelap
lalu menyisiri rambutnya
dengan tangis batu koral.
Ramput ikalnya bersinar
Siapa dia bisa melupa?
ada di dadanya seratus
bibir: sumber semata air.
Ada lembing raksasa
menderu memperisainya
Ada ombak tanpa gerak
laut datar tak beriak.
Tapi Bulan Sang Bulan
Bilakah dia datang lagi?
Tengok, tirai-tirai angin
gemetar tak juga berhenti.
Bulan mendamba lelaki
Siapa dia bisa melupa?
Mimpi merasuki bumi
mengeras mengkristal.
///
Print of the Garden II
The Moon widow
who could forget her?
Dreaming that Earth
might be crystal.
Furious and pallid
wishing the sea to sleep
combing her long hair
with cries of coral.
Her tresses of glass
who could forget them?
In her breast the hundred
lips of a fountain.
Spears of giant
surges guard her
by the still waves
of sea-flats.
But the Moon Moon
when will she return?
The curtain of wind
trembles without ceasing.
The Moon widow
who could forget her?
Dreaming that Earth
might be crystal.
[Ruang Renung # 73] Sang Mahapenyair
LALU lihatlah laut. Ia tidak sekedar gelora ombak. Tidak sekadar rumah bagi ikan dan hewan laut lainnya. Tidak sekadar tempat bagi kapal-kapal mengarung. Sang pencipta menyerahkannya kepada kita. Juga membebaskan kita memaknainya. Atau mengingkari. Tuhan tidak akan pernah menyesali. Ia sudah menggubah. Dan apa bedanya itu dengan puisi?
LALU lihatlah langit. Angin yang mengarak awan. Ada juga yang tersesat. Menyenggol daun yang memang sudah saatnya lepas dari tangkai. Lalu jatuh. Menyentuh pundak seseorang yang lewat di sana. Ada yang tersentuh dan memberi makna pada peristiwa sederhana itu. Dia menuliskan satu dua bait puisi. Yang dia lakukan sebenarnya adalah kepekaan menyalin sebuah puisi yang ditulis oleh Sang Mahapenyair. Bukankah kata Ralph Waldo Emerson, "hanya puisi yang mengilhami lahirnya puisi"? Bukankah kata Robert Browning, " Tuhan adalah dia yang Mahapenyair"?[hah]
Saturday, April 17, 2004
Habis Terang Terbitlah Silau
Dari Jepara ke Rembang
dia mencari, menapaki bayang
perempuan mati muda,
pada 24 tahun usianya.
Ada setumpuk surat-surat,
tersusun di atas makamnya.
Ada pesan yang harus ia catat
di batu nisannya: amplop dan
secatatan alamat yang dekat.
Mungkin ke sana, kemana
cita-cita akan ia kawatkan.
Dari Jepara ke Rembang
dia hendak melupakannya:
perempuan istri kedua,
yang melepaskan nyawa
ketika melahirkan putra.
Dia tersesat cerlang cahaya.
Silau yang merabunkan mata.
Sesudah kau berziarah
ke makam yang salah.
April 2004
dia mencari, menapaki bayang
perempuan mati muda,
pada 24 tahun usianya.
Ada setumpuk surat-surat,
tersusun di atas makamnya.
Ada pesan yang harus ia catat
di batu nisannya: amplop dan
secatatan alamat yang dekat.
Mungkin ke sana, kemana
cita-cita akan ia kawatkan.
Dari Jepara ke Rembang
dia hendak melupakannya:
perempuan istri kedua,
yang melepaskan nyawa
ketika melahirkan putra.
Dia tersesat cerlang cahaya.
Silau yang merabunkan mata.
Sesudah kau berziarah
ke makam yang salah.
April 2004
[Kata Pujangga] Penyair Pendusta, Jean Cocteau
SANG penyair adalah pendusta yang selalu berbicara kebenaran.
* Jean Cocteau (July 5, 1889 - October 11, 1963) penyair, novelis, dramawan, desainer dan pekerja film Prancis.
[Kata Pujangga] Kesepakatan dengan Puing Kamus, Gibran
PUISI adalah kesepakatan antara rasa gembira, sakit dan takjub, dengan puing-puing reruntuhan kamus.
* Kahlil Gibran, Penyair Lebanon
* Kahlil Gibran, Penyair Lebanon
Dead Poet Society*
Catatan Pinggir Goenawan Mohamad
SIAPA yang suka mencurigai dan melarang sajak, pergilah nonton Dead Poets Sicoety. Dan jangan tidur. Sebab di sana Tuan akan menyaksikan suatu kekuatan yang ganjil yang bernama puisi.
     Puisi dalam film ini, merupakan tokoh utama yang tidak tampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Semula anak-anak itu hidup dalam tertib. Kini mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik: keindahan, kebebsan, permainan, kegembiraan, impian, cinta dan akhirnya kematian.
     Tapi apa itu puisi, jangan minta definisi. Yang jelas, ia bukan hanya serangkaian kata-kata bagus, yang di Indonesia dulu disebut "syair". Konon, Boris Pasternak, penyair Rusia itu, pernah mengatakan apa arti puisi baginya, " Puisi adalah manis kacang kapri yang mencekik mati, air mata dunia di atas bahu." Dengan kata lain: sesuatu yang konkret, juga sesuatu yang intens.
     Tak mudah, memang, untuk memahami itu. Sebab, sebuah sajak yang indah seakan-akan selalu berakhir sebagai sebuah enigma, sebuah sihir, sebuah cerita misteri: penuh daya pukau tapi juga penuh kemungkinan. Di dalamnya rasa, renungan, dan rekaan bergelora, bebas, seperti kata hati yang tidak ditekan.
     Maka, ketika seorang guru muda (demikianlah kita lihat dalam film itu) datang ke sebuah sekolah tua dan memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya, yang terjadi adalah sebuah transformasi besar.
     Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka seakan-akan kena sulap dan terbawa masuk ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang dicemaskan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan yang basah, dan membayangkan bahwa mereka adalah anggota Dead Peots Society. Padahal, yang mereka ikuti adalah panggilan keprbadian mereka sendiri: mereka tak takut lagi menjelajah.
     Dalam sejarah kita, kita pun punya Dead Poets Society. Anggota awalnya adalah Rustam Effendi. Pada tahun 1924 penyair lakon Bebasari ini menulis sebuah sajak yang kemudian termahsyur: ia buang dan mungkiri aturan lama karena ia tak ingin mengikuti kekakangan sosial, karena ia hanya ingin mengikuti perasaan hatinya: "sebab laguku menurut sukma."
     Rustam Effendi, kemudian, tak hanya mau membebaskan diri dari aturan syair. Aturan itu adalah sisa tradisi yang membelenggu, cerminan sebuah masyarakat yang terpasung. Rustam Effendi pun kemudian menjadi seorang revolusioner. Ia ingin menggaribawahi pembangkangan itu, yang dimulai dengan puisi.
