Wednesday, November 7, 2007

Pengantar 1.065 Kata

Enam Petunjuk (yang Harus
Anda Abaikan) Bagaimana
Menikmati Sajak M Aan Mansyur


Oleh Hasan Aspahani

SAYA ingin mengusulkan kepada penata wajah buku ini agar di tepi dalam halaman pengantar ini diberi tanda garis putus-putus, dan di ujungnya ada gunting kecil menganga. Saya ingin mengisyaratkan bahwa kata pengantar ini boleh disobek setelah (atau bahkan sebelum) dibaca. Kalau Anda masih membaca pengantar ini, maka itu berarti usulan saya ditolak. Mohon maaf, saya tetap salah karena menerima pekerjaan memberi kata pengantar ini, tapi setidaknya, rasa bersalah saya terkurangi, toh saya sudah mengusulkan sesuatu agar Anda terhindar dari pengantar ini.

Saya mungkin terlalu banyak membaca puisi. Karena itulah, saya sering menemukan puisi yang ditulis oleh penyair yang lupa bahwa puisi itu adalah seni. Ya, seni puisi. Memang ada penyair yang sombong yang pernah bilang bahwa puisi itu melampaui seni dan melampaui bahasa, tapi saya tak maulah percaya sama penyair sombong itu. Saya merasa aman dan nyaman pada keyakinan saya – sampai kelak saya murtad dan mendirikan aliran sesat sendiri – bahwa puisi adalah seni, dan seni itu menawarkan keindahan. Ya, karena itulah saya amat menyukai sajak-sajak M Aan Mansyur (MAM) dalam buku ini.

Karena itulah saya beranikan diri menyusun pengantar yang kira-kira berisi semacam petunjuk bagaimana cara menikmati sajak-sajak MAM. Sebelum Anda meneruskan membaca, dan ah semoga Anda tidak langsung percaya dengan petunjuk ini, maka saya sarankan untuk membaca lagi frasa dalam parantesis di judul pengantar ini. Ya, Anda harus mengabaikan. Kenapa? Karena, saya yakin sajak MAM ini bisa dinikmati dengan banyak cara lain, selain dengan cara yang petunjuknya saya buat ini.

Baiklah, sebelum pengantar ini berkepanjangan, dan memakan jatah kertas yang seharusnya ditempati oleh puisi yang justru harus dinikmati saya mulai saja menuliskan pedoman itu satu per satu.

1. Anda harus percaya bahwa keindahan itu ada. Ya, bagaimana pun seorang Arif Budiman, misalnya, pernah mengatakan bahwa ia tidak percaya lagi pada keindahan (baca “Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan”, Wacana Bangsa, 2007), karena kekaburan arti dari keindahan itu sendiri, maka saya menyarankan, atau bila bisa bahkan memaksa agar Anda meyakini bahwa keindahan – terlebih dalam puisi – itu ada dan tetap akan ada. Anda akan menemukannya di dalam bait-bait sajak di buku ini. Keindahan memang tidak harus dirumuskan, bukan. Keindahan itu lahir dari penghayatan, dari ihtiar merasakan. Pada sajak yang mana keindahan itu ada? Ah, saya sudah terlampau-lampau dengan petunjuk ini apatah saya pun harus menunjuk pula pada sajaknya? Tidak, tidak.

2. Penyair kita ini sudah melampaui sekatan perhatiannya pada diri sendiri. Ya, betul. Ini peringatan Subagio Sastrowardoyo (“Dan Kematian Makin Akrab”, Grasindo, 1995). MAM tetap sajak menyair di sekutat diri sendiri, tapi ia tidak terkungkung di situ lagi. Dia memang menyajakkan pengalaman batinnya sendiri. Tetapi dia tidak menghasilkan sekadar keluh-kesah dan sedu-sedan. Ia tidak menyajikan serasah mentah peristiwa. Ia diam-diam mampu mengerahkan sepasukan besar bakteri pengurai yang entah dari mana begitu banyak terdapat di kepalanya. Bakteri inilah yang dengan lekas menghumuskan peristiwa-peristiwa yang tersaji dalam sajaknya.

3. Anda harus percaya bahwa Bahasa Indonesia itu kaya. Ya, kaya dengan segala kemungkinan pengucapan. Kaya dengan berbagai tawaran penjelajahan. Kaya dengan peluang untuk memainkan musik dengan kata-kata, seraya tetap bersetia pada ketertiban makna. Bahasa Indonesia, di lidah dan di ujung jari penyair kita ini, seakan lepas dari ancaman pemiskinan, sebagaimana pernah – dan mungkin masih - dikuatirkan bahkan oleh penyair sekaliber Goenawan Mohamad (“Kesusasteraan dan Kekuasaan”, Pustaka Firdaus, 1993).

