Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, December 30, 2007
[Pencerahan # 013 dari 365] Sebuah Kredo
"Tidak. Buat apa? Menulis sajak sajalah, buat apa lagi kita harus menulis sebuah kredo untuk setiap sebuah puisi yang kita tulis?" jawab Penyair Guru.
"Oh, jadi kapan saya perlu menuliskan kredo puisi saya?" tanya Penyair Ragu.
"Sudah berapa banyak kau tulis puisi? Adakah kau bisa dan perlu menyusun satu rumusan umum yang bisa memandu pembaca untuk masuk berpetualang ke dunia sajak-sajakmu? Dan dengan sajak-sajakmu itu bisakah kau menegaskan sikap menyairmu, pandanganmu terhadap kata dan bahasa yang unik yang berbeda yang bisa menuntun pembaca ke pintu memasuki sajak-sajakmu?" kata Penyair Guru.
[Pencerahan # 012 dari 365] Puisi Sedih
"ADA dan banyak, tidak terbatas. Semua kata yang kau tahu bisa dengan bagus untuk kau jadikan puisi bernada sedih. Juga bisa menjadi puisi bernada lain: riang, marah, gembira, pasrah. Itulah tugasmu dan sekaligus sumber kegembiraanmu sebagai penyair. Nah, bergembiralah!" []
Saturday, December 29, 2007
Tren Puisi 2008
1. Zen Hae (Jakarta): Wah, kiranya itu bisa juga ditanyakan kepada Mama Laurent, tapi menurut hemat kami bayang-bayang Goenawan Mohamad dan Sapardi masih kuat juga, hanya penyair yang menengok dunia luarlah yang bisa selamat dari itu semua.
2. Sitok Srengenge (Jakarta): Sedikit penyair 'mapan' bertahan dan lebih matang, beberapa nama yang terlanjur terkenal terbukti lesu darah, beberapa nama baru membawa kesegaran.
3. T.S. Pinang (Yogyakarta): Kata Mbah Mardjuki tahun 2008 akan bermunculan generasi penyair angkatan baru. Penyair-penyair non-jakarta akan bersinar. Terutama dari Makassar dan Batam. He he he...
4. Wayan Sunarta (Denpasar): Tahun depan dikuasai penyair genit. Ha ha ha.
5. Sapardi Djoko Damono (Jakarta): Kok nomornya ganti? Puisi kita akan baik-baik saja. Akan semakin banyak yang menulis puisi.
6. Acep Zam-zam Noor (Ciamis): Aku gak tahu juga soal tren. He he he.
7. Iyut Fitra (Padang): Bagaimana kalau coba tanya ke Permadi?
8. Gus tf (Payakumbuh): Itulah, Hasan. Aku kan cuma penyair, bukan peramal.
9. Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta): Harapan saya, semoga puisi tak punya tren, yang membuatnya niscaya berbeda dengan busana atau gaya rambut. Jika Mama Laurent tak tahu puisi, saya tak mau tahu tren puisi. Begitu, he he he...
10. Joko Pinurbo (Yogyakarta): Ha ha... Gimana ya? Mungkin puisi berpola narasi akan berkembang, puisi lirik yang romantis-sentimentil untuk sementara akan surut. Yang jelas karya para penyair generasi baru/muda akan tambah semarak dan menggairahkan. Tapi, para penyair terdahulu juga akan meramaikan gelanggang. Dan puisi akan makin digemari. Seru deh. Kita cukup memiliki cukup banyak penyair perempuan berbakat. Ini belum pernah terjadi di era-era sebelumnya. Mereka akan makin "menggila". Karya mereka justru jauh dari warna sentimental-cengeng-lembek. Ha ha...
11. Binhad Nurohmat (Jakarta): Kayaknya yang tren masih rata kanan. Mereka mabuk sajakku. Aku sedang garap sajak-sajak yang lebih dahsyat. Tunggulah tayangnya. Mereka bakal kepayang.
Friday, December 28, 2007
Selepas Orgasmaya; Show of Force Pertama HAH
Dari kecenderungan yang tampak pada bagian ketiga dan kedua, saya sok-simpulkan bahwa bang Hasan memiliki semacam hasrat untuk memberikan kebaruan gaya ungkap dalam puisinya (mungkin ketika menulis puisi-puisi di kedua bagian tersebut bang Hasan sudah lama menceburi puisi dan ingin sesuatu yang tidak begitu-begitu saja. Dan muncullah gaya-gaya ungkap sedemikian rupa.
.: Selengkapnya baca BERBAGI MIMPI
[Pencerahan # 011 dari 365] Layak Penyair
"Seperti orang yang menebang pohon disebut penebang, maka ketika engkau menulis puisi engkau boleh disebut atau menyebut diri sebagai penyair. Tapi, kenapa kau ingin disebut penyair? Engkau tahu, sebutan itu seringkali disebut dengan sinis oleh orang yang bukan penyair dan oleh para penyair sendiri, dan banyak sekali beban yang harus disandang kalau engkau disebut penyair. Seharusnya memang tidak begitu, Murid Jauhku."
"Jadi layakkah saya disebut penyair, Guru?"
"Menulis puisi sajalah. Penyair yang sejati, tidak akan pernah bertanya seperti itu, wahai Murid Jauhku!"
[Pencerahan # 010 dari 365] Guru dan Murid
"...dan mengajar, Guru?" Akhirnya ada juga Penyair Murid yang bertanya.
"Tidak. Bagi saya tidak!"
"Kenapa, Guru?"
"Tidak ada Guru dan Murid apabila tidak ada peristiwa belajar. Dan belajar tidak perlu harus bergantung pada seorang guru, apalagi Guru yang tak jelas Keguruannya seperti saya ini. Engkau bisa belajar dari diam dan marahnya alam. Engkau bisa belajar dari pasang dan surut air laut. Engkau bisa belajar dari ketakukan dan kesalahanmu sendiri. Engkau bisa berguru pada apa saja juga pada dirimu sendiri."
"Tapi guru itu kan tugasnya memang mengajar, Guru?"
"Tidak. Bagi saya tidak. Ketika saya mengajar, saya sesungguhnya sedang belajar, saya sesungguhnya lebih banyak mengajari diri saya sendiri, atau mengulangi pelajaran yang sudah saya pelajari lebih dahulu."
[Pencerahan # 009] Nasihat Hari Ini
"Ada baiknya, sesekali tahanlah pertanyaanmu, simpan dan jangan ajukan dulu. Ada baiknya sesekali tundalah keinginanmu meminta nasihat dari siapapun..."
[Pencerahan # 008] Jalan Puisi
"Engkau bisa mulai dengan berpantun."
"Pantun? Maksud Guru apa?"
"Jurus-jurus pantun sebenarnya bagus sekali untuk mempermahir jurus-jurus puitikmu. Ketika berpantun dan engkau ingin menciptakan pantun yang baik, maka engkau harus punya bekal kosa kata yang cukup, engkau harus menentukan apa yang hendak engkau sampaikan dalam dua larik isi, dan kemudian menyusun dua larik pembayang, engkau harus mengatur rima, engkau harus mencari diksi yang pas, engkau harus menyusun logika kalimat di dua pasang larik itu..."
"Puisi kan tidak begitu, Guru?"
"Puisi pada hakikatnya adalah seperti pantun juga, tapi Engkau tidak berpikir untuk membagi apa yang engkau sampaikan ke dalam sampiran dan isi. Tiap bait adalah sampiran sekaligus juga isi."
Thursday, December 27, 2007
[Pencerahan # 006] Baik dan Buruk
"Betul."
"Jadi, Guru. Tidak relevan lagi membicarakan sajak baik atau buruk. Sebagaimana juga tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik, bukan?"
"Tidak betul."
"Lho, kok begitu?"
"Sajak yang buruk adalah orang yang tak punya apa-apa tetapi angkuh. Dia pamer menyombongkan apa yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Sajak yang baik adalah orang memiliki banyak hal tetapi ia memilih tampil rendah hati, atau kalaupun ia sedikit bergaya, maka ia memilih gaya yang pas yang tetap mengesankan kerendahhatian: dia tak menyorong-nyorongkan, juga tidak sengaja menutup-nutupi apa-apa yang ia punya itu. "
(Hampir) Haiku
19 misscall itu darimu
15.34 angka waktu
Kutekan *888#
active until 30/01/08
Rp176 sisa pulsa
[Pencerahan # 005] Menyuramkan?
Penyair Guru tersenyum. "Betul. Betul sekali. Saya hanya mengembalikan apa yang saya dapat darimu."
Wednesday, December 26, 2007
[Pencerahan # 004] Meragukan Keyakinan
"Tetapi seorang penyair, bukanlah seorang yang selalu dirundung ragu-ragu. Ia orang yang yakin akan segala hal, tetapi ia selalu mempertanyakan keyakinannya itu, agarbisa menapak ke tingkat keyakinan yang lebih tinggi dan ia kemudian mempertanyakan lagi dengan tanda tanya yang lebih besar ."
[Pencerahan # 003] Pertemuan Rindu
Kepadanya Penyair Guru berkata, "pertemuan yang indah adalah pertemuan yang digerakkan oleh rindu. Bahkan kadang-kadang rindu itu sendiri jauh lebih indah daripada pertemuan yang dirindukan itu."
Penyair Guru melanjutkan, "Apa yang lebih penting untuk kau capai, Penyair, keindahan itukah? Atau pertemuan itukah?"
[Pencerahan # 002] Dekat dan Jauh
Penyair muda itu berkilah, "kalau yang dekat itu tidak menggerakkan saya untuk menulis puisi, apa yang harus saya lakukan, Guru?"
Penyair Guru berkata, "Engkaulah yang harus bergerak, dekati mereka, akrabi mereka, jangan menunggu mereka menggerakkanmu."
Penyair Guru itu berkata lagi, "Ingatkah engkau, tentang seorang penyair mahir yang bergerak menyajakkan hal-hal yang amat dekat dengannya dan tentu saja dengan kita semua - seperti celana, kamar mandi, ranjang? Dan dengan benda-benda itu ia justru dapat meraih keluasan yang melampaui angkasa luar, planet-planet dan semua galaksi."
[Pencerahan # 001] Dukungan bagi Kepenyairan
Ada penyair yang ingin menanggalkan pakaiannya karena dia bilang pakaiannya tak mendukung kepenyairannya.
Penyair Guru berkata, "bilang padanya, jangan-jangan yang harus ia tinggalkan adalah puisi-puisinya sendiri, karena jangan-jangan puisi-puisnya itu yang justu tak mendukung kepenyairannya."
Sunday, December 23, 2007
Kisah Sepasang Terompet
kekasih, hubungan kami sudah di ambang perpisahan.
Di penghujung Desember, aku singgah di rumahnya.
Dia sedang menerawang tenang di beranda depan.
"Hai, honey, boleh aku temui terompet lamamu itu?
Terompet yang tahun lalu pet-pet-petnya berhasil
mengganti tahun kita yang lama menjadi tahun baru?"
Dia masih menerawang, matanya menatap ke dalam
matanya sendiri, saat dia berkata, "Mungkin saja
dia ada di teras samping. Tadi kulihat dia masih
di sana. Kesepian. Aku sudah bosan meniupnya.
Aku disiksa kenangan kalau mendengar suaranya."
Aku pun bergegas menuju ke arah yang ditunjuknya.
Kutemukan terompet itu rontok rumbai-rumbainya,
peyot corongnya, dan aduh nyaris koyak mulutnya.
"Keterlaluan, terompet kenangan kok disia-siakan."
Aku teringat terompetku yang kutinggalkan di rumah.
*
TANPA pamit dan minta izin padanya, sang terompet itu
kuajak pulang, untuk kupertemukan dengan terompetku.
Mereka berdua langsung saja berpelukan erat sekali.
Dua mulut itu berpagutan seakan tak mau dilepaskan.
"Wah, sedang apa kalian?" tanya saya. Mereka bilang,
"kami sedang belajar saling tiup, saling membunyikan."
*
DI malam tahun baru ini, ingin sekali aku singgah di
rumahnya. Ingin sekali aku sampaikan kisah perdamaian
sepasang terompet: terompetku dan terompetnya itu.
Friday, December 21, 2007
Ada Lomba di Jambi
Karya harus Berbasis Cerita Rakyat Jambi. Peserta diperkenankan mengirimkan 3 (judul) puisi yang belum pernah dipublikasikan di media massa baik lokal maupun nasional, ataupun dalam bentuk buku maupun melalui internet.
Karya cipta harus asli, bukan terjemahan maupun saduran, jiplakan atau dibuatkan oleh orang lain (bukan hasil plagiat), dan bukan hasil klaim terhadap hak cipta orang lain.
Apabila pada karyanya terdapat ungkapan, istilah, kata frase, kalimat dan bahasa setempat (bahasa Melayu Jambi dan dialeknya) harus dibuat penjelasannya yang ditulis pada lembar tersendiri.
Diketik rangkap 4 pada kertas ukuran kuarto, huruf Times New Roman, font 12 pt, spasi 1,5. Naskah puisi, bio data, surat pernyataan, tanda pengenal yang masih berlaku, lembar penjelasan dikirimkan dalam amplop tertutup disertai disket atau cakram padat ke alamat (Pada kiri atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti) :
Berbasis Cerita Rakyat Jambi
Jln. Prof. HMO. Bafadhal RT. 07 RW. 03 No. 04
Cempaka Putih, Jambi 36134,
Atau dapat pula dikirim via e-mail ke: newwacana@yahoo. com
Menurut cerita lisan yang saya dengar dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat melawan maka mereka lari. Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung).
Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.
Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung dari wilayah Sumatera Barat kini. Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi, rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba. Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan. Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang dibungkus. Mereka berdua lalu kawin. Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah.
Dari hasil perkawinan mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak. Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
Saya akan mengolah cerita itu jadi puisi untuk saya ikutkan di lomba tersebut di atas. Karena salah satu syaratnya adalah tidak boleh disiarkan termasuk di blog, maka saya tidak akan tampilkan puisinya di sini, kecuali nanti setelah puisi tersebut menang. :-)
Anda mau ikut kirim puisi juga? Kirimlah, kita bertanding di sana!
Semacam Haiku?
bergambar titi kamal
bulan oktober
majalah tempo
terbuka halamannya
catatan pinggir
Wednesday, December 19, 2007
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor bilangan mu domba
domba
ber a pa
Saturday, December 15, 2007
Mikuatrinael: Karena Sajak Ada di....
kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja. Karena sajak ada di sepanjang benua
("Percakapan dengan Zaini", Taufiq Ismail)
DI kamar itu, Rendra, onggok jagungmu tak ada
hanya halaman-halaman suratkabar minggu
sisa Heineken berbuih di kepala
Pada Chairil ia teringat, dan ia menggerutu.
Kenapa ia menggerutu? Ia lalu
menyusun sesindir sestina, sejumput bait berhantu
"...jemu pada sajak yang begitu melulu,
kata-kata yang hanya-dari-itu-hanya-ke-itu."
Bukankah bunga-adalah-kata? Di kebun rahasia
jejari cantik bertulang lembut memetik
setangkai kata, sepatah bunga. Dia berkata,
"Chairil, mati-mudamu memang lebih baik!"
Di kamar itu, Taofiq, teks-teks pidato tak ada lagi
pun tak ada: Sajak 2 September 1965, Pagi.
Siapa yang melarang, ia berkata, pada hari ini,
siapa yang melarang cinta pada kebebasan seperti kami?
Di kebun rahasia, siapa saja bisa memetik apa saja ,
karena itu bukankah sesungguhnya tidak-ada-lagi-rahasia?
Tetapi siapa kini perlu rahasia? Di weblog ia tertawa,
tetapi apakah kini masih ada yang rahasia?
Thursday, December 13, 2007
Tawa
: untuk Almarhum pelawak Basuki
DI pojok taman
yang kelak dikenang
sebagai surga,
Adam dan Hawa
tertawa.
"Mereka sedang apa?"
tanya Tuhan
kepada Malaikatnya.
"Tertawa," kata Malaikat.
Tuhan tak tahu bagaimana
dua manusia pertama itu
bisa tertawa. "Tertawa?
Seingatku, kobra dan
pohon di taman itu
tak pernah kuciptakan
untuk bisa tertawa?"
"Adam dan Hawa itu
manusia.
Mereka berbeda.
Mereka istimewa"
"Ya, mereka berbeda.
Mereka berbeda.
Berbeda."
*
"HEI, dia
menceritakan dusta,
dan sekelompok
orang di depannya
tertawa..."
"Biarkan, saja.
Jangan catat itu
sebagai dosa," kata Tuhan
kepada Malaikatnya.
"Dia sedang membuat
saudaranya tertawa.
Kau tahu,
karena kutahu
Adam dan Hawa
bisa tertawa
maka yakin dan lekas
kuputuskan
hukuman."
Tawa, kata Tuhan,
akan bisa membuat
mereka bertahan
di sana.
Di dunia.
Tawa,
akan bisa membuat
mereka melupakan
dan pada saat yang
sama serasa
berada
di surga.
Seakan-akan.
*
Tawa itu juga,
yang dengan fasih
ditiru oleh iblis
sang penyaru di lidah
dan mata kobra.
Suara tawa
yang mematuk
matahati
Adam dan Hawa.
Hatimu Puisi
: HAH
kujelajahi kamar mayamu, Pengrajin!
hampirhampir tanpa jeda
dan tanpa pertanda
lalu, kupunguti saja
serakan telor emas katakata
menetas dari anus imajimu yang kembara
ku bersejingkat menatap
dinding sketsa dan lantai imaji kamarmu
ku temui juga
potret dan suarasuara
lelaki bertampang garang
bermata nyalang
berdeklamasi lantang
orangorangan sawah, kah?
perangkap penangkap, kah?
suara penghalau burung, kah?
HAH, bukan
kerna sekelibat kutatap
dadamu memancar puisi
Tuesday, December 11, 2007
Gurindamikael: Hakikat Lidah
di bawah pikulan yang kaku itu
adalah pundakku
sejarah berjalan ke saujana
dengan lagu berduri
("Beban", D Zawawi Imron)
LIDAH, lelahkah pundak memikul beban bicara?
Dari ucap ke ucap, bawa sepasang keranjang.
O lebat sekali kata-kata tertampung telinga
O licinnya serapah menggelincir di kakilidah
Lidah, pergilah ke sunyi, pergilah ke senyap
Sebentarkan punggung, nyandar ke rahasia suara.
Lelahkah menelusuri jalan penyebutan, lidah?
Bibir hanya secelah, betapa gegap gema nama.
O kenapa muaramulut luka mengucap-ucap darah?
O kenapa duri-dusta tertikam pada tubuhlidah?
O lidah Ali Haji, Zawawi, Abdul Hadi, Tardji
Lidah yang terang, mengucap niscaya cahaya.
