Wednesday, April 11, 2007

[Ruang Renung # 186] Penyair dan Badut

Setelah memenangkan sebuah pertempuran yang hebat, seorang raja di sebuah kerajaan ingin menggelar sejumlah acara untuk memperingati kemenangan itu. Para pekerja mendirikan sebuah panggung besar di alun-alun kerajaan.

"Panggil badut yang paling lucu," kata Raja itu. Maka malam itu rakyat kerajaan itu pun berkumpul di alun-alun tertawa oleh sebab lawakan-lawakan sang badut. Raja ikut menyaksikan lawakan itu, ikut tertawa, lalu di tengah lawakan ia menyampaikan pidato pamit, dan meminta badut untuk meneruskan lawakan.

Esok pagi, Sang Raja memanggil Perdana Menteri agar memanggil pujangga terbaik. "Saya ingin kemenangan kita dalam pertempuran terakhir yang kita menangkan itu diabadikan dalam kisah dan syair," katanya. Maka dipanggillah sang pujangga.

Berhari-hari kemudian raja mengisahkan pertempuran yang ia pimpin dan ia menangkan itu. Si pujangga mencatatnya. Raja menceritakan pertempuran batinnya selama pertempuran itu berkecamuk. Si pujangga mencatatnya. Raja menyebut nama-nama prajurit terbaiknya yang gugur di medan tempur. Si pujangga mencatatnya.

Apa yang dicatat oleh si pujangga kemudian digubah menjadi syair, menjadi hikayat, menjadi riwayat, dan menjadi babad. Pujangga itu diam-diam menyelipkan juga teguran, dan secara halus mengingatkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sang raja, dan ancaman perang berikutnya.

Begitulah, badut dan pujangga menjalankan peran yang berbeda. Meskipun, ada juga badut yang karena ketajaman nuraninya, dan keberaniannya diam-diam juga menyelipkan teguran dan peringatan bagi raja yang berkuasa. Meskipun badut dan pujangga sama-sama bisa menghadapi ancaman hukuman dan kehilangan nyawa karena selipan-selipan teguran dan peringatannya kepada Raja si penguasa itu.

Begitulah. Selalu saja ada pujangga yang mengharamkan kakinya menginjak istana. Ia mencatat, menyairkan apa yang ia lihat di tengah kehidupan rakyat. Selalu juga ada badut yang hanya ingin mendatangi sekelompok petani di sore hari, di bawah pohon tempat bernaung, di sana si badut mengisahkan leluconnya dan petani membagi tawa dan bekal teh pahit terakhir yang tersisa di ceretnya.