Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, December 31, 2003
[Kata Pujangga] Percy Bysshe Shelley
PENYAIR adalah burung bul-bul, yang duduk di kegelapan dan bernyanyi merayakan kesunyiannya dengan suara merdu; pendengarnya adalah orang yang terpikat melodi yang dilagukan pemusik yang tak tampak, dia merasa tergerak dan tersentuh lembut, walau tak tahu dimana itu pernah dirasakannya dan juga tak tahu kenapa sebabnya.
[Kata Pujangga] Prosa Terbaik, Penuh Puisi: Virginia Woolf
Ya, betul sekali, puisi itu lezat; karya prosa terbaik adalah yang nyaris seluruhnya diisi penuh dengan puisi.
[Kata Pujangga] Menzalimi Puisi, Joseph Brodsky
Pada karya-karya para penyair terbaik Anda bisa bertemu dengan sensasi bahwa mereka tidak lagi berbicara kepada manusia, atau kepada yang gaib. Apa yang mereka lakukan adalah percakapan sederhana dengan bahasa itu sendiri -- dengan seperangkat aspek berbahasa seperti keindahan, sensualitas, kebijakan, ironi -- yang diberdayakan oleh penyair sebagai cermin jernih.
Puisi bukan sebuah seni atau cabang dari seni, dia sesuatu yang lebih melampaui. Yang membedakan kita dengan spesies lain adalah berbicara, maka puisi yang merupakan laku tertinggi dari berbahasa, adalah sasaran antropologis manusia terlebih dari aspek genetis. Siapa saja yang memandang puisi sebagai sebuah hiburan, sebagai sebuah "bacaan", berarti telah melakukan kejahatan antropologis, dan yang pertama dizaliminya adalah dirinya sendiri.***
[Kata Pujangga] Penyair, Seperti Kita: Elizabeth Drew
Kita membaca puisi karena penyair, sama seperti kita, dihantui oleh tiran yang tak bisa kita hindari yakni waktu dan maut; karena penyair didera sakit karena kehilangan, terlebih oleh frustasi dan kegagalan; karena penyair punya keinginan yang tak tertampakkan akan kebebasan dan kedamaian. Penyair tahu hal itu dan melihatnya dalam diri mereka dan dalam diri orang lain.
Tuesday, December 30, 2003
[Ruang Renung # 51] Puisi Lama, Puisi Baru: Pantun Namanya
     ADA banyak bentuk puisi lama yang dipakai oleh pujangga-pujangga dahulu. Ada talibun, ada gurindam, ada pantun, ada pantun berkait, ada bidal, kwatrin, soneta dan beberapa bentuk lainnya. Dalam khazanah sastra lisan dan tulis Melayu lama pantun menempati tempat istimewa. Ini genre puisi yang khas dari budaya itu. Bentuk ini berlayar jauh hingga sampai dipakai juga oleh penyair di negeri eropa. Di Prancis mereka penyebutnya pantoum. Memang bentuk puisi ini di luar negerinya tidak sepopuler haiku yang dihasilkan budaya Jepang.
     TERHADAP pantun, dan bentuk-bentuk sajak lama lainnya, kita tidak usah memandang rendah, atau melihatnya sebagai bentuk yang out of date. Kita justru harus merasa tertantang untuk menaklukkannya tanpa merusaknya. Kita harus bisa memperbaharuinya sambil tetap bersetia padanya. Bukankah Chairil Anwar --- yang selalu dirujuk sebagai pendobrak, dan pengusung kebebasan bentuk dan tema dalam bersajak --- juga ada menulis sajak empat baris yang taat bunyi di ujung baris. Penyair itu menunjukkan keberhasilannya berjuangan menaklukkan konvensi, seperti disebut Sapardi. Sajak "Kabar dari Laut" ditulis dalam bentuk soneta. Sajak "Senja di Pelauhan Kecil" adalah bentuk kwatrin yang indah. Ada juga kwatrin yang telah diakali oleh Chairil seperti "Yang Terampas dan Yang Putus", di mana bait keempat ia pisahkan sehingga tampak seperti sajak yang tak patuh pada bentuk tetap apapun. Jejak kwatrin dengan rima a-b-a-b terasa apabila baris keempat itu digabung ke bait di atasnya.
     JADI? Apa alasan kita untuk meninggalkan atau memaki bentuk sajak lama atau sajak berbentuk tetap? Sajak bentuk bebas dan sajak bentuk tetap sama menantangnya untuk digelut-sendai.
     SEKADAR contoh, bagaimana sebuah pantun diutak-atik. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, tapi suasana baru terbangkitkan. Baris terakhir, dalam pantun ini memang tidak tuntas kalimatnya, seperti tersirat dan memang ia menguatkan judulnya. Tetapi rimanya sudah lengkap: a-b-a-b. Ketentuan pantun dengan sampiran dan isi juga dipertahankan. Namanya juga pantun. Silakan menilik:
3 Pantun tak Tuntas
telah membusuk: setangkai sirih
kupetik pada cuaca yang salah
telah kau tusuk: sehunus pedih
ketika kau berbisik: "aku telah...."
sebelah pinang sekerat kenang
engkau sirih yang tak terkunyah
sembunyi di gelap selapis bayang
aku bertanya: "Engkaukah...."
berkanvas sirih engkau kulukis
berkuas jemari kulakar tatapku
bergegas sisa-sisa dengus kukais
sebelum nafas habis, lalu....[hah]
     TERHADAP pantun, dan bentuk-bentuk sajak lama lainnya, kita tidak usah memandang rendah, atau melihatnya sebagai bentuk yang out of date. Kita justru harus merasa tertantang untuk menaklukkannya tanpa merusaknya. Kita harus bisa memperbaharuinya sambil tetap bersetia padanya. Bukankah Chairil Anwar --- yang selalu dirujuk sebagai pendobrak, dan pengusung kebebasan bentuk dan tema dalam bersajak --- juga ada menulis sajak empat baris yang taat bunyi di ujung baris. Penyair itu menunjukkan keberhasilannya berjuangan menaklukkan konvensi, seperti disebut Sapardi. Sajak "Kabar dari Laut" ditulis dalam bentuk soneta. Sajak "Senja di Pelauhan Kecil" adalah bentuk kwatrin yang indah. Ada juga kwatrin yang telah diakali oleh Chairil seperti "Yang Terampas dan Yang Putus", di mana bait keempat ia pisahkan sehingga tampak seperti sajak yang tak patuh pada bentuk tetap apapun. Jejak kwatrin dengan rima a-b-a-b terasa apabila baris keempat itu digabung ke bait di atasnya.
     JADI? Apa alasan kita untuk meninggalkan atau memaki bentuk sajak lama atau sajak berbentuk tetap? Sajak bentuk bebas dan sajak bentuk tetap sama menantangnya untuk digelut-sendai.
     SEKADAR contoh, bagaimana sebuah pantun diutak-atik. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, tapi suasana baru terbangkitkan. Baris terakhir, dalam pantun ini memang tidak tuntas kalimatnya, seperti tersirat dan memang ia menguatkan judulnya. Tetapi rimanya sudah lengkap: a-b-a-b. Ketentuan pantun dengan sampiran dan isi juga dipertahankan. Namanya juga pantun. Silakan menilik:
3 Pantun tak Tuntas
telah membusuk: setangkai sirih
kupetik pada cuaca yang salah
telah kau tusuk: sehunus pedih
ketika kau berbisik: "aku telah...."
sebelah pinang sekerat kenang
engkau sirih yang tak terkunyah
sembunyi di gelap selapis bayang
aku bertanya: "Engkaukah...."
berkanvas sirih engkau kulukis
berkuas jemari kulakar tatapku
bergegas sisa-sisa dengus kukais
sebelum nafas habis, lalu....[hah]
[Kata Pujangga # ] Premium Call dan Puisi: Allen Ginsberg
[Kata Pujangga] Kredo Itu, Doktrin Itu, Joseph Brodksy
Bagi penyair, kredo atau doktrin bukanlah pintu masuk bagi kedatangan, tapi sebaliknya, itu adalah pintu keberangkatan ke perjalanan metafisis.
[Kata Pujangga] Mark Twain: Perang dan Bulan
Selalu menarik menyimak kisah perang yang dikisahkan oleh orang yang pernah ikut bertempur; Sementara itu, seorang penyair yang berkisah soal bulan, padahal ia tak pernah berada di sana, mungkin akan terasa menjemukan.
[Kata Pujangga] Mahkota Sastra, Puisi! -- W. Somerset Maugham
MAHKOTA sastra adalah puisi. Puisi adalah akhir dan tujuan. Puisi adalah aktivitas paling sublim dari pikiran manusia. Puisi adalah pencapaian keindahan dan kelembutan. Penulis prosa hanya bisa berjalan menyisi ketika penyair lewat melintas.
[Kata Pujangga] Penyair yang Menyerah, Stéphane Mallarmé
Karya sejati secara tidak langsung menunjukkan menghilangnya kemampuan bicara seorang penyair, yang telah menyerah kepada kata-kata.
HARI INI TAK ADA LAPORAN DARI ACEH *
HALO! Ya, di sini Kutaraja.
TAPI hari ini tak ada peristiwa yang layak dilaporkan.
Tak ada. Memang, tadi ada suara berondongan senjata
yang mual-mual lalu muntah peluru. Ada juga suara orang
tertembak. Ya, semacam itulah. Tapi sesudah itu sungguh
hanya ada sepi. Sepi yang membekas pada lubang peluru yang
menembus huruf Z pada papan pengumuman ZONA DAMAI,
di tepi jalan yang lengang setelah dilalui panser dan tank,
sepi yang menggigil di redam jam malam.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.
TAPI, hari ini masih tidak ada berita. Memang, tadi ada
lagi yang tertembak. Tentu saja luka. Tentu saja ada darah
panas yang tumpah. Tapi, setelah itu segera saja dingin
merembes ke tanah. Tewas? Mungkin saja. Tapi, nanti saja.
Kita pastikan jumlahnya. Memang tadi ada beberapa yang
terkapar lalu diselimuti dengan kain spanduk CoHA
(Kesepakatan Penghentian Permusuhan). Memang tak jelas lagi
terbaca tulisannya. Merah huruf merah darah terbancuh jadi
bercak-bercak bahang, lalu hanya amis yang mengeja udara.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.....
Mei 2003
* Puisi yang kutulis ketika Darurat Militer dimulai di Aceh, dan selama sebulan, setiap pagi aku menelepon Iwan B Mohan wartawan di surat kabar kami yang meliput di sana. Kabar duka cita Ersa Siregar tiba-tiba mengingatkanku dan membimbing aku kembali untuk membaca puisi ini.[HAH]
TAPI hari ini tak ada peristiwa yang layak dilaporkan.
Tak ada. Memang, tadi ada suara berondongan senjata
yang mual-mual lalu muntah peluru. Ada juga suara orang
tertembak. Ya, semacam itulah. Tapi sesudah itu sungguh
hanya ada sepi. Sepi yang membekas pada lubang peluru yang
menembus huruf Z pada papan pengumuman ZONA DAMAI,
di tepi jalan yang lengang setelah dilalui panser dan tank,
sepi yang menggigil di redam jam malam.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.
TAPI, hari ini masih tidak ada berita. Memang, tadi ada
lagi yang tertembak. Tentu saja luka. Tentu saja ada darah
panas yang tumpah. Tapi, setelah itu segera saja dingin
merembes ke tanah. Tewas? Mungkin saja. Tapi, nanti saja.
Kita pastikan jumlahnya. Memang tadi ada beberapa yang
terkapar lalu diselimuti dengan kain spanduk CoHA
(Kesepakatan Penghentian Permusuhan). Memang tak jelas lagi
terbaca tulisannya. Merah huruf merah darah terbancuh jadi
bercak-bercak bahang, lalu hanya amis yang mengeja udara.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.....
Mei 2003
* Puisi yang kutulis ketika Darurat Militer dimulai di Aceh, dan selama sebulan, setiap pagi aku menelepon Iwan B Mohan wartawan di surat kabar kami yang meliput di sana. Kabar duka cita Ersa Siregar tiba-tiba mengingatkanku dan membimbing aku kembali untuk membaca puisi ini.[HAH]
Mungkin Engkau Sisiphus Yang Berbahagia*
Sajak Nanang Suryadi
:h.a.
mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. memanggul batu di punggungmu. dan menyebutnya sebagai rindu. mungkin pula cinta
dan kau gulirkan batu itu. dari puncak gegunung puisi.
mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. kau dengar? camus tertawa.
* Dari nanangsuryadi.blogspot.com
Akulah Batu yang Memikul Sisiphus
Penyair, apa yang kalian tahu tentang Sisiphus? Ha, akulah batu yang memanggul dia dari lembah ke bukit dari gunung ke tebing tebing.
Dan kau tahu, penyair? Kami bergulingan bahagia saling memanggul dan tertawa-tawa karena gunung dan langit iri, tak bisa berjatuhan seperti kami. Ha! Apa kau tahu tentang batu, Penyair?
Apa yang kau tentang dirimu, Penyair?
Des 2003
:h.a.
mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. memanggul batu di punggungmu. dan menyebutnya sebagai rindu. mungkin pula cinta
dan kau gulirkan batu itu. dari puncak gegunung puisi.
mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. kau dengar? camus tertawa.
* Dari nanangsuryadi.blogspot.com
Akulah Batu yang Memikul Sisiphus
Penyair, apa yang kalian tahu tentang Sisiphus? Ha, akulah batu yang memanggul dia dari lembah ke bukit dari gunung ke tebing tebing.
Dan kau tahu, penyair? Kami bergulingan bahagia saling memanggul dan tertawa-tawa karena gunung dan langit iri, tak bisa berjatuhan seperti kami. Ha! Apa kau tahu tentang batu, Penyair?
Apa yang kau tentang dirimu, Penyair?
Des 2003
Monday, December 29, 2003
[Ruang Renung # 50] Ke dalam Puisi, Biar Makna Datang Pergi
   ADA pembaca yang dengan nafsu memburu pesan dan makna ke dalam puisi-puisi yang dibacanya. Maka puisi dihadapinya seperti hewan buruan. Begitu pesan didapatkan makna diringkusnya, maka ia merasa telah menaklukkan puisi yang dibacanya. Puisi memang harus memiliki makna. Bila tidak? Dia akan jadi sia-sia. Tetapi makna itu tidak harus hadir seperti biji di dalam daging buah. Dia bisa hadir dalam rasa dalam daging buah ketika ia tergigit dan sarinya menyentuh syaraf lidah. Apapun rasanya, maniskah, asinkah, atau pahitkah. Jadi agak kurang adil juga kalau lekas menganggap puisi tidak bermakna apa-apa hanya karena -- ibarat buah yang terbelah -- kita tidak menemukan biji tepat di tengahnya. Jadi, jangan menghukum dengan kalimat, "Ini buah gumpa!" Buah itu tidak mandul, meski tak ada biji di dalamnya. Atau karena pahit rasanya. Bagi kita tidak, mungkin bagi burung atau ulat buah itu alangkah lezatnya.
   LALU ada penyair yang memanfaatkan puisinya sebagai penyampai pesan-pesannya. Dia ingin mengisi makna dalam puisinya dengan pesan-pesannya itu. Dia ingin pembaca membaca puisinya itu dan memaknainya seperti dia memaknai puisinya. Rasanya, ini juga sebuah bentuk ketidakadilan terhadap puisi. Justru, keasyikan menulis puisi itu bisa lebih asyik kalau kita sendiri menebak-nebak apa makna yang kelak menyelinap ke dalam puisi kita. Justru, puisi yang asyik, akan mengundang beragam tafsir karena memang tidak menutup dirinya pada makna yang tunggal. Bahwa kita pun juga bebas memaknai puisi kita sendiri ketika membaca kelak, meskipun tidak lagi mengulangi apa yang dulu menggerakkan kita ketika menuliskannya dulu. Ke dalam puisi, biarkanlah makna-makna ramai datang dan pergi. [hah]
   LALU ada penyair yang memanfaatkan puisinya sebagai penyampai pesan-pesannya. Dia ingin mengisi makna dalam puisinya dengan pesan-pesannya itu. Dia ingin pembaca membaca puisinya itu dan memaknainya seperti dia memaknai puisinya. Rasanya, ini juga sebuah bentuk ketidakadilan terhadap puisi. Justru, keasyikan menulis puisi itu bisa lebih asyik kalau kita sendiri menebak-nebak apa makna yang kelak menyelinap ke dalam puisi kita. Justru, puisi yang asyik, akan mengundang beragam tafsir karena memang tidak menutup dirinya pada makna yang tunggal. Bahwa kita pun juga bebas memaknai puisi kita sendiri ketika membaca kelak, meskipun tidak lagi mengulangi apa yang dulu menggerakkan kita ketika menuliskannya dulu. Ke dalam puisi, biarkanlah makna-makna ramai datang dan pergi. [hah]
aku menyebutnya sebagai rindu, biar
di punggungku batu:
kau tak kuharap percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu.
dari puncak gunung sepiku,
kuturuni hujan itu,
di punggungku batu:
kau tak kuminta percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu.
ada yang sempat kupetik,
senyummu debu di dedaunan,
di punggungku batu:
kau tak kupaksa percaya,
aku menyebutnya
sebagai rindu.
hingga deras sungai
yang meminta, batu itupun
masih di punggungku,
kupeluk kudekap bersama
hujan yang mengepung.
aku menggigil:
kau mungkin mau tak percaya,
aku menyebutnya
sebagai rindu.
