Kenapa bertanya, "sastra itu rekabahasa ataukah rekaarti?" Seolah bahasa dan arti atau makna adalah dua hal yang terpisah. Padahal ilmu linguistik merumuskan bahasa sebagai sistem yang memadukan dunia bunyi dan dunia makna. Bahasa bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara kacau tidak beraturan. Artinya makna tidak bisa dipisahkan dari bahasa.
Bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatika, dan subsistem leksikon. Ketiga subsistem itulah yang menyusun struktur sistem bahasa. Pada ketiga subsistem itulah berpadu dunia bunyi dan dunia makna. Bayangkanlah ada dua lingkaran besar. Satu lingkaran adalah dunia bunyi, dunia "fonetik". Lingkaran lain adalah dunia makna, dunia "semantik". Pada irisan kedua lingkaran itulah dibangun struktur bahasa yang tersusun dari tiga subsistem tadi. Ketika subsistem tadi tidak bisa tidak padanya terkandung aspek semantis dan fonetis, aspek makna dan bunyi.
Lantas apakah sastra? Saya lebih suka memaknainya sebagai terjemahan dari kata "literature". Secara harafiah artinya "cirikhas yang dikenali lewat tulisan". Kata itu berasal dari bahasa Latin "littera" yang berarti "ciri khas tulisan seseorang".
Jadi sebenarnya yang hakiki pada sastra adalah "cirikhas" atau karakter. Bentuk sastra bisa macam: puisi, prosa, drama, dan esei. Dan bila pertanyaanya, "apakah sastra itu rekabahasa?", saya bilang ya, apapun makna dari rekabahasa yang Anda sebutkan itu. Saya memaknainya olahbahasa sajalah. Kata "reka" sepertinya sudah merosot nilainya terpejorasi bersama kata "rekayasa" yang kini sepertinya berkonotasi pada "akal-akalan untuk tujuan buruk". Seperti kita rasakan pada kalimat, "Ah, itu sudah direkayasa..."
Ya, saya menyikapi sastra sebagai olahbahasa. Tujuannya? Pertama, supaya bahasa saya sehat, dan keterampilan berbahasa saya menangkas dan menerampil. Kedua, saya bisa mencapai apa yang terkandung pada makna dasar kata "literature", yaitu "ciri khas". Saya menulis sajak dan dengan sajak itu saya ingin menciptakan "ciri khas" bahasa dalam puisi-puisi saya. Ini mungkin bisa dipadankan dengan apa yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri sebagai "mencipta bahasa".