Friday, April 27, 2007

[Ruang Renung # 194] Harga Penyair

 HARGA penyair, ujar Asrul Sani, harus dinilai menurut buah tangannya yang terbesar dan bukan menurut buah tangannya yang paling kandas. Padanya diminta untuk memuatkan perasaan-perasaan dalam kalimatnya. Sampai ke mana ia dapat menggunakan bahasa untuk menyimpan perasaan ini yang nanti harus keluar kembali jika dibaca pembaca.

Sajak-sajak penyair Prancis Arthur Rimbaud ditulisnya pada selang usia pendek antara 16 hingga 19 tahun. Setelah itu ia tidak menulis lagi. Ia lalu mengikuti dinas tentara Hindia Belanda dan sempat ikut bertempur di Jawa. Ia melarikan diri dari kesatuannya. Ia menjadi penyeludup senjata di Ethiopia dan akhirnya dalam kemiskinan yang parah ia mati akibat penyakit di negerinya pada usia 37 tahun.

Sebagai apakah dunia kemudian mengenang Rimbaud? Sebagai pelopor gerakan Simbolisme. Sajak-sajaknya adalah peletak dasar-dasar bahkan pencapaian puncak dari faham estetika itu. Dia tidak dikenang sebagai prajurit pengecut yang lari dari kesatuan. Dia tidak dikenang sebagai penjahat pemasok senjata yang menyebabkan perang saudara di sebuah negeri, dia tidak dikenang sebagai gelandangan miskin dan kotor yang penyakitan.

Begitulah, Rimbaud diberi harga atas buah tangannya yang paling berhasil: Sajak, seperti yang dengan bijak disarankan oleh Asrul Sani. Asrul Sani bicara bukan tentang Rimbaud, tetapi sebagai pembelaan atas sahabatnya Chairil Anwar. Chairil -- saat Asrul menulis kalimat itu -- telah lima tahun dimakamkan. Dan kala itu serangan atas tuduhan plagiat pada beberapa karyanya tak juga mereda.

"Orang masih dapat menulis pelbagai disertasi perihal penyair ini," tulis Asrul. "Ia seolah-olah dapat dibandingkan dengan sebidang tanah luas yang kosong yang belum dikerjakan."[]