Saturday, April 21, 2007

[Ruang Renung # 191] Enam Diktum Goenawan

DIMANAKAH letak nilai puisi? Yaitu, antara kemampuannya berkomunikasi dengan pembaca dan bagaimana dia bisa menjadi ajang si penyair untuk unjuk gaya; Antara puisi terang-benderang dan puisi gelap; Antara puisi yang selempang pengumuman dan puisi yang rumit tak dimengerti; Antara puisi yang terlalu menghamba pada pembaca dan puisi yang tak peduli pada pembaca. Ada rumusan sangat bagus dari Goenawan Mohamad soal nilai puisi dan bagaimana puisi harus bisa berkomunikasi dengan pembaca. Saya menyimpulkannya dalam enam butir dan memberi penjelasan --- tepatnya penafsiran semampunya --- sebagai berikut ini:

Pasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi. Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada orang lain, pembacanya.


Penjelasan: Penyair percaya bahwa pembaca puisinya bisa menerima bahkan menikmati puisi dan pesan yang ada dalam puisinya. Niat awal dari penyair adalah keinginan untuk berkomunikasi dengan pembacanya lewat puisi, bukan sekadar unjuk gaya, berakrobat kata-kata. Ini tentu saja bukan sebuah komunikasi yang praktis, seperti komunikasi kita dengan penjaga kios rokok di tepi jalan, ketika kita ingin beli rokok.

Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada dalam komunikasi.

Penjelasan: Pencapaian penyair tidak diukur dari seberapa mudah atau seberapa susah puisinya berkomunikasi dengan pembacanya. Puisi harus secara wajar berkomunikasi. Komunikasi itu adalah kemutlakan karena puisi bukan seperangkat kata untuk tebak-tebakan juga bukan rumus kode judi buntut. Prestasi penyair atau kematangan penyair tercapai apabila penyair bisa memeragakan gaya ucap yang khas dalam puisi-puisinya. Gaya ucap itu pun harus tumbuh secara wajar, bukan gaya yang sekadar beda dari gaya penyair lainnya.

Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang tidak pantas dihargai.

Penjelasan: Komunikasi dalam sajak adalah komunikasi yang iklas dan wajar. Bukan komunikasi yang memaksa. Penyair tidak lebih tinggi posisinya di hadapan pembaca. Penyair bahkan tidak berada di hadapan pembacanya. Ia bersisian dengan pembacanya. Karena itu sajak yang memaksa --- dengan demikian juga penyair yang menuliskan sajak itu --- tidak pantas mendapat penghargaan.

Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya bagi dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair bukanlah orang yang berada pada posisi untuk mengelabui pembaca puisinya. Penyair bukan seorang yang mengacaukan kepingan fuzzle untuk disusun kembali menjadi gambar yang utuh oleh pembacanya. Penyair adalah ibarat pelukis. Dia bisa melukis obyek dengan gaya abstrak, realis, atau figuratif. Lalu dia memasang lukisannya di ruang pameran. Pembaca adalah orang yang mengamati dan menikmati lukisan itu tanpa dihalang-halangi oleh garis pengaman dan dengan pencahayaan yang cukup. Tentu saja si pelukis boleh saja menyimpan sendiri maksud atau niat awal yang menggerakkannya melukis obyek lukisannya. Tapi bukan itu yang membuat lukisannya bernilai. Pelukis harus bergirang hati dan ikhlas menerima tafsir yang bebas dan bermacam-macam dari penikmat lukisannya. Lukisan yang baik seharusnya selalu menggerakkan hati siapa pun untuk menikmati dan memaknai.

Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi percaya pada dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair dan sajaknya memang diberi lisensi puitika untuk menyimpangkan, menciptakan, dan menggandakan arti dari gramatika yang lazim. Tapi jurus-jurus itu dipakai untuk membuat asyik dan menarik komunikasinya dengan pembaca, bukan sekadar sengaja bikin gelap dan membuat pembacanya merasa bodoh dan tak berdaya. Kebanggaan penyair bukanlah apabila sajaknya susah dimengerti oleh pembaca.

Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara "kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan "tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca", tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.

Penjelasan: Ada titik di ujung kanan, dan titik lain di ujung kiri. Di antara kedua titik itulah penyair harus meletakkan sajaknya. Tidak pernah ada titik yang pasti. Proses menyair adalah percobaan yang terus-menerus. Ada percobaan yang berhasil, ada yang nyaris berhasil, dan ada yang gagal. Penyair hanya harus menyadari ada dua titik itu dan harus pula ia sadar akibat-akibat yang bisa kena pada puisinya bila ia melampaui titik itu.

* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi" tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.