Dia membaca lagi peringatan Subagio Sastrowardoyo: Penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.
Dia baca lagi sajak-sajaknya. Dia bertanya-tanya, mana sajak-sajaknya yang justru menyekatkan dirinya sendiri pada dirinya sendiri? Mana sajak-sajaknya yang hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah? Mana sajak-sajaknya yang menawarkan cukup makna?
Dia bertanya-tanya, bagaimana caranya mengatasi perhatian pada diri sendiri itu? Lalu bagaimana dia mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas? Mungkin begini: Perhatikanlah dirimu sendiri, secermat-cermatnya. Subagio menulis "mengatasi" bukan "melepaskan" atau "meniadakan", tapi "mengatasi". Sajakmu tentu berpunca dari dalam dirimu. Rangsang boleh datang dari luar. Sajak adalah tanggapanmu atas rangsang itu. Cara menanggapi itulah yang khas pada sajak dan pada tiap penyair.
Bila kau kesal atas perilaku buruk politikus yang duduk di kursi enak atas nama rakyat, bukan lantas kau harus menumpahkan kata-kata makian saja dalam sajak-sajakmu. Bukan dengan cara itu kau bisa sudah melaksanakan amanat Subagio. Bukan begitu caranya bila kau ingin merasa telah mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas. Kalau itu yang kau lakukan, apa bedanya dengan surat pembaca di surat-surat kabar atau majalah itu? Sajak bisa dan harus mencapai lebih dari itu. Sajak harus mencapai Sajak, mencapai Puisi.