Saya saat itu sedang membaca membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Agaknya, orang yang ingin menjadi pengarang harus lebih tabah daripada yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain. Seorang dokter boleh bekerja di rumah sakit atau membuka praktek sendiri, apabila ijazah kedokteran sudah dalam kantongnya. Tidak demikianlah dengan seorang pengarang. Tidak ada universitas yang dapat memberikan ijazah sebagai pengarang kepadanya, walaupun di mana-mana terdapat Fakultas Sastra. Fakultas-fakultas itu hanya mengajarkan teori, tetapi praktek mesti dicari pengarang sendiri...
Sambil membaca saya mendengarkan juga pembicaraan di sebelah meja saya.
"Tentu saja saya yang punya peran paling penting," kata Si Tokoh. "Apakah ada kisah kalau tak ada tokoh? Tak ada tokoh, tak ada kisah," kata Si Tokoh.
"Okelah, tak ada kisah, tak ada tokoh. Tapi, kalau cuma tokoh, tanpa alur cerita, tokohnya mau bikin apa? Cuma narasi sendirian? Narasi saja sudah bisa jadi plot. Tanpa plot, tokoh mati. Tidak pernah bisa bikin kisah apa-apa," kata Si Plot.
"Sebentar dulu, Tuan Tokoh dan Tuan Plot. Anda berdua bicara soal tokoh dan plot. Anda berdua bergerak dalam cerita dari waktu ke waktu. Artinya kalian memerlukan saya," kata Si Waktu, "Anda jangan menyepelekan saya, dong."
"Ah, sebuah kisah kadang hanya menyebut 'pada suatu hari', atau 'pada zaman dahulu'. Jadi waktu sangat tidak penting. Waktu hanya pelangkap," kata Si Tokoh.
"Nah, apa yang kau sebut sebagai contoh tadi justru adalah bukti betapa pentingnya waktu. 'Pada suatu hari' dan 'pada zaman dahulu' itu adalah saya, adalah waktu. Mana bisa disepelekan," kata Si Waktu.
"Tunggu dulu. Kalian lupa sama saya?" kata Si Lokasi. "Lupa ya? Tokoh, Plot, Waktu, kalian boleh bikin kisah apa saja. Tapi kisahnya mau dihadirkan di mana?"
"Ya, bisa di mana saja. Di negeri antah berantah. Di sebuah kerajaan. Di negeri dongeng."
"Nah, di manapun itu, artinya kalian perlu lokasi. Perlu saya, 'kan?"
Saya tidak bisa membayangkan pembicaraan mereka itu akan berakhir seperti apa. Sebenarnya perdebatan mereka itu menarik sekali. Tapi, saya punya urusan lain. Saya ingin menyelesaikan membaca buku yang dulu saya beli di kedai buku di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, kedai yang dikelola oleh seniman Yoserizal Manua. Setelah menumbukkan puntung rokok ke asbak, saya membayar kopi dan saya pun keluar dari kedai itu. Saya lihat mereka berempat masih saja berdebat.
***
TENGAH malam Drusba datang ke rumah saya. Wajahnya nol. Seperti sedang kehilangan sesuatu yang penting. Saya tidak bertanya. Saya biarkan saja dia duduk bingung, saya lanjutkan membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Selain daripada itu fakultas-fakultas itu bukan hendak membentuk mahasiswa-mahsiswanya menjadi pengarang melainkan untuk mendidik agar mereka menjadi ahli sastra atau guru. Namun demikian tentu seorang pengarang yang mendapat kuliah di fakultas-fakultas serupa itu banyak manfaatnya. Kebanyakan di atara kita meski mencari sendiri. Akan tetapi pun mereka yang telah menamatkan universitas itu mesti terus mencari sebab pengarang adalah pencari ...
"San, kau tak bertanya apa masalah aku?" akhirnya Drusba buka suara.
"Tak aku tanya pun kau akan cerita sendiri. Kau kalau tak ada masalah tak akan datang ke rumahku ini, kan?"
Drusba terdiam.
"Baiklah, apa masalahmu?"
Drusba pun berkisah tentang rencanya menulis sebuah kisah. Tapi rencana itu tak pernah berhasil ia wujudkan sebab Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi yang ia ajak kerja sama membuat kisah itu diam-diam berkomplot mengkhianatainya.
Saya teringat mereka waktu berdebat di kedai kopi. Saya katakan itu pada Drusba. Itulah terakhir kali saya melihat mereka. Saya katakan itu pada Drusba. Saya tak tahu kalau mereka sebenarnya sedang ada kerjasama dengan kawan saya ini. Saya katakan itu pada Drusba.
"Lantas kemana mereka pergi?"
"Saya tak tahu."
Drusba terdiam lagi.
Lama.
"Kau baca apa, San?"
"Kau mau dengar?"
Saya membaca dengan suara keras, buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... dalam menulis hendaknya jangan ditunda-tunda. Kalau kita menunda karangan -- lebih-lebih untuk masa yang lama -- suka sulit kita mengumpulkan lagi pikiran dan semangat untuk melanjutkannya. Maka seberapa dapat menulislah dalam satu jalan. Tetapi yang paling penting, kita harus hidup dalam ciptaan, dan jika pikiran sudah begitu hidup tidak mungkinlah jiwa mati. Itulah salah satu segi yang cemerlang dalam penghidupan pengarang bahwa jiwanya tidak mati, bahkan tidak mau melempem. Jiwa pengarang selalu memancarkan cahaya yang berbinar-binar....
"Drus...." Tak ada jawaban. "Drus?"
Aku lihat Drusba tak ada lagi.
Kemana dia? []
Tiban Indah Permai, April 2007.