Lidah, kemanakah pundak kaki punggung mulut
bersama memanggul sepasang keranjang kata?
BADIK BIJAK
:HAH
Badik bijak?
Tambah kerut dijitak
Sorot mata. Setajam sajak
Katak lompat di Tapak-tapak semak
Di buangnya. Lumpur retak
Sebab kaki-kaki sungai di kelok-kelok
Berjingkrak- jingkrak
Akh, badik bijak
Tambah banyak.
Kembara yang terbajak
Terbajak. Terbajak
Monday, December 10, 2007
Perilaku Seksual Bahasa Mikael
... dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
'Bangsat, kenapa aku di sini!"
("Potret Taman untuk Allen Ginsberg", Goenawan Mohamad)
BAHASAKU dan aku lahir dari dua ibu yang tak menikah,
(di bait akhir sajak ini kau akan tahu apa alasannya).
Mereka berdua tak bisa berpaling dari pertanyaan itu,
"Hei, lidah kalian, sepasang lidah lesbian, bukan?"
Mereka bertemu di sebuah mal besar. Ibuku tak bisa
menghindar. Seperti sekudap donat dan pizza bundar,
juga tak bisa mengelak dari janji di lidah mereka.
Bahasaku lahir setelah ibuku memesan benih di bank
sperma - mungkin - dari Australia. Dua ibuku sedang
menikmati posisi 6:9 ketika aku lahir bersama bahasaku.
Di rahim siapakah aku dijaninkan? Kedua ibuku pun tak
tahu. Aku tiba-tiba saja sudah ada ada di lidah mereka.
Aku dan bahasaku dipertemukan jilatan dua lidah itu.
Lidah ibuku adalah lidah yang biasa saling berdusta.
Tapi, mereka pasangan yang jujur. Ada masanya mereka
saling membuka semua yang sembunyi di balik kata.
Mereka sedih ketika menyadari betapa banyak yang tak lagi
bisa lahir dari lidah mereka, dan kelak di lidahku juga.
(bait ini bisa juga kau baca begini: Kadang bahasaku
harus juga berkali-kali menggugurkan kandungan maknanya)
Kata-kata dalam bahasaku adalah tempat aku sembunyi.
Lidahku tak bisa lagi menyetubuhi bahasa dengan posisi
misionaris saja. Kami suka, gaya yang menganjing juga.
Kalau lidahku menyetubuhi bahasa lain selain bahasa
yang lahir bersamaku, maka aku bukannya ingin menolak
perkawinan sedarah. Bagiku, bagi lidah ibuku, memang
tidak ada lagi lembaga perkawinan itu. Tidak ada lagi!
(pengulangan 3 kata - "tidak ada lagi!" disengaja agar
larik terakhir itu seimbang dengan larik sebelumnya).
Aku & bahasaku bahagia berperilaku seksual seperti itu?
(Ah, bait ini seharusnya tidak ada. Coba meneliti lagi
ke bait pertama, di bait mana ia janjikan alasan itu?)
Diselisihkan oleh Angin, Mikael
ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun
("Ketika Berhenti di Sini", Sapardi Djoko Damono)
KETIKA engkau sampai, aku tak tahu, apakah
engkau adalah engkau yang dulu berangkat dan
mengabarkan padaku, "hei, aku sedang menujumu!"
Mungkin aku juga sedang pergi menujumu, menemuimu.
Mungkin kita pernah bertemu di sebuah perhentian,
sebelum menyebut sampai, dan kita saling menyebut nama,
namaku, namamu, dan nama siapa yang hendak kita tuju.
Kata itu cuma getar pita-suara, yang digerakkan angin
dari paru-parumu. "Tidak. Dia tidak musnah setelah
jemputan itu." Angin yang menggetarkan pita suaramu,
yang membunyi namaku, ia menyembunyi di udara itu.
Ketika engkau sampai, aku tak tahu, apakah
aku yang kau dapati adalah aku yang menunggu
dan dulu menjawabmu, "datanglah, temui aku.."
Adakah yang tidak sekedar mungkin di udara itu?
Hujan hanya turun, tak pernah menyebut siapa namanya,
tak juga basah, angin yang berkelit di antara lebatnya.
Dan kita memilih kata, mengucap dingin yang sama.
Engkau mungkin tak pernah akan sampai padaku,
kita berjalan di antara hujan itu, sesekali berhenti,
dan diselisihkan oleh angin, saat merendahkan topi.
Sunday, December 9, 2007
Aku Bawakan Mikaelstik Padamu!
jangan diam
nanti aku marah
kalau kulahap kau
aku enak
sekejap
aku sedih
kau jadi taik
("DAGING", Sutardji Calzoum Bachri)
BOSAN engkau stikatavistik yang itu-itu saja? Nah,
mari sini, aku bawakan Mikaelstik padamu. Cobalah!
Bagaimana caranya? Nah, mari sini aku ajarkan
resep Mikaelstik padamu. Cobalah. Nah. Cobalah!
1. Pastikanlah kau mendapatkan daging terbaik.
Bagaimanakah cara mendapatkan daging terbaik?
Kau dengar apa jawabnya ketika kau tanya dia,
"Daging, bagaimana cara nyawa keluar dari badan?"
2. Yakinkanlah pada daging itu ada luka yang
paling luka. Luka di semua seratnya. Luka di
semua sayatnya. Luka terbaik yang diciptakan
oleh pisau yang paling pisau yang paling luka.
3. Dapatkan tetes darah segar pada luka dari
daging itu. Tampung perihnya. Tabung jeritnya.
Timbang sakitnya. Tetak diamnya. Tombak lubang
nganganya. Lalu tebar ha ha ha ha ha-nya!
4. Siapkan arwahapi lantas kau berdukalah.
Asin airmatamu, biarlah mengucur ke nyala
daging, ke kobar daging, ke bara daging.
5. Tunggulah lalat-lalat dari surga, lalat
yang dulu kena tempeleng daging karena mencicip
lezat zat luka, lantas kau santaplah. Jangan
sedih, karena lidahmu luka. Luka di lidahmu
adalah cara terbaik untuk mengucapkan lukamu.
Lidah-lukamu adalah lidah terbaik yang bisa
mencerna luka dari daging stik-presentik, luka
dari daging stik-futuristik: Daging Mikaeltik.
Nah, aku bawakan Mikaelstik padamu! cobalah!
Saturday, December 8, 2007
Kawankau dan Engkau, Mikael!
Saya tak bersalah lahir dalam rumah itu. Ayah
dan ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera
telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu. Dialog
terakhir telah dihafal: "hidup dengan satu bahasa".
... sebuah bahasa yang datang dengan mobil ambulans.
("Keluarga Indonesia Dalam Ambulans", Afrfizal Malna)
SAYA kehilangan lidah ibu saya. Tapi, bahasa saya penuh ludah,
bahasa saya selalu basah. Bahasa seperti sebuah banjir besar.
Saya berenang dengan sirip yang tumbuh di lidah saya. Jangan,
jangan potong sirip di lidah saya. I'm not stupid. Ada sayap
juga di lidah saya. Saya tidak ingin terbang. Saya hanya ingin
berenang dalam satu-satunya bahasa saya. That is the language
of my life. Saya hanya punya satu lidah. Lidah dengan sayap
dan sirip. Boleh saya lihat lidahmu, Ariel? Sepertinya ada
sayap juga di sana, ada sirip juga, ya? Sayap yang seperti
sayap di lidah saya, mengepak mencari lidah ibu. Sirip yang
membuat saya tetap bisa berenang dalam bahasa yang basah.
*
LIDAH siapa yang beterbangan itu? Hei, banyak sekali sayap
hinggap di lidah saya. Lihat, saya semakin jauh dari lidah
ibu saya. Kenapa saya tidak boleh terbang, Ariel? Saya harus
berlari juga di udara bahasa itu. Saya masih fasih berenang.
Lidah saya masih basah dengan bahasa yang penuh ludah. Ada
sirip yang lepas dari lidah saya. Tapi, jangan potong sayap
di lidah saya, Ariel. Saya harus berenang dalam genangan
bahasa yang basah dan saya harus terbang dalam udara bahasa
yang penuh hujan. Lidah saya selalu basah. It's all just
a natural language I speak everyday, Ariel. Apakah ada lidah
ibu saya di lidahmu, Ariel? Adakah lidah saya juga di sana?
*
IBU saya ternyata sedang mengunyah kacang di basah lidahnya.
Suara mulutnya seperti sirine ambulans. Saya tak melihat
ada sayap di lidahnya. Ada sayap-sayap beterbangan tapi tak
mau hinggap di lidah ibu saya. Saya tak mengenali lagi
lidah ibu saya itu. Saya disuapi kacang yang tumbuh dari
lidah yang bukan lidah ibu saya. Saya telah berenang jauh
dari suara mulut yang seperti sirine itu. Saya sekarang juga
bisa terbang. Saya tidak ingin terbang. Tapi, this is the
only language I speak! Bahasa yang selalu basah dan saya
harus terus berenang, bahasa yang udaranya berhujan dan
saya harus terbang dengan sayap-sayap di lidah saya, Ariel!
Friday, December 7, 2007
Paragraf Pernikahan, 5
Kau Masih di Danau Itu, Mikael?
Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke
permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala
("Penyairpun Bukan", Emha Ainun Najib)
ENGKAU masih di tepi danau itu, Mikael?
Menunggu bulan menjatuhkan hantu Li Po, atau
menjaga Sapardi lewat menyeberangkan perahu?