Des 2003
seperti puisi membatu di punggungmu
sajak Nanang Suryadi
mungkin
engkau
menyebutnya
rindu
aku
percaya
seperti
puisi
yang
membatu
di atas
punggungmu
itu.
* Sajak Nanang dipungut dari buku tamu situs ini.
pembaitan diselenggarakan oleh HA.
kau tak kuharap percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu.
dari puncak gunung sepiku,
kuturuni hujan itu,
di punggungku batu:
kau tak kuminta percaya
aku menyebutnya
sebagai rindu.
ada yang sempat kupetik,
senyummu debu di dedaunan,
di punggungku batu:
kau tak kupaksa percaya,
aku menyebutnya
sebagai rindu.
hingga deras sungai
yang meminta, batu itupun
masih di punggungku,
kupeluk kudekap bersama
hujan yang mengepung.
aku menggigil:
kau mungkin mau tak percaya,
aku menyebutnya
sebagai rindu.
Des 2003
seperti puisi membatu di punggungmu
sajak Nanang Suryadi
mungkin
engkau
menyebutnya
rindu
aku
percaya
seperti
puisi
yang
membatu
di atas
punggungmu
itu.
* Sajak Nanang dipungut dari buku tamu situs ini.
pembaitan diselenggarakan oleh HA.
Sunday, December 28, 2003
Oda Bagi Tomat
Sajak Pablo Neruda
Jalanan
penuh berisi tomat,
tengah hari,
musim semi,
sinar terang
terbelah
bagai
sebuah
tomat,
saribuahnya
mengalir
menderas di jalanan.
Ini Desember,
takteredakan,
tomat-tomat
menyerbu
dapur,
dia datang waktu makan siang,
menyelinap
ke atas gerai dapur
di antara gelas-gelas,
mangkuk mentega,
biru toples garam.
Ia menanggalkan
cahayanya sendiri,
keagungan yang ramah.
Malangnya, kita mesti
membunuhnya:
pisau
terbenam pada
daging segar,
merah isinya
matahari
yang dingin,
dalam,
tak habis-habis,
berdiam di salad-salad
di Negeri Chili,
bahagia, menyandingi
bawang putih,
dan bagi merayakan perkawinan itu
kami
curahkan
minyak sayur,
sari zaitun,
ke separuh hemisfer,
merica
datang menambahkan
aromanya,
garam, daya magnetnya;
Itulah pernikahan
teragung hari itu,
daun seledri
menggerek mengibar
bendera,
kentang-kentang
menggelembung dahsyat,
dan aroma
daging panggang
mengetuk pintu,
Ha, inilah saatnya!
Ayo!
dan, di
atas meja, di tengah
panasnya musim panas,
sang tomat,
bintangnya bumi, berulang
kembali dan bintang
yang subur,
memajang
belitannya,
kanalnya,
ayun angguk luar biasa
dan berlimpah jumlah,
tak ada lubang,
tak ada sisa kulit,
tak ada daun atau duri,
tomat rela menawarkan
persembahannya
warnanya menyala
dan sejuknya kesempurnaan.
Jalanan
penuh berisi tomat,
tengah hari,
musim semi,
sinar terang
terbelah
bagai
sebuah
tomat,
saribuahnya
mengalir
menderas di jalanan.
Ini Desember,
takteredakan,
tomat-tomat
menyerbu
dapur,
dia datang waktu makan siang,
menyelinap
ke atas gerai dapur
di antara gelas-gelas,
mangkuk mentega,
biru toples garam.
Ia menanggalkan
cahayanya sendiri,
keagungan yang ramah.
Malangnya, kita mesti
membunuhnya:
pisau
terbenam pada
daging segar,
merah isinya
matahari
yang dingin,
dalam,
tak habis-habis,
berdiam di salad-salad
di Negeri Chili,
bahagia, menyandingi
bawang putih,
dan bagi merayakan perkawinan itu
kami
curahkan
minyak sayur,
sari zaitun,
ke separuh hemisfer,
merica
datang menambahkan
aromanya,
garam, daya magnetnya;
Itulah pernikahan
teragung hari itu,
daun seledri
menggerek mengibar
bendera,
kentang-kentang
menggelembung dahsyat,
dan aroma
daging panggang
mengetuk pintu,
Ha, inilah saatnya!
Ayo!
dan, di
atas meja, di tengah
panasnya musim panas,
sang tomat,
bintangnya bumi, berulang
kembali dan bintang
yang subur,
memajang
belitannya,
kanalnya,
ayun angguk luar biasa
dan berlimpah jumlah,
tak ada lubang,
tak ada sisa kulit,
tak ada daun atau duri,
tomat rela menawarkan
persembahannya
warnanya menyala
dan sejuknya kesempurnaan.
Saturday, December 27, 2003
Pukul Duabelas
Syair Rabindranath Tagore
Setelah bersama bukuku sepanjang pagi, Ibu
Sungguh aku ingin berhenti sebentar belajar.
Katamu, ibu, inikan baru jam dua belas siang.
Tapi mungkin tak lagi, sebab bisakah kau pikir
ini sore hari meskipun baru pukul duabelas?
Bisa dengan mudah kubayangkan, sekarang
matahari mencapai ujung sawah itu, dan nelayan
perempuan sedang memetik pucuk-pucuk untuk
makan malamnya, nun di sana di sisi telaga.
Maka kututup saja mataku dan menerawangkan
bayang-bayang berkembang semakin gelap
di bawah pohon madar itu, dan permukaan air
di telaga itu tampak hitam berkilau-kilauan.
Bila pukul dua belas bisa mendatangi malam hari,
kenapa malam tak bisa tiba di pukul dua belas?
Setelah bersama bukuku sepanjang pagi, Ibu
Sungguh aku ingin berhenti sebentar belajar.
Katamu, ibu, inikan baru jam dua belas siang.
Tapi mungkin tak lagi, sebab bisakah kau pikir
ini sore hari meskipun baru pukul duabelas?
Bisa dengan mudah kubayangkan, sekarang
matahari mencapai ujung sawah itu, dan nelayan
perempuan sedang memetik pucuk-pucuk untuk
makan malamnya, nun di sana di sisi telaga.
Maka kututup saja mataku dan menerawangkan
bayang-bayang berkembang semakin gelap
di bawah pohon madar itu, dan permukaan air
di telaga itu tampak hitam berkilau-kilauan.
Bila pukul dua belas bisa mendatangi malam hari,
kenapa malam tak bisa tiba di pukul dua belas?
[Ruang Renung # 49] Menerjemahkan Keasingan
     SESUNGGUHNYA, pekerjaan menyair, pada salah satu dari banyak jalan masuknya, memanglah sebuah pekerjaan menerjemahkan keasingan. Jadi, tak usah ragu, tak perlu takut dan tak pada tempatnya jika menganggap pekerjaan menerjemahkan sajak-sajak asing sebagai kerja kepenyairan kelas dua. Anggap saja itu sebagai latihan. Nikmati saja proses mencari padanan kata-kata asing ke dalam bahasa ibu. Atau sebut saja itu sebagai bagian dari upaya untuk belajar mengusai bahasa negeri asing di mana puisi itu ditulis.
     Bukankah Chairil Anwar juga menerjemahkan puisi asing? Amal Hamzah juga menerjemahkan Tagore? Seperti juga dilakukan Hartoyo Andangjaya. Bukankah MS Merwin juga menerjemahkan sajak-sajak Neruda dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris? Bukankah Tagore sendiri menerjemahkan sajak-sajaknya sendiri yang semula ditulisnya dalam bahasa Bengali ke dalam Bahasa Inggris? Seperti yang juga diperbuat oleh Iqbal dari Bahasa Parsi ke Inggris.
     Banyak petunjuk teknis bagai mana sebuah puisi diterjemahkan. Pada dasarnya prosesnya adalah sebagai berikut. Pertama tangkaplah suasana sajak asing itu seerat-eratnya. Lalu resapkan suasana itu. Lalu telusurilah kata demi katanya, mencari terjemahannya dengan berpatokan pada suasana yang sudah terpegang tadi. Dan terakhir, mestinya puisi yang terterjemahkan tadi tetaplah menghasilkan sebuah puisi dalam bahasanya yang baru.[hah]
     Bukankah Chairil Anwar juga menerjemahkan puisi asing? Amal Hamzah juga menerjemahkan Tagore? Seperti juga dilakukan Hartoyo Andangjaya. Bukankah MS Merwin juga menerjemahkan sajak-sajak Neruda dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris? Bukankah Tagore sendiri menerjemahkan sajak-sajaknya sendiri yang semula ditulisnya dalam bahasa Bengali ke dalam Bahasa Inggris? Seperti yang juga diperbuat oleh Iqbal dari Bahasa Parsi ke Inggris.
     Banyak petunjuk teknis bagai mana sebuah puisi diterjemahkan. Pada dasarnya prosesnya adalah sebagai berikut. Pertama tangkaplah suasana sajak asing itu seerat-eratnya. Lalu resapkan suasana itu. Lalu telusurilah kata demi katanya, mencari terjemahannya dengan berpatokan pada suasana yang sudah terpegang tadi. Dan terakhir, mestinya puisi yang terterjemahkan tadi tetaplah menghasilkan sebuah puisi dalam bahasanya yang baru.[hah]
[Ruang Renung # 48] Yang Bukan Chairil Anwar
     CHAIRIL Anwar cuma hidup 27 tahun. Singkat, dan hanya sedikit menulis puisi. Tapi seolah berkejaran dengan maut dia benar-benar memanfaatkan hidupnya yang lekas itu. Dia sudah berhasil meninggalkan jejak sangat berarti dan mempengaruhi kepenyairan berikutnya. Sosoknya, riwayat hidupnya, tafsir atas kepenyairan dan tentu saja atas syair-syairnya, terus menjadi dan memberi ilham. Sesungguhnya dia sendiri seperti ditakdikan sebagai puisi: bebas mengundang banyak tafsir dan orang pun bebas memaknai. Dia menjadi semacam patokan, semacam ukuran, sebagai rujukan yang menarik.
     Selalu ada alasan untuk mengajukan tanya, "Hei sejauh mana kau mengenal dia?"
     Selalu menantang untuk membandingkan, "Sedalam Chairilkah sudah kau korek kata?"
     Dan selalu mengusik untuk menggugat, "Sehebat apa kau bisa mengelak pengaruh Chairil dalam sajak-sajakmu?"
     Maka, biarkanlah Chairil hidup seribu tahun lagi tambah seribu tahun lagi seperti cita-cita tersebutkan dalam bait puisinya. Sesekali kagumilah. Pada bagian lain campakkan dia. Pada sisi lain teladanilah. Dan saat lain lupakanlah.
     Biarkan dia tenang dalam matinya. Tak perlu merindu-rindukan akan lahir lagi seoang Chairil. Biarkanlah secara alami lahir penyair lain yang bukan Chairil, yang bukan Rendra, yang bukan Taufik yang bukan Sutardji, yang bukan Afrizal, yang bukan Sapardi yang bukan Pinurbo. Seperti juga kita boleh berharap lahir lagi penyair yang bukan Tagore, bukan Gibran, bukan Li Po, bukan Neruda. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kereta-kereta bayi bagi kelahiran bayi-bayi penyair baru. Bukan menggedor-gedor keranda penyair yang sudah lama mati.[hah]
     Selalu ada alasan untuk mengajukan tanya, "Hei sejauh mana kau mengenal dia?"
     Selalu menantang untuk membandingkan, "Sedalam Chairilkah sudah kau korek kata?"
     Dan selalu mengusik untuk menggugat, "Sehebat apa kau bisa mengelak pengaruh Chairil dalam sajak-sajakmu?"
     Maka, biarkanlah Chairil hidup seribu tahun lagi tambah seribu tahun lagi seperti cita-cita tersebutkan dalam bait puisinya. Sesekali kagumilah. Pada bagian lain campakkan dia. Pada sisi lain teladanilah. Dan saat lain lupakanlah.
     Biarkan dia tenang dalam matinya. Tak perlu merindu-rindukan akan lahir lagi seoang Chairil. Biarkanlah secara alami lahir penyair lain yang bukan Chairil, yang bukan Rendra, yang bukan Taufik yang bukan Sutardji, yang bukan Afrizal, yang bukan Sapardi yang bukan Pinurbo. Seperti juga kita boleh berharap lahir lagi penyair yang bukan Tagore, bukan Gibran, bukan Li Po, bukan Neruda. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kereta-kereta bayi bagi kelahiran bayi-bayi penyair baru. Bukan menggedor-gedor keranda penyair yang sudah lama mati.[hah]
Dunia Bayi
Syair Rabindranath Tagore
Betapa ingin aku mengambil tempat di sudut
paling tenang di hati bayiku, di dunia sejatinya.
Aku tahu, di sana ada bintang yang bercakap
dengannya, dan langit yang merunduk ke
wajahnya, menggelitik hati dengan jenaka
awan-awannya dan pelangi-pelanginya.
Mereka yang berbuat seakan-akan bebal.
Dan berpura seperti mereka tak pernah bisa
bergerak, lalu mengendap ke jendela dengan
kisah-kisah mereka dan dengan keranjang
penuh dengan mainan cerdas cemerlang.
Betapa ingin aku bepergian di sepanjang jalan
yang melintasi benak bayi dan terus melampaui
seluruh tempat yang terlarang dikunjungi;
Dimana sang pengabar membawa pesan
meski tanpa harus ada alasan antara satu
kerajaan ke kerajaan Raja-raja tak beriwayat;
Dimana Sang Pedalih merangkai layang-layang
dan menerbangkannya, dan Sang Kebenaran
menata Kenyataan bebas belenggu kekangan.
Betapa ingin aku mengambil tempat di sudut
paling tenang di hati bayiku, di dunia sejatinya.
Aku tahu, di sana ada bintang yang bercakap
dengannya, dan langit yang merunduk ke
wajahnya, menggelitik hati dengan jenaka
awan-awannya dan pelangi-pelanginya.
Mereka yang berbuat seakan-akan bebal.
Dan berpura seperti mereka tak pernah bisa
bergerak, lalu mengendap ke jendela dengan
kisah-kisah mereka dan dengan keranjang
penuh dengan mainan cerdas cemerlang.
Betapa ingin aku bepergian di sepanjang jalan
yang melintasi benak bayi dan terus melampaui
seluruh tempat yang terlarang dikunjungi;
Dimana sang pengabar membawa pesan
meski tanpa harus ada alasan antara satu
kerajaan ke kerajaan Raja-raja tak beriwayat;
Dimana Sang Pedalih merangkai layang-layang
dan menerbangkannya, dan Sang Kebenaran
menata Kenyataan bebas belenggu kekangan.
Thursday, December 25, 2003
Aku Menggilai Mulutmu, Suaramu, Rambutmu*
Sajak Pablo Neruda
Aku menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Roti tak menyelerakanku, fajar mengusikku
sepanjang hari, kuburu jejak baur langkahmu.
Aku lapar mereguk renyah suara tawamu,
hasil panen yang liar sewarga tanganmu
aku lapar batu-batu pucat jari-jari tanganmu,
bagai almon, aku ingin memakan kulitmu
Ingin kulahap nyala matahari di tubuh indahmu
Hidung yang bertahta di angkuhnya wajahmu
Ingin kulahap barisan teduh bulu-bulu matamu
dan kuberjalan lapar, mengendusi senja waktu,
memburumu, memburu panas jantungmu,
bagai seekor puma di padang tandus Quitraue.
* Bagian ke sekian dari 100 Soneta Cinta.
Aku menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Roti tak menyelerakanku, fajar mengusikku
sepanjang hari, kuburu jejak baur langkahmu.
