Thursday, November 1, 2007

[Majas # 011] Litotes

LITOTES. Gaya ungkapan dengan mengecilkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya yang bertujuan untuk merendahkan diri. Dalam sajak, jurus merendahkan atau mengecilkan hal yang hendak disampaikan itu, bisa jadi semacam jurus "gadungan", karena sebaliknya, bisa saja terasa upaya merendahkan diri itu malah seperti sengaja "meninggikan mutu".

Contoh:
a.

Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
     
Saya ini apalah Tuhan.
     Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
     pada serial catatan pinggir;
     sisa aroma pada seonggok beha;
     dan bau kecut pada sisa cinta.
     Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan
     Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
     yang habis terbakar;
     sekeping puisi yang terpental
     dilabrak batalion iklan.


("Tuhan Datang Malam Ini", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Sajak Joko Pinurbo ini dipersembahkan untuk Goenawan Mohamad. Saya dalam sajak itu, bisalah kita anggap sebagai pendapat seorang Jokpin tentang seorang GM. Alih-alih mengumbarkan kata pujian, Jokpin malah memaparkan sejumlah kalimat merendah, yang justru terasa makin membesarkan siapa sosok GM itu.

b.

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

....

walau huruf habis
lah sudah
alifbataku belum sebatas allah


("WALAU", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Sutardji adalah penyair besar. Tapi, kebesarannya justru membuat dia merasa amat rendah di depan Tuhan. Hingga ia tidak menulis puisi lagi, dia sadar tidak akan mampu mencapai kebesaran Allah.

c.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


("Aku Ingin", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

Cinta yang sederahana, justru terasa cinta itu luar biasa dahsyatnya. Cinta yang sejati memang seperti itulah harusnya. Si aku yang mencintai hanya mengobankan diri tanpa bicara, hingga ia habis dan jadi tiada seperti kayu terbakar demi kobar api yang ia cintai.

d.
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.


("Kita Guyah Lemah", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)

Kita lemah, tapi dari kesadaran akan keterbatasan itulah aku penyair mengajak agar kita pendam erang dan jeritan, agar orang tak tahu, dan kita bsia tegak membentak dan mengusir ancaman dari luar diri.