"Ada apa, Drus?"
"Aku mau beli rokok. Tolong ganti ini dong?" katanya menyodorkan flashdisk. 256 megabyte. Sebenarnya saya sedang tidak memerlukan benda itu. Saya sudah punya. Tapi, ini bukan saat yagn tepat untuk menolak permintaan Drusba. Tidak pernah ada saat yang tepat, sebenarnya. Dia sering muncul tiba-tiba pada malam hari, seperti saat ini. Dan memberi sesuatu, atau minta tolong begitu saja.
"Buat beli rokok aja, 'kan?"
"Ya, kasihlah lebih sedikit. Kau tahukan berapa harga flashdisk dengan kapasitas sebesar ini?"
"Ah, kau ini. Aku sedang tidak perlu."
"Kau kan habis dapat honor. Dua minggu lalu kulihat puisi kau di surat kabar."
Aku pun membayar, tepatnya memberinya selembar uang Rp50 ribuan-an. Drusba pun berlalu. Kantukku tiba-tiba hilang. Aku tak bisa segera tidur lagi. Aku hidupkan laptop. Siapa tahu dapat satu atau dua puisi. Buntu. Aku teringat flashdisk dari Drusba tadi. Tapi kuletakkan di mana ya? Aku cari kemana-mana, akhirnya kutemukan di balik bantal. Flashdisk itu kusambungkan ke laptop. Saya tidak berharap menemukan apa-apa, tapi di dalamnya ada satu arsip 90 kilobyte. Sebuah kisah. Bukan. Tepatnya semacam pendahuluan sebuah kisah.
Ini dia isinya:
...................
Kotakami adalah kota kecil. Penduduknya tak banyak. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih banyak dari penduduk Kotakami. Tapi juga tak bisa dibilang sedikit. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih sedikit daripada jumlah penduduk di Kotakami. Kalau ada pendatang dari luar kota bertanya kepada penduduk Kotakami berapa jumlah penduduk Kotakami maka jawabannya selalu sama, "Saya adalah salah satunya." Mereka menjawab begitu dengan bangga.
Kalau pendatang itu bertanya, "Apa buktinya?" Maka jawabannya, "buktinya Anda bertanya kepada saya berapa jumlah penduduk Kotakami. Kami sendiri tak pernah bertanya seperti itu. Kami selalu ditanya seperti itu oleh pendatatang seperti Anda." Kadang-kadang jawaban itu dilanjutkan dengan menunjukkan kartu penduduk Kotakami. Kartu itu tampak seperti sepotong kaca jernih, atau kartu plastik tembus pandang. Perhatikanlah, di dalam kartu itu terlihat wajah si pemilik kartu. Bukan, bukan gambar. Wajah itu hidup.Wajah itu tersenyum, mengedipkan mata, seperti si pemilik kartu sedang bercermin di sana.
Kotakami adalah kota kecil yang selalu tampak sibuk. Tetapi ini bukan kota yang terburu-buru. Penduduk Kotakami selalu punya waktu untuk melakukan apa saja, karena mereka benar-benar tahu harus melakukan apa saja dalam sehari. Selalu ada penduduk berjalan atau berkendaraan yang terlihat di jalan, sepanjang tiga kali delapan jam. Ya, tiga kali delapan jam. Penduduk Kotakami lebih suka menyebut waktu sehari dengan 3 kali 8 jam. Bukan 2 kali 12 jam, bukan juga 1 kali 24 jam.
Perhitungan waktu dimulai saat matahari tenggelam. Itulah waktu 00.00 waktu Kotakami. Delapan jam pertama mereka namakan Serafiana. Delapan jam kedua mereka namakan Kanyalania. Delapan jam ketiga mereka sebut Fatsawasya.
Sekarang mari kuceritakan tentang kendaraan di Kotakami. Jangan bayangkan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Umumnya kendaraan di Kotakami adalah sepeda, beroda dua dan beroda tiga. Yang paling banyak yang beroda tiga. Bukan, bukan seperti beca. Sepeda roda tiga di Kotakami berbeda: satu roda di depan terhubung pada setang. Dua roda di belakang digerakkan oleh mesin berbahan bakar minyak dari sejenis tumbuhan. Sepeda roda tiga itu, namanya tripeda, bisa membawa seorang pengemuda dan seorang penumpang di belakangnya.
Tengoklah peta Kotakami. Bentuknya semakin lama semakin seperti segitiga sama sisi. Meskipun tidak pernah ada yang bisa meyakini memang seperti itulah bentuk kota ini. Bentuk itu adalah rekaan yang paling mungkin mendekati bentuk sebenarnya. Ada tiga gerbang masuk ke Kotakami, tepat di titik tengah sisi setiap segitiga itu. Di titik-titik sudut segitiga itu didirikan tugu. Mereka memberi nama Tugu Angin, Tugu Air, dan Tugu Api.
Begitulah aku sekelumitkan kisah Kotakami.
Lalu siapakah aku? Aku semula adalah pendatang yang akhirnya diakui sebagai penduduk di Kotakami. Mendapatkan pengakuan itu sangat tidak mudah. Itulah yang hendak kukisahkan. Aku menuliskan kisah itu di halaman-halaman berikutnya di buku ini. Aku hendak berkisah tentang beberapa orang yang sangat menarik yang kutemui yang akhirnya mereka menjadi teman akrabku di Kotakami. Aku hendak berkisah tentang dongeng-dongeng yang hidup di Kotakami. Tiap tempat punya dongeng sendiri, tiap penduduk Kotakami punya dongeng masing-masing.
....................
Ini kisah karangan Drusba? Saya mengambil telepon genggam dan menghubungi nomornya. Dia tadi sebenarnya inign memberi kisah ini kepada saya? Tapi nomornya tidak aktif. Terus-terang saya penasaran. Dia ingin saya melanjutkan kisah ini? Saya cari-cari mungkin ada arsip lain di flashdisk itu.
Percuma saya mencari, itu memang satu-satunya arsip yang ada. Saya tertarik untuk melanjutkan kisah itu. Saya harus minta izin dulu pada Drusba. Saya yakin ini kisah dia yang mengarang. Saya coba menelepon dia lagi. Tak juga terhubung.
Ah, sudahlah. Anda yang kebetulan berjumpa dengan Drusba, tolong katakan padanya, saya ingin membuat novel dari kisah itu. Atau kalau Anda ingin melanjutkan kisah itu, mintalah izin padanya. Tapi, apa benar itu kisah Drusba? Saya tidak tahu juga. Hanya Drusba yang tahu. Kalau Anda bertemu dia tanyakanlah. Kalau saya bertemu nanti akan saya tanyakan juga padanya. []
Tiban Indah, April 2007