Aku lapar mereguk renyah suara tawamu,
hasil panen yang liar sewarga tanganmu
aku lapar batu-batu pucat jari-jari tanganmu,
bagai almon, aku ingin memakan kulitmu
Ingin kulahap nyala matahari di tubuh indahmu
Hidung yang bertahta di angkuhnya wajahmu
Ingin kulahap barisan teduh bulu-bulu matamu
dan kuberjalan lapar, mengendusi senja waktu,
memburumu, memburu panas jantungmu,
bagai seekor puma di padang tandus Quitraue.
* Bagian ke sekian dari 100 Soneta Cinta.
Bagi Dua Anaknya
Syair Li Po
Di tanah Wu, hijaulah daun-daun mulberi,
tiga kali sudah ulat sutera tidur sehari.
Di Luh bagian timur, keluargaku tinggal,
kutebak-tebak siapa menabur di ladang kita.
Aku masih belum bisa pulang di musim semi,
Masih tak bisa apa-apa, mengembarai sungai.
Angin selatan mengembus jiwaku merindu rumah
dan membawanya ke hadapan kedai minum kita.
Di sana kulihat pohon persik di sisi timur rumah
dengan daun ngambang, alun cabang di kabut biru.
Itulah pohon yang kutanam saat pergi tiga tahun lalu.
Pohon persik yang menjulang setinggi kedai,
sementara aku mengembara tak kembali.
Ping-yang, anakku jelita, kulihat kau berdiri
di sisi pohon persik dan memetik cabang bunga.
Kau memetik bunga-bunga, tak ada aku di sana
Lihat, air matamu luruh bagai arus air!
Putra kecilku, Po-chin, kau pun tumbuh
setinggi bahu saudara perempuanmu,
Kau bermain di halaman di bawah pohon persik itu.
Tapi siapa yang menepuk-nepuk di belakangmu?
Ketika terlintas pikiran ini, perasaanku kacau,
Dan kuasah duka tajam, menusuk hatiku sendiri,
setiap hari. Dan kini, kubasahi selembar sutra putih
dengan air mata, saat kutulis surat ini.
Dan kukirim dengan kasihku, sejauh arus sungai.
Di tanah Wu, hijaulah daun-daun mulberi,
tiga kali sudah ulat sutera tidur sehari.
Di Luh bagian timur, keluargaku tinggal,
kutebak-tebak siapa menabur di ladang kita.
Aku masih belum bisa pulang di musim semi,
Masih tak bisa apa-apa, mengembarai sungai.
Angin selatan mengembus jiwaku merindu rumah
dan membawanya ke hadapan kedai minum kita.
Di sana kulihat pohon persik di sisi timur rumah
dengan daun ngambang, alun cabang di kabut biru.
Itulah pohon yang kutanam saat pergi tiga tahun lalu.
Pohon persik yang menjulang setinggi kedai,
sementara aku mengembara tak kembali.
Ping-yang, anakku jelita, kulihat kau berdiri
di sisi pohon persik dan memetik cabang bunga.
Kau memetik bunga-bunga, tak ada aku di sana
Lihat, air matamu luruh bagai arus air!
Putra kecilku, Po-chin, kau pun tumbuh
setinggi bahu saudara perempuanmu,
Kau bermain di halaman di bawah pohon persik itu.
Tapi siapa yang menepuk-nepuk di belakangmu?
Ketika terlintas pikiran ini, perasaanku kacau,
Dan kuasah duka tajam, menusuk hatiku sendiri,
setiap hari. Dan kini, kubasahi selembar sutra putih
dengan air mata, saat kutulis surat ini.
Dan kukirim dengan kasihku, sejauh arus sungai.
Ketika Hujan
Syair Rabindranath Tagore
Awan murung berangkulan berlalu lekas
melintasi pinggir batas gelapnya hutan.
O anak, jangan beranjak keluar rumah!
Pohon palma yang berbaris di sisi telaga
menyentakan kepala ke langit muram;
gagak dengan sayapnya yang terdekap
bungkam di dahan-dahan pohon asam,
dan sisi sungai di arah timur dicekam
oleh kemurungan yang semakin dalam.
Nyaring lenguh sapi, tertambat di pagar.
O anak, tunggu di sini, kubawa dia ke kandang.
Orang-orang berkerumun di lapangan tergenang
menangkapi ikan yang lepas dari kolam banjir;
air hujan mengalir deras ke anak sungai, lewati
jalan kecil, bagai bocah tergelak yang berlarian
mengelak menjauhi ibunya, mengusik hati ibunya.
Hei dengar, ada yang berseru kepada
sang tukang perahu di penyeberangan.
O anak, terang hari telah jadi kelam, dan
penyeberangan pelabuhan telah pula tutup.
Langit seperti menunggangi lekas hujan
yang turun lebat-hebat; air di sungai nyaring
bergemuruh bergegas tak sabar; perempuan
telah bersegera pulang dari sungai Gangga
dengan kendi-kendi yang penuh berisi.
Lampu-lampu malam harus segera dinyalakan.
O anak, jangan beranjak ke luar rumah!
Jalan ke pasar sudah terputus, jalan kecil
ke sungai pun betapa licin. Angin mengaum
meronta-ronta di cecabang bambu, bagai
binatang buas terjaring di perangkap.
* Bagian dari rangkaian syair The Crescent Moon.
Awan murung berangkulan berlalu lekas
melintasi pinggir batas gelapnya hutan.
O anak, jangan beranjak keluar rumah!
Pohon palma yang berbaris di sisi telaga
menyentakan kepala ke langit muram;
gagak dengan sayapnya yang terdekap
bungkam di dahan-dahan pohon asam,
dan sisi sungai di arah timur dicekam
oleh kemurungan yang semakin dalam.
Nyaring lenguh sapi, tertambat di pagar.
O anak, tunggu di sini, kubawa dia ke kandang.
Orang-orang berkerumun di lapangan tergenang
menangkapi ikan yang lepas dari kolam banjir;
air hujan mengalir deras ke anak sungai, lewati
jalan kecil, bagai bocah tergelak yang berlarian
mengelak menjauhi ibunya, mengusik hati ibunya.
Hei dengar, ada yang berseru kepada
sang tukang perahu di penyeberangan.
O anak, terang hari telah jadi kelam, dan
penyeberangan pelabuhan telah pula tutup.
Langit seperti menunggangi lekas hujan
yang turun lebat-hebat; air di sungai nyaring
bergemuruh bergegas tak sabar; perempuan
telah bersegera pulang dari sungai Gangga
dengan kendi-kendi yang penuh berisi.
Lampu-lampu malam harus segera dinyalakan.
O anak, jangan beranjak ke luar rumah!
Jalan ke pasar sudah terputus, jalan kecil
ke sungai pun betapa licin. Angin mengaum
meronta-ronta di cecabang bambu, bagai
binatang buas terjaring di perangkap.
* Bagian dari rangkaian syair The Crescent Moon.
Wednesday, December 24, 2003
Melati-melati Pertama
Syair Rabindranath Tagore
Ah, melati-melati ini, melati putih ini!
Aku serasa terkenang lagi, hari pertama
ketika kupenuhi dua tanganku dengan
melati-melati ini, melatih-melati putih ini.
Aku mencintai cahaya matahari, langit
dan aku mencintai bumi yang hijau ini;
Aku mendengar desir mengalir sungai
menembus kegelapan tengah malam;
Senja musim gugur pun datang padaku
di simpangan jalan, terbiar sepi sendiri,
bagai mempelai membuka kerudung
menerima kekasih hatinya datang.
Masih saja kenanganku terasa manis
karena melati pertama yang pernah
ada di tanganku ketika kanak-kanakku.
Hari-hari keriangan datang dalam hidupku,
dan bergirang di permainan pasar malam.
Pada hujan pagi yang kelabu, aku pun
bersenandung lagu-lagu lambat lantun.
Malam hari, aku melingkarkan roncean
bunga bakula di leherku, bunga-bunga
yang dirangkai tangan-tangan kasih.
Masih saja hatiku terasa manis karena
kenangan melati pertama yang pernah
mengisi tanganku ketika kanak-kanakku.
* Sajak ke-34 dari 40 rangkaian syair
Bulan Sabit (Crescent Moon).
Ah, melati-melati ini, melati putih ini!
Aku serasa terkenang lagi, hari pertama
ketika kupenuhi dua tanganku dengan
melati-melati ini, melatih-melati putih ini.
Aku mencintai cahaya matahari, langit
dan aku mencintai bumi yang hijau ini;
Aku mendengar desir mengalir sungai
menembus kegelapan tengah malam;
Senja musim gugur pun datang padaku
di simpangan jalan, terbiar sepi sendiri,
bagai mempelai membuka kerudung
menerima kekasih hatinya datang.
Masih saja kenanganku terasa manis
karena melati pertama yang pernah
ada di tanganku ketika kanak-kanakku.
Hari-hari keriangan datang dalam hidupku,
dan bergirang di permainan pasar malam.
Pada hujan pagi yang kelabu, aku pun
bersenandung lagu-lagu lambat lantun.
Malam hari, aku melingkarkan roncean
bunga bakula di leherku, bunga-bunga
yang dirangkai tangan-tangan kasih.
Masih saja hatiku terasa manis karena
kenangan melati pertama yang pernah
mengisi tanganku ketika kanak-kanakku.
* Sajak ke-34 dari 40 rangkaian syair
Bulan Sabit (Crescent Moon).
Sendiri Berpandangan dengan Gunung
Syair Li Po
Burung-burung telah terbang dan pergi;
Ada awan, sendiri melayah perlahan.
Kami tak letih, saling berpandangan -
Hanya kami: aku dan gunung.
Burung-burung telah terbang dan pergi;
Ada awan, sendiri melayah perlahan.
Kami tak letih, saling berpandangan -
Hanya kami: aku dan gunung.
Pada Sebuah Layar Gambar
Syair Li Po
Dari manakah gerangan dua belas puncak Wu-Shan!
Dari sudut surgakah mereka terbang lalu datang
ke layar gambar yang permai terpermanai?
Ah, pinus-pinus kesepian berdesis dalam angin!
Istana-istana Yang-tai, melayang nun jauh di sana --
Oh, kemurungan hati --
Dimana tempat tidur raja berhias permata
berlapis kain brokat tersembunyi muram --
Pembantunya peri kecil, manis menggairahkan
masih membayang datang dalam sia-sia!
Di sini hanya seberapa kaki
tapi serasa beribu mil jauhnya.
Terjal dinding batu, berkilau biru merah
Bagai selembar bordir memesonakan.
Betapa hijau pohon-pohon di kejauhan,
melingkar di sungai dan jalan Cing-men!
Dan kapal-kapal itu -- terus bertolak
mengambang di atas muka perairan Pa.
Air yang menyanyi di atas batu cadas
di antara bukit-bukit tak terbilang,
kabut bercahaya dan rumput memberahikan.
Berapa tahun sejak bunga lembah ini mekar,
tersenyum bagi matahari?
Dan lelaki mengembara di sungai,
lama tak mendengar jeritan kera-kera?
Siapa saja yang menatap gambar ini,
Akan tersesat dalam kekekalan;
Dan memasuki pegunungan Sung yang sakral,
Dia akan bermimpi ada di gemilang awan-awan.
Dari manakah gerangan dua belas puncak Wu-Shan!
Dari sudut surgakah mereka terbang lalu datang
ke layar gambar yang permai terpermanai?
Ah, pinus-pinus kesepian berdesis dalam angin!
Istana-istana Yang-tai, melayang nun jauh di sana --
Oh, kemurungan hati --
Dimana tempat tidur raja berhias permata
berlapis kain brokat tersembunyi muram --
Pembantunya peri kecil, manis menggairahkan
masih membayang datang dalam sia-sia!
Di sini hanya seberapa kaki
tapi serasa beribu mil jauhnya.
Terjal dinding batu, berkilau biru merah
Bagai selembar bordir memesonakan.
Betapa hijau pohon-pohon di kejauhan,
melingkar di sungai dan jalan Cing-men!
Dan kapal-kapal itu -- terus bertolak
mengambang di atas muka perairan Pa.
Air yang menyanyi di atas batu cadas
di antara bukit-bukit tak terbilang,
kabut bercahaya dan rumput memberahikan.
Berapa tahun sejak bunga lembah ini mekar,
tersenyum bagi matahari?
Dan lelaki mengembara di sungai,
lama tak mendengar jeritan kera-kera?
Siapa saja yang menatap gambar ini,
Akan tersesat dalam kekekalan;
Dan memasuki pegunungan Sung yang sakral,
Dia akan bermimpi ada di gemilang awan-awan.
Monday, December 22, 2003
Gagak Memanggil Waktu Malam
Syair Li Po
Kabut kuning menepi dinding; gagak mendekat menara.
Kembali terbang, bergaok-gaok; Memanggil di cecabang.
Menenun kain brokat, gadis Sungai Qin, berbenang jambrut
seperti kabut, jendela menyembunyikan kata-katanya.
Dia berhenti memintal, pedih, mengenang lelaki yang jauh.
Dia tetap sendiri di kamar sunyi, airmatanya bagai luruh hujan.
Kabut kuning menepi dinding; gagak mendekat menara.
Kembali terbang, bergaok-gaok; Memanggil di cecabang.
Menenun kain brokat, gadis Sungai Qin, berbenang jambrut
seperti kabut, jendela menyembunyikan kata-katanya.
Dia berhenti memintal, pedih, mengenang lelaki yang jauh.
Dia tetap sendiri di kamar sunyi, airmatanya bagai luruh hujan.
[Ruang Renung # 44] Bila Gagal Menulis, Puisi Hambar
KARENA ada seseorang yang bertanya kepadanya lewat surat-e: ... Kemudian aku berfikir untuk mencoba membuat karya sastra sendiri. Tetapi beberapa kali aku coba gagal alias tanpa ada makna, hambar dan tidak berbobot.
Saya ingin Anda cerita bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi sebuah puisi yang indah, karena beberapa kali aku mencoba merenung, tapi hasilnya nihil juga.
MAKA, dia pun menjawab:... Pada mulanya, saya tak peduli apakah yang kuhasilkan nanti adalah sebuah karya (yang bernilai) sastra atau tidak. Saya hanya ingin menulis puisi. Saya berakrab-akrab dengan puisi, dengan membaca dan menuliskannya. Saya mencintai puisi, karena itu saya selalu mencari dan ingin tahu banyak hal tentang puisi. Tentang orang-orang yang disebut penyair, dan tentu puisi-puisinya.
Tetapi, seperti Anda, saya sangat peduli apakah puisi saya itu ada maknanya, dan apakah karya saya itu hambar atau gurih untuk dibaca. Berbobot? Bukankah bobot puisi sudah termasudkan dalam dua hal sebelumnya: makna dan keindahannya? Kalau maksud Anda adalah bobot atau kandungan nilai sastranya maka jawabannya kembali ke alinea sebelum alinea ini.
Bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi puisi indah? Ide puisi bisa datang dari mana saja. Dia bisa ditemukan dengan mencari terlebih dahulu. Mencarinya di mana? Di mana saja. Dari membaca surat kabar. Dari kemasan bedak. Dari nonton film India. Dari mana saja. Kapan? Kapan saja. Saat di kamar mandi. Saat kehujanan di jalanan. Saat menunggu istri sehabis melahirkan di rumah sakit.
Dia -- ide puisi itu -- bisa datang begitu saja dan buru-buru saya tangkap. Saat bertanya jawab dengan anak, saat membaca sajak orang lain, saat mendengarkan lagu pop. Ini mungkin seperti proses merenung yang panjang dan tak putus-putus. Tapi, jangan bayangkan itu semua berlaku dalam suasana tegang. Tidak. Santai sajalah. Merenung bukan berarti harus duduk berkerut kening. Menulislah untuk menggembirakan diri kita sendiri. Menulislah dengan gembira. Carilah kegembiraan dalam menulis.
Mungkin ada baiknya memulai berlatih dengan sajak-sajak pendek. Seperti haiku dalam khazanah perpuisian Jepang. Pendek, ringkas, berbobot dan bermakna. Hanya dalam 17 suku kata.
Begitulah. Dia menjawab. Lalu meninjau kembali, seperti meyakinkan diri sendiri, apa yang dia tulis sendiri.[hah]
Saya ingin Anda cerita bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi sebuah puisi yang indah, karena beberapa kali aku mencoba merenung, tapi hasilnya nihil juga.
MAKA, dia pun menjawab:... Pada mulanya, saya tak peduli apakah yang kuhasilkan nanti adalah sebuah karya (yang bernilai) sastra atau tidak. Saya hanya ingin menulis puisi. Saya berakrab-akrab dengan puisi, dengan membaca dan menuliskannya. Saya mencintai puisi, karena itu saya selalu mencari dan ingin tahu banyak hal tentang puisi. Tentang orang-orang yang disebut penyair, dan tentu puisi-puisinya.