     Pada tahun 1936, S. Takdir Alisyahbana memproklamasikan pembangkangan yang lain: ia menyatakan akan meninggalkan alam kehidupan yang tenteram. Kehidupan lama itu baginya seperti "tasik yang tenang tiada beriak" yang "diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan." Alam yang tak mencekik, memang, tapi tak lagi memuaskan. Di dalam ketenangan itu, jiwa sang penyair justru gelisah. "Gunung pelindung rasa penghalang," katanya dalam sajak Menuju ke Laut. Maka, hatinya pun "berontak", "hendak bebas" dan "menyerang segala apa menghadang". Takdir memulai suatu eksplorasi ke arah Indonesia yang lebih dinamis.
     Dan itu tak berhenti padanya. Di awal 40-an, ada Chairil Anwar. Kita semua tahu bagaimana penyair itu menamakan dirinya "binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kita juga ingat bagaimana dia berseru agar para penulis menggores dan membedah segalanya, sebab tak ada tabu dan tak bisa disentuh, "juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati!"
     Siapa yang suka mencemaskan puisi, baiklah kita ingatkan: Chairil adalah anggota terkemuka Dead Poets Society. Ia memang berbahaya, tapi siapa yang bisa membantah bahwa ia telah memberi inspirasi kepada banyak orang? Setelah Chairil, tema pembangkangan dan pembebasan tetap kembali, dan inspirasi itu bangkit terus. Rendra mengelu-elukan figur "orang urakan", orang yang menampik konvensi umum. Sutardji Calzhoum Bachri membebaskan kata dari ikatan kebersamaan bahasa --- kebersamaan yang ditentukan kamus.
     Mungkin karena itulah, ada orang mencurigai keberandalan puisi. Ada orang (antara lain Stalin) yang menyensor sajak dan memenjarakan penyair. Ada mereka yang ibarat Khattam-Shud dalam cerita Salman Rushdie, Haroun adn The Sea of Stories.
     Dalam dongeng yang penuh makna ini, Khattam-Shud adalah penguasa Tanah Chud yang kelam, dengan para pengikut yang fanatik yang bersumpah membisu. Mereka menampik kata, memusuhi bahasa, membekukan sastra. Khattam-Shud dan pengikutnya bekerja 24 jam meracuni Lautan Cerita karena ia membenci cerita. "Padahal dunia tidak dimaksudkan untuk kegembiraan.... Dunia adalah untuk Pengontrolan."
     Siapa yang mengontrol puisi.
15 Desember 1990
* Dari buku Catatan Pinggir 4 (Pustaka Utama Grafiti, 1995)
SIAPA yang suka mencurigai dan melarang sajak, pergilah nonton Dead Poets Sicoety. Dan jangan tidur. Sebab di sana Tuan akan menyaksikan suatu kekuatan yang ganjil yang bernama puisi.
     Puisi dalam film ini, merupakan tokoh utama yang tidak tampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Semula anak-anak itu hidup dalam tertib. Kini mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik: keindahan, kebebsan, permainan, kegembiraan, impian, cinta dan akhirnya kematian.
     Tapi apa itu puisi, jangan minta definisi. Yang jelas, ia bukan hanya serangkaian kata-kata bagus, yang di Indonesia dulu disebut "syair". Konon, Boris Pasternak, penyair Rusia itu, pernah mengatakan apa arti puisi baginya, " Puisi adalah manis kacang kapri yang mencekik mati, air mata dunia di atas bahu." Dengan kata lain: sesuatu yang konkret, juga sesuatu yang intens.
     Tak mudah, memang, untuk memahami itu. Sebab, sebuah sajak yang indah seakan-akan selalu berakhir sebagai sebuah enigma, sebuah sihir, sebuah cerita misteri: penuh daya pukau tapi juga penuh kemungkinan. Di dalamnya rasa, renungan, dan rekaan bergelora, bebas, seperti kata hati yang tidak ditekan.
     Maka, ketika seorang guru muda (demikianlah kita lihat dalam film itu) datang ke sebuah sekolah tua dan memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya, yang terjadi adalah sebuah transformasi besar.
     Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka seakan-akan kena sulap dan terbawa masuk ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang dicemaskan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan yang basah, dan membayangkan bahwa mereka adalah anggota Dead Peots Society. Padahal, yang mereka ikuti adalah panggilan keprbadian mereka sendiri: mereka tak takut lagi menjelajah.
     Dalam sejarah kita, kita pun punya Dead Poets Society. Anggota awalnya adalah Rustam Effendi. Pada tahun 1924 penyair lakon Bebasari ini menulis sebuah sajak yang kemudian termahsyur: ia buang dan mungkiri aturan lama karena ia tak ingin mengikuti kekakangan sosial, karena ia hanya ingin mengikuti perasaan hatinya: "sebab laguku menurut sukma."
     Rustam Effendi, kemudian, tak hanya mau membebaskan diri dari aturan syair. Aturan itu adalah sisa tradisi yang membelenggu, cerminan sebuah masyarakat yang terpasung. Rustam Effendi pun kemudian menjadi seorang revolusioner. Ia ingin menggaribawahi pembangkangan itu, yang dimulai dengan puisi.
     Pada tahun 1936, S. Takdir Alisyahbana memproklamasikan pembangkangan yang lain: ia menyatakan akan meninggalkan alam kehidupan yang tenteram. Kehidupan lama itu baginya seperti "tasik yang tenang tiada beriak" yang "diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan." Alam yang tak mencekik, memang, tapi tak lagi memuaskan. Di dalam ketenangan itu, jiwa sang penyair justru gelisah. "Gunung pelindung rasa penghalang," katanya dalam sajak Menuju ke Laut. Maka, hatinya pun "berontak", "hendak bebas" dan "menyerang segala apa menghadang". Takdir memulai suatu eksplorasi ke arah Indonesia yang lebih dinamis.
     Dan itu tak berhenti padanya. Di awal 40-an, ada Chairil Anwar. Kita semua tahu bagaimana penyair itu menamakan dirinya "binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kita juga ingat bagaimana dia berseru agar para penulis menggores dan membedah segalanya, sebab tak ada tabu dan tak bisa disentuh, "juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati!"
     Siapa yang suka mencemaskan puisi, baiklah kita ingatkan: Chairil adalah anggota terkemuka Dead Poets Society. Ia memang berbahaya, tapi siapa yang bisa membantah bahwa ia telah memberi inspirasi kepada banyak orang? Setelah Chairil, tema pembangkangan dan pembebasan tetap kembali, dan inspirasi itu bangkit terus. Rendra mengelu-elukan figur "orang urakan", orang yang menampik konvensi umum. Sutardji Calzhoum Bachri membebaskan kata dari ikatan kebersamaan bahasa --- kebersamaan yang ditentukan kamus.
     Mungkin karena itulah, ada orang mencurigai keberandalan puisi. Ada orang (antara lain Stalin) yang menyensor sajak dan memenjarakan penyair. Ada mereka yang ibarat Khattam-Shud dalam cerita Salman Rushdie, Haroun adn The Sea of Stories.
     Dalam dongeng yang penuh makna ini, Khattam-Shud adalah penguasa Tanah Chud yang kelam, dengan para pengikut yang fanatik yang bersumpah membisu. Mereka menampik kata, memusuhi bahasa, membekukan sastra. Khattam-Shud dan pengikutnya bekerja 24 jam meracuni Lautan Cerita karena ia membenci cerita. "Padahal dunia tidak dimaksudkan untuk kegembiraan.... Dunia adalah untuk Pengontrolan."
     Siapa yang mengontrol puisi.
* Dari buku Catatan Pinggir 4 (Pustaka Utama Grafiti, 1995)
Thursday, April 15, 2004
Lucía Martínez
Sajak Federico Garcia Lorca
Lucia Martinez.
Membayang dalam merah sutra.
Kedua pahanya, seperti senja,
beranjak dari terang ke remang.
Pendar urat darah yang terhalang
Mengelamkan engkau, magnolia
Ini aku disini, Lucia Martinez.
Datang merakusi mulutmu
Dan merengkuhmu seluruh
semula pada rambut sehingga
ke awal waktu serelung hewan samudera.
Sebab aku hendak, sebab aku sanggup.
Membayang dalam merah sutra.
Lucía Martínez
Lucía Martínez.
Shadowy in red silk.
Your thighs, like the evening,
go from light to shadow.
The hidden veins of jet
darken your magnolias.
Here I am, Lucía Martínez.
I come to devour your mouth
and drag you off by the hair
into the dawn of conches.
Because I want to, because I can.
Shadowy in red silk.
Lucia Martinez.
Membayang dalam merah sutra.
Kedua pahanya, seperti senja,
beranjak dari terang ke remang.
Pendar urat darah yang terhalang
Mengelamkan engkau, magnolia
Ini aku disini, Lucia Martinez.
Datang merakusi mulutmu
Dan merengkuhmu seluruh
semula pada rambut sehingga
ke awal waktu serelung hewan samudera.
Sebab aku hendak, sebab aku sanggup.
Membayang dalam merah sutra.
Lucía Martínez
Lucía Martínez.
Shadowy in red silk.
Your thighs, like the evening,
go from light to shadow.
The hidden veins of jet
darken your magnolias.
Here I am, Lucía Martínez.
I come to devour your mouth
and drag you off by the hair
into the dawn of conches.
Because I want to, because I can.
Shadowy in red silk.
Berlari
Sajak Federico Garcia Lorca
Yang pergi mengembara
adalah dia: awan itu juga.
Arus yang berlari menerjang
tak sanggup menemui bintang
Yang pergi mengembara
dirinya sendiri pun terlupa.
Dan yang singgah sementara
adalah dia: mimpi itu juga.
Running
That which travels
clouds itself.
The running water
can see no stars.
That which travels
forgets itself.
And that which halts itself
dreams.
Yang pergi mengembara
adalah dia: awan itu juga.
Arus yang berlari menerjang
tak sanggup menemui bintang
Yang pergi mengembara
dirinya sendiri pun terlupa.
Dan yang singgah sementara
adalah dia: mimpi itu juga.
Running
That which travels
clouds itself.
The running water
can see no stars.
That which travels
forgets itself.
And that which halts itself
dreams.
Menjelangmu
Sajak Federico Garcia Lorca
     
      Hati!
      Bertukarlah,
     Ubah arah.
Menembus belantara cinta
tak seorang pun kelak kau jumpa.
Mata air pun hendak kering tak tersisa.
Pada hijau warna-warna
Ada yang Senantiasa ada:
mawar menunggumu, sepadang bunga.
Dan kau akan berkata: 'Cinta! Cinta!
tanpa sayatmu luka
tak ada yang terbuka.
      Hati!
      Bertukarlah,
     Ubah arah.
Towards
      Turn,
     Heart!
     Turn.
Through the woods of love
you will see no one.
You will pour out bright fountains.
In the green
you will find the immense rose
of Always.
And you will say: 'Love! Love!
without your wound
being closed.
     Turn,
     Heart!
     Turn.
     
      Hati!
      Bertukarlah,
     Ubah arah.
Menembus belantara cinta
tak seorang pun kelak kau jumpa.
Mata air pun hendak kering tak tersisa.
Pada hijau warna-warna
Ada yang Senantiasa ada:
mawar menunggumu, sepadang bunga.
Dan kau akan berkata: 'Cinta! Cinta!
tanpa sayatmu luka
tak ada yang terbuka.
      Hati!
      Bertukarlah,
     Ubah arah.
Towards
      Turn,
     Heart!
     Turn.
Through the woods of love
you will see no one.
You will pour out bright fountains.
In the green
you will find the immense rose
of Always.
And you will say: 'Love! Love!
without your wound
being closed.
     Turn,
     Heart!
     Turn.
Tersebab
Dari Syair Lagu Because
(Lennon/McCartney)
Ah, tersebab berputar dunia
Aku pun terlecut cambuknya
tersebab berputar juga dunia
Ah, tersebab angin meninggi
ini benakku pun terhembusi
tersebab angin itu meninggi
Ah, cinta renta, cinta belia
Cinta segala, engkau juga.
Tersebab langit itu biru
Aku pun menangisimu
tersebab langit itu biru.
(Lennon/McCartney)
Ah, tersebab berputar dunia
Aku pun terlecut cambuknya
tersebab berputar juga dunia
Ah, tersebab angin meninggi
ini benakku pun terhembusi
tersebab angin itu meninggi
Ah, cinta renta, cinta belia
Cinta segala, engkau juga.
Tersebab langit itu biru
Aku pun menangisimu
tersebab langit itu biru.
Wednesday, April 14, 2004
Pemandu Wisata
/1/
ke kota ini
datanglah sebagai lelaki
dengan kelicikan berdusta
dan keberanian berdosa: keduanya
kau tenteng di tangan kiri saja.
dan
masukkanlah
tangan kananmu ke saku celana
periksa masihkah ada birahi di sana, juga
seberapa banyak kartu kau punya: keduanya
menentukan seberapa busukkah permainan
dan tipuan yang kami bisa tawarkan.
/2/
di kota ini
menangislah di ruang tunggu bandara
sebelum menit-menit berangkat atau
ketika kau baru saja tiba.
setelah itu:
kau tidak akan sempat bertanya,
kami akan menutup mata Anda
dan memandu setiap tamu
ke tempat-tempat yang sudah
menyediakan jawaban pura-pura
(dusta yang instant, tentu saja).
April 2004
ke kota ini
datanglah sebagai lelaki
dengan kelicikan berdusta
dan keberanian berdosa: keduanya
kau tenteng di tangan kiri saja.
dan
masukkanlah
tangan kananmu ke saku celana
periksa masihkah ada birahi di sana, juga
seberapa banyak kartu kau punya: keduanya
menentukan seberapa busukkah permainan
dan tipuan yang kami bisa tawarkan.
/2/
di kota ini
menangislah di ruang tunggu bandara
sebelum menit-menit berangkat atau
ketika kau baru saja tiba.
setelah itu:
kau tidak akan sempat bertanya,
kami akan menutup mata Anda
dan memandu setiap tamu
ke tempat-tempat yang sudah
menyediakan jawaban pura-pura
(dusta yang instant, tentu saja).
April 2004
Sam Haidy
AKULAH SANG SINGA LAUT
Aku adalah dia,
seperti kamu adalah dia,
seperti kamu adalah aku,
seperti kita bersama-sama.
Lihatlah mereka berlarian,
bagai babi diburu senapan,
lihatlah mereka terbang,
air mataku berlinang.
Duduk diatas serpihan jagung,
menunggu datang sebuah jemputan.
Bersetelan campur aduk,
di selasa berdarah yang terkutuk,
hey bung, kau sudang seperti lelaki jalang,
kau biarkan muka memanjang!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
Di kota tuan, kota kebijaksanaan,
polisi cantik nan mungil berdiri di jalan.
Lihatlah mereka terbang,
bagai Lucy di awang-awang*,
lihatlah mereka berlarian,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang...
Lelehan podeng kuning,
menetes dari mata bangkai seekor anjing.
Umpatan sang istri nelayan,
para nabi kecabulan,
hey bung, kau sudah seperti wanita jalang,
kau biarkan celanamu digerayang!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
Duduk di sebuah kebun Inggris Raya,
menunggu matahari tampakkan muka.
Jika dia tak kunjung datang,
kulitmu berganti coklat matang,
berdiri didera hujan Inggris Raya!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut
Penyair licik, perokok tercekik,
kau pikir buat siapa badut bercekikik?
lihatlah mereka tersenyum senang,
bagai babi dalam kandang,
lihatlah mereka menyeringai,
air mataku terurai...
Ikan-ikan semolina,
memanjati eiffel, merayapi menara.
Penguin amatir melagukan HARE KRISHNA,
bung, seharusnya kau lihat mereka sebelumnya,
saat menendang Edgar Allan Poe di pantatnya!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
*Langit (bhs.sunda)
(Terjemahan dari lagu I AM THE WALRUS-nya The Beatles, pada
album MAGICAL MYSTERY TOUR)
AKULAH SANG SINGA LAUT
Aku adalah dia,
seperti kamu adalah dia,
seperti kamu adalah aku,
seperti kita bersama-sama.
Lihatlah mereka berlarian,
bagai babi diburu senapan,
lihatlah mereka terbang,
air mataku berlinang.
Duduk diatas serpihan jagung,
menunggu datang sebuah jemputan.
Bersetelan campur aduk,
di selasa berdarah yang terkutuk,
hey bung, kau sudang seperti lelaki jalang,
kau biarkan muka memanjang!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
Di kota tuan, kota kebijaksanaan,
polisi cantik nan mungil berdiri di jalan.
Lihatlah mereka terbang,
bagai Lucy di awang-awang*,
lihatlah mereka berlarian,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang,
air mataku berlinang...
Lelehan podeng kuning,
menetes dari mata bangkai seekor anjing.
Umpatan sang istri nelayan,
para nabi kecabulan,
hey bung, kau sudah seperti wanita jalang,
kau biarkan celanamu digerayang!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
Duduk di sebuah kebun Inggris Raya,
menunggu matahari tampakkan muka.
Jika dia tak kunjung datang,
kulitmu berganti coklat matang,
berdiri didera hujan Inggris Raya!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut
Penyair licik, perokok tercekik,
kau pikir buat siapa badut bercekikik?
lihatlah mereka tersenyum senang,
bagai babi dalam kandang,
lihatlah mereka menyeringai,
air mataku terurai...
Ikan-ikan semolina,
memanjati eiffel, merayapi menara.
Penguin amatir melagukan HARE KRISHNA,
bung, seharusnya kau lihat mereka sebelumnya,
saat menendang Edgar Allan Poe di pantatnya!
Aku terbungkus cangkang,
mereka terbungkus cangkang,
akulah sang singa laut!
*Langit (bhs.sunda)
(Terjemahan dari lagu I AM THE WALRUS-nya The Beatles, pada
album MAGICAL MYSTERY TOUR)
[Renung # 72] Berkarya = Melawan*
    Kerja kreatif adalah perlawanan yang terus menerus. Pemberontakan yang tidak pernah putus. Perlawanan dan pemberontakan terhadap kemapanan. Jika itu tidak kita lakukan maka hasilnya adalah karya yang terseret arus. Kita tidak akan sampai di mana-mana. Cuma akan mengambang saja nanti di muara. Kita harus melawan kemapanan, juga yang bernama tren. Pilihannya cuma dua, kita lawan arus atau kita ciptakan arus sendiri.
    Kita harus memberontak juga terhadap diri kita sendiri. Juga terhadap pencapaian yang sudah kita dapatkan. Kemapanan adalah jebakan. Rasa puas adalah kuburan. Dan apabila kita kehilangan semangat untuk terus mencari dan menjelajah artinya kreativitas kita telah jadi jompo. Seorang jompo hanya akan duduk di kursi malas mengenang kejayaan masa lalu yang mengelabui. Jangan bangga bila jalan kita diikuti oleh lain yang datang belakangan, banggalah apabila karya kita mengilhami perlawanan-perlawanan, banggalah bila kita berhasil menggoda orang lain untuk memberontak kepada kita.[hah]
* Ringkasan dan pengembangan dari materi saat tampil sebagai narasumber dalam Talk Show Pelantar Gading di Batam TV, Rabu 18.00 hingga 19.00 WIB. Tema: Sastra Perlawanan, pewawancara: Samson Rambahpasir.
    Kita harus memberontak juga terhadap diri kita sendiri. Juga terhadap pencapaian yang sudah kita dapatkan. Kemapanan adalah jebakan. Rasa puas adalah kuburan. Dan apabila kita kehilangan semangat untuk terus mencari dan menjelajah artinya kreativitas kita telah jadi jompo. Seorang jompo hanya akan duduk di kursi malas mengenang kejayaan masa lalu yang mengelabui. Jangan bangga bila jalan kita diikuti oleh lain yang datang belakangan, banggalah apabila karya kita mengilhami perlawanan-perlawanan, banggalah bila kita berhasil menggoda orang lain untuk memberontak kepada kita.[hah]
* Ringkasan dan pengembangan dari materi saat tampil sebagai narasumber dalam Talk Show Pelantar Gading di Batam TV, Rabu 18.00 hingga 19.00 WIB. Tema: Sastra Perlawanan, pewawancara: Samson Rambahpasir.
[Tentang Puisi] Anak yang tak Beribubapa, Charles Simic
PUISI adalah anak-anak kesunyian yang tak beribubapa. Kata-kata tak pernah bisa sepenuhnya mewakili pengalaman yang hendak diungkapkannya.
* Charles Simic adalah Penyair Amerika kelahiran Yugoslavia.
Semangka
Sajak Charles Simic
Hijau warna Sang Buddha,
di keranjang buah-buahan.
Kita mengunyah senyumnya,
Dan giginya kita ludahkan.
Hijau warna Sang Buddha,
di keranjang buah-buahan.
Kita mengunyah senyumnya,
Dan giginya kita ludahkan.
Tuesday, April 13, 2004
Sajak Nanang Suryadi
Seperti Puisi Yang Selalu Merindukanmu
: ha
selalu saja puisi itu merindu,
di sela-sela kepenatan harimu
ia menyelinap
kabarkan kesunyian
seorang penyair
menelusur huruf
pada sayap kupu
pada hening kepompong
pada geliat ulat
dan ketiadaan
* Dari blog seorang sahabat: Nanang Suryadi
Seperti Puisi Yang Selalu Merindukanmu
: ha
selalu saja puisi itu merindu,
di sela-sela kepenatan harimu
ia menyelinap
kabarkan kesunyian
seorang penyair
menelusur huruf
pada sayap kupu
pada hening kepompong
pada geliat ulat
dan ketiadaan
* Dari blog seorang sahabat: Nanang Suryadi
Monday, April 12, 2004
Papa... Deja Sortie
Kepada Sobron Aidit
   SAYA anak negeri Indonesia yang lahir awal 70-an, sedang membaca buku Anda Razia Agustus (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004). Belum tamat memang. Baru tiga cerita pendek dalam buku itu yang selesai, Razia Agustus, Bang Amat dan Ziarah. Saya merasa sedang membaca sisi lain dari sejarah negeri ini. Sejarah bagi generasi kami diajarkan bukan seperti sebuah pemandangan yang dihamparkan apa adanya. Kami, oleh guru-guru yang sudah dibentuk pola pikirnya oleh kurikulum negara tidak pernah diajari untuk jadi dewasa lalu bisa menjadi bijak ketika menyikapi lanskap sejarah yang apa adanya itu. Sejarah bagi kami diajarkan seperti petunjuk mengemudi, penuh rambu, peringatan dan petunjuk.
   BANG Amat yang Anda ceritakan dalam buku kumpulan cerita pendek itu tidak pernah kami baca sebagai seorang manusia yang utuh. Dia dimonsterkan oleh pelajaran sejarah kami. Dia sampai kepada kami sebagai tokoh yang tidak punya masa lalu. Juga tokoh-tokoh lainnya. Ada bagian dalam ingatan negeri ini yang hendak atau sudah dihapus. Dan upaya itu berhasil. Terutama pada generasi kami. Karena itu cerita Anda membangkitkan simpati saya. Ini juga tidak diajarkan kepada kami. Bagaimana bersimpati kepada manusia pelaku sejarahnya, sambil membaca sejarah dengan apa adanya.
   PAPA Sobron, baiknya aku memanggilmu begitu saja. Seperti dalam salah satu cerita pendekmu dalam buku itu: Papa... Deja Sortie. Seperti itulah juga, aku ingin membuat pengandaian seteleh membaca ceritamu. Seperti ada yang terlepas, sesuatu yang lama kuderita: ketidaktahuan, kebodohan kami yang memang dikehendaki terjadi di negeri ini. Ceritamu, Papa Sobron, bukan sebuah operasi besar memang, hanya sebuah terapi tusuk jarum yang ah... kau sendiri tak yakin apakah memang itu yang menyembuhkan? Tapi, Papa, memang ada yang berubah dalam anatomi ingatanku setelah aku membacanya dan aku berseru:...Deja Sortie!
    Mana yang rekaan dalam cerita-ceritamu? Pertanyaan ini mengusik-usik juga. Jawabku sendiri: dengan hidup yang sedemikian berat, pelik -- dan karenanya teramat menarik dan berharga untuk dituliskan -- kau memang tidak perlu membancuhnya dengan imajinasi. Walaupun, Papa, ada beberapa cerita dalam bukumu itu harus aku baca seperti fragmen tulisan dalam buku best seller A Cup of Chicken Soup for The Soul. Kisah nyata yang menyentuh dan menghangatkan jiwa saya.[hah]
Sunday, April 11, 2004
Dongengan Kenyataan
Mari kulukiskan
alismu adalah jalan
membimbing langkahku
tersesat ke kelam katamu.
Aku setuju, ketika kau
tergesa menyimpulkan:
Ini dongengan kenyataan.
Mari kita selesaikan
kukenang wajahmu muram
semurung degup terkurung
di dalam satu-satunya jantung.
Mengalir ke nadiku sembilan sembilu,
sampai ke hatimu seragut ragu-ragu.
Aku setuju ketika kau
menyebut menyimpulkan:
Ini dongengan kenyataan.
April 2004
alismu adalah jalan
membimbing langkahku
tersesat ke kelam katamu.
Aku setuju, ketika kau
tergesa menyimpulkan:
Ini dongengan kenyataan.
Mari kita selesaikan
kukenang wajahmu muram
semurung degup terkurung
di dalam satu-satunya jantung.
Mengalir ke nadiku sembilan sembilu,
sampai ke hatimu seragut ragu-ragu.
Aku setuju ketika kau
menyebut menyimpulkan:
Ini dongengan kenyataan.
April 2004
[Tentang Puisi] Teks Dasar Puisi, Octavio Paz
SUREALISME bukan aliran dalam sajak, tapi sebuah gerakan kebebasan... Sebuah jalan menemukan kembali bahasa yang polos, pembaharuan kenyataan asali, puisi adalah teks dasar, bangunan dasar dari keberadaan manusia. Surealisme itu revolusioner karena ia membawa kembali ke titik awal: sumber dari seluruh asal mula.
Sajak Mencari Judul
Lalu, hanya ada sebisik kata yang tersisa.
Itupun tak cukup untuk mulai menuliskan,
sekalipun sebuah sajak paling sederhana.
Pena di tangan masih erat. Ia pertahankan.
Semua memang senantiasa meragukan:
peta tanpa arah utara, rambu berdusta,
dan pemandu yang pulang berbalik jalan,
setelah memberi peringatan, "Tidak ada!"
Dia menoleh lagi ke bawah ke kaki sendiri.
Mengingat-ingat ketika langkah pertama.
Perjalanan dari sepatu ke sepatu. Kembali?
Masih jauh. Sebab malam masih 'kan lama....
April 2004
Itupun tak cukup untuk mulai menuliskan,
sekalipun sebuah sajak paling sederhana.
Pena di tangan masih erat. Ia pertahankan.
Semua memang senantiasa meragukan:
peta tanpa arah utara, rambu berdusta,
dan pemandu yang pulang berbalik jalan,
setelah memberi peringatan, "Tidak ada!"
Dia menoleh lagi ke bawah ke kaki sendiri.
Mengingat-ingat ketika langkah pertama.
Perjalanan dari sepatu ke sepatu. Kembali?
Masih jauh. Sebab malam masih 'kan lama....
April 2004
[Tentang Puisi] Walt Whitman di Mata Oscar Wilde
Meski dia kerap dan sangat menolak seni, Walt Whitman adalah seniman. Dia mencoba menghasilkan sebuah pengaruh tertentu dan dengan makna tertentu dan dia berhasil melakukan itu... Dia berdiri terpisah, nilai utama dari karyanya adalah penerawangannya bukan pada penampilannya. Dia sudah memulakan sebuah prelude bagi banyak tema puisi. Dia adalah bentara dari sebuah era. Dia adalah pendahulu sejenis manusia baru. Dia adalah penentu evolusi heroik dan spiritual kemanusiaan. Kalau Puisi mengabaikannya, maka Filosofi yang akan memberinya catatan.
Wednesday, April 7, 2004
[Ruang Renung # 71] Apakah Puisi?
Apakah puisi?
Saya tidak bisa dan tidak ingin menjawabnya. Sebab puisi sendiri bagi saya adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban. Puisi bagi saya juga adalah sejumlah pertanyaan yang menggugat jawaban-jawaban yang sudah dianggap selesai. Dalam sebuah jawaban yang tuntas, puisi seperti masuk perangkap. Dia tak bisa kemana-mana lagi. Dia terjepit, tak berdaya dan akhirnya mati. Karena itu puisi bagi saya juga upaya untuk membebaskan jawaban tadi dengan pertanyaan-pertanyaan baru.
Apakah puisi?
