Reportase Shania Saphana tentang
Sisa-sisa Perang di Teluk Persia
/1/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!
Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, kataku ketika itu, yang sia-sia)
Kuingat kalimat
yang sendat di bibirmu yang mengeras-rapat
dari lidahmu yang tiba-tiba menebal-berat:
"Kau bisa lari dari aku, Shania,
tapi kau tak bisa menghindar
dari cintaku.
Ia punya sejuta kaki
seperti ingin kugubah sejuta puisi.
Ia akan mengejarmu
walau kau mengucil-memencil
ke hulu waktu.
Ke hilirku ia akan mengalirkanmu
menderas-melaju
di gemuruh arus rindu."
Terlalu, sungguh,
aku merindukan engkau.
/2/
KEKASIH kukasih,
Kavi Matasukma
Kita pernah bersama-sama
menjadi peserta Kursus Dasar Jurnalisme,
aku masih ingat kaidah berita 5W 1H.
Kau yang mengajak-merayuku,
"Nanti bila kau jauh dariku,
kau bisa dengan sempurna
mereportasekan rindu,"
kau bilang begitu.
Kau membeli dua jilid buku,
"Andai Aku Wartawan Tempo",
sejilid untukku,
sejilid untukmu.
"Lumayan,
bisa buat minta tanda tangan,
kalau nanti aku sempat
bertemu Goenawan Mohamad,"
dan kuterima juga ajakanmu.
"Dengan satu syarat," kataku,
"kau harus menemaniku di kelas Insekta,
agar kau kenal betapa lucu dan berjasa
serangga-serangga itu
menyambungkan rantai hidup dunia."
/3/
AKU sungguh ingin melaporkan
rinduku kepadamu, Kekasihku.
Sebab,
di antara arus Eftrat dan Tigris
kulihat sekawanan lebah
mengumpulkan nektar darah
amis madu
bangkai-bangkai sejarah serdadu
Dendam yang merecup subur
di ladang-ladang
hitam Mesopotamia.
Kau tahu, siapa yang menuainya?
Eh, ada kupu-kupu bersayap besi dan peluru.
Mendengung capung,
sisa evolusi berabad-abad
kusinggahi sudah
Samarra,
Ur,
Niniveh,
Baghdad
Ada yang terlupa
pada piktograf dan babad-babad.
Lalu datanglah melayat
berjuta-juta lalat
Taman Babilonia terkubur unggun mayat
Aduhai Kitab Suci,
bisakah ayatmu diralat?
Maka kukabarkan
lewat dongeng semut-semut
penaklukan yang luput
di padang-padang rumput
meninggalkan remah racun
dan mesiu tak tersulut
Dalam bahasa serangga,
Aduhai kekasihku,
salahkah bila kusimpulkan
di rumah manusia
perang adalah
rayap
yang riuh
menggeriap
meruntuhkan?
/4/
PAGI tadi, Kekasih kukasih,
ada selongsong peluru
di depan pintu penginapanku.
Ia bercerita padaku:
malam tadi, telah kutembus jantung
seorang serdadu, tepat di detaknya!
Seperti masih sempat kudengar, jeritan
terakhir itu (Tuhan juga yang diseru..)
Adakah yang menangisi
cerita sia-sia ini?
Namaku peluru.
Kukutuk senapan otomatis,
tapi siapa
yang menarik pelatuk picu?
/5/
SIANG tadi, Kekasih kukasih,
selapis liat di sepatuku
berkeluh kisah padaku:
Ada yang berlari,
jejak-jejak tank lapis baja
dan sepatu lars tentara.
Ada badai yang mengajakku menari
di gurun-gurun berbatu letih ini
ada cadangan minyak
di tubuhku
(fosil darah sejarah diragi waktu).
Ada petani tergesa memanen tomat
yang berakar lebat di humusku
ada yang tak sempat dikubur,
kering genang merah,
pecahan peluru.
Tak ada yang bertanya padaku,
bagaimana harus melaporkan semua
itu di depan mata hatimu,
di siaran prime time,
langsung di layar TV-mu.
/6/
DAN petang ini, Kekasih kukasih,
pada yang kesekalian kalinya
aku menangis di sini,
kau benar-benar benar.
Aku bisa menangis
sebab perang yang panjang
atau rindu padamu
yang mengeras-menderas-membeku-membatu
Dan airmata apakah bisa habis?
Maka,
Kekasih kukasih,
Bolehkah kulaporkan padamu
kabar ini dengan air mata saja?
Sebab akulah air mata itu,
menetes dari tangis letih
anak-anak yang terusir
dari peluk buai ibu-bapa.
Bolehkah kulaporkan
peristiwa ini dengan diam saja?
Sebab akulah diam,
satu-satunya daya yang tersisa
di bawah hunus senjata
berpeluru darah berbisa.
Bolehkah kulaporkan fakta
ini dengan rintih saja?
Sebab akulah sakit luka
yang menyimpan lirih rintih
suara yang ditindih
iklan rokok
jin,
dan jins Amerika.
/7/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!
Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, yang kini kutahu, tidak sia-sia)