PENYAIR harus menulis puisi sampai selesai. Puisi yang belum selesai hendaknya disimpan dahulu untuk diselesaikan kelak. Puisi yang tidak selesai atau setidaknya dianggap belum selesai oleh penulisnya bukanlah puisi yang bagus. Tetapi, penyair boleh berubah fikiran. Ia boleh menganggap selesai puisi yang tadinya dinilai belum selesai. Joko Pinurbo sering menyimpan satu dua baris "puisi" yang disebutnya "telur" puisi yang harus dierami agak menetas jadi puisi. Tapi, kemudian beberapa "telur" itu dikirimnya ke surat kabar dan dimuat. Artinya apa yang dianggapnya "telur", ternyata dibiarkannya saja sebagai telur, tidak dia dierami lagi dan dianggapnya telah menetas dan menghasilkan makhluk puisi yang serupa dengan telur tadi.
Tetapi puisi yang terbaik, adalah puisi yang tak pernah selesai dimaknai oleh pembaca. Lebih tepat, ia tak akan pernah habis dimaknai. Ia selalu bisa mengulurkan benang-benang konteks ke berbagai peristiwa aktual. Dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri "Tanah Air Mata", adakah petunjuk yang jelas dia bicara soal apa persisnya? Orang bilang itu bicara soal kerusuhan menjelang reformasi, tapi sajak itu juga bisa mewakili derita bangsa Palestina. Begitulah, sajak yang amat bagus itu relevan dengan bangsa manapun yang tidak beres, yang rakyatnya tidak terayomi.
Sajak Sapardi Djoko Damono "Aku Ingin" adalah sajak yang sangat bagus. Bicara soal apa sajak itu sebenarnya? Tidak jelas. Tak ada petunjuk yang pasti. Dan begitulah seharusnya sebuah sajak yang baik. Dia tak pernah habis dimaknai. Sajak "Aku Ingin" bisa kita maknai sebagai pernyataan cinta yang luar biasa atau sebuah cinta yang apa adanya. Bisa juga ia dimaknai sebagai sebuah pernyataan cinta yang ikhlas, atau sebaliknya sebuah keinginan memiliki atau menguasai yang sangat kuat. Ia bisa dimaknai sebagai cara mencintai yang sambil lalu atau sebuah cinta yang dalam. Apapunlah, tapi yang pasti sajak itu memang menyentuh perasaan. Ia membangkitkan kangen, ia membuat cinta kita pada orang yang kita cintai seperti naik pasang tiba-tiba.[]