Saya bisa dan ingin menjawabnya dengan cara ini: menuliskan terus puisi-puisi. Karena, bagi saya, dengan cara itulah puisi sebaiknya diberi jawaban. Setiap puisi yang selesai ditulis adalah jawaban atas pertanyaan 'apakah puisi?'. Karenanya, saya sendiri tak henti menanyakan itu kepada diri saya sendiri, sebab saya tak ingin berhenti menulis puisi.[hah]
Saya tidak bisa dan tidak ingin menjawabnya. Sebab puisi sendiri bagi saya adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban. Puisi bagi saya juga adalah sejumlah pertanyaan yang menggugat jawaban-jawaban yang sudah dianggap selesai. Dalam sebuah jawaban yang tuntas, puisi seperti masuk perangkap. Dia tak bisa kemana-mana lagi. Dia terjepit, tak berdaya dan akhirnya mati. Karena itu puisi bagi saya juga upaya untuk membebaskan jawaban tadi dengan pertanyaan-pertanyaan baru.
Apakah puisi?
Saya bisa dan ingin menjawabnya dengan cara ini: menuliskan terus puisi-puisi. Karena, bagi saya, dengan cara itulah puisi sebaiknya diberi jawaban. Setiap puisi yang selesai ditulis adalah jawaban atas pertanyaan 'apakah puisi?'. Karenanya, saya sendiri tak henti menanyakan itu kepada diri saya sendiri, sebab saya tak ingin berhenti menulis puisi.[hah]
Lagu Bocah Berhati Tujuh
Sajak Federico Garcia Lorca
Ada tujuh hati
kupegangi.
Tapi milikku tak menjumpainya.
Di pegunungan tinggi, Ibu,
angin dan aku berlarian bersusulan.
Tujuh perawan berjemari panjang
menarik tanganku ke depan kaca.
Kupersembahkan nyanyi bagi dunia
dengan mulutku tujuh daun bunga.
Kecil perahuku bunga amarant
Jauh sudah hanyut tak berdayung bertali.
Aku tinggal di sini, di pulau
yang lain, ada Rahasia
di seputar rongga tenggorokan,
tanpa kusadari ia, telah terbuka!
Di pegunungan tinggi, Ibu,
(hatiku berkudung gema-gema
dalam ruang kosong sekerlip bintang)
angin dan aku berlarian bersusulan.
Ada tujuh hati
kupegangi.
Tapi milikku tak menjumpainya.
---
Song of the Boy with Seven Hearts
Seven hearts
I hold.
But mine does not encounter them.
In the high mountains, mother,
the wind and I ran into each other.
Seven young girls with long fingers
carried me on their mirrors.
I have sung through the world
with my mouth of seven petals.
My galleys of amaranth
have gone without ropes or oars.
I have lived in the lands
of others, My secrets
round my throat,
without my realising it, were open!
In the high mountains, mother,
(my heart above the echoes
in the album of a star)
the wind and I ran into each other.
Seven hearts
I hold.
But mine does not encounter them.
Ada tujuh hati
kupegangi.
Tapi milikku tak menjumpainya.
Di pegunungan tinggi, Ibu,
angin dan aku berlarian bersusulan.
Tujuh perawan berjemari panjang
menarik tanganku ke depan kaca.
Kupersembahkan nyanyi bagi dunia
dengan mulutku tujuh daun bunga.
Kecil perahuku bunga amarant
Jauh sudah hanyut tak berdayung bertali.
Aku tinggal di sini, di pulau
yang lain, ada Rahasia
di seputar rongga tenggorokan,
tanpa kusadari ia, telah terbuka!
Di pegunungan tinggi, Ibu,
(hatiku berkudung gema-gema
dalam ruang kosong sekerlip bintang)
angin dan aku berlarian bersusulan.
Ada tujuh hati
kupegangi.
Tapi milikku tak menjumpainya.
---
Song of the Boy with Seven Hearts
Seven hearts
I hold.
But mine does not encounter them.
In the high mountains, mother,
the wind and I ran into each other.
Seven young girls with long fingers
carried me on their mirrors.
I have sung through the world
with my mouth of seven petals.
My galleys of amaranth
have gone without ropes or oars.
I have lived in the lands
of others, My secrets
round my throat,
without my realising it, were open!
In the high mountains, mother,
(my heart above the echoes
in the album of a star)
the wind and I ran into each other.
Seven hearts
I hold.
But mine does not encounter them.
Venus
(Maka Tampak Kau di Mataku)
Sajak Federico Garcia Lorca
Gadis yang muda itu mati seorang
pada ranjang cangkang kerang,
sepoi angin dan bunga telanjang
mawar kembang, tak habis terang.
Dunia tercampak di belakang,
kapas bunga lili, dan bayang-bayang,
menguak diri pada kristal lulungkang*,
yang tak terhingga singgah datang.
Gadis yang muda itu mati seorang,
tergali tertimbun kasih sayang.
Diantara lembaran busa mengambang
terbasuh basah, rambutnya panjang.
* Lulungkang = Jendela (Bahasa Banjar)
Venus
(So I saw you)
The young girl dead
in the seashell of the bed,
naked of flowers and breezes
rose in the light unending.
The world was left behind,
lily of cotton and shadows,
revealing in crystal panes
the infinite transit's coming.
The young girl dead,
ploughed love inside.
Among the foaming sheets
her hair was wasted.
Sajak Federico Garcia Lorca
Gadis yang muda itu mati seorang
pada ranjang cangkang kerang,
sepoi angin dan bunga telanjang
mawar kembang, tak habis terang.
Dunia tercampak di belakang,
kapas bunga lili, dan bayang-bayang,
menguak diri pada kristal lulungkang*,
yang tak terhingga singgah datang.
Gadis yang muda itu mati seorang,
tergali tertimbun kasih sayang.
Diantara lembaran busa mengambang
terbasuh basah, rambutnya panjang.
* Lulungkang = Jendela (Bahasa Banjar)
Venus
(So I saw you)
The young girl dead
in the seashell of the bed,
naked of flowers and breezes
rose in the light unending.
The world was left behind,
lily of cotton and shadows,
revealing in crystal panes
the infinite transit's coming.
The young girl dead,
ploughed love inside.
Among the foaming sheets
her hair was wasted.
Tuesday, April 6, 2004
Sebabak Drama
pada Suatu Pagi
di Sebuah Taman
tak Bernama
(Beginilah, sebabak hidup dimulai)
Kupu-kupu:
Selamat pagi,...
Mawar:
Ah, kau lagi, selamat pagi.
Kupu-kupu:
Seperti sejak kukenal kau,
pagi ini kau indah sekali.
Mawar:
Hmm, rayuanmu. Masih
seperti sejak kukenal
Engkau.
Kupu-kupu:
Bolehkah kita bertukar
satu petalmu, dengan
sesobek sayapku?
Mawar:
Jangan, terlalu tak
seimbang tawaranmu itu.
Kupu-kupu:
Tapi, aku rela. Sayap burukku
membuat aku malu. Bayangkan
betapa bangganya aku terbang
dengan menebar aroma wangimu.
Mawar:
Jangan, jangan. Sebaiknya
seperti selama ini saja.
Kau datang ke sini. Kita
bertukar cerita. Kau dengan
petualanganmu, dan aku dengan
perenunganku di taman ini.