Tetapi, seperti Anda, saya sangat peduli apakah puisi saya itu ada maknanya, dan apakah karya saya itu hambar atau gurih untuk dibaca. Berbobot? Bukankah bobot puisi sudah termasudkan dalam dua hal sebelumnya: makna dan keindahannya? Kalau maksud Anda adalah bobot atau kandungan nilai sastranya maka jawabannya kembali ke alinea sebelum alinea ini.
Bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi puisi indah? Ide puisi bisa datang dari mana saja. Dia bisa ditemukan dengan mencari terlebih dahulu. Mencarinya di mana? Di mana saja. Dari membaca surat kabar. Dari kemasan bedak. Dari nonton film India. Dari mana saja. Kapan? Kapan saja. Saat di kamar mandi. Saat kehujanan di jalanan. Saat menunggu istri sehabis melahirkan di rumah sakit.
Dia -- ide puisi itu -- bisa datang begitu saja dan buru-buru saya tangkap. Saat bertanya jawab dengan anak, saat membaca sajak orang lain, saat mendengarkan lagu pop. Ini mungkin seperti proses merenung yang panjang dan tak putus-putus. Tapi, jangan bayangkan itu semua berlaku dalam suasana tegang. Tidak. Santai sajalah. Merenung bukan berarti harus duduk berkerut kening. Menulislah untuk menggembirakan diri kita sendiri. Menulislah dengan gembira. Carilah kegembiraan dalam menulis.
Mungkin ada baiknya memulai berlatih dengan sajak-sajak pendek. Seperti haiku dalam khazanah perpuisian Jepang. Pendek, ringkas, berbobot dan bermakna. Hanya dalam 17 suku kata.
Begitulah. Dia menjawab. Lalu meninjau kembali, seperti meyakinkan diri sendiri, apa yang dia tulis sendiri.[hah]
[Ruang Renung # 45] Enak Dibaca dan Sarat Makna
DI waktu lain dia menerima pertanyaan lain lewat surat-e juga: .... Entah mengapa akhir-akhir ini saya sangat suka baca-baca puisi dan tertarik serta punya minat untuk bisa menuliskannya sendiri. Melalui e-mail inilah saya ingin mengetahui pengalaman Anda belajar menuangkan tulisan ke puisi sehingga menjadi puisi
yang sarat makna dan enak dibaca. Barangkali punya trik atau cara atau metode bagaimana belajar puisi.
MAKA dia pun menjawab, terutama untuk dirinya sendiri: .... Pertama, carilah ada apa dengan 'entah mengapa' sehingga Anda sangat suka dan tertarik membaca dan kemudian terbit minat untuk menuliskan puisi sendiri. Ada apa dengan puisi? Saya sendiri melihat, puisi sebagai sebuah permainan yang asyik. Seperti sebuah game. Menuliskannya atau membacanya seperti sedang menebak-nebak seperti apa kelak berakhirnya game itu. Game yang lebih asyik justru, ketika proses menulis puisi itu telah saya selesai. Karena saya kemudian jadi merasa-rasakan sendiri apakah puisi yang baru saya tulis itu mengandung makna, baik yang saya niatkan sejak semula, ataupun makna yang seperti kejutan: tiba-tiba saja ada dalam puisi itu.
Ini mungkin game yang levelnya sudah meningkat daripada game yang pertama, saat puisi itu mulai hendak dituliskan. Sesekali, saya menguji puisi yang sudah jadi tadi dengan membiarkan orang memaknainya sendiri, yang kadang juga mendatangkan kejutan karena dia berbeda dengan pemaknaan saya sendiri. Dan, percayalah ini juga merupakan game lain yang sama asyiknya.
Saya menulis apa saja. Tak hanya puisi. Saya membaca apa saja. Tak hanya puisi. Menulis dan membaca. Puisi dan bukan puisi. Terus dan belajar untuk tidak menginginkan apa-apa kecuali meyakini bahwa apapun yang kita tulis tidak akan pernah sia-sia.[hah]
yang sarat makna dan enak dibaca. Barangkali punya trik atau cara atau metode bagaimana belajar puisi.
MAKA dia pun menjawab, terutama untuk dirinya sendiri: .... Pertama, carilah ada apa dengan 'entah mengapa' sehingga Anda sangat suka dan tertarik membaca dan kemudian terbit minat untuk menuliskan puisi sendiri. Ada apa dengan puisi? Saya sendiri melihat, puisi sebagai sebuah permainan yang asyik. Seperti sebuah game. Menuliskannya atau membacanya seperti sedang menebak-nebak seperti apa kelak berakhirnya game itu. Game yang lebih asyik justru, ketika proses menulis puisi itu telah saya selesai. Karena saya kemudian jadi merasa-rasakan sendiri apakah puisi yang baru saya tulis itu mengandung makna, baik yang saya niatkan sejak semula, ataupun makna yang seperti kejutan: tiba-tiba saja ada dalam puisi itu.
Ini mungkin game yang levelnya sudah meningkat daripada game yang pertama, saat puisi itu mulai hendak dituliskan. Sesekali, saya menguji puisi yang sudah jadi tadi dengan membiarkan orang memaknainya sendiri, yang kadang juga mendatangkan kejutan karena dia berbeda dengan pemaknaan saya sendiri. Dan, percayalah ini juga merupakan game lain yang sama asyiknya.
Saya menulis apa saja. Tak hanya puisi. Saya membaca apa saja. Tak hanya puisi. Menulis dan membaca. Puisi dan bukan puisi. Terus dan belajar untuk tidak menginginkan apa-apa kecuali meyakini bahwa apapun yang kita tulis tidak akan pernah sia-sia.[hah]
[Ruang Renung # 46] Puisi Bingung
ADA juga pertanyaan yang sampai padanya seperti ini: .... saya kadang kebingungan harus memulai dari mnaa, mengumpulkan energi dari mana? Pokoknya kebingungan. Tentu, membuat puisi itu mudah sekali, sangat mudah bahkan yang bukan statusnya penyair bisa membuatnya, tapi bila hanya sekedar membuat -- kata, kalimat, larik, kemudian menjadi bait -- semua orang bisa, tentu.
Tapi ada satu kendala yang selalu terpikir dalam hati, ketika saya memulai atau membuat sebuah puisi... saya kebingungan -- entah saya pun tak tahu sumbernya, mungkin Anda bisa membagi pengalamannya? Ya, saya pun tak tahu apa hal yang mendasar itu. Total pada karya pun, kadang aku tak bisa -- intinya aku kebingungan ketika membuat karya tersebut.
DIA pun bingung untuk menjawab, tapi dituliskannya juga, seperti ini: ... Tak perlu menjadi penyair dulu, bila ingin menulis puisi karena menulis puisi memang sebaiknya bukan untuk menjadi penyair. Jadi di hadapan puisi, siapappun sama saja apakah dia penyair atau bukan. Semua orang bisa dan boleh membuat puisi. Semua orang juga boleh tidak suka dengan puisi. Ada orang yang tidak tertarik dan tidak paham memaknai puisi. Itu juga boleh.
Jadi, santai saja. Anda tidak sedang menjalani hukuman menulis puisi kan? Anda toh tidak wajib menulis puisi kan? Saya sendiri berangkat dari kecintaan pada puisi. Saya selalu merindukan puisi. Saya selalu kangen dan selalu ingin berdekat-dekatan dengan puisi. Karena cinta, saya selalu ingin mempersembahkan yang terbaik kepada puisi. Tapi, karena cinta pula, ketika yang bisa saya berikan hanya sesuatu yang sederhana, maka yang sederhana itulah yang saya persembahkan.[hah]
Tapi ada satu kendala yang selalu terpikir dalam hati, ketika saya memulai atau membuat sebuah puisi... saya kebingungan -- entah saya pun tak tahu sumbernya, mungkin Anda bisa membagi pengalamannya? Ya, saya pun tak tahu apa hal yang mendasar itu. Total pada karya pun, kadang aku tak bisa -- intinya aku kebingungan ketika membuat karya tersebut.
DIA pun bingung untuk menjawab, tapi dituliskannya juga, seperti ini: ... Tak perlu menjadi penyair dulu, bila ingin menulis puisi karena menulis puisi memang sebaiknya bukan untuk menjadi penyair. Jadi di hadapan puisi, siapappun sama saja apakah dia penyair atau bukan. Semua orang bisa dan boleh membuat puisi. Semua orang juga boleh tidak suka dengan puisi. Ada orang yang tidak tertarik dan tidak paham memaknai puisi. Itu juga boleh.
Jadi, santai saja. Anda tidak sedang menjalani hukuman menulis puisi kan? Anda toh tidak wajib menulis puisi kan? Saya sendiri berangkat dari kecintaan pada puisi. Saya selalu merindukan puisi. Saya selalu kangen dan selalu ingin berdekat-dekatan dengan puisi. Karena cinta, saya selalu ingin mempersembahkan yang terbaik kepada puisi. Tapi, karena cinta pula, ketika yang bisa saya berikan hanya sesuatu yang sederhana, maka yang sederhana itulah yang saya persembahkan.[hah]
[Ruang Renung # 47] Sajak Sebagai Soto yang Gurih
ADA juga yang mengajak dia berdiskusi dengan pertanyaan seperti ini: .... Sajak atau bukan tergantung penulis dan pembacanya. Kalau penulis bilang itu sajak, maka bolehlah itu dibilang sajak (untuk penulis itu), kalau pembaca bilang itu bukan sajak ya itu bukan sajak (untuk pembaca tersebut). Jadi mungkin suatu saat, penulis dan pembaca bisa bersetuju bahwa sesuatu itu bisa disebut sajak, bisa juga tidak.
Menurut Anda bagaimana pendapat ini? Apakah menulis sajak itu tidak memerlukan syarat dan teknik penulisan?
MAKA dia pun menjawab seperti ini: ... Saya tidak pandai kalau harus membuat definisi apa itu sajak. Tapi, saya bisa membedakan mana tulisan yang disebut sajak dan mana tulisan yang disebut resep masakan. Di dalam resep masakan pasti ada bahan, cara memasak, cara menyajikan dan kadang kandungan gizi dari masakan itu. Dia dibuat semudah mungkin agar siapapun yang membacanya atau siapapun yang memasak dengan resep itu menghasilkan masakan yang sama. Kalau itu resep soto, maka masakan yang dihasilkan adalah soto, bukan kari apalagi kolak. Tetapi, pasti ada sedikit perbedaan rasa, dari soto yang dihasilkan oleh dua orang yang berbeda, meskipun mereka berdua merujuk ke satu resep yang sama.
Perbedaan itu bisa ada dari perbedaan ayam yang jadi bahan masakan, dari lama memasak, dari kehalusan bumbu, dan dari banyak hal ketika proses memasak itu berlangsung. Bahkan satu tukang masak pun bisa menghasilkan masakan soto yang berbeda rasanya dengan yang dia buat kemarin, padahal dia memasak dengan bumbu, bahan dan alat masak yang sama. Mungkin lebih enak, atau tidak. Masakan juga bisa dipengaruhi suasana hati si tukang masak. Yang pasti, hanya dengan membaca sebuah resep saja, tanpa memasak, tidak akan dihasilkan masakan.
Sajak tidak ditulis sebagai sebuah petunjuk. Berhadapan dengan sajak, seorang pembaca tentu tidak sedang membaca sebuah resep masakan. Tapi sajak adalah sajak. Si penulislah yang pertama kali meniatkan apa yang ia tuliskan sebagai sajak itu memang benar-benar sebuah sajak. Saya kira keberhasilan pertama dari seorang penulis sajak adalah apabila pembaca pun meyakini bahwa itu sajak bukan resep masakan. Ibarat juru masak, dia harus meyakinkan orang bahwa yang dia masak adalah soto bukan gulai. Harus ada batasan dan sarat mana yang sajak mana yang bukan. Tapi haruskah batasan itu didefiniskan? Haruskah sebelum makan soto kita harus hafal dahulu pengertian soto itu? Bukankah tidak lebih nikmat kalau kita hanya mencium aroma soto itu, lalu langsung terbit air liur untuk mencicipinya? Kita toh tidak harus tahu komposisi bahan dan cara memasak soto sebelum menyimpulkan soto itu enak atau tidak? Cocok dengan selera kita atau tidak? Lagi pula, ada penulis yang enteng saja mengatakan, "Saya menyebutkan karya saya sebagai puisi, kalau tidak ada kategori lain yang cocok untuk menggolongkan karya saya itu."
Dan tantangan berikutnya adalah seberapa banyak orang menggemari sajak itu, seberapa banyak orang merasa terwakili perasaannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang bisa terjawab kegelisahannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang terpuaskan lapar jiwanya dengan sajak itu. Seperti tukang masak soto yang enak, penulis sajak yang baik dan sajaknya akan ditunggu oleh pembaca dengan pertanyaan, "masak apa lagi Anda hari ini?" Sementara itu, si pembaca tak bosan-bosannya menikmati soto eh sajak yang sudah terkenal gurihnya. Slerrpp! Nyam nyam nyam.[hah]
Menurut Anda bagaimana pendapat ini? Apakah menulis sajak itu tidak memerlukan syarat dan teknik penulisan?
MAKA dia pun menjawab seperti ini: ... Saya tidak pandai kalau harus membuat definisi apa itu sajak. Tapi, saya bisa membedakan mana tulisan yang disebut sajak dan mana tulisan yang disebut resep masakan. Di dalam resep masakan pasti ada bahan, cara memasak, cara menyajikan dan kadang kandungan gizi dari masakan itu. Dia dibuat semudah mungkin agar siapapun yang membacanya atau siapapun yang memasak dengan resep itu menghasilkan masakan yang sama. Kalau itu resep soto, maka masakan yang dihasilkan adalah soto, bukan kari apalagi kolak. Tetapi, pasti ada sedikit perbedaan rasa, dari soto yang dihasilkan oleh dua orang yang berbeda, meskipun mereka berdua merujuk ke satu resep yang sama.
Perbedaan itu bisa ada dari perbedaan ayam yang jadi bahan masakan, dari lama memasak, dari kehalusan bumbu, dan dari banyak hal ketika proses memasak itu berlangsung. Bahkan satu tukang masak pun bisa menghasilkan masakan soto yang berbeda rasanya dengan yang dia buat kemarin, padahal dia memasak dengan bumbu, bahan dan alat masak yang sama. Mungkin lebih enak, atau tidak. Masakan juga bisa dipengaruhi suasana hati si tukang masak. Yang pasti, hanya dengan membaca sebuah resep saja, tanpa memasak, tidak akan dihasilkan masakan.
Sajak tidak ditulis sebagai sebuah petunjuk. Berhadapan dengan sajak, seorang pembaca tentu tidak sedang membaca sebuah resep masakan. Tapi sajak adalah sajak. Si penulislah yang pertama kali meniatkan apa yang ia tuliskan sebagai sajak itu memang benar-benar sebuah sajak. Saya kira keberhasilan pertama dari seorang penulis sajak adalah apabila pembaca pun meyakini bahwa itu sajak bukan resep masakan. Ibarat juru masak, dia harus meyakinkan orang bahwa yang dia masak adalah soto bukan gulai. Harus ada batasan dan sarat mana yang sajak mana yang bukan. Tapi haruskah batasan itu didefiniskan? Haruskah sebelum makan soto kita harus hafal dahulu pengertian soto itu? Bukankah tidak lebih nikmat kalau kita hanya mencium aroma soto itu, lalu langsung terbit air liur untuk mencicipinya? Kita toh tidak harus tahu komposisi bahan dan cara memasak soto sebelum menyimpulkan soto itu enak atau tidak? Cocok dengan selera kita atau tidak? Lagi pula, ada penulis yang enteng saja mengatakan, "Saya menyebutkan karya saya sebagai puisi, kalau tidak ada kategori lain yang cocok untuk menggolongkan karya saya itu."
Dan tantangan berikutnya adalah seberapa banyak orang menggemari sajak itu, seberapa banyak orang merasa terwakili perasaannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang bisa terjawab kegelisahannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang terpuaskan lapar jiwanya dengan sajak itu. Seperti tukang masak soto yang enak, penulis sajak yang baik dan sajaknya akan ditunggu oleh pembaca dengan pertanyaan, "masak apa lagi Anda hari ini?" Sementara itu, si pembaca tak bosan-bosannya menikmati soto eh sajak yang sudah terkenal gurihnya. Slerrpp! Nyam nyam nyam.[hah]
Buku tanpa Sampul
sejak semula, aku menebak-nebak
saja, apa yang hendak terbaca kelak
pada persetubuhan nafsu di mataku
dan huruf-huruf telanjang tubuhmu
Des 2003
saja, apa yang hendak terbaca kelak
pada persetubuhan nafsu di mataku
dan huruf-huruf telanjang tubuhmu
Des 2003
Luka Duga Duka
beruas-ruas luka
menyerentakku
sekuak-sekuak!
berlapis duga
menyibakku
setebak-setebak...
berbaris duka
menjebakku.