"Danau yang dangkal, huh, aku mau samudera
yang kekal." Kau dengar itu gerutu? Lelaki
dengan kumis basah itu? "Aku? penyairpun
bukan," katanya, lalu lekas lalu.
*
DAN kau masih di tepi danau itu, Mikael?
Memancing puisi dengan batang rumput panjang,
bagai mencari padanan kata di kamus tesaurus.
"Ah, aku tak percaya. Ah, aku tak percaya!"
Aku juga, tak percaya, Mikael. Tadi seperti
kulihat seseorang masuk ke sebuah resto,
mendorong pintu dengan bahu, lalu di sana
berbincang dan menulis puisi tergesa-gesa.
Lantas ia mengutip nama penyair asing untuk
dapat pembenaran atau sekadar permakluman.
*
TAPI kau masih di tepi danau itu, Mikael?
Sedang menghindari kehidupan yang so urban?
Atau mau menyelam cari batu untuk melempari
kebosanan? Menjebol buntu sajak koran-koran?
Ah, tadi seperti kudengar seru di resto itu,
"Tolong, pindah kanal tivi. Aku ogah nonton
Virnie Ismail dalam celebrity on vacation."
Akademi Jakarta Beri Penghargaan Bang Ali dan Bang Tardji
.:. Selengkapnya baca siaran pers Akademi Jakarta
Thursday, December 6, 2007
Masuklah, Mikael!
dalam hidup, dalam tuju
("Cerita", Chairil Anwar)
RUMAHKU dari timbun kata-kata mati
kaca buram di matamu segala suram.
Tapi, mari masuklah, Mikael
ambil duduk, dan mulailah mengutuk
Bukankah tadi di pintuku engkau yang mengetuk-ngetuk?
-- Kau bawa sajak?
-- Mungkin tidak...
-- Atau mau baca kisah porno
dari Mitologi Yunani Kuno
(dengan bahasa mestizo, dan kau tak perlu
menerjemahkan desah oh yes oh no!)
Rumahku dari timbun kata-kata mati
kaca suram di matamu segala buram
Tak ada gambar perempuan dari iklan Marie France Bodyline
Tapi, dia yang di dinding itu bukan hantu
hanya pose posterik penyair atavistik
seorang tua berpipi volumik,
berpet, dan mantel
Engkau, mari masuklah, Mikael!
Bukankah tadi engkau yang menggerutu jengkel ?
Wednesday, December 5, 2007
Seberapa Mikaelkah Anda?
dan yang kutulis ini bukan puisi.
(Meditasi 15, Abdul Hadi, W.M.)
1. Manakah adegan berikut ini yang membuat
Anda ingin segera berlari sejauh-jauhnya?
a. Melihat Chairil meninju Jassin, di belakang
panggung Sandiwara Maya.
b. Melihat Ayu Utami memainkan PDA, di
Kedai Tempo sambil menjentikkan abu
rokok si sela jari tengah dan jari telunjuknya.
c. Melihat Leda disetubuhi Zeus yang menyamar
jadi angsa.
2. Manakah petikan larik sajak berikut ini yang
bukan berasal dari Chairil Anwar?
a. rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu
kuhela.
b. Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa
sepi.
c. di senja hari menjelma ribuan koran dan
sapu tangan.
3. Manakah benda berikut ini yang tidak pernah
menjadi objek ode Neruda?
a. Gadis manis dalam lukisan telanjang.
b. Naskah novel yang tak selesai diterjemahkan.
c. Tumpukan baju yang belum disetrika.
4. Manakah fantasi seksual yang paling menggairahkan
Anda?
a. Dibacakan dongeng ranjang oleh Laksmi.
b. Mewujudkan adegan muskil dalam novel Nukila.
c. Menciptakan suara kecipak saat menyesap
dada bunga citra lestari.
5. Apakah sapaan yang paling meluluhkan hati
Happy Salma?
a. Hi, are you happy, Salma? Boleh kuantar pulang?
b. Hei, tubuhmu seperti cerita, boleh kuterjemahkan
ke dalam bahasa tubuhku?
c. Hei, saya punya bagian novel Pram yang hilang
saat diterjemahkan. Mau baca di kamarku?
Paragraf Pernikahan, 4
Tuesday, December 4, 2007
Paragraf Pernikahan, 3
Paragraf Pernikahan, 2
Paragraf Pernikahan, 1
DULU aku bilang, aku sedang belajar menulis kalimat untuk sebuah paragraf dengan namamu dan namaku serta kata Cinta di antara keduanya. Kau bertanya, "Cinta? Itu kata kerja atau kata benda?" Lalu kususun sebuah kalimat, begini: Cintaku yang cinta mencintai cintamu yang cinta. Kau bilang,"ternyata cinta itu juga kata sifat, ya?" Lalu kita berdua belajar mengucapkan kalimat itu sefasih-fasihnya. Menjadikan cinta itu menyifat pada kita.
Monday, December 3, 2007
Cantata "Ars Amatoria" by Ananda Sukarlan
based on poems by
Sapardi Djoko Damono
with Fitri Muliati (soprano), Rainier Revireino (baritone), Seven Chorale Children's Choir, Cavallero Male Singers & Jakarta Conservatory Vocal Ensemble
at
Jakarta New Year Concert 2008
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki
1 January 2008 at 16.00 (4 p.m )
Read Ananda's blog at http://andystarblogger.blogspot.com !!
Tickets can already be reserved since the 1st of November through :
jakartanewyearconcert@yahoo.co.id
Rama Thaharani at rama.th@gmail.com
Chendra Panatan at ycep@yahoo.com atau 0818 891038
Shortlist Khatulistiwa Literary Award 2007 Kategori Puisi
Dongeng untuk Poppy, M. Fadjroel Rahman, Bentang, April 2007
Kepada Cium, Joko Pinurbo, GPU, 2007
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, April 2007
Paus Merah Jambu, Zen Hae, Akar, Mei 2007
Pemenang akan diumumkan pada Malam Penganugerahan tanggal 18 Januari 2008, jam 19.00 WIB, di Atrium Plaza Senayan. Kami harap seluruh finalis berkesempatan hadir.
Panitia Khatulistiwa Literary Award 2007
E-mail .:. khatulistiwa.literary.award@gmail.com
Weblog .:. khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com
Sunday, December 2, 2007
Rindu yang Tak Santun: Dalam Sekurung Pantun
Matahari tak muncul di hari yang buta
Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
Kucari di Google, kucari di Altavista
Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa
[INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!
Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?
Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir
Kukenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox
kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda
"Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis," kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.
*
HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.
Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah 'mereka yang sudah lupa bersuka'.
Kudengar ratap lagu KLa, samar Katon Bagaskara.
*
KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.
Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.
Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
"Sajak Putih" yang dulu pernah kita baca bersama.
Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, "kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!" Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.
*
AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
"Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai A sebaris?
Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.
Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns'n Roses]
Deras musim menumbuk langit tak berangka
Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
Telah kukirim berjuta surat-elektronika
Apakah Y!Mail mengantar ke alamat salah?
Friday, November 30, 2007
Requiem Mozart di Sebuah Gramofon
: Janet E Steele
Dan apakah tubuh? Dan apakah rumah?
Tubuh adalah rumah bagi rasa sakit,
di sana ada mulut yang menahan jerit
ada luka yang menampilkan wajah darah
Tubuh adalah rumah bagi ruh singgah,
dan di sana ia betah, menyimak lagu
waktu, jam & jantung berbalas-detak
*
Dan apakah rumah? Dan apakah tubuh?
Rumah adalah wilayah di mana tak ada
bayang-bayang tubuh, di sebuah sudut
gramofon ditaruh & doa dikirim ke jauh.
Rumah adalah tempat engkau kembali
dari pertemuan kecil, dan di sana kau
berbahagia sebab sempat mengucap cinta.
Apa Kabar, Albar?
kabung
di punggung
panggung
genting ranting
digunting
malam-malam kering
di dingin semen
dinding apartemen
sesenyap sunyi
sembunyi
bunyi
seramah rumah
remah-remah
sepi
sentuh jari
yang tak berjanji
parah & perih
pada
jerat jeruji
kerubung
kabung
di patah
punggung
Albar,
apa kabar?
[Tadarus Puisi # 031] Soneta Tidur
Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.
Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.
Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.
Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.
Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!
tidurmu adalah kolam teratai
tujuh ekor katak berenang di antara akarnya yang merumbai
aku menyenangi bunyi dengkur bunda
ikat mengikat layaknya deretan iga
rumpun belulang tua berwarna gundah
dan otot liat yang menutup celah
kuinginkan selimut ini abadi
tubuh-tubuh kita tanpa kain bersepi-sepi
di mana suara dan warna seperti tak ada beda
tapi kita tetap saja mengejar angin dan tertawa
tidurlah tanpa gusarnya almanak
karena telah kutafsirkan mimpimu
: hijau sayap belalang, dan rampak
sekoloni embun yang menimbun dada ibu
[Tadarus Puisi # 030] Menutup Malam, Membuka Keluasan Sajak
Sajak Dedy T RiyadiSingkat saja: ini sajak yang bagus. Klise-klise ungkapan dihampiri sekaligus dielakkan dan tentu dia tidak menjadi klise lagi. Ungkapan-ungkapan baru ditawarkan dan ah betapa sayang kalau tawaran itu tak disambut oleh pembaca. Dedy makin menjanjikan. Sajak-sajaknya makin bisa diharapkan. Pertentangan antara menutup-buka, cinta kutukan, menghadirkan tekstur perasaan. Rima dihadirkan apa adanya, tidak dipaksakan ada. Saya bisa menebak siapa Penyair yang sedang menghantui Dedy di sajak ini, tapi, dia tidak melawan hantu itu tidak juga mentah-mentah menyembahnya.[]
Malam Telah Menutup Segala Pintu
Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela
rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu.
Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba,
lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan.
Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu
di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu.
Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu,
semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya.
Hanya badai buat malam ini semakin galau,
tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau.
Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta,
kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia.
Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih.
Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih.
Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap,
tersebab namamu terdengar sepenuh senyap.
2007
Thursday, November 29, 2007
Edisi Nonkomersial ORGASMAYA
INILAH sampul buku kumpulan puisi pertama saya Orgasmaya. Ini edisi tak komersial. Yayasan Sagang, penerbitnya, hanya mencetak 1.000 eksemplar dan membagikannya ke sekolah-sekolah di Riau. Saya boleh mencetak lagi, mencari penerbit lain yang tertarik. Adakah? Penerbit yang berminat bisa melihat dulu bukunya.
Hasan Aspahani
Wednesday, November 28, 2007
[Imajinasi Wawancara 005] Membaca, Memanggungkan Sajak
.:. Selengkapnya baca di sini.
Binhad, Kuda Ranjang, Bau Betina (2)
.:. Selengkapnya baca di sini.
Binhad, Kuda Ranjang & Bau Betina (1)
.:. Selengkapnya baca di sini.
Tuesday, November 27, 2007
Refrain Sebuah Lagu Pop
karena
kau bisa
membuatku jatuh cinta
sehebat cintaku padamu.
AKU heran padaku
karena
aku tak tahu kenapa aku
bisa mencintaimu
sehebat cintaku padamu.
Friday, November 23, 2007
[004] Imajinasi Wawancara
Oleh Hasan Aspahani
Sutardji Calzoum Bachri, perlukah saya perkenalkan lagi? Namanya jauh lebih besar dari tubuhnya yang tergolong mungil untuk ukuran orang Indonesia. Ia berjaket. Nyaris selalu berjaket. Saya membayangkan tubuh di balik jaket itu adalah tubuh yang sewaktu ia muda suka tampil telanjang dada di panggung pembacaan puisi-puisinya.
Penyair besar kita ini pernah menjadi redaktur puisi di majalah-majalah sastra penting di Indonesia, juga di berbagai surat kabar. Terakhir kali – sebelum mengundurkan diri – beliau menjadi redaktur puisi untuk halaman “Bentara” Kompas.
Apa yang bisa kita petik bagi kepenyairan kita dari pengalamannya sebagai redaktur puisi? Saya mewawancarainya di sebuah tempat di suatu waktu yang seperti biasa tak perlu dipermanai di mana persisnya.
.:. Selengkapnya KLIK di sini!
Kabar dari Penerbit Koekoesan!
Buku Hasan Aspahani
MENAPAK KE PUNCAK SAJAK:
Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca Buku Ini!
beredar 3 Desember 2007
Harga Rp19.000
Bisa dipesan online di website KOEKOESAN
Atau di website BUKABUKU
Daftar Isi
Bab I. Bukan Sekadar Pengantar
Bab II. Bersajak-sajak Dahulu
Bab III. Lebih Sajak Lebih Banyak
Bab IV. Asal Sajak, Sajak Buruk
Bab V. Baca Sajaknya, Elak Pengaruhnya
Bab VI. Yakini dan Ragukan Sajak
Bab VII. Berkasih-kasih dengan Sajak
Bab VIII. Setelah Menulis Sajak
Bab IX. Sebelum Menulis Sajak
Bab X. Saat Menulis Sajak
Bab XI. Yang Bukan Sajak Yang Menjebol Sumbat
Bab XII. Lalu Apakah Sajak
Bab XIII. Cinta dan Berahi Sajak
Bab XIV. Sajak Membebaskan Kata dan Kita
Bab XV. Kesamaran Penumpang Gelap <------ KLIK BAB INI!
Bab XVI. Memilih Kata, Membangun Makna
Bab XVII. Tapi Jangan Dibebani Makna
Bab XVIII. Bebas Mengenal Sajak Tak Bebas
Bab XIX. Melisankan Sajak Sendiri
Bab XX. Sajak Sebagai Latihan Intelektual
Bab XXI. Faktor Chairil, Faktor Sapardi
Bab XXII. Soto Gurih, Peta Perjalanan
Bab XXIII. Bikin Sajak, Bikin Jebak
Bab XXIV. Panjang Pendek Sajak
Bab XXV. Waktu Sajak & Menerjemahkan Keasingan
Bab XXVI. Melepas Sajak
Bab XXVII. Bab Ini Berjudul Judul Sajak
Bab XXVIII. Karena Harus Ada Penutup
Sesuatu Sapardi: Apakah Anda Bahagia Menulis Puisi
Joko Pinurbo: Urusan Saya dengan Puisi Belum Beres
Bermalam di Rumah Tukang Sepatu
Kata sepatu jalan ke mimpimu memang
masih berbatu-batu, dan berliku-liku
Aku ingat sepatu ajaib kita dulu itu
Sepatu yang mengajari kita berjalan
mendekat mimpi-mimpi dan kenyataan.
Di Macetmu Itu
engkau seperti bis besar yang tak bersupir
Seharian berputar-putar, aku masih di pinggir
mana halte, stasiun, terminal, & tempat parkir?
Di macetmu, Jakarta, aku belum bisa mengerti
ngebutmu itu ah kenapa kok lambat sekali?
Pelangi di Rambutmu
.:. Bersama Danarto di Kedai Tempo, Kompleks Utan Kayu.
: Oom Danarto
TUJUH lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu
Siapakah sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah sufi menyanyi irama asmaramu?
Setangkai mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai mawar bersilancar di tangkai hujan
Tujuh lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di rimbun kebunmu, naung sayap malaikat
Kakimu dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.
Monday, November 19, 2007
Sisa-sisa Perang di Teluk Persia
/1/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!
Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, kataku ketika itu, yang sia-sia)
Kuingat kalimat
yang sendat di bibirmu yang mengeras-rapat
dari lidahmu yang tiba-tiba menebal-berat:
"Kau bisa lari dari aku, Shania,
tapi kau tak bisa menghindar
dari cintaku.
Ia punya sejuta kaki
seperti ingin kugubah sejuta puisi.
Ia akan mengejarmu
walau kau mengucil-memencil
ke hulu waktu.
Ke hilirku ia akan mengalirkanmu
menderas-melaju
di gemuruh arus rindu."
Terlalu, sungguh,
aku merindukan engkau.
/2/
KEKASIH kukasih,
Kavi Matasukma
Kita pernah bersama-sama
menjadi peserta Kursus Dasar Jurnalisme,
aku masih ingat kaidah berita 5W 1H.
Kau yang mengajak-merayuku,
"Nanti bila kau jauh dariku,
kau bisa dengan sempurna
mereportasekan rindu,"
kau bilang begitu.
Kau membeli dua jilid buku,
"Andai Aku Wartawan Tempo",
sejilid untukku,
sejilid untukmu.
"Lumayan,
bisa buat minta tanda tangan,
kalau nanti aku sempat
bertemu Goenawan Mohamad,"
dan kuterima juga ajakanmu.
"Dengan satu syarat," kataku,
"kau harus menemaniku di kelas Insekta,
agar kau kenal betapa lucu dan berjasa
serangga-serangga itu
menyambungkan rantai hidup dunia."
/3/
AKU sungguh ingin melaporkan
rinduku kepadamu, Kekasihku.
Sebab,
di antara arus Eftrat dan Tigris
kulihat sekawanan lebah
mengumpulkan nektar darah
amis madu
bangkai-bangkai sejarah serdadu
Dendam yang merecup subur
di ladang-ladang
hitam Mesopotamia.
Kau tahu, siapa yang menuainya?
Eh, ada kupu-kupu bersayap besi dan peluru.
Mendengung capung,
sisa evolusi berabad-abad
kusinggahi sudah
Samarra,
Ur,
Niniveh,
Baghdad
Ada yang terlupa
pada piktograf dan babad-babad.
Lalu datanglah melayat
berjuta-juta lalat
Taman Babilonia terkubur unggun mayat
Aduhai Kitab Suci,
bisakah ayatmu diralat?
Maka kukabarkan
lewat dongeng semut-semut
penaklukan yang luput
di padang-padang rumput
meninggalkan remah racun
dan mesiu tak tersulut
Dalam bahasa serangga,
Aduhai kekasihku,
salahkah bila kusimpulkan
di rumah manusia
perang adalah
rayap
yang riuh
menggeriap
meruntuhkan?
/4/
PAGI tadi, Kekasih kukasih,
ada selongsong peluru
di depan pintu penginapanku.
Ia bercerita padaku:
malam tadi, telah kutembus jantung
seorang serdadu, tepat di detaknya!
Seperti masih sempat kudengar, jeritan
terakhir itu (Tuhan juga yang diseru..)
Adakah yang menangisi
cerita sia-sia ini?
Namaku peluru.
Kukutuk senapan otomatis,
tapi siapa
yang menarik pelatuk picu?
/5/
SIANG tadi, Kekasih kukasih,
selapis liat di sepatuku
berkeluh kisah padaku:
Ada yang berlari,
jejak-jejak tank lapis baja
dan sepatu lars tentara.