4. Penyair kita ini terus melakukan eksperimen bahasa. Kelihatannya memang dia telah nyaman pada suatu bentuk ucap sajak-sajaknya yang terbukti “berhasil” dan “diterima”. Padahal sesungguhnya, sebagai penyair yang baik, dan akan bernafas panjang, dia sesekali risau. Dia sesungguhnya diam-diam selalu bertanya, “Adakah yang baru pada bahasa sajak saya?” Anda, bisa merasakan jawaban pertanyaan itu pada beberapa sajaknya di buku ini, yang mohon maaf, saya sekali lagi tak mau menunjuk ke sajak yang mana. Ada permainan-permainan bentuk baru, dan ada tawaran padanan-padanan kata baru yang terasa segarnya. Mungkin terburu-buru kalau saya mengatakan bahwa dia telah menemukan bahasa sajaknya. Tetapi, pada sajak-sajaknya di buku ini saya tahu dia telah menyambut tantangan penyair besar Sutardji Calzoum Bachri. Ya, MAM telah melakukan pencarian-pencarian dan bila pun belum dia pasti kelak menemukan bahasanya.

5. Penyair kita ini adalah penyair produktif dan tak pernah terikat pada suatu tempat. Ia menetap di Makassar, kota yang saya yakin telah menjadi rumah yang nyaman bagi jiwa kreatifnya. Tapi dia bisa memetik sajaknya di mana-mana. Saat terkurung dalam kantor, dalam perjalanan ke kota-kota kecil yang kerap ia lakukan, saat menjenguk ibunya di kota lain di pulau lain, saat menyendiri, saat bersama dengan kawan-kawan karibnya. Ia bisa memetik sajak dari sepi saat ia merenung, ia juga bisa menawarkan sajak sebagai jawaban dari pertanyaan kawan atau orang lain, dan ah dia pun kadang-kadang menulis sajak sebagai bentuk permainan dengan kawan-kawannya. Ketika ada seorang kawan berulang tahun, maka beberapa kawan lain ia minta menyumbang masing-masing satu kata. Lalu, berdasarkan kata yang terkumpul itu, masing-masing menggubah sajak. Begitulah, mereka menghadirkan bahkan melakoni sajak itu dalam keseharian mereka.

6. Penyair kita ini telah kuat dan ia mulai meluaskan tema sajak-sajaknya. Saya tidak ingin bilang bahwa sajak cinta adalah tema cemen dan karena itu harus dihindari dan sebaliknya tema-tema sosial adalah tema berat dan karena itu membuat penyair tampak gagah ketika menuliskannya. Rainer Maria Rilke, ah nama itu lagi, pernah menyarankan agar tema cinta dihindari saja karena sudah terlalu sering digarap. Saya yakin, MAM tahu benar nasihat itu. Dia tidak menghindar. Apakah harus dibuang bahan sajak yang begitu berlimpah dalam hatinya yang bersumber dari hal ihwal cinta itu? MAM pada sajak-sajak awal di buku pertamanya (“Hujan Rintih-rintih”, Inninnawa, 2005) berhasil mengelak dari kecengengan – meski sesekali terpleset juga dan di buku ini saya kira tepatlah saatnya bila dia telah pula masuk ke tema-tema sosial yang sesungguhnya amat fasih pula terucap oleh lidahnya, sambil tetap berhasil mempertontonkan kedewasaan yang baru dalam sajak-sajak bertema kasih sayang.

Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkan saya untuk tidak berpanjang-panjang dan segera berhenti menulis pengantar ini? Baiklah saya harus tahu diri. Sekali lagi, pengantar ini, juga rumah-rumah dan pintu-pintu sajak yang dibangun di dalam buku, sesungguhnya hanyalah kegenitan saya sebagai seorang editor yang terlalu gembira karena dipercaya dan diberi kebebasan sebebas-bebasnya oleh penyair kita untuk berbuat sesuatu pada sajak-sajaknya sebelum dibukukan. Saya bilang padanya, di depan sajak-sajak yang hebat, saya bisa menjadi editor yang hebat. Anda tentu saja boleh menemui sajak-sajak di buku ini lewat pintu belakang, menyelindap lewat jendela atau membongkar dinding, atau lewat kemungkinan apa saja yang kreatif. Karena, mengingat jawaban Sapardi Djoko Damono atas sebuah pertanyaan saya, dia bilang, “tafsir akan memperkaya sajak”. Saya dengan sok tahu bilang padanya, “ya, sajak yang baik, mengundang tafsir yang kaya”.

Batam, November 2007

Catatan:
Pengantar ini saya buat atas permintaan (beserta rayuan)  M Aan Mansyur. Bukunya berjudul "Aku Hendak Pindah Rumah". Ini buku kedua Aan, setelah "Hujan Rintih-rintih".