Sesuka hendak?
Des 2003
menyerentakku
sekuak-sekuak!
berlapis duga
menyibakku
setebak-setebak...
berbaris duka
menjebakku.
Sesuka hendak?
Des 2003
Pada Suatu Sabtu Sore Bersama Kata yang Melarikan Diri
PULANG dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.
- Mau kemana kalian? -
"Entahlah..."
"Kami tak tahu hendak kemana.."
"Bingung. Kami baru saja melarikan diri dari sebuah puisi."
- Puisi? Puisi siapa?"
"Seorang penyair besar yang enak saja mati, setelah menuliskan kami..."
"Ya, enak saja dia. Dia sekarang tidak lagi menulis puisi. Apalagi menengok-nengok kami terperangkap di dalam puisi."
"Ya, enak banget. Dia mati, dan kami harus menjaga namanya di dalam puisi-puisinya."
SI Penyair lalu mengajak kata-kata itu bermalam barang semalam di rumah kontrakannya. Hari sudah menjelang senja.
- Kalian bisa istirahat tidur di Kamus Besar...
"Terserah sajalah. Aku ingin baring-baringan saja sebentar. Letih juga menjadi predikat dalam kalimat si penyair sialan itu," kata kata kerja.
"Kamus Besar? Boleh juga, tuh. Aku ingin meninjau lagi. Aku ini sebenarnya kata benda atau kata sifat," kata sebuah kata yang memang tidak jelas klasifikasinya.
- Ya, silakan saja. Istirahatlah - kata si Penyair.
TENGAH malam tiba.
Si Penyair belum tidur. Seperti biasanya. Dia membuka laptop dan mulai mengetuk-ngetuk huruf dan tanda aca. Mencari ilham untuk menulis satu dua puisi. Lalu dia teringat kata-kata yang ditemuinya sepulang dari bioskop sore tadi. Buru-buru dia mengambil kamus lecek dan membuka halaman-halaman di mana kemungkinan kata-kata itu berada. Tapi, itu juga sia-sia.
- Kemana ya mereka? -
Belum terjawab bingungnya. Hingga kepentok matanya pada selembar kertas. Ada tulisannya. Dia pun membaca: Kami sudah tahu rencana burukmu. Dasar penyair murahan. Kau pikir kami tidak tahu, kalau kau mau memerangkap kami lagi di dalam puisi? He he. Kasihan deh lo... Kalau mau jadi penyair, cari dong kata-kata lain. Jangan bisanya cuma memperdaya kami.
Des 2003
- Mau kemana kalian? -
"Entahlah..."
"Kami tak tahu hendak kemana.."
"Bingung. Kami baru saja melarikan diri dari sebuah puisi."
- Puisi? Puisi siapa?"
"Seorang penyair besar yang enak saja mati, setelah menuliskan kami..."
"Ya, enak saja dia. Dia sekarang tidak lagi menulis puisi. Apalagi menengok-nengok kami terperangkap di dalam puisi."
"Ya, enak banget. Dia mati, dan kami harus menjaga namanya di dalam puisi-puisinya."
SI Penyair lalu mengajak kata-kata itu bermalam barang semalam di rumah kontrakannya. Hari sudah menjelang senja.
- Kalian bisa istirahat tidur di Kamus Besar...
"Terserah sajalah. Aku ingin baring-baringan saja sebentar. Letih juga menjadi predikat dalam kalimat si penyair sialan itu," kata kata kerja.
"Kamus Besar? Boleh juga, tuh. Aku ingin meninjau lagi. Aku ini sebenarnya kata benda atau kata sifat," kata sebuah kata yang memang tidak jelas klasifikasinya.
- Ya, silakan saja. Istirahatlah - kata si Penyair.
TENGAH malam tiba.
Si Penyair belum tidur. Seperti biasanya. Dia membuka laptop dan mulai mengetuk-ngetuk huruf dan tanda aca. Mencari ilham untuk menulis satu dua puisi. Lalu dia teringat kata-kata yang ditemuinya sepulang dari bioskop sore tadi. Buru-buru dia mengambil kamus lecek dan membuka halaman-halaman di mana kemungkinan kata-kata itu berada. Tapi, itu juga sia-sia.
- Kemana ya mereka? -
Belum terjawab bingungnya. Hingga kepentok matanya pada selembar kertas. Ada tulisannya. Dia pun membaca: Kami sudah tahu rencana burukmu. Dasar penyair murahan. Kau pikir kami tidak tahu, kalau kau mau memerangkap kami lagi di dalam puisi? He he. Kasihan deh lo... Kalau mau jadi penyair, cari dong kata-kata lain. Jangan bisanya cuma memperdaya kami.
Des 2003
Sunday, December 21, 2003
Percakapan dengan Gunung
Syair Li Po
Kau tanya kenapa aku berbaringan di gunung hijau
Aku tertawa tapi tak menjawab - hatiku tenteram.
Mekar bunga berangan, air mengalir tanpa jejak.
Ada surga dan bumi lain di atas dunia manusia.
Kau tanya kenapa aku berbaringan di gunung hijau
Aku tertawa tapi tak menjawab - hatiku tenteram.
Mekar bunga berangan, air mengalir tanpa jejak.
Ada surga dan bumi lain di atas dunia manusia.
Friday, December 19, 2003
SEBUAH HADIAH
Syair Rabindranath Tagore
Aku hendak memberi sesuatu, anakku
selama kita mengalir dalam arus dunia.
Hidup kita kelak tak akan lagi sejalan,
dan cinta pun kelak akan terlupakan.
Tapi aku tak ingin begitu bodohnya
berharap aku bisa membeli hatimu
dengan pemberian hadiah-hadiahku.
Hidupmu yang belia, jalanmu yang panjang,
dan engkau meneguk kasih yang kami bawa
dengan sekali hirup, lalu menjauh dari kami.
Engkau punya permainan dan teman main.
Alangkah sakitnya bila engkau tak punya
waktu atau tak lagi memikirkan kami.
Kami sesungguhnya, punya waktu senggang
yang cukup pada usia tua, menghitung hari
yang berlalu, mengharapi di hati saja ada,
yang hilang selamanya dari tangan kami.
Sungai mengalir deras dengan lagu,
menembus terus semua penghalang.
Tapi gunung tetap tinggal dan mengenang,
mengikuti arus sungai dengan kasihnya.
* Dari The Gift, syair ke-37 dalam Buku Crescent Moon.
Aku hendak memberi sesuatu, anakku
selama kita mengalir dalam arus dunia.
Hidup kita kelak tak akan lagi sejalan,
dan cinta pun kelak akan terlupakan.
Tapi aku tak ingin begitu bodohnya
berharap aku bisa membeli hatimu
dengan pemberian hadiah-hadiahku.
Hidupmu yang belia, jalanmu yang panjang,
dan engkau meneguk kasih yang kami bawa
dengan sekali hirup, lalu menjauh dari kami.
Engkau punya permainan dan teman main.
Alangkah sakitnya bila engkau tak punya
waktu atau tak lagi memikirkan kami.
Kami sesungguhnya, punya waktu senggang
yang cukup pada usia tua, menghitung hari
yang berlalu, mengharapi di hati saja ada,
yang hilang selamanya dari tangan kami.
Sungai mengalir deras dengan lagu,
menembus terus semua penghalang.
Tapi gunung tetap tinggal dan mengenang,
mengikuti arus sungai dengan kasihnya.
* Dari The Gift, syair ke-37 dalam Buku Crescent Moon.
[Ruang Renung # 43] Mitos dan Peta yang Tidak Lengkap
Beginilah situasinya. Ada sejumlah surat kabar umum yang menyediakan satu dua halamannya untuk memuat karya sastra. Ada yang saban bulan, ada yang tiap minggu. Ada majalah sastra yang satu dua bertahan terbit. Ada satu dua komunitas yang berteguh menerbitkan majalah sastra sendiri. Ada satu dua pecinta sastra yang mengelola media online.
Beginilah situasinya. Ada banyak pecinta puisi, pegiat puisi, penyair, mereka yang berasyik-asyik dengan puisi, yang sesekali atau seringkali mengirimkan karya-karya puisinya ke media-media di atas. Ada beberapa nama yang kerap muncul di media-media itu. Ada yang sesekali saja terbaca. Lebih banyak lagi yang sama sekali tidak pernah dimuat karyanya.
Di media-media itu, tentu saja ada redaktur yang dengan kelebihan-kelebihan dan keterbatasannya, dengan selera estetis dan subyektivitasnya, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya naskah yang harus diseleksinya, dan kadang-kadang dengan sedikit arogansi dan sesekali kemurahan-hatinya. Dan dengan segala hal tadi menjadi penentu puisi-puisi seperti apa yang kemudian muncul di media-media di alinea pertama tadi.
Media-media tadi memukau sebagai tempat untuk mempublikasikan karya, karena nama-nama redakturnya, karena luasnya distrubusinya, dan karena ada honornya, dan karena ada beberapa media yang seolah dijadikan mitos: bila sajak seorang penyair telah terbit di media itu, maka si penyair telah sah sebagai penyair.
Mitos itu semakin menjadi mitos, karena ada satu dua pengamat kepenyairan yang suka membuat peta penyair. Peta itu seringkali dibuat terutama berdasarkan karya-karya yang dimuat di media-media di alinea pertama tadi - dengan teramat kerap tidak menganggap sama sekali media online - plus buku-buku puisi yang terbit terbatas yang kebetulan sampai dan terbaca oleh si pembuat peta. Tentu saja hasilnya adalah sebuah peta yang tidak lengkap.
Begitulah situasinya.[hah]
Beginilah situasinya. Ada banyak pecinta puisi, pegiat puisi, penyair, mereka yang berasyik-asyik dengan puisi, yang sesekali atau seringkali mengirimkan karya-karya puisinya ke media-media di atas. Ada beberapa nama yang kerap muncul di media-media itu. Ada yang sesekali saja terbaca. Lebih banyak lagi yang sama sekali tidak pernah dimuat karyanya.
Di media-media itu, tentu saja ada redaktur yang dengan kelebihan-kelebihan dan keterbatasannya, dengan selera estetis dan subyektivitasnya, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya naskah yang harus diseleksinya, dan kadang-kadang dengan sedikit arogansi dan sesekali kemurahan-hatinya. Dan dengan segala hal tadi menjadi penentu puisi-puisi seperti apa yang kemudian muncul di media-media di alinea pertama tadi.
Media-media tadi memukau sebagai tempat untuk mempublikasikan karya, karena nama-nama redakturnya, karena luasnya distrubusinya, dan karena ada honornya, dan karena ada beberapa media yang seolah dijadikan mitos: bila sajak seorang penyair telah terbit di media itu, maka si penyair telah sah sebagai penyair.
Mitos itu semakin menjadi mitos, karena ada satu dua pengamat kepenyairan yang suka membuat peta penyair. Peta itu seringkali dibuat terutama berdasarkan karya-karya yang dimuat di media-media di alinea pertama tadi - dengan teramat kerap tidak menganggap sama sekali media online - plus buku-buku puisi yang terbit terbatas yang kebetulan sampai dan terbaca oleh si pembuat peta. Tentu saja hasilnya adalah sebuah peta yang tidak lengkap.
Begitulah situasinya.[hah]
Awan dan Ombak
Syair Rabindanath Tagore
Ibu, mereka yang tinggal di atas awan
memanggil-manggil namaku kesana --
"Kita bermain, sejak saat kita bangun,
hingga ujung hari, hingga berakhir hari.
Kita bermain dengan fajar keemasan,
kita bermain dengan bulan keperakan."
Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bisa
sampai ke sana? Dan mereka menjawab,
"Datanglah ke ujung bumi, kembangkan
kedua tanganmu ke langit, dan engkau
akan terangkat hingga sampai ke awan."
"Tapi ibuku menantiku di rumah," kataku.
"Bagaimana bisa aku meninggalkannya?"
Lalu mereka tersenyum melayah menjauh.
Tapi, aku tahu permainan yang lebih
asyik daripada permainan tadi, Ibu.
Aku jadi awan, engkau jadi bulan.
Aku akan selumuti engkau dengan kedua
tanganku, bumbung rumah kita langitnya.
Mereka yang tinggal di gerak ombak-ombak---
berseru memanggil-manggil namaku ke sana.
"Kita bernyanyi-nyanyi pagi hingga petang hari;
kau di punggungku, kita bergian tanpa tahu tuju."
Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bergabung
denganmu?" Kata mereka, "Datanglah ke ujung
pantai dan berdiri di sana dengan mata rapat
mengatup, dan engkau dibawa ke atas ombak."
Tapi kataku, "Ibuku selalu ingin aku ada di rumah
setiap petang--bagaimana aku bisa pergi darinya?"
Lalu mereka tersenyum, berdansa dan berlalu.
Tapi aku tahu ada permainan yang lebih baik.
Aku akan jadi ombak dan engkau pantai asing.
Aku akan bergulung dan bergulung, menghempas
dalam pangkuanmu dengan riang dengan tertawa.
Dan tak ada seorang pun di dunia
yang tahu dimana ada kita berdua.
* Dari The Crescent Moon, syair ke-14 (Clouds and Waves).
Ibu, mereka yang tinggal di atas awan
memanggil-manggil namaku kesana --
"Kita bermain, sejak saat kita bangun,
hingga ujung hari, hingga berakhir hari.
Kita bermain dengan fajar keemasan,
kita bermain dengan bulan keperakan."
Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bisa
sampai ke sana? Dan mereka menjawab,
"Datanglah ke ujung bumi, kembangkan
kedua tanganmu ke langit, dan engkau
akan terangkat hingga sampai ke awan."
"Tapi ibuku menantiku di rumah," kataku.
"Bagaimana bisa aku meninggalkannya?"
Lalu mereka tersenyum melayah menjauh.
Tapi, aku tahu permainan yang lebih
asyik daripada permainan tadi, Ibu.
Aku jadi awan, engkau jadi bulan.
Aku akan selumuti engkau dengan kedua
tanganku, bumbung rumah kita langitnya.
Mereka yang tinggal di gerak ombak-ombak---
berseru memanggil-manggil namaku ke sana.
"Kita bernyanyi-nyanyi pagi hingga petang hari;
kau di punggungku, kita bergian tanpa tahu tuju."
Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bergabung
denganmu?" Kata mereka, "Datanglah ke ujung
pantai dan berdiri di sana dengan mata rapat
mengatup, dan engkau dibawa ke atas ombak."
Tapi kataku, "Ibuku selalu ingin aku ada di rumah
setiap petang--bagaimana aku bisa pergi darinya?"
Lalu mereka tersenyum, berdansa dan berlalu.
Tapi aku tahu ada permainan yang lebih baik.
Aku akan jadi ombak dan engkau pantai asing.
Aku akan bergulung dan bergulung, menghempas
dalam pangkuanmu dengan riang dengan tertawa.
Dan tak ada seorang pun di dunia
yang tahu dimana ada kita berdua.
* Dari The Crescent Moon, syair ke-14 (Clouds and Waves).
Wednesday, December 17, 2003
Sekolah Bunga-bunga*
Syair Rabindranath Tagore
Ketika kabut gaduh badai gemuruh di langit
dan ketika hujan bulan Juni tercurah turun,
basah angin timur datang, berbaris menghalau
panas, mengembus buluh-buluh di antara bambu.
Sekawanan bunga-bunga muncul dalam seketika,
entah dari mana, di antara rumput riang berdansa.
Ibu, sungguh aku menduga bunga-bunga itu
sedang riang bersekolah di bawah tanah.
bunga-bunga itu belajar dengan pintu kelas tertutup,
dan bila mereka ingin keluar main sebelum waktunya,
maka sang guru akan menghukum berdiri di sudut.
Tiba bila hujan datang, itulah saat hari libur tiba.
Ruang kelas bagi cecabang ada di hutan, dan daun-daun
berdesau di angin yang liar, dan badai kabut menepukkan
tangan raksasanya, dan murid-murid bunga berhamburan
dengan baju berwarna merah muda, kuning, dan putih.
Tahukah kau, Ibu? Rumah mereka di angkasa,
di langit di mana bintang-bintang ada di sana.