Kupu-kupu:
Ah, mungkin aku terlalu memaksa,
tapi toh petal-petalmu kelak luruh,
kenapa tidak kau beri kesempatan
aku mengabarkan indahnya kepada
dunia di luar taman ini?
Mawar:
Jangan.Jangan. Biar begini saja.
Bolehkan aku menawarkan sesuatu
selain yang kau minta?
Kupu-kupu:
Apakah itu?
Mawar:
Ssst, di dadaku, ada madu.
Yang termanis dari yang pernah
kuramu. Ambillah, aku rela
kau habiskan itu untukmu.
Kupu-kupu:
Itu saja?
Mawar:
Apa lagi yang kau minta?
Kupu-kupu:
Izinkan kau meletakkan
telur-telur anak-anakku,
di hangat dedaunanmu.
Mawar:
Silakan saja, kalau kau percaya.
Kupu-kupu:
Terima kasih.
Aku selalu percaya
padamu.
(Begitulah, sebabak hidup dijalani)
April 2004
Sunday, April 4, 2004
Tentang Seorang yang Berjalan
ke Tempat Pemungutan Suara
(Catatan 5 April 2004)
"Tuhan, berikanlah suara-Mu kepadaku." --- Goenawan Mohamad
/1/
Dia mengingat-ingat lagi nama itu.
Sambil terus berkeras melupakan
nama sendiri. Namanya sendiri.
"Aku muara yang tak pernah diberi nama,
tempat singgah dan lalu semua perahu
ke segala tuju, ke semua tipu.
Hanya sementara, sebelum pasang
datang mengapungkan kecewa,"
ujarnya semakin dekat dengan
tempat pemungutan suara.
/2/
Dia terus mengingat lagi nama itu.
Nama yang diingatnya dengan koma,
lalu disebutnya juga nama sendiri dalam
tanda kurung dan sebaris titik yang panjang,
tanpa tanda tanya. Selalu saja,
ada kecewa itu setelah titik dua.
"Adakah tanda baca lain? Yang tidak
berwarna, yang tak ada dalam gambar,
yang bisa diingatnya tanpa mengenang
putus asa yang dulu kerap terbaca,"
ujarnya sambil terus berjalan ke
tempat pemungutan suara.
/3/
Dia terus berjalan ke tempat
pemungutan suara. Pagi. Matahari.
Tanggal tanggung. Iklan kampanye,
disapanya bayang-bayang sendiri,
"Siapa namamu, Saudara?" dan dia
semakin meragukan nama-nama
yang meminta diingat. Nama
yang kerap disebut-sebut sendiri
oleh pemiliknya. Nama mereka yang
mengaku kelak bisa menghapus atau
memberi garis bawah pada namanya
sendiri. Nama yang...
"Ah, padahal aku sudah lama
seperti kau, Bayang-bayangku,
sudah lama tak lagi peduli
pada nama kita sendiri,"
ujarnya sambil terus berjalan
ke tempat pemungutan suara.
April 2004
ke Tempat Pemungutan Suara
(Catatan 5 April 2004)
"Tuhan, berikanlah suara-Mu kepadaku." --- Goenawan Mohamad
/1/
Dia mengingat-ingat lagi nama itu.
Sambil terus berkeras melupakan
nama sendiri. Namanya sendiri.
"Aku muara yang tak pernah diberi nama,
tempat singgah dan lalu semua perahu
ke segala tuju, ke semua tipu.
Hanya sementara, sebelum pasang
datang mengapungkan kecewa,"
ujarnya semakin dekat dengan
tempat pemungutan suara.
/2/
Dia terus mengingat lagi nama itu.
Nama yang diingatnya dengan koma,
lalu disebutnya juga nama sendiri dalam
tanda kurung dan sebaris titik yang panjang,
tanpa tanda tanya. Selalu saja,
ada kecewa itu setelah titik dua.
"Adakah tanda baca lain? Yang tidak
berwarna, yang tak ada dalam gambar,
yang bisa diingatnya tanpa mengenang
putus asa yang dulu kerap terbaca,"
ujarnya sambil terus berjalan ke
tempat pemungutan suara.
/3/
Dia terus berjalan ke tempat
pemungutan suara. Pagi. Matahari.
Tanggal tanggung. Iklan kampanye,
disapanya bayang-bayang sendiri,
"Siapa namamu, Saudara?" dan dia
semakin meragukan nama-nama
yang meminta diingat. Nama
yang kerap disebut-sebut sendiri
oleh pemiliknya. Nama mereka yang
mengaku kelak bisa menghapus atau
memberi garis bawah pada namanya
sendiri. Nama yang...
"Ah, padahal aku sudah lama
seperti kau, Bayang-bayangku,
sudah lama tak lagi peduli
pada nama kita sendiri,"
ujarnya sambil terus berjalan
ke tempat pemungutan suara.
April 2004
Friday, April 2, 2004
Pertemuan di Toko Handphone
/1/
"yang kini meringkuk
dalam kepompong itu
dia bukan lagi kupu-kupu,
tentu, tapi apakah dia
sedang rukuk? atau tidur
nyenyak dikutuk kantuk?"
kataku.
"maaf, kau ajukan kepada
siapa pertanyaan itu?"
katamu.
"bukan, bukan untukmu.
aku sedang membaca
pesan di handphone-ku,"
kataku.
/2/
"yang tertulis di kartu
yang kau beri kepadaku itu,
aku kira itu alamatmu,
dan nomor handphone-mu,"
kataku.
"Ya, seperti yang
tertera di situ,"
katamu.
"tapi, apakah itu namamu?"
kataku.
"Cocokkan saja dengan
kartu namamu," katamu,
lalu, "kau lupa, ya? dulu
kau pernah memberiku
sebuah kartu nama?"
"Oh, ya?"
kataku.
/3/
"maaf, rasanya kita
pernah bertemu?"
katamu kepadaku.
"ya, di toko handphone,
kan?" jawabku.
"oh, ya, waktu itu kita
sama-sama hendak
mengisi pulsa,"
katamu.
"ah, aku kira tidak.
aku cuma ingin mencari
ringtone yang merdu,
yang mengingatkanku
pada nyanyi ibuku
ketika dulu dia
menidurkanku,"
kataku.
"Ah, masak sih?"
katamu.
"ya, tapi waktu itu kau
juga menyapaku
dengan kalimat yang sama,
maksud saya dengan 'maaf'
dan dilanjutkan dengan 'rasanya
kita pernah bertemu',"
kataku.
"lalu?"
katamu.
"lalu, Saudara, memang tak
mudah untuk menipuku,"
kataku.
April 2004
"yang kini meringkuk
dalam kepompong itu
dia bukan lagi kupu-kupu,
tentu, tapi apakah dia
sedang rukuk? atau tidur
nyenyak dikutuk kantuk?"
kataku.
"maaf, kau ajukan kepada
siapa pertanyaan itu?"
katamu.
"bukan, bukan untukmu.
aku sedang membaca
pesan di handphone-ku,"
kataku.
/2/
"yang tertulis di kartu
yang kau beri kepadaku itu,
aku kira itu alamatmu,
dan nomor handphone-mu,"
kataku.
"Ya, seperti yang
tertera di situ,"
katamu.
"tapi, apakah itu namamu?"
kataku.
