Friday, November 30, 2007

[Tadarus Puisi # 031] Soneta Tidur

Pakcik Ahmad menulis tiga serangkai sajak yang ia rangkum di bawah satu judul: Soneta Tentang Tidur. Sajak-sajaknya - saya tak peduli itu soneta atau bukan - entah dengan cara yang bagaimana, mengingatkan saya pada pertanyaan lama, apakah kata? Jawaban itu saya dapatkan juga dari sajaknya. Saya mungkin berlebihan, tapi kali ini ah saya tidak bisa tahan untuk tidak berlebihan.

Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.

Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.

Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.

Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.

Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!

tidurmu adalah kolam teratai
tujuh ekor katak berenang di antara akarnya yang merumbai

aku menyenangi bunyi dengkur bunda
ikat mengikat layaknya deretan iga
rumpun belulang tua berwarna gundah
dan otot liat yang menutup celah

kuinginkan selimut ini abadi
tubuh-tubuh kita tanpa kain bersepi-sepi
di mana suara dan warna seperti tak ada beda
tapi kita tetap saja mengejar angin dan tertawa

tidurlah tanpa gusarnya almanak
karena telah kutafsirkan mimpimu
: hijau sayap belalang, dan rampak
sekoloni embun yang menimbun dada ibu