/1/
KITA lelah berciuman,
tinggal dua bibir yang gemetaran
seperti tak berkesudahan
menyebut-nyebut sebuah pengakuan.
Dan lemah tangan, masih berpegangan.
Aku berhadap dengan cemasku
Aku menatap kepada wajahmu,
dengan mataku: 70 per 100 pejam.
dan perih hati tak berbilangan.
Dua buku belum selesai saling baca
terbuka berhadapan, berbagi cahaya,
redup, tinggal basah di sumbu lampu.
Kukira aku telah sampai membuka,
yang paling rahasia dari halamanmu.
"Bukan, bukan itu," katamu. "Ada
halaman putih di sebuah lipatan,
di sana boleh kau tuliskan bait pujian
atau dongeng kepedihan."
Kau mengingat dua nyawa
berpelukan di penyeberangan.
Tubuh yang tenggelam di selat, laut
yang memisahkan dan mempertemukan
hasrat lelaki dan naluri perempuan.
/2/
MARI kita buat batasan:
Aku bukan lelaki nelayan,
kau bukan perempuan menunggu di pelantar.
Walau yang kutempuh di hadapan
adalah juga laut hitam: dengan badai khatam
dan gelap lebih pekat dari seribu malam.
Dalam perjalanan,
aku menuliskan kisahmu malam penghabisan,
dongeng Negeri Pedih dan Penguasa Bodoh.
orang-orang malang yang tekun merawat perih,
tiap kali luka mengatup, dusta baru diturih.
"Melihat tubuh yang terbelah luka,
seperti merah semangka di meja,"
begitulah, seperti kau akhiri cerita.
Aku, waktu itu diam-diam sudah lepas dari dekap,
mengendap, seperti yang kau inginkan,
kau tak ingin menangis karena harus melambai
ke ujung jalan. Padahal masih lemah tangan,
dan belum habis gemetar di bibir. Aku tahu,
saat itu, siapa nama yang kau sebut-sebutkan.