Kau lihatkah? Alangkah inginnya mereka ke sana segera?
Kau tak tahukah? Kenapa mereka begitu terburu tergesa?
Tentu, bisa kutebak bagi siapa tangan mereka membuka:
Mereka punya ibu, seperti aku punya kau sendiri, ibuku.
* Dari The Flower-School, sajak ke-22 dalam rangkaian syair
Crescent Moon. Tertbit tahun 1913 dalam Bahasa Inggris.
Diterjemahkan sendiri oleh si penyair dari syair yang semula
ia tulis dalam bahasa Bengali.
Ketika kabut gaduh badai gemuruh di langit
dan ketika hujan bulan Juni tercurah turun,
basah angin timur datang, berbaris menghalau
panas, mengembus buluh-buluh di antara bambu.
Sekawanan bunga-bunga muncul dalam seketika,
entah dari mana, di antara rumput riang berdansa.
Ibu, sungguh aku menduga bunga-bunga itu
sedang riang bersekolah di bawah tanah.
bunga-bunga itu belajar dengan pintu kelas tertutup,
dan bila mereka ingin keluar main sebelum waktunya,
maka sang guru akan menghukum berdiri di sudut.
Tiba bila hujan datang, itulah saat hari libur tiba.
Ruang kelas bagi cecabang ada di hutan, dan daun-daun
berdesau di angin yang liar, dan badai kabut menepukkan
tangan raksasanya, dan murid-murid bunga berhamburan
dengan baju berwarna merah muda, kuning, dan putih.
Tahukah kau, Ibu? Rumah mereka di angkasa,
di langit di mana bintang-bintang ada di sana.
Kau lihatkah? Alangkah inginnya mereka ke sana segera?
Kau tak tahukah? Kenapa mereka begitu terburu tergesa?
Tentu, bisa kutebak bagi siapa tangan mereka membuka:
Mereka punya ibu, seperti aku punya kau sendiri, ibuku.
* Dari The Flower-School, sajak ke-22 dalam rangkaian syair
Crescent Moon. Tertbit tahun 1913 dalam Bahasa Inggris.
Diterjemahkan sendiri oleh si penyair dari syair yang semula
ia tulis dalam bahasa Bengali.
Tuesday, December 16, 2003
Senja dalam Empat Sajak Empat Untai
aku kira, bila telah singgah di negeri senja
aku tak akan ingin terpesona. Sebab semula
kukira, jingga itu hanya aba-aba langit, sebelum
tangan-tangan malam mengulur merangkum
kau tahu? memang pernah ada senja dahulu,
senja yang begitu sabar menjawab takjubku,
yang tidak pernah terburu-buru, senja yang
membuka tangan. Membujuk, "Mari berpegang..."
lalu aku kehilangan senja. Lalu, aku tak tahu
apakah ia juga merindukan pertemuan kami
yang tak terburu dan tak kekurangan waktu.
Lalu, kau tahu? Pun aku kehilangan sendiri...
maka aku kira, ketika sampai di negeri senja
aku tak akan hendak terkesima. Karena kurasa
kami tak lagi sempat bertukar tegur. Ia bergesa
terburu, juga aku. Tangan kami, letihnya betapa
Des 2003
aku tak akan ingin terpesona. Sebab semula
kukira, jingga itu hanya aba-aba langit, sebelum
tangan-tangan malam mengulur merangkum
kau tahu? memang pernah ada senja dahulu,
senja yang begitu sabar menjawab takjubku,
yang tidak pernah terburu-buru, senja yang
membuka tangan. Membujuk, "Mari berpegang..."
lalu aku kehilangan senja. Lalu, aku tak tahu
apakah ia juga merindukan pertemuan kami
yang tak terburu dan tak kekurangan waktu.
Lalu, kau tahu? Pun aku kehilangan sendiri...
maka aku kira, ketika sampai di negeri senja
aku tak akan hendak terkesima. Karena kurasa
kami tak lagi sempat bertukar tegur. Ia bergesa
terburu, juga aku. Tangan kami, letihnya betapa
Des 2003
LAGUKU*
Syair Rabindranath Tagore
Lagu milikku ini ingin menghembus
musiknya ke sekelilingmu, anakku,
bagai lengan kasih mencintamu.
Lagu milikku ini hendak menyentuh
dahimu, anakku, seperti kecupan
doa restu bagimu.
Ketika engkau sendiri, lagu milikku
ini, anakku, akan duduk di sisimu
dan berbisik di telingamu. Ketika
engkau berada di tengah kerumun,
anakku, lagu milikku ini akan
memagarimu: menjaga jarakmu.
Laguku akan berubah jadi sepasang
sayap ke mimpi-mimpimu, membawa
hatimu ke ambang ketaktahuan.
Laguku akan menjelma jadi bintang
yang setia berada di atasmu, ketika
gelap malam menutupi jalanmu.
Laguku akan duduk di hitam matamu,
dan membawa pandanganmu
menembus ke hati benda-benda.
Dan ketika suaraku bisu dalam maut,
laguku kelak akan tetap berbicara
dalam kehidupan: hatimu yang hidup.
* Dari My Song, syair liris ke-38 Rabindranath Tagore, dalam buku
Crescent Moon. Semula ditulis dalam Bahasa Bengali lalu diterjemahkan
sendiri oleh sang penyair ke dalam Bahasa Inggris.
Lagu milikku ini ingin menghembus
musiknya ke sekelilingmu, anakku,
bagai lengan kasih mencintamu.
Lagu milikku ini hendak menyentuh
dahimu, anakku, seperti kecupan
doa restu bagimu.
Ketika engkau sendiri, lagu milikku
ini, anakku, akan duduk di sisimu
dan berbisik di telingamu. Ketika
engkau berada di tengah kerumun,
anakku, lagu milikku ini akan
memagarimu: menjaga jarakmu.
Laguku akan berubah jadi sepasang
sayap ke mimpi-mimpimu, membawa
hatimu ke ambang ketaktahuan.
Laguku akan menjelma jadi bintang
yang setia berada di atasmu, ketika
gelap malam menutupi jalanmu.
Laguku akan duduk di hitam matamu,
dan membawa pandanganmu
menembus ke hati benda-benda.
Dan ketika suaraku bisu dalam maut,
laguku kelak akan tetap berbicara
dalam kehidupan: hatimu yang hidup.
* Dari My Song, syair liris ke-38 Rabindranath Tagore, dalam buku
Crescent Moon. Semula ditulis dalam Bahasa Bengali lalu diterjemahkan
sendiri oleh sang penyair ke dalam Bahasa Inggris.
ZAZEN di PEGUNUNGAN
Syair Li Po
Burung telah hilang turuni langit.
Kini kabut terakhir luruh pergi.
Kami duduk bersama: gunung dan aku,
hingga hanya gunung yang tetap ada.
Burung telah hilang turuni langit.
Kini kabut terakhir luruh pergi.
Kami duduk bersama: gunung dan aku,
hingga hanya gunung yang tetap ada.
Monday, December 15, 2003
Gunung yang Hijau
Syair Li Po
Engkau bertanya kenapa aku bermalasan di gunung hijau;
Aku senyum dan tak menjawab, hatiku tak kan lagi terusik.
Ketika bunga persik jatuh ke arus dan mengalir ke entah,
kutemukan dunia yang lain, yang tak ada di kerumun orang.
Engkau bertanya kenapa aku bermalasan di gunung hijau;
Aku senyum dan tak menjawab, hatiku tak kan lagi terusik.
Ketika bunga persik jatuh ke arus dan mengalir ke entah,
kutemukan dunia yang lain, yang tak ada di kerumun orang.
[Ruang Renung # 43] Puisi Setengah Hati
PUISI apa yang dihasilkan jika ditulis dengan setengah hati atau setengah tenaga kreatif saja? Tidak ada. Puisi bisa dianggap sebagai sebagai proses lahirnya seorang bayi. Kehamilan yang setengah jalan tidak akan melahirkan bayi yang sempurna. Itu bahkan bukan kelahiran: tetapi keguguran, atau paling untung, lahir prematur. Bayi yang lahir prematur tidak akan keras tangis pertamanya. Tak akan menggemaskan celotehnya.
Begitu pula puisi. Maka, apabila kita benar-benar ingin menulis puisi, ingin hamil puisi, pastikan bahwa rahim kreatif kita benar-benar telah siap untuk mengandung benih-benih puisi. Kita juga harus benar-benar bisa merasakan, kapan puisi-puisi kita cukup bulan dan harus segera dilahirkan. Kita juga harus rela apabila pada suatu selang masa kita harus memberakan rahim kreati kita: menunda dahulu kelahiran puisi lain supaya yang terlahir kelak adalah puisi-puisi yang tidak kurang gizi.
Kata mereka, puisi adalah anak-anak kreatif yang lahir dari persetubuhanmu yang sakral dan menggelorakan nafsu dengan nilai-nilai hidupmu. Begitulah.[hah]
Begitu pula puisi. Maka, apabila kita benar-benar ingin menulis puisi, ingin hamil puisi, pastikan bahwa rahim kreatif kita benar-benar telah siap untuk mengandung benih-benih puisi. Kita juga harus benar-benar bisa merasakan, kapan puisi-puisi kita cukup bulan dan harus segera dilahirkan. Kita juga harus rela apabila pada suatu selang masa kita harus memberakan rahim kreati kita: menunda dahulu kelahiran puisi lain supaya yang terlahir kelak adalah puisi-puisi yang tidak kurang gizi.
Kata mereka, puisi adalah anak-anak kreatif yang lahir dari persetubuhanmu yang sakral dan menggelorakan nafsu dengan nilai-nilai hidupmu. Begitulah.[hah]
Sunday, December 14, 2003
[Ruang Renung # 42] Membaca & Mencintai Puisi Lain
MENULIS puisi, mestinya berangkat dari mencintainya. Mencintai puisi. Semua puisi. Tidak hanya karya kita sendiri. Juga puisi-puisi siapa saja. Riwayat hidup para penyair biasanya selalu diisi dengan cerita tentang kecintaan mereka kepada karya-karya penyair lain yang terdahulu. Chairil Anwar banyak membaca dan mengalihbahasakan karya asing, termasuk sajak Rainer Maria Rilke.
TAPI mencintai orang lain, bukan berarti kita menjadi orang yang kita cintai bukan? Maksud pertanyaan ini adalah: jika kita mencintai puisi penyair lain, bukan berarti kita harus membuat puisi-puisi seperti yang kita cintai itu. Mestinya, mencintai juga bagian dari upaya kita untuk menemukan diri kita sendiri di dalam karya-karya kita.[hah]
TAPI mencintai orang lain, bukan berarti kita menjadi orang yang kita cintai bukan? Maksud pertanyaan ini adalah: jika kita mencintai puisi penyair lain, bukan berarti kita harus membuat puisi-puisi seperti yang kita cintai itu. Mestinya, mencintai juga bagian dari upaya kita untuk menemukan diri kita sendiri di dalam karya-karya kita.[hah]
Saturday, December 13, 2003
Potret Penyair Sebagai Ayam Betina
1.
Di dekapan sayap dan dada, dinyalakannya lampu menghangatkan kristal-kristal yang satu demi satu ditelurkannya dengan cinta. Ada kata yang belajar hidup di dalamnya, yang kelak memecah cangkang cahaya, menjemput takdir: disulap menjadi puisi-puisi kecilnya.
2.
Selesai sudah tugasnya mengeram. Makhluk-makhluk lembut yang hendak disebutnya puisi itu berebut punggung melatih cakar dan kepak, berebut paruh mematuki suara-suara. "Hati-hati, anak-anak. Di semak ada biawak, di awang ada elang."
Des 2003
Pesan-pesan Pendek yang Dikirim
dari Satu Nomor Telepon Selular
ke Nomor Telepon Selular Lainnya
/1/
hei, Desember! ha ha...
/2/
kau percayakah?
di sini, ada musim
yang tidak singgah?
dan tanpa engkau
aku kian kemarau.
/3/
kau kirim zikir-zikir.
semakin dekat bibir
pada persujudan pasir.
"hauskah?"
"ya, beri aku air"
"haruskah?
"atau sebaiknya kau usir"
/4/
bibirku bersujud di bibirmu
lalu kita lafazkan zikir pasir
bibirku bersujud di bibirmu
hampar mulut yang pesisir
bibirku bersujud di bibirmu
kita pungut sebutir-sebutir
/5/
beri aku tiga bulan, antara
desember ini dan januari.
akan kubuat
buatmu
musim
yang
lain lagi,
yang
tak pernah
dibahas
dalam kuliah
Dasar-dasar Klimatologi
/6/
setiap kali musim bertukar
aku selalu bertanya: bumikah
yang mengajari matahari?
Atau sebaliknya? Kau tahu?
/7/
ini pesanku terakhir,
pulsa ku habis ---
adakah voucher untuk
mengisi ulang usia?
Des 2003
dari Satu Nomor Telepon Selular
ke Nomor Telepon Selular Lainnya
/1/
hei, Desember! ha ha...
/2/
kau percayakah?
di sini, ada musim
yang tidak singgah?
dan tanpa engkau
aku kian kemarau.
/3/
kau kirim zikir-zikir.
semakin dekat bibir
pada persujudan pasir.
"hauskah?"
"ya, beri aku air"
"haruskah?
"atau sebaiknya kau usir"
/4/
bibirku bersujud di bibirmu
lalu kita lafazkan zikir pasir
bibirku bersujud di bibirmu
hampar mulut yang pesisir
bibirku bersujud di bibirmu
kita pungut sebutir-sebutir
/5/
beri aku tiga bulan, antara
desember ini dan januari.
akan kubuat
buatmu
musim
yang
lain lagi,
yang
tak pernah
dibahas
dalam kuliah
Dasar-dasar Klimatologi
/6/
setiap kali musim bertukar
aku selalu bertanya: bumikah
yang mengajari matahari?
Atau sebaliknya? Kau tahu?
/7/
ini pesanku terakhir,
pulsa ku habis ---
adakah voucher untuk
mengisi ulang usia?
Des 2003
Thursday, December 11, 2003
Malam Musim Dingin
Syair Li Po
Rumahku betapa miskin; rumah yang kerap kutinggalkan;
Tubuhku tersika sakit, aku tak bisa hadiri keramaian.
Tak ada jiwa yang hidup, kecuali mataku
Bila aku terbaring sendiri, terkunci di kamar penginapanku.
Lampuku rusak, menyala dengan api yang hanya kerlip.
Tirai koyakku pun melentur tak lagi menutup rapat.
"Tsek, tsek" aku dengar suara salju baru menimpa,
suara di depan pintu dan di ambang jendela.
Semakin menua, aku semakin tak bisa tidur
terbangun di tengah malam, duduk di tepi ranjang.
Aku tak pelajari "seni duduk dan melupakan,"
Bagaiamana harus kutanggung kesendirian ini?
Dingin dan kaku, tubuhku terpecah ke bumi;
Tanpa terintangi, jiwaku menyerah pada Perubahan
Maka inilah empat tahun yang pernuh kebencian,
Melampaui seribu d an tiga ratus malam!
Rumahku betapa miskin; rumah yang kerap kutinggalkan;
Tubuhku tersika sakit, aku tak bisa hadiri keramaian.
Tak ada jiwa yang hidup, kecuali mataku
Bila aku terbaring sendiri, terkunci di kamar penginapanku.
Lampuku rusak, menyala dengan api yang hanya kerlip.
Tirai koyakku pun melentur tak lagi menutup rapat.
"Tsek, tsek" aku dengar suara salju baru menimpa,
suara di depan pintu dan di ambang jendela.
Semakin menua, aku semakin tak bisa tidur
terbangun di tengah malam, duduk di tepi ranjang.
Aku tak pelajari "seni duduk dan melupakan,"
Bagaiamana harus kutanggung kesendirian ini?
Dingin dan kaku, tubuhku terpecah ke bumi;
Tanpa terintangi, jiwaku menyerah pada Perubahan
Maka inilah empat tahun yang pernuh kebencian,
Melampaui seribu d an tiga ratus malam!
Kapal-kapal Kertas*
Dari Paper Boats, Sajak Rabindranath Tagore
Hari demi hari kulabuhkan kapal-kapal kertasku,
Satu demi satu ke arus berlari menderas melaju.
Dengan huruf-huruf besar dan tinta hitam, namaku
kutulis di kapal-kapal kertas itu, juga nama desaku.
Aku berharap, ada seseorang di negeri yang asing
menemu kapal-kapal kertas itu dan tahu siapa aku.