Ada badai yang mengajakku menari
di gurun-gurun berbatu letih ini
ada cadangan minyak
di tubuhku
(fosil darah sejarah diragi waktu).
Ada petani tergesa memanen tomat
yang berakar lebat di humusku
ada yang tak sempat dikubur,
kering genang merah,
pecahan peluru.
Tak ada yang bertanya padaku,
bagaimana harus melaporkan semua
itu di depan mata hatimu,
di siaran prime time,
langsung di layar TV-mu.
/6/
DAN petang ini, Kekasih kukasih,
pada yang kesekalian kalinya
aku menangis di sini,
kau benar-benar benar.
Aku bisa menangis
sebab perang yang panjang
atau rindu padamu
yang mengeras-menderas-membeku-membatu
Dan airmata apakah bisa habis?
Maka,
Kekasih kukasih,
Bolehkah kulaporkan padamu
kabar ini dengan air mata saja?
Sebab akulah air mata itu,
menetes dari tangis letih
anak-anak yang terusir
dari peluk buai ibu-bapa.
Bolehkah kulaporkan
peristiwa ini dengan diam saja?
Sebab akulah diam,
satu-satunya daya yang tersisa
di bawah hunus senjata
berpeluru darah berbisa.
Bolehkah kulaporkan fakta
ini dengan rintih saja?
Sebab akulah sakit luka
yang menyimpan lirih rintih
suara yang ditindih
iklan rokok
jin,
dan jins Amerika.
/7/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!
Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, yang kini kutahu, tidak sia-sia)
Friday, November 16, 2007
[003] Keterpencilan, Komunikasi, dan Manfaat Puisi Bagi Kehidupan
.:. Selengkapnya baca DI SINI
Thursday, November 15, 2007
[Ruang Renung # 232] Godot di Utan Kayu
Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkauSejak semula, saya ingin memetik sajak di Utan Kayu. Saya memandangi bangku, pohon kemboja, bunganya jatuh bertebaran, poster lukisan Botero di dinding tangga ke Wisma TUK, lukisan S. Teddy yang saya tebak semula miliknya Ugo Untoro dan lukisan pelukis kelompok Taring Padi, yang saya kenal garisnya tapi saya lupa namanya. Lukisan dengan langgam garis yang sama pernah saya lihat di sampul majalah Pantau lama. Saya menghayati pemandangan itu, pelepah pisang kipas, pohon dengan daun berjari enambelas - ya saya menghitungnya - karena saya tak tahu nama pohon itu, Kedai Tempo, Toko Buku Kalam. Tidak semua gambar itu terpakai. Saya buang? Tidak, mungkin kelak akan terpakai dalam sajak lainnya.
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.
Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikur bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. "Kusaksikan tadi pertunjukan besar,"
saudara kucing melaporkan.
Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang.
"Hai, dari mana saja engkau?"
Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.
Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. "Hai, kemana saja engkau?"
Kupanggil engkau berulang-ulang.
(2001)
Sajak saya, jadinya seperti kolase dari rekaman-rekaman gambar itu. Ketika menempelkan gambar-gambar itu, ketika menyusun mereka, ketika menata mereka ke dalam bait-bait, tentu saja saya harus mempertimbangkan kemungkinan gambar utuh apa yang kelak hadir dari sana. Saya harus membentangkan kanvas bagi lekatnya gambar-gambar yang sudah saya rekam tadi.
Saya terus-terang saja meminjam sajak Joko Pinurbo itu. Kepada sang penyair, saya kirim pesan pendek, betapa sajak itu saya ingat selama saya berada di utan Kayu, dan saya bilang ada sajak yang saya tulis dengan kenangan pada sajak itu.
Atau katakanlah saya mencontek. Saya memaafkan diri saya atas kelancangan itu. "Kok berani-beraninya kamu mencontek Joko Pinurbo?" kata satu suara kecil di sudut hati saya. "Ah biar saja, toh akhirnya saya akan menghasilkan sajak yang lain, sajak yang berbeda," kata suara kecil lain di sudut lain hati saya.
Ah, di Utan Kayu, kau dan aku menemui banyak orang. Tapi, di Utan Kayu, sesungguhnya, kau dan aku lebih banyak menemui diri kita sendiri. Di sana Godot kita tunggu, tapi Godot tak datang. Adakah Godot? Ah, mungkin Godot ada di dalam dirikau dan diriku.
Perahu Buku
RUMAHMU danau yang tenang, perahuku tertidur
ditimang ombak mungil yang mahir menembang
Aku dan perahuku berpelukan, bulan menyaksikan,
ia cemas bertanya, "kau tak mabuk-arak, bukan?"
Ada gubuk rahasia di tepian danau tenang rumahmu,
Di situ kau memeram kata, mematangkan buah puisi
Gubuk itu dikelilingi bunga berbatang tinggi,
tak sampai memetik, aku hanya menghirup wangi
Ada sekawanan lebah dan kupu-kupu bersayap buku
hinggap di bulumataku, mengira airmataku madu
Menjelang pagi, ada cahaya dari dasar danaumu,
aku bertanya, kenapa matahari terbit dari situ?
Ada perahu muncul dari guha-kabut itu, penuh buku,
aku menduga kau mengirimnya untuk menjemputku
Rumahmu danau yang tenang, airnya tembus pandang
juntai jemariku dikecupi ikan bersisik terang
Tuesday, November 13, 2007
Sehujan-hujannya November Hujan
Axl Rose, Pistol-pistol dan Mawar-mawar :-),
dalam album "Manfaatkan Khayalanmu! I", 1991)
KETIKA aku menujukan tatap ke dalam matamu
kutemukan cinta tertahan, terbendung-buntu
tetapi, kekasihku, ketika kugenggam engkau
takkah kau tahu, padaku ada rasa yang satu?
Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dan kita sama kita tahu, hati pun mudah guyah
dan o betapa susah-payah menjaga lilin nyala
dalam dingin November hujan selebat-lebatnya
Kita telah diterpa ini peristiwa, telah lama,
hanya bisa mencoba, mencoba, membunuh derita
tetapi kekasih senantiasa tersambut dan luput
tak ada yang tahu, hari ini siapa nama tersebut
Jika kita ada sempat, ambil tempat, membentang
waktu di garis tepat, aku bisa merebah kepala
hanya untuk tahu: kau milikku, seutuhnya milikku
Maka bila kau ingin juga mencintai aku, kekasih,
kumohon sungguh, o jangan berjeda mencintai aku,
Atau akukah yang harus mengakhiri perjalanan
dalam lebat November hujan sedingin-dinginnya
*
Kau perlu sedikit saja waktu, menyendiri sendiri,
Kau perlu sedikit saja waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.
Aku tahu betapa payah menjaga hati yang membuka
ketika bahkan seorang sahabat seakan hendak menuba
Tetapi ketika kau dapat mengatur hati yang hancur
Takkah waktu itu akan menyeruak memanterai umur?
Kadang aku ingin sedikit waktu, menyendiri sendiri
Kadang aku ingin sedikit waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.
Dan ketika sepasukan ketakutanmu telah reda
Dan ketika sebarisan bayangan masih berjaga
Aku tahu itulah saatnya engkau bisa mencinta
Ketika tak ada orang yang perlu kita persalahkan
Jadi, jangan cemas pada tembok tebal kegelapan
Kita masih bisa menemukan sebentang jalan
Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dalam lebat dingin November sehujan-hujannya.
Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
O setiap siapa saja memang perlu seorang kawan
Kau tidak sendirian, kau sungguh tidak sendirian.
Monday, November 12, 2007
HAH di BAF 2007 (Foto oleh Firdaus Fadil)
------------
Dipantau di Pantai,
di Rantau Dirantai
: Damhuri Muhamad
MEMANG, tak ada tempat
kecuali sekat-sekat
ruang
di samping surau
menampung para lelaki
terusir
dari pintu rumah ibu
dari kamar bekas istri
atau
jauh terdesak
ke jarak
terhalau
ke rantau
*
KAU bilang,
"Memang,
Kami telah amat mahir
menanak riang dan risau
menyantapnya di lepau."
*
JARAK
pantai
ke pelantar pelabuhan
hanya ada sejangkau
di seberang surau.
Ketika kabut kalap
laut gelap
itulah saat tepat
untuk melepas tali tambat.
Tak akan ada yang mengantar
ketika lelaki berangkat.
Tak ada.
Pun bekal
mungkin hanya kain sebungkal
dan sebakal
sesal.
*
"JANGAN
bertanya
inginkah aku pulang,"
kau bilang,
"karena aku
terbayang pada
mata mata-mata
yang memantau
di rumah
pantai."
Mata para perempuan
yang meningkap
di tingkap.
*
"JANGAN
bertanya juga,
bagaimana aku
melangkah
di jalan
yang tak terarah
ke rumah,"
kau bilang,
"sebab kaki kami
bagai dirantai
di rantau."
dan Pelepah Pisang Kipas
: di Utan Kayu, sambil mengenang sajak Joko Pinurbo
AKU datang di sini
bertandang
bertanding
dengan sempit waktu
Engkau tak ada menungguku
Aku masih seperti bocah sekolah
tak beres-beres juga membereskan rindu
Kursi-kursi besi kecil
mengecil
ditempa dingin dini hari
kami menggigil
Engkau tak ada menemaniku
Meja kosong
di depanku
menunggu engkau yang kurus
dan lelaki gempal yang datang berkuda
dari poster lukisan Botero
Aku tadi memesan perasan jeruk panas
pas
saat Kedai Tempo dibredel jam malam
Tinggal ampas
tandas ke dasar gelas
Engkau tak ada menjawab pertanyaanku
Kemboja
membiusku dan udara Utan Kayu
menebar kembangnya ke lekat lumut
ke bata batu
dan bangku kayu
Engkau tak ada menyahut sunyiku
Aku sudah di sini
menghayati kalender fana ini
mengatur sekongkol
menyelinapkan hari gaib
di antara Minggu dan Senin
dan menamainya
dengan sebuah kata rahasia
Engkau tak ada mendengar bisik-bisikku
Pelepah-pelepah pisang kipas
tak ingin mengibas
dingin embun Jakarta belum ingin lepas
Dan pohon
yang tak kukenal namanya itu
mengulur daun berjari enam belas
Engkau tak ada bersamaku, menyambut salam itu.