"Cocokkan saja dengan
kartu namamu," katamu,
lalu, "kau lupa, ya? dulu
kau pernah memberiku
sebuah kartu nama?"
"Oh, ya?"
kataku.
/3/
"maaf, rasanya kita
pernah bertemu?"
katamu kepadaku.
"ya, di toko handphone,
kan?" jawabku.
"oh, ya, waktu itu kita
sama-sama hendak
mengisi pulsa,"
katamu.
"ah, aku kira tidak.
aku cuma ingin mencari
ringtone yang merdu,
yang mengingatkanku
pada nyanyi ibuku
ketika dulu dia
menidurkanku,"
kataku.
"Ah, masak sih?"
katamu.
"ya, tapi waktu itu kau
juga menyapaku
dengan kalimat yang sama,
maksud saya dengan 'maaf'
dan dilanjutkan dengan 'rasanya
kita pernah bertemu',"
kataku.
"lalu?"
katamu.
"lalu, Saudara, memang tak
mudah untuk menipuku,"
kataku.
April 2004
Thursday, April 1, 2004
Katamu: 25 Menit Aku Terlambat
Alihbahasa atas lirik
lagu 25 Minutes,
Michael Learn to Rock dalam
Album Paint My Love
Setelah sekian kelebatan waktu,
ada yang segera berganti di benakku.
Sungguh dialah gadis itu,
aku mesti lekas mengejarnya, jadi milikku
aku harus erat mendekapnya, jadi milikku.
Setelah dia hilang, kucari ke segala tuju,
ada yang mesti kukatakan: sebuah maaf,
atas apa yang telah buruk berlaku,
sebab: Aku hanya cinta kepadanya.
Tegak berdiri di teras gereja, ini
bukan tempat bertemu yang semestinya.
Aku tak mencari kesini, hanya kesini.
Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin
dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
Kutantang hembus angin, aku hanya kembali,
berkhayal waktu mengulangi saat kau dan aku
bukan sekadar dua lelaki dan gadis bertemanan.
Tapi masih saja, kutoleh engkau
yang tegak berdiri di teras gereja.
Aku tak mencari kesini, hanya kesini.
Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin
dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
Aku menjauh, di telusuran jalanan, hati
yang kelaparan, tak satu pun hendak
mengingat kenangan di kepala berjejalan,
masih saja aku mendengar dia menyebutkan:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
lagu 25 Minutes,
Michael Learn to Rock dalam
Album Paint My Love
Setelah sekian kelebatan waktu,
ada yang segera berganti di benakku.
Sungguh dialah gadis itu,
aku mesti lekas mengejarnya, jadi milikku
aku harus erat mendekapnya, jadi milikku.
Setelah dia hilang, kucari ke segala tuju,
ada yang mesti kukatakan: sebuah maaf,
atas apa yang telah buruk berlaku,
sebab: Aku hanya cinta kepadanya.
Tegak berdiri di teras gereja, ini
bukan tempat bertemu yang semestinya.
Aku tak mencari kesini, hanya kesini.
Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin
dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
Kutantang hembus angin, aku hanya kembali,
berkhayal waktu mengulangi saat kau dan aku
bukan sekadar dua lelaki dan gadis bertemanan.
Tapi masih saja, kutoleh engkau
yang tegak berdiri di teras gereja.
Aku tak mencari kesini, hanya kesini.
Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin
dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
Aku menjauh, di telusuran jalanan, hati
yang kelaparan, tak satu pun hendak
mengingat kenangan di kepala berjejalan,
masih saja aku mendengar dia menyebutkan:
    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian
    waktu berkelebat, tapi ini sakit
    yang singkat, kau 25 menit terlambat.
    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,
    tapi ini sakit yang teramat aduh,
    kau 25 menit terlambat.
Panggilan Kepulangan
Syair Rabindranath Tagore
Malam gelap, dia pergi mengendap, dan mereka terlelap.
Malam juga kini gelap, aku memanggilnya, "Kembalilah,
pulanglah, Kekasih, dunia kita tengah tertidur, dan tak
ada yang bakal tahu kau sejenak datang, sementara
bintang-bintang pun asyik bertatapan sesama bintang."
Dia pergi bertolak, ketika pohon-pohon berkuncupan,
dan musim semi masih sangat dini.
Kini bunga-bunga itu mekar di cabang yang tinggi dan
aku memanggilnya, "Kembalilah, Kekasihku. Anak-anak
bermain liar, memunguti dan menaburkannya lagi. Dan bila
kau datang dan memungut sekuntum kecil, tak akan
ada yang merasa kehilangan."
Yang pernah dipakai bermain masih ingin bermain kan?
Ah, betapa pemborosnya hidup kita, Kekasih.
Aku menyimak perbincangan mereka dan memanggilmu,
"Kembalilah, Kekasihku, selama hati ibumu meluap
penuh cinta, dan bila engkau datang hanya untuk
mencuri satu kecupan kecil, tak akan ada yang dendam."
THE RECALL
The night was dark when she went away, and they slept.
The night is dark now, and I call for her, "Come back, my
darling; the world is asleep; and no one would know, if you came
for a moment while stars are gazing at stars."
She went away when the trees were in bud and the spring was
young.
Now the flowers are in high bloom and I call, "Come back, my
darling. The children gather and scatter flowers in reckless
sport. And if you come and take one little blossom no one will
miss it."
Those that used to play are playing still, so spendthrift is
life.
I listen to their chatter and call, "Come back, my darling, for
mother's heart is full to the brim with love, and if you come to
snatch only one little kiss from her no one will grudge it."
Malam gelap, dia pergi mengendap, dan mereka terlelap.
Malam juga kini gelap, aku memanggilnya, "Kembalilah,
pulanglah, Kekasih, dunia kita tengah tertidur, dan tak
ada yang bakal tahu kau sejenak datang, sementara
bintang-bintang pun asyik bertatapan sesama bintang."
Dia pergi bertolak, ketika pohon-pohon berkuncupan,
dan musim semi masih sangat dini.
Kini bunga-bunga itu mekar di cabang yang tinggi dan
aku memanggilnya, "Kembalilah, Kekasihku. Anak-anak
bermain liar, memunguti dan menaburkannya lagi. Dan bila
kau datang dan memungut sekuntum kecil, tak akan
ada yang merasa kehilangan."
Yang pernah dipakai bermain masih ingin bermain kan?
Ah, betapa pemborosnya hidup kita, Kekasih.
Aku menyimak perbincangan mereka dan memanggilmu,
"Kembalilah, Kekasihku, selama hati ibumu meluap
penuh cinta, dan bila engkau datang hanya untuk
mencuri satu kecupan kecil, tak akan ada yang dendam."
THE RECALL
The night was dark when she went away, and they slept.
The night is dark now, and I call for her, "Come back, my
darling; the world is asleep; and no one would know, if you came
for a moment while stars are gazing at stars."
She went away when the trees were in bud and the spring was
young.
Now the flowers are in high bloom and I call, "Come back, my
darling. The children gather and scatter flowers in reckless
sport. And if you come and take one little blossom no one will
miss it."
Those that used to play are playing still, so spendthrift is
life.
I listen to their chatter and call, "Come back, my darling, for
mother's heart is full to the brim with love, and if you come to
snatch only one little kiss from her no one will grudge it."
Subscribe to:
Posts (Atom)