Kapal-kapal kecilku, kusarati dengan bunga shiuli** dari
taman kami, dan berharap fajar hari yang mekar ini
akan terbawa selamat sampai di negeri malam nanti.
Kuluncurkan kapal-kapal kertasku, kutatap angkasa,
dan kulihat awan kecil membentangkan layar putihnya.
Aku tahu, kawan bermainku di angkasa itu, mengirim
awan-awan turun, untuk beradu pacu dengan kapalku.
Ketika malam datang, aku benamkan wajah di lengan dan
bermimpi: kapal-kapal kertasku terbang di antara bintang.
Peri-peri tidur berlaya di antara kapal-kapal kertasku,
dan muatannya adalah keranjang yang penuh mimpi.
Catatan HA:
* Sajak ini adalah sajak ke-19 dalam buku The Crescent Moon yang berisi 40 sajak. Ditulis pertama kali dalam Bahasa Bengali kemudian diterjemahkan sendiri oleh Tagore ke dalam Bahasa Inggris, 1913.
** Shiuli adalah semacam pohon berbunga yang mekar setelah hujan. Ada sajak yang menyebutkan dibawah pohon itu biasanya orang duduk merapalkan doa.
Wednesday, December 10, 2003
Nyanyian Putus Harapan
Dari Sajak Song of Despair karya Pablo Neruda
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, oh aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
Oh lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
Oh, puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
Oh puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
Oh jauh dari segala, Oh terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. Oh, seorang telah disiakan!
SEDANG AKU, PABLO*
Yono Aljibzail Wardito**
sedang aku disesatkan arah angin selatan, Pablo
di tangkai bungamalam yang masih segar di pagi hari
sering aku tak ingin bangun dari sebuah dendam kesunyian
sebagai kerandakeranda berjalan di labuhan pantai
sampai pada dini hari tadi masih kutuju
sebuah rasi bisu merapat dikedua mata istriku.
* Sajak ini disalin dari milis penyair.
** Penyair tinggal di Balikpapan.
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, oh aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
Oh lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
Oh, puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
Oh puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
Oh jauh dari segala, Oh terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. Oh, seorang telah disiakan!
SEDANG AKU, PABLO*
Yono Aljibzail Wardito**
sedang aku disesatkan arah angin selatan, Pablo
di tangkai bungamalam yang masih segar di pagi hari
sering aku tak ingin bangun dari sebuah dendam kesunyian
sebagai kerandakeranda berjalan di labuhan pantai
sampai pada dini hari tadi masih kutuju
sebuah rasi bisu merapat dikedua mata istriku.
* Sajak ini disalin dari milis penyair.
** Penyair tinggal di Balikpapan.
Tuesday, December 9, 2003
Tiga Segitiga
Dari Triangle, Sajak Pablo Neruda
Tiga segitiga sekawanan burung memintas
di atas samudera tak berbatas yang terus meluas
musim sedang dingin, hijau bagai gergasi buas.
Segalanya terhampar di sana, kesunyian
kelam yang tak terlipatkan, cahaya memberat
di cakrawala, sebilangan daratan kini dan nanti.
Di atas segala, sekawanan burung melintas
Terbang
dan terbang lagi
burung-burung berbulu gelap, tubuh musim dingin
segitiga-segitiga yang gemetar
burung yang sayap-sayapnya
mengepak kalut, mengepak kuat, sanggup
mengangkat mendung yang beku, hari yang gersang
dari sini ke sana, satu ke tempat lainnya
di sepanjang pesisir negeri Chili.
Aku di sini, di satu langit ke langit lainnya.
Gemetarnya burung-burung bermigrasi
meninggalkanku terbenam di sisiku, di sisi diriku sendiri
seperti sumur yang tak berujung dalamnya
digali lorong melingkar tak teralih.
Kini, burung-burung itu tak lagi ada
Bulu-bulu hitam laut
burung besi,
dari lereng curam ke pilar cadas
dan kini di malam hari
Aku ada di depan kekosongan. Ini musim dingin
Cakrawala meluas
dan laut telah meletakkan
wajahnya yang biru
topeng yang teramat dingin.
Tiga segitiga sekawanan burung memintas
di atas samudera tak berbatas yang terus meluas
musim sedang dingin, hijau bagai gergasi buas.
Segalanya terhampar di sana, kesunyian
kelam yang tak terlipatkan, cahaya memberat
di cakrawala, sebilangan daratan kini dan nanti.
Di atas segala, sekawanan burung melintas
Terbang
dan terbang lagi
burung-burung berbulu gelap, tubuh musim dingin
segitiga-segitiga yang gemetar
burung yang sayap-sayapnya
mengepak kalut, mengepak kuat, sanggup
mengangkat mendung yang beku, hari yang gersang
dari sini ke sana, satu ke tempat lainnya
di sepanjang pesisir negeri Chili.
Aku di sini, di satu langit ke langit lainnya.
Gemetarnya burung-burung bermigrasi
meninggalkanku terbenam di sisiku, di sisi diriku sendiri
seperti sumur yang tak berujung dalamnya
digali lorong melingkar tak teralih.
Kini, burung-burung itu tak lagi ada
Bulu-bulu hitam laut
burung besi,
dari lereng curam ke pilar cadas
dan kini di malam hari
Aku ada di depan kekosongan. Ini musim dingin
Cakrawala meluas
dan laut telah meletakkan
wajahnya yang biru
topeng yang teramat dingin.
Bulan di Jalan Terkepung
Syair Li Po
Bulan cemerlang bangkit dari Pegunungan Surga
dalam samar tak berbatas kabut dan laut,
Dan angin, yang jauh datang ribuan mil,
Mendentam di jalan pualam: medan pertempuran...
Barisan pasukan China, lelaki ke jalan Baideng
Sementara pasukan Tartar mengintai
di seberang teluk yang berair biru...
Dan sejak itu, tak ada perang mahsyur dalam sejarah,
Mengirim kembali seluruh petarung,
Tentara memutar, kembali pulang, mencari batas,
dan rumah terkenang-ngenang, mata-mata berlinang,
dan malam-malam itu, di barak kamar teratas,
ada yang gelisah, terisak, tak bisa istirah.
Bulan cemerlang bangkit dari Pegunungan Surga
dalam samar tak berbatas kabut dan laut,
Dan angin, yang jauh datang ribuan mil,
Mendentam di jalan pualam: medan pertempuran...
Barisan pasukan China, lelaki ke jalan Baideng
Sementara pasukan Tartar mengintai
di seberang teluk yang berair biru...
Dan sejak itu, tak ada perang mahsyur dalam sejarah,
Mengirim kembali seluruh petarung,
Tentara memutar, kembali pulang, mencari batas,
dan rumah terkenang-ngenang, mata-mata berlinang,
dan malam-malam itu, di barak kamar teratas,
ada yang gelisah, terisak, tak bisa istirah.
Monday, December 8, 2003
Beberapa Haiku
Matsuo Basho
hujan musim semi
sampai di bawah pohon
menetes, menetes.
ada pohon hijau,
jatuh menetesi lumpur,
belum terlalu pasang.
di sisi kuil tua,
persik bermekaran;
orang melintasi sawah.
di setiap deraan angin,
kupu-kupu beranjak tempat,
dari daun ke daun.
lalu sehari, hari panjang -
belum cukup juga: untuk burung,
yang bernyanyi, bernyanyi
mengupas sekam padi,
bocah mengerdipkan mata,
memandangi bulan.
payung-payung cedar, keluar
batas Gunung Yoshimo, bagi
bersemi: pohon ceri.
perangkap cumi-cumi -
mimpi angin musim panas,
suara berakhir.
yang jatuh di musim dingin -
bahkan kera-kera pun
minta selembar jas hujan.
tahun berakhir, semua
sudut dunia mengapung,
habis, habis tersapu.
Matsuo Basho
hujan musim semi
sampai di bawah pohon
menetes, menetes.
ada pohon hijau,
jatuh menetesi lumpur,
belum terlalu pasang.
di sisi kuil tua,
persik bermekaran;
orang melintasi sawah.
di setiap deraan angin,
kupu-kupu beranjak tempat,
dari daun ke daun.
lalu sehari, hari panjang -
belum cukup juga: untuk burung,
yang bernyanyi, bernyanyi
mengupas sekam padi,
bocah mengerdipkan mata,
memandangi bulan.
payung-payung cedar, keluar
batas Gunung Yoshimo, bagi
bersemi: pohon ceri.
perangkap cumi-cumi -
mimpi angin musim panas,
suara berakhir.
yang jatuh di musim dingin -
bahkan kera-kera pun
minta selembar jas hujan.
tahun berakhir, semua
sudut dunia mengapung,
habis, habis tersapu.
Sunday, December 7, 2003
Ch'ing P'ing Tiao
Syair Li Po
Awan membawa kembali mendandani
pikirnya, membungai wajahnya.
Angin musim panas, mengelus rel,
ada juga titik embun berkilau.
Bila engkau tak melihat dia
di puncak gunung bermahkota.
Mungkin di sinar bulan nanti
di Jasper Terrance kautemui.
Awan membawa kembali mendandani
pikirnya, membungai wajahnya.
Angin musim panas, mengelus rel,
ada juga titik embun berkilau.
Bila engkau tak melihat dia
di puncak gunung bermahkota.
Mungkin di sinar bulan nanti
di Jasper Terrance kautemui.
Saturday, December 6, 2003
Akan Kujelaskan Sesuatu
- Trilogi Komik karya Antonio Hernandez Palacios, tentang Perang Sipil Spanyol -
Sajak Pablo Neruda
Engkau bertanya, dimana bunga-bunga lila?
Dimana mimpi penuh arti bunga-bunga popi?
Dimana hujan yang terus meningkahi irama
kata-katamu, memenuhinya dengan
benih-benih hujan dan tingkah burung?
Akan kujelaskan semuanya, semua
apa yang telah terjadi padaku.
Aku tinggal di antara tetangga
di Madrid, di sana ada lonceng gereja
dan menara jam kota, juga pepohonannya.
Dari sana engkau bisa melihat
rupa kering Kastil
seperti laut, berlapis kulit
Rumahku, rumah yang disebut
"Rumah dengan Bunga-bunga" sebab di sekelilingnya
Bertabur tumbuh geranium. Rumah
yang alangkah moleknya, ada
anjing dan riang kanak di sana.
Razl, ingatkah kau?
Frederico, masih ingatkah kau?
Masih ingatkah kau rumahku, balkon-balkon,
Cemerlang bulan Juni menyuap mulutmu dengan
cita rasa bunga-bunga?
Saudaraku! Saudaraku!
Pasar Arguelles, para tetanggaku
Dengan patungnya seperti tabung tinta
pucat di antara kedai-kedai ikan.
Pasar yang bising
suara nyaring, perdagangan hiruk pikuk,
Gemuruh yang amat gemuruh
suara kaki dan tangan lalu lalang jalan,
Meter dan liter,
Hakikat hidup sejati,
Membanding-banding segar ikan,
Tekstur atap di matahari kedinginan
baling-baling cuara kelelahan.
Menyenangkan, memahat gading kentang
Barisan tomat-tomat hingga ke laut.
Lalu menyala suatu pagi
Muncul dari dalam bumi
menelan kemanusiaan.
Lalu dari sana nyala api,
Lalu dari sana bubuk mesiu,
Lalu dari sanalah darah.
Bandit dengan pesawat dan serdadu kaum Moor
Bandit dengan cincin emas dan para bangsawan
Bandit dengan pemberkatan pendeta jubah hitam
Mereka datang memotong langit membunuh kanak-kanak
dan mengalirlah, darah-darah mereka
Mengalir seadanya, seada-adanya darah kanak.
Para serigala yang disingkirkan serigala
Batu hendak digugut dan diludahi liana berduri
Ular berbisa yang dibenci ular berbisa!
Aku sudah kirim darah itu
darah Spanyol yang bangkit menentangmu
membenamkanmu ke satu-satunya
ombak kebanggaan dan pisau kelaparan!
Wahai Jenderal
Wahai Pengkhianat
Rumahku hancur, tengoklah
Spanyol lebur, lihatlah
Dan dari setiap rumah yang hancur
bukan bunga yang mekar, tapi
memancar logam yang terbakar.
Dari setiap lubang bom di Spanyol
Tumbuh lagi kelak: Spanyol.
Dari setiap peluru kejahatan kelak
lahir sebuah tempat, suatu saat,
yang ditemukan di hatimu.
Engkau bertanya, "Kenapa puisimu
tidak menyapa kami dengan mimpi-mimpi
dan daun-daun, gunung-gunung berapi
di negeri asalmu?"
Datanglah
Lihatlah darah di sepanjang jalan-jalan
datang dan lihatlah
darah di sepanjang jalan-jalan
Datang dan lihatlah darah
di sepanjang jalan-jalan!
[Catatan Jodey Bateman, penerjemah sajak ini dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris: Sajak ini adalah tentang Perang Sipil Spanyol dari tahun 1936 hingga 1939. Neruda saat itu bekerja sebagai diplomat di Kedutaan Chili di Spanyol. Pada tahun 1936, pemerintahaan Front Popular, dimana bergabung kaum Komunis, menang pemilu. Seluruh angkatan darat, kecuali enam orang pegawai kantornya, menolak untuk patuh pada pemerintahan baru itu. Dengan dukungan Gereja Katolik, empat jenderal Spanyol memimpin dan pemberontakan melawan Front Popular. Sebagian besar dari prajurit yang mendukung pemberontakan itu adalah kaum Moor, dari koloni Spanyol di Maroko. Nazi Jerman juga mendukung perlawanan itu, dan mengerahkan pesawat tempur barunya mengebom beberapa daerah yang masih dikuasai oleh Front Popular. Pemberontakan itu akhirnya berhasil menumbangkan pemerintahan yang secara demokratis menang pemilu itu, dan Jenderal Francisco Franco lalu naik ke tampuk kekuasaan dan menjadi diktator di Spanyol hingga akhir hidupnya tahun 1976.]
Friday, December 5, 2003
IA BERANGKAT
Sajak Anwar Jimpe Rahman*
ia berangkat dari sebuah kota karena ingin merasai
musim hujan menyentuh pundak ingatan, berlekas
dalam keriangan cahaya, tapi gemetar bagai
ujung daun yang kedinginan
dalam perjalanan, katanya,
yang terlewati ada saja tak sempat dinamai
tapi mesti diberi amsal, biar tak menyesal
[11.2003]
* Sahabat yang mengirim sajak ini lewat surat-e yang hingga kini tak pernah bertemu.
ia berangkat dari sebuah kota karena ingin merasai
musim hujan menyentuh pundak ingatan, berlekas
dalam keriangan cahaya, tapi gemetar bagai
ujung daun yang kedinginan
dalam perjalanan, katanya,
yang terlewati ada saja tak sempat dinamai
tapi mesti diberi amsal, biar tak menyesal
[11.2003]
* Sahabat yang mengirim sajak ini lewat surat-e yang hingga kini tak pernah bertemu.
Perpisahan Seorang Kawan
Syair Li Po
Pebukitan biru berjajar di belakang tembok utara:
Air yang putih melingkar ke sebelah timur kota:
Di sinilah, engkau mesti meninggalkan aku --
Terengah-engah sendiri segumpal duri
dalam perjalanan sepulu ribu mil.
Dan awan yang menetes-netes
dan pikiran-pikiran tak tentu tuju!
Matahari pun tenggelam dan
gejolak hati sahabat lama.
Kini hanya lambai tangan, engkau pergi.
Kuda-kuda kita meringkik berbalasan salam.
[Dari versi Inggris: Taking Leave of a Friend]
Pebukitan biru berjajar di belakang tembok utara:
Air yang putih melingkar ke sebelah timur kota:
Di sinilah, engkau mesti meninggalkan aku --
Terengah-engah sendiri segumpal duri
dalam perjalanan sepulu ribu mil.
Dan awan yang menetes-netes
dan pikiran-pikiran tak tentu tuju!
Matahari pun tenggelam dan
gejolak hati sahabat lama.
Kini hanya lambai tangan, engkau pergi.
Kuda-kuda kita meringkik berbalasan salam.
[Dari versi Inggris: Taking Leave of a Friend]
Thursday, December 4, 2003
Dimana Dulu Kita Bertemu
"Dimana dulu kita bertemu?"
Di jingga senja, jalan pada peta
tak bernama, ketika kau letih
memunguti jejak-jejak sendiri,
dan tiba-tiba merasa kehilangan
segalanya, lalu kautemukan arah
satu-satunya: cahaya senyumnya
menyentuh mata, memintamu kesana.
"Dimana dulu kita bertemu?"
