Monday, April 30, 2007

[Kisah] Aku

"ENAK sekali dia sekarang. Sudah bertahun-tahun menikmati kematiannya," katanya. Bicaranya pelan saja. Tapi cukup jelas kutangkap kalimat itu. Yang dia maksudnya dengan "dia" adalah Chairil Anwar. Ya, penyair hebat yang lekas mati itu. Dan dia yang bicara padaku itu adalah si "Aku". Inilah yang hendak kuceritakan padamu.

***
Kau pernah baca sajak "Aku", kan? Besar kemungkian kau akan menjawab, "ya". Sajak ini adalah kutipan wajib di setiap buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Demi kelancaran dan kemudahan cerita ini, anggap saja kau sudah pernah membaca sajak itu. (Catatan: "Anggap saja kau pernah membaca sajak itu", mestinya kalimatnya begitu saja. Karena dalam kata "pernah" terkandung kata "sudah").

Kemarin malam, aku sedang membaca "Aku". Ini bacaan yang entah ke berapa kali. Banyak kali. Aku sudah membaca sajak itu sejak sekolah dasar. Aku pernah menyalin sajak itu di buku harianku waktu sekolah menengah pertama. Dan waktu sekolah menengah atas sajak itu untuk pertama kalinya saya bacakan di depan orang banyak. Tepatnya saya membacakannya ketika pelantikan anggota Pramuka di sekolah saya. Ketika itu tiap anggota baru harus menampilkan atraksi seni. Aku tak bisa main gitar. Aku tak bisa menyanyi. Yang terpikir ya cuma satu hal itu: membaca sajak. Sajak "Aku".

Aku. Kalau kusampai waktuku. 'Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu.

Ketika itu, maksudku ketika aku membaca sajak itu, malam sudah sampai di tengahnya. Ia mulai basah. Ia juga senyap, senyap yang bikin lapangan perkemahan ini sepi sekali. Syahdu. Aku membaca tanpa teks. Aku hafal sajak itu sejak sekolah dasar. Nah, ketika selesai dan bahkan ketika aku sedang membaca sajak itu, aku merasa si "aku" dalam sajak itu ada menyaksikan aku membaca sajak itu. Bukan. Dia bukan si penyair. Aku tak yakin, tapi begitulah yang kuyakini dari apa yang kurasakan.

***

Ya, kemarin malam aku membaca lagi sajak "Aku". Ini bacaan yang entah yang keberapa kali. Aku tidak pernah menghitung, mungkin sudah seribu kali.

"Ya. Sajak itu sudah kau baca seribu kali," kata dia, yang tiba-tiba saja ada di kamarku. Dia itulah yang kalimatnya kutulis di awal cerita ini. Dia adalah "Aku". Sebagai pengarang, aku tidak terkejut dengan kehadiran dia yang mengaku sebagai "Aku" itu. Sebagai pengarang saya justru harus pandai menyusun kejutan-kejutan untuk orang yang kelak membaca cerita karangan saya.
Kata si "Aku", dia dan Chairil Anwar dulu sempat bertaruh. Menurutnya, maksudku menurut si "Aku", sajak itu tidak akan dibaca orang. "Sajak itu tidak akan disukai orang," kata si "Aku" mengulangi apa yang dulu dikatakannya pada Chairil. Tapi si Chairil bilang sebaliknya.
"Ini akan jadi sajak yang hebat" kata Chairil.

"Apa hebatnya? Isinya cuma omong kosong begitu saja. Kok ada sih orang yang mengaku sebagai binatang jalang. Eh mengaku pula dari kumpulannya terbuang!"

"Beginilah. Kita taruhan saja."

"Baik. Apa taruhannya?"

"Saya yakin, ini sajak yang hebat, karena itu akan ada seseorang yang membaca sajak ini sampai seribu kali."

"Baik. Taruhannya apa?"

"Aku" dan Chairil membuat peraturan taruhannya begini: 1. Di antara mereka pasti ada yang mati lebih dahulu. Siapa yang matinya kalah cepat, maka dia harus menunggu sampai ada seseorang yang membaca sajak itu hingga seribu kali, sebagai bukti bahwa sajak itu memang sajak yang hebat; 2 .Pihak yang kalah cepat matinya, baru bisa menyusul mati kalau sudah ada orang yang membaca sajak itu seribu kali; 3. Kalau tidak, maka dia yang matinya kalah cepat harus menunggu kematiannya sampai usianya seribu tahun.
"Begitulah taruhannya," kata "Aku" padaku.

***
"Sudahlah. Taruhan kami sudah selesai. Saya sudah boleh pergi mati. Terima kasih karena telah membuat saya tak harus hidup seribu tahun lagi. Terima kasih. Chairil benar. Sajak itu memang sajak yang hebat. Permisi," si "Aku" pun melenggang keluar kamarku.

Aku tak sempat berbasa-basi menjawab pamitnya si "Aku". Kalau tadi aku bilang aku tidak terperanjat, sekarang aku pelan-pelan terkejut juga. Terkejutnya itu bukan kejutan biasa. Sekali kejut langsung terkejut, dan sekali itu pula kejutnya hilang. Aku baru merasakan terkejut yang lain. Kejutannya pelan-pelan. Makin lama makin kejut. Dan kejutnya tak langsung hilang.

Setelah kejutan tadi bisa saya kendalikan, saya baru sadar si "Aku" sudah tak ada lagi di kamar saya. Ah, sialan. Padahal tiba-tiba saja saya ingin bertanya sajak itu sebenarnya ditulis oleh siapa? Benar-benar oleh Chairilkah? Atau oleh si "Aku" sendiri? Saya juga ingin titip salam untuk Chairil kalau mereka saling bertemu di sana.

Ah, sudahlah. Semoga dia bisa juga menikmati kematiannya.[]

Tiban Indah Permai, April 2007.