Sunday, November 11, 2007
Katak, dan Kucing di Kukusan
: singgah di rumah Rieke dan Donny
HANGAT hari hujan, merendam sekolam kalam
tegak tangkai teratai, menjadi pena Li Bai
Sesusun kursi rotan, mengejar ke kejauhan
kenangan, ke kesepian toples tua kue lama
Rieke berteriak, "Kura-kuranya makan katak, Don!"
Kubayangkan, ia dijawab dengan filsafat terapan.
Di hijau halaman, di sejangkauan tangan angan
kucing memeluki sisa sunyi, ia mimpi menulis puisi
Di Kukusan, rumah itu membuka pintu bersunduk kayu
seperti kitab kisah yang berakhir bahagia, selalu.
Lima Benih Sajak
1. Dipantau di Pantai, Dibantai di Rantau
Ini sajak saya persembahkan untuk Damhuri Muhamad.
2. Daun Berjari Enambelas dan Pelepah Pisang Kipas
Dari wisma TUK di lantai 3, saya melihat taman . Di sana ada, bangku besi, meja berkanopi, musala dengan selembar sajadah, bangku kayu, dan poster lukisan Botero.
3. Kolam, Kura-kura, Katak, di Kukusan
"Don, kura-kuranya menggigit katak!" Ini teriakan Rieke Dyah Pitaloka kepada Donny Gahral Adian, suaminya. Bersama Damhuri saya singgah di rumah mereka yang indah di Kukusan, Depok.
4. Lukisan Murni di Sebuah Buku Puisi
Ini semacam resensi dalam bentuk puisi atas buku "Pelacur Para Dewa", bukunya Pranita Dewi.
5. Perahu Buku
Saya bermalam di rumah penyair Sitok Srengenge. Ada dua perahu kayu di rumah itu. Ini bukan perahu hiasan, ini perahu betulan. Perahu itu dimanfaatkan sebagai perabot menyimpan buku. Unik sekali.
Wednesday, November 7, 2007
Anda Abaikan) Bagaimana
Menikmati Sajak M Aan Mansyur
SAYA ingin mengusulkan kepada penata wajah buku ini agar di tepi dalam halaman pengantar ini diberi tanda garis putus-putus, dan di ujungnya ada gunting kecil menganga. Saya ingin mengisyaratkan bahwa kata pengantar ini boleh disobek setelah (atau bahkan sebelum) dibaca. Kalau Anda masih membaca pengantar ini, maka itu berarti usulan saya ditolak. Mohon maaf, saya tetap salah karena menerima pekerjaan memberi kata pengantar ini, tapi setidaknya, rasa bersalah saya terkurangi, toh saya sudah mengusulkan sesuatu agar Anda terhindar dari pengantar ini.
Saya mungkin terlalu banyak membaca puisi. Karena itulah, saya sering menemukan puisi yang ditulis oleh penyair yang lupa bahwa puisi itu adalah seni. Ya, seni puisi. Memang ada penyair yang sombong yang pernah bilang bahwa puisi itu melampaui seni dan melampaui bahasa, tapi saya tak maulah percaya sama penyair sombong itu. Saya merasa aman dan nyaman pada keyakinan saya – sampai kelak saya murtad dan mendirikan aliran sesat sendiri – bahwa puisi adalah seni, dan seni itu menawarkan keindahan. Ya, karena itulah saya amat menyukai sajak-sajak M Aan Mansyur (MAM) dalam buku ini.
Karena itulah saya beranikan diri menyusun pengantar yang kira-kira berisi semacam petunjuk bagaimana cara menikmati sajak-sajak MAM. Sebelum Anda meneruskan membaca, dan ah semoga Anda tidak langsung percaya dengan petunjuk ini, maka saya sarankan untuk membaca lagi frasa dalam parantesis di judul pengantar ini. Ya, Anda harus mengabaikan. Kenapa? Karena, saya yakin sajak MAM ini bisa dinikmati dengan banyak cara lain, selain dengan cara yang petunjuknya saya buat ini.
Baiklah, sebelum pengantar ini berkepanjangan, dan memakan jatah kertas yang seharusnya ditempati oleh puisi yang justru harus dinikmati saya mulai saja menuliskan pedoman itu satu per satu.
1. Anda harus percaya bahwa keindahan itu ada. Ya, bagaimana pun seorang Arif Budiman, misalnya, pernah mengatakan bahwa ia tidak percaya lagi pada keindahan (baca “Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan”, Wacana Bangsa, 2007), karena kekaburan arti dari keindahan itu sendiri, maka saya menyarankan, atau bila bisa bahkan memaksa agar Anda meyakini bahwa keindahan – terlebih dalam puisi – itu ada dan tetap akan ada. Anda akan menemukannya di dalam bait-bait sajak di buku ini. Keindahan memang tidak harus dirumuskan, bukan. Keindahan itu lahir dari penghayatan, dari ihtiar merasakan. Pada sajak yang mana keindahan itu ada? Ah, saya sudah terlampau-lampau dengan petunjuk ini apatah saya pun harus menunjuk pula pada sajaknya? Tidak, tidak.
2. Penyair kita ini sudah melampaui sekatan perhatiannya pada diri sendiri. Ya, betul. Ini peringatan Subagio Sastrowardoyo (“Dan Kematian Makin Akrab”, Grasindo, 1995). MAM tetap sajak menyair di sekutat diri sendiri, tapi ia tidak terkungkung di situ lagi. Dia memang menyajakkan pengalaman batinnya sendiri. Tetapi dia tidak menghasilkan sekadar keluh-kesah dan sedu-sedan. Ia tidak menyajikan serasah mentah peristiwa. Ia diam-diam mampu mengerahkan sepasukan besar bakteri pengurai yang entah dari mana begitu banyak terdapat di kepalanya. Bakteri inilah yang dengan lekas menghumuskan peristiwa-peristiwa yang tersaji dalam sajaknya.
3. Anda harus percaya bahwa Bahasa Indonesia itu kaya. Ya, kaya dengan segala kemungkinan pengucapan. Kaya dengan berbagai tawaran penjelajahan. Kaya dengan peluang untuk memainkan musik dengan kata-kata, seraya tetap bersetia pada ketertiban makna. Bahasa Indonesia, di lidah dan di ujung jari penyair kita ini, seakan lepas dari ancaman pemiskinan, sebagaimana pernah – dan mungkin masih - dikuatirkan bahkan oleh penyair sekaliber Goenawan Mohamad (“Kesusasteraan dan Kekuasaan”, Pustaka Firdaus, 1993).
4. Penyair kita ini terus melakukan eksperimen bahasa. Kelihatannya memang dia telah nyaman pada suatu bentuk ucap sajak-sajaknya yang terbukti “berhasil” dan “diterima”. Padahal sesungguhnya, sebagai penyair yang baik, dan akan bernafas panjang, dia sesekali risau. Dia sesungguhnya diam-diam selalu bertanya, “Adakah yang baru pada bahasa sajak saya?” Anda, bisa merasakan jawaban pertanyaan itu pada beberapa sajaknya di buku ini, yang mohon maaf, saya sekali lagi tak mau menunjuk ke sajak yang mana. Ada permainan-permainan bentuk baru, dan ada tawaran padanan-padanan kata baru yang terasa segarnya. Mungkin terburu-buru kalau saya mengatakan bahwa dia telah menemukan bahasa sajaknya. Tetapi, pada sajak-sajaknya di buku ini saya tahu dia telah menyambut tantangan penyair besar Sutardji Calzoum Bachri. Ya, MAM telah melakukan pencarian-pencarian dan bila pun belum dia pasti kelak menemukan bahasanya.
5. Penyair kita ini adalah penyair produktif dan tak pernah terikat pada suatu tempat. Ia menetap di Makassar, kota yang saya yakin telah menjadi rumah yang nyaman bagi jiwa kreatifnya. Tapi dia bisa memetik sajaknya di mana-mana. Saat terkurung dalam kantor, dalam perjalanan ke kota-kota kecil yang kerap ia lakukan, saat menjenguk ibunya di kota lain di pulau lain, saat menyendiri, saat bersama dengan kawan-kawan karibnya. Ia bisa memetik sajak dari sepi saat ia merenung, ia juga bisa menawarkan sajak sebagai jawaban dari pertanyaan kawan atau orang lain, dan ah dia pun kadang-kadang menulis sajak sebagai bentuk permainan dengan kawan-kawannya. Ketika ada seorang kawan berulang tahun, maka beberapa kawan lain ia minta menyumbang masing-masing satu kata. Lalu, berdasarkan kata yang terkumpul itu, masing-masing menggubah sajak. Begitulah, mereka menghadirkan bahkan melakoni sajak itu dalam keseharian mereka.