Di sepasang kursi putih, pantai
yang dirindui ombak dipeluki angin,
kau dan dia: bait kosong puisi
minta diisi, lalu ikhlas melebur
seluruh kata, menyusun bersama
frasa-frasa, lalu engkau sendiri
terperanjat waktu kembali mengejanya.
"Di mana dulu kita bertemu?"
Dimana? Pernahkan engkau mencatatnya,
ketika seluruh kapal singgah bertambat,
lalu menarik sauh ke negeri jauh dan
cuaca teduh. Kau dan dia: sepasang
nelayan menjaring doa, membangun rumah
kecil di dermaga dilabuhi badai reda.
Des 2003
Di jingga senja, jalan pada peta
tak bernama, ketika kau letih
memunguti jejak-jejak sendiri,
dan tiba-tiba merasa kehilangan
segalanya, lalu kautemukan arah
satu-satunya: cahaya senyumnya
menyentuh mata, memintamu kesana.
"Dimana dulu kita bertemu?"
Di sepasang kursi putih, pantai
yang dirindui ombak dipeluki angin,
kau dan dia: bait kosong puisi
minta diisi, lalu ikhlas melebur
seluruh kata, menyusun bersama
frasa-frasa, lalu engkau sendiri
terperanjat waktu kembali mengejanya.
"Di mana dulu kita bertemu?"
Dimana? Pernahkan engkau mencatatnya,
ketika seluruh kapal singgah bertambat,
lalu menarik sauh ke negeri jauh dan
cuaca teduh. Kau dan dia: sepasang
nelayan menjaring doa, membangun rumah
kecil di dermaga dilabuhi badai reda.
Des 2003
Turun dari Gunung Zhongnan
Syair Li Po
Menuruni biru gunung ketika hari malam,
Sinar bulan jadi pengawal di jalan pulang.
Menoleh lagi ke belakang, jejak setapak
Terhampar berjenjang di bayang kelam: dalam.
Lalu kulewati rumah ladang, sahabat petani,
ketika anaknya memanggil dari gerbang pagar,
menuntunku, merangkulku, melalui bambu berlumut
ada liana berduri menangkap memegang bajuku.
Dan aku gembira sebab ada sempat untuk jeda
Dan aku gembira sebab bisa minum dengan sahabat...
Kami bernyanyi seirama angin di daun pinus;
Dan kami diam ketika bintang-bintang turun,
Ketika, aku mabuk dan sahabatku lebih dari bahagia,
Di antara kami berdua, telah melupa dunia.
Menuruni biru gunung ketika hari malam,
Sinar bulan jadi pengawal di jalan pulang.
Menoleh lagi ke belakang, jejak setapak
Terhampar berjenjang di bayang kelam: dalam.
Lalu kulewati rumah ladang, sahabat petani,
ketika anaknya memanggil dari gerbang pagar,
menuntunku, merangkulku, melalui bambu berlumut
ada liana berduri menangkap memegang bajuku.
Dan aku gembira sebab ada sempat untuk jeda
Dan aku gembira sebab bisa minum dengan sahabat...
Kami bernyanyi seirama angin di daun pinus;
Dan kami diam ketika bintang-bintang turun,
Ketika, aku mabuk dan sahabatku lebih dari bahagia,
Di antara kami berdua, telah melupa dunia.
Aku Tak Mencintaimu Kecuali
Tersebab Aku Cinta Padamu
Sajak Pablo Neruda
Aku tak mencintamu, kecuali karena aku cinta;
Aku berangkat dari cinta, ke tidak cinta,
Aku beranjak dari menantimu ke tak menanti
Hatiku bertukar dari dingin ke kobar api.
Aku mencintamu, karena engkau satu cintaku;
aku sungguh membencimu, dan terus membenci
Takluk, dan ukuran perubahan cintaku padamu:
aku tak melihatmu tapi mencinta membuta hati.
Mungkin cahaya Bulan Januari kelak habis
Hatiku tinggal dengan sifatnya bengis
Sinar, mencuri kunci ke ketenangan sejati.
Pada bagian ini di cerita itu, akulah yang satu
yang mati, aku yang satu, mati tersebab mencintamu
karena aku mencintamu, Cinta, dalam darah dan api.
[Dari versi Inggris: I Do Not Love
You Except Because I Love You]
Tersebab Aku Cinta Padamu
Sajak Pablo Neruda
Aku tak mencintamu, kecuali karena aku cinta;
Aku berangkat dari cinta, ke tidak cinta,
Aku beranjak dari menantimu ke tak menanti
Hatiku bertukar dari dingin ke kobar api.
Aku mencintamu, karena engkau satu cintaku;
aku sungguh membencimu, dan terus membenci
Takluk, dan ukuran perubahan cintaku padamu:
aku tak melihatmu tapi mencinta membuta hati.
Mungkin cahaya Bulan Januari kelak habis
Hatiku tinggal dengan sifatnya bengis
Sinar, mencuri kunci ke ketenangan sejati.
Pada bagian ini di cerita itu, akulah yang satu
yang mati, aku yang satu, mati tersebab mencintamu
karena aku mencintamu, Cinta, dalam darah dan api.
[Dari versi Inggris: I Do Not Love
You Except Because I Love You]
[Ruang Renung # 41] Tulislah Selain Puisi
MESTINYA menulis adalah menulis saja. Tak ada bedanya apa yang kelak dihasilkan dari kegiatan tulis menulis itu. Prosesnya sama: Ada ide yang datang, atau dicari atau diundang, yang minta dituliskan. Lalu kita melayaninya. Ikhlaskan saja begitu, sederhanakan saja seperti itu. Jangan menganggap puisi itu lebih dari segalanya. Apalagi berpikir bahwa puisi kita lebih dari puisi-puisi lainnya. Bukankah perkenalan kita dengan aksara dimulai dengan kata-kata yang paling sederhana? Bukan puisi yang diajarkan oleh guru-guru pertama kita? Mulailah lagi menjadi murid yang hadir di kelas pada hari pertama. Siap menerima pelajaran yang paling berharga.[hah]
Penguin Magellan
Sajak Pablo Neruda
Bukan badut bukan kanak bukan hitam
bukan pula putih, tapi tegak vertikal
dan si polos yang seperti selalu bertanya
berbaju malam dan salju:
Sang ibu tersenyum pada pelaut,
seperti nelayan melihat astronot,
tapi anaknya tak tampak senyum
ketika dia menatap anak burung,
dan dari laut yang kacau balau
ada penumpang yang amat bersih
bangkit di perkabungan bersalju.
Aku, tanpa ragu, anak burung itu
di sana, di pulau-pulau menggigil
ketika dilihatnya aku dengan matanya,
dengan matanya samudera purba:
tanpa sayap, tak juga lengan
kecuali dayung kecil yang kuat
di kedua sisi tubuhnya:
setua garam;
ketika zaman air masih mengalir,
dan dia melihatku dari zamannya:
sejak itu, aku tahu bahwa aku tak ada;
Aku hanya cacing di dalam pasir.
Ada dalih rasa ibaku
iba yang tetap tinggal di pasir:
burung yang religius,
burung yang tak perlu terbang,
burung yang tak perlu berkicau,
dan lewat bentuk tampaknya
dia burung berjiwa bebas berdarah garam:
maka dari urat nadinya laut paling dingin
jadi terpecahkan.
Penguin, pengembara yang tak kemana-mana,
Pendeta yang teguh tenang di kebekuan cuaca,
Aku takzim padamu, pada garam vertikalmu
Aku cemburu pada bulu-bulu kebanggaanmu.
Wednesday, December 3, 2003
Nyanyian Orang Pemalas*
Syair Li Po
Aku sudah dapat patronnya, tapi
terlalu malas untuk memakainya;
Aku sudah punya ladang, tapi
terlalu malas untuk menanaminya.
Rumahku bocor, aku terlalu
malas memperbaiki atapnya.
Pakaianku robek, aku terlalu
malas untuk menambalnya.
Aku sudah punya anggur, tapi
terlalu malas untuk meminumnya;
Sama saja botol angguku kosong.
Aku sudah punya harpa, tapi
terlalu malas untuk memainkannya;
Sama saja harpa itu tak ada senarnya.
Maka istiku memberitahu aku
tak ada lagi roti di rumah;
Aku mau membuatnya, tapi terlalu
malas untuk menggiling gandum.
Teman kerabat menulis surat panjang;
Aku harus membacanya, tapi surat-surat
itu tampak membosankan untuk dibuka.
Aku selalu diberitahu tentang Chi Shu-yeh
"Si Bisu" yang seluruh hidupnya sunyi.
Tapi dia bermain harpa dan
kadang-kadang ia melabur logam,
karena dia tidak semalas aku.
* Dari Versi Inggrisnya: Lazy Mans's Song
Aku sudah dapat patronnya, tapi
terlalu malas untuk memakainya;
Aku sudah punya ladang, tapi
terlalu malas untuk menanaminya.
Rumahku bocor, aku terlalu
malas memperbaiki atapnya.
Pakaianku robek, aku terlalu
malas untuk menambalnya.
Aku sudah punya anggur, tapi
terlalu malas untuk meminumnya;
Sama saja botol angguku kosong.
Aku sudah punya harpa, tapi
terlalu malas untuk memainkannya;
Sama saja harpa itu tak ada senarnya.
Maka istiku memberitahu aku
tak ada lagi roti di rumah;
Aku mau membuatnya, tapi terlalu
malas untuk menggiling gandum.
Teman kerabat menulis surat panjang;
Aku harus membacanya, tapi surat-surat
itu tampak membosankan untuk dibuka.
Aku selalu diberitahu tentang Chi Shu-yeh
"Si Bisu" yang seluruh hidupnya sunyi.
Tapi dia bermain harpa dan
kadang-kadang ia melabur logam,
karena dia tidak semalas aku.
* Dari Versi Inggrisnya: Lazy Mans's Song
Tuesday, December 2, 2003
Dua Bola Mata Mudanya Menatapmu*
Syair Antar
Aku tahu bahwa engkau telah berniat datang, ketika,
jelas tampak, unta-untamu tertambat di gelap malam.
Tak ada yang menakutkanku bila dia datang, kecuali
unta-unta pembawa barangnya akan memakan biji-biji
pohon khim-khim di seluruh negeri kami.
Di antaranya, ada dua dan empat puluh unta penghasil susu
unta yang hitam sehitam sayap-sayap gagak yang hitam.
Ketika dia memikatmu dengan mulut yang tajam bernafsu,
dan gigi-gigi yang putih, manis tempat kecupan, nikmat rasa.
Maka bila dia menatapmu dengan dua bola mata mudanya,
kijang di belantara pun tumbuh menjadi rusa padang rumput.
* petikan dari syair karya Antar
yang tergantung di dinding Kabah.
Judul dari HA.
Aku tahu bahwa engkau telah berniat datang, ketika,
jelas tampak, unta-untamu tertambat di gelap malam.
Tak ada yang menakutkanku bila dia datang, kecuali
unta-unta pembawa barangnya akan memakan biji-biji
pohon khim-khim di seluruh negeri kami.
Di antaranya, ada dua dan empat puluh unta penghasil susu
unta yang hitam sehitam sayap-sayap gagak yang hitam.
Ketika dia memikatmu dengan mulut yang tajam bernafsu,
dan gigi-gigi yang putih, manis tempat kecupan, nikmat rasa.
Maka bila dia menatapmu dengan dua bola mata mudanya,
kijang di belantara pun tumbuh menjadi rusa padang rumput.
* petikan dari syair karya Antar
yang tergantung di dinding Kabah.
Judul dari HA.
Mendaki di Nan-king ke Teras Phoenix
Syair Li Po
Sekali waktu, burung itu bermain di sini,
maka tempat ini diberikan nama mereka.
Phoenix yang telah pergi sungai yang sepi;
Jalan setapak ke Istana Wu, bersemak;
Pakaian Chin pun telah lama berdebu.
Seperti cakrawala hijau ini membelah Tiga Puncak,
Seperti Pulau Bangau Putih membagi sungai itu,
Awan datang ke antara Cahaya Surga dan aku,
Menyembunyikan kotanya dari melankoli hatiku.
[Dari Sajak On Climbing in Nan-king
to the Terrace of Phoenixes]
Sekali waktu, burung itu bermain di sini,
maka tempat ini diberikan nama mereka.
Phoenix yang telah pergi sungai yang sepi;
Jalan setapak ke Istana Wu, bersemak;
Pakaian Chin pun telah lama berdebu.
Seperti cakrawala hijau ini membelah Tiga Puncak,
Seperti Pulau Bangau Putih membagi sungai itu,
Awan datang ke antara Cahaya Surga dan aku,
Menyembunyikan kotanya dari melankoli hatiku.
[Dari Sajak On Climbing in Nan-king
to the Terrace of Phoenixes]
Monday, December 1, 2003
Puisi, Kabut, Orang Berjalan
Engkaukah yang bergegas menembus jalan berkabut itu?
Aku meraba dada, mengira akan makin ada: degup gugup.
Tapi, engkaukah yang semakin dekat dari ujung kabut itu?
Aku menduga-duga: ada suara dentang pedang di pinggang.
Lalu, haruskah kutanya pada yang tepat lewat: Engkaukah?
"Permisi," kudengar kata itu. "Aku pemburu, terburu-buru..."
Dia yang telah berlalu itu, Engkaukah yang lama ditunggu?
Ah, di mana kini aku? Di geleparku atau di perangkapmu?
Des 2003
Aku meraba dada, mengira akan makin ada: degup gugup.
Tapi, engkaukah yang semakin dekat dari ujung kabut itu?
Aku menduga-duga: ada suara dentang pedang di pinggang.
Lalu, haruskah kutanya pada yang tepat lewat: Engkaukah?
"Permisi," kudengar kata itu. "Aku pemburu, terburu-buru..."
Dia yang telah berlalu itu, Engkaukah yang lama ditunggu?
Ah, di mana kini aku? Di geleparku atau di perangkapmu?
Des 2003
Sajak dalam Depresi, di Desa Wei
Sajak Li Po
1
KUDEKAP bantal tak sekata pun berujar;
Di ruangku ini hampa, tak ada suara.
Terbaring sepanjang hari, siapa tahu...
Aku tidak sakitkah? Tidak juga tidur?
2
BAGAI pualam pipi bocah memerah mawar;
Di kuil sakitnya, salju musim dingin memagut..
Tak menduga tubuhku terbenam membusuk;
Perangkat tubuhku tua, jiwaku masih lebih tua.
(Dari Poems in Depression, At Wei Village)
1
KUDEKAP bantal tak sekata pun berujar;
Di ruangku ini hampa, tak ada suara.
Terbaring sepanjang hari, siapa tahu...
Aku tidak sakitkah? Tidak juga tidur?
2
BAGAI pualam pipi bocah memerah mawar;
Di kuil sakitnya, salju musim dingin memagut..
Tak menduga tubuhku terbenam membusuk;
Perangkat tubuhku tua, jiwaku masih lebih tua.
(Dari Poems in Depression, At Wei Village)
London
Sajak William Blake
aku mengeluyuri setiap jalan yang ada,
Tak jauh dari Thames terus mengarus,
Menangkap tanda di setiap wajah kujumpa,
Isyarat tak berdaya, isyarat sengsara.
Pada setiap pekik dari setiap lelaki,
Pada setiap jerit bayi yang ketakutan,
Pada setiap suara, pada setiap larangan,
Kudengarkan, ada pikiran menempa rantai.
Seperti ada jerit penyapu cerobong asap
Semua gereja yang menghitam terperanjat.
Dan prajurit yang malang menangis tersedu
berlari dalam darah memerciki dinding Istana.
Tapi, nyaris di jalanan dinihari kudengar
Ada pelacur belia mengerang sekarat
Memecah tangis bayi yang baru lahir
Membusuk wabah, Perkawinan kereta jenazah.
aku mengeluyuri setiap jalan yang ada,
Tak jauh dari Thames terus mengarus,
Menangkap tanda di setiap wajah kujumpa,
Isyarat tak berdaya, isyarat sengsara.
Pada setiap pekik dari setiap lelaki,
Pada setiap jerit bayi yang ketakutan,
Pada setiap suara, pada setiap larangan,
Kudengarkan, ada pikiran menempa rantai.
Seperti ada jerit penyapu cerobong asap
Semua gereja yang menghitam terperanjat.
Dan prajurit yang malang menangis tersedu
berlari dalam darah memerciki dinding Istana.
Tapi, nyaris di jalanan dinihari kudengar
Ada pelacur belia mengerang sekarat
Memecah tangis bayi yang baru lahir
Membusuk wabah, Perkawinan kereta jenazah.
Subscribe to:
Posts (Atom)