PAGUT: kita berpeluk-lepas, tidak juga bayang
yang berdekapan, hanya letih tangan mengulur,
menjulur, seperti harapan yang meminta, tak
pernah sampai pada apa yang ingin benar-benar
terasa. Aku: pagar terkunci, kau: pintu enggan
membuka. Jalan di halaman menyemak setinggi
badan. Sedang melambai pun aku telah enggan, kau
tak akan menoleh: terus lurus menatap kesunyian.
PAHUT: pohon itu telah tinggi sekarang, dulu
kutanam anakan yang kubawa sepulang dari
sebuah petualangan yang tanggung. Di halaman
kita berduaan, sepasang batu dingin pada rabaan.
"Dia akan tumbuh, lebat, disiram musim yang
mengancam," ujarku. Kau seperti memindahkan
bayangan kembaran pohon itu ke hatimu. "Kau
tahu di mana aku hendak melebatkannya?"
tanyamu. Aku menggeleng. "Yaitu," katamu,
"pada suatu hari ketika aku harus menetak batang
lalu memanjati tingginya, memastikan berapa
jauh sudah kau meninggalkan aku."
PAGAS: Maka, pulanglah lelaki yang bimbang.
Mata yang tajam, sepi yang kejam. "Dengan apa
aku hendak memangkas semak ini? Memenggal
sesat jalan ini?" Dari jendela rumah, kulihat kau
menyalakan pelita, bau minyak kelapa, dan kayu
bakau kau apikan di tungku dapur. Aku melihat
ke kebun di samping rumah, seperti pisang matang
sebatang, minta ditebang.
PANCAKA: Tapi aku telah jadi lelaki pemuja kaki.
Pemuja sepatu. Tak mengenali lagi bau api. Hanya
ingat kobar yang menjilat, di tempat membakar mayat.
Ketika tengah malam hampir, perempuan melempar
bakau terakhir, ia rapatkan semua jendela, ia buka
hati bagi putus asa. Dia tahu, jika mati nanti, ada
yang akan datang dengan sesal yang bakal kekal.