6. Penyair kita ini telah kuat dan ia mulai meluaskan tema sajak-sajaknya. Saya tidak ingin bilang bahwa sajak cinta adalah tema cemen dan karena itu harus dihindari dan sebaliknya tema-tema sosial adalah tema berat dan karena itu membuat penyair tampak gagah ketika menuliskannya. Rainer Maria Rilke, ah nama itu lagi, pernah menyarankan agar tema cinta dihindari saja karena sudah terlalu sering digarap. Saya yakin, MAM tahu benar nasihat itu. Dia tidak menghindar. Apakah harus dibuang bahan sajak yang begitu berlimpah dalam hatinya yang bersumber dari hal ihwal cinta itu? MAM pada sajak-sajak awal di buku pertamanya (“Hujan Rintih-rintih”, Inninnawa, 2005) berhasil mengelak dari kecengengan – meski sesekali terpleset juga dan di buku ini saya kira tepatlah saatnya bila dia telah pula masuk ke tema-tema sosial yang sesungguhnya amat fasih pula terucap oleh lidahnya, sambil tetap berhasil mempertontonkan kedewasaan yang baru dalam sajak-sajak bertema kasih sayang.
Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkan saya untuk tidak berpanjang-panjang dan segera berhenti menulis pengantar ini? Baiklah saya harus tahu diri. Sekali lagi, pengantar ini, juga rumah-rumah dan pintu-pintu sajak yang dibangun di dalam buku, sesungguhnya hanyalah kegenitan saya sebagai seorang editor yang terlalu gembira karena dipercaya dan diberi kebebasan sebebas-bebasnya oleh penyair kita untuk berbuat sesuatu pada sajak-sajaknya sebelum dibukukan. Saya bilang padanya, di depan sajak-sajak yang hebat, saya bisa menjadi editor yang hebat. Anda tentu saja boleh menemui sajak-sajak di buku ini lewat pintu belakang, menyelindap lewat jendela atau membongkar dinding, atau lewat kemungkinan apa saja yang kreatif. Karena, mengingat jawaban Sapardi Djoko Damono atas sebuah pertanyaan saya, dia bilang, “tafsir akan memperkaya sajak”. Saya dengan sok tahu bilang padanya, “ya, sajak yang baik, mengundang tafsir yang kaya”.
Pengantar ini saya buat atas permintaan (beserta rayuan) M Aan Mansyur. Bukunya berjudul "Aku Hendak Pindah Rumah". Ini buku kedua Aan, setelah "Hujan Rintih-rintih".
Tuesday, November 6, 2007
[Majas # 012] Hiperbola
Di dalam puisi, sebenarnya, tidak ada yang tidak masuk akal. Ketika menyair, penyair justru seringkali melawan batas-batas akal itu untuk membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dicapai oleh bahasa.
Gaya bahasa hiperbola kadang dekat, berhimpit, atau bertumpangan dengan gaya bahasa metafora, simile, atau metonimia. Ya, seringkali, untuk mencapai bahasa yang bertenaga dan membetot perhatian, metafora dibuat dengan berlebih-lebihan, meloncati kenyataan, dengan hiperbola juga.
Bila dalam percakapan bisa, gaya bahasa hiperbola berkesan negatif, karena yang dilebih-lebihkan itu dekat kepada yang didusta-dustakan, maka dalam puisi sebuah hiperbola justru bisa menjadi kekuatan. Asalkan gaya bahasa itu memang dipakai pada saat yang pas.
Contoh:
a. Sony Farid Maulana
aku dengar kegaduhan badai
seperti reruntuhan dadamu yang remuk
dihantam gada kehidupan kota besar:
....
("Darah Hitam"; dalam buku "Secangkir Teh"; Grasindo: Jakarta, 2005)
sorot matamu
walau tampak berkabut
terasa api mencairkan alir darahku
yang nyaris beku di kulkas kesepian
....
("Prosa Hitam"; ibid)
.... Sungai bukan lagi
tempatku bercengkerama dengan ikan-ikan. Alirannya,
mengaduh pedih disilet limbah industri
....
("Sebuah Potret Dunia Ketiga", ibid)
b. Toety Heraty
isyarat sesat tak mewujudkan manfaat
disodorkan olehnya asbak penuh meluap
....
("Pengertian", dalam buku "Mimpi dan Pretensi"; Balai Pustaka: Jakarta, Cet. ke-3, 2000)
sekali tegak racun dan duka membuat
syaraf menyala-nyala
("Jembatan", ibid)
c. Gus tf
dan di suatu tempat pada suatu ketika, kubur-kubur
dibongkar
rangka-rangka dibakar: tegakkan!....
("Isme Kejadian", dalam buku "Sangkar Daging", Grasindo: Jakarta, 1997)
siapa mengirimku ke sini, dalam amplop terbuka begini
bisingnya! kudengar beribu-ribu suara, dari beribu-ribu
berhala
beribu-ribu dunia, beribu-ribu kamera: tapi tak ada
orang yang kaukatakan telah menunggu sejak lama
mengulang manusia
("Pemandangan", ibid)
Kabel 8
AKU ingin temukan sepotong kabel bekas, mungkin
ia dalam sajak ini bisa kau anggap sebagai
metafora dari kenangan yang bisa mempertemukan
tanganku yang kusembunyikan dan bukit pipimu
yang lembut dan lembab oleh hujan tetangisan:
nanti, matamu-mataku menyala terang, bergantian
bersamaan, bersahutan, bertukar-tanya-jawaban.
Monday, November 5, 2007
Simile Senyummu
mayang kelapa, seperti aku sendiri
dulu yang menanam, menjaga tumbuhnya.
Senyummu seperti gelepar akhir ikan & udang
di perahu nelayan, seperti aku sendiri
dulu yang merajut benang jaringnya.
Sunday, November 4, 2007
Kami bertiga: Raja Ali Haji, Aku, Sitok Srengenge (foto oleh Muhamad Badri)
-----------
Kata yang Bugil, Kita yang Degil
: Sitok Srengenge
SIAPA mengayuh perahu ke gemetar pelatar
Kita gamang digayung goyang gelombang
Siapa memahat nomor dan alamat di pintu tua
Kita sampai di tapak rumah dan sepah sejarah
Siapa raja menyulut api membakar istana
Kita memungut bara, merendam dalam geram
Siapa pujangga dikubur di luar kubah istana
Kita faham, syair tak bisa memindah letak makam
Siapa yang mengajar berahi pada bugil kata
Kita lelaki yang bengal, pecinta yang degil
Siapa yang memberi nama pada setiap sia-sia
Kita mengecupkan puisi pada rekah bibir kata
Bibirku Bersujud di Bibirmu LIVE in TIM!
Semacam Rayuan dari M Aan Mansyur
Jangan percaya pada semua apa yang ditulis dia. :-). Maksud saya, percaya sebagian-sebagian saja. Soalnya tulisan itu bagian dari rayuannya menaklukkan hati saya agar mau menjadi editor buku puisi terbarunya. Sebenarnya tanpa dirayu pun saya dengan senang hari mengiyakan permintaan atau perintahnya. Soalnya saya sangat menyukai sajak-sajaknya.
Tapi, sssst, jangan bilang-bilang dia soal ini ya, nanti dia tarik kembali tulisan itu.
Jumat-Sabtu 09 - 10 November 2007,
Mulai Pukul 20.00 WIB - Selesai
Ada Acara:
8 PENYAIR MUDA BACA KARYA
Banyak penyair baru bermunculan dalam khazanah sastra Indonesia, dengan berbagai corak pengucapan dan tema. Kita dapat menyimak kehadiran karya mereka di berbagai media massa, merasakan gairah, kegagapan maupun kefasihan mereka, pun tak jarang menikmati kesegaran yang mereka tawarkan. Dan tak sedikit di antara mereka yang telah memasuki tingkat kematangan.
Teater Utan Kayu mengundang beberapa nama yang barangkali bisa dibilang termasuk gelombang baru dalam kepenyairan Indonesia untuk membacakan karya-karya mereka: Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Nganjuk), dan Pranita Dewi (Bali).
Thursday, November 1, 2007
[Majas # 011] Litotes
Contoh:
a.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.
("Tuhan Datang Malam Ini", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera: Magelang, 2001)
Sajak Joko Pinurbo ini dipersembahkan untuk Goenawan Mohamad. Saya dalam sajak itu, bisalah kita anggap sebagai pendapat seorang Jokpin tentang seorang GM. Alih-alih mengumbarkan kata pujian, Jokpin malah memaparkan sejumlah kalimat merendah, yang justru terasa makin membesarkan siapa sosok GM itu.
b.
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
....
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
("WALAU", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)
Sutardji adalah penyair besar. Tapi, kebesarannya justru membuat dia merasa amat rendah di depan Tuhan. Hingga ia tidak menulis puisi lagi, dia sadar tidak akan mampu mencapai kebesaran Allah.
c.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
("Aku Ingin", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)
Cinta yang sederahana, justru terasa cinta itu luar biasa dahsyatnya. Cinta yang sejati memang seperti itulah harusnya. Si aku yang mencintai hanya mengobankan diri tanpa bicara, hingga ia habis dan jadi tiada seperti kayu terbakar demi kobar api yang ia cintai.
d.
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.
("Kita Guyah Lemah", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)
Kita lemah, tapi dari kesadaran akan keterbatasan itulah aku penyair mengajak agar kita pendam erang dan jeritan, agar orang tak tahu, dan kita bsia tegak membentak dan mengusir ancaman dari luar diri.