Sunday, February 1, 2004

[Ruang Renung # 59] Bikin Puisi, Bikin Perangkap

Tengah Malam Jam*



Sajak Sutardji Calzoum Bachri



duabelas malam jam

duabelas angin jam

duabelas sungai jam

duabelas riam jam

duabelas hunjam jam

duabelas rahang jam

duabelas mukul mukul duri

duebalas neriak kapak

ribubelas babi nyeruduk lengang badan



1977



* Dari O Amuk Kapak, Penerbit Sinar Harapan, 1981.




   MUNGKIN puisi bisa juga kita anggap sebagai sebuah atau beberapa buah perangkap. Pembaca atau para pembaca adalah orang yang harus kita giring ke daerah puisi kita, lalu hap, kalau dia atau mereka masuk perangkap, maka puisi kita berhasil! Semakin banyak orang yang terperangkap, artinya semakin berhasil puisi kita. Dan semakin berhasil lagi apabila orang-orang yang sudah pernah terperangkap itu datang dan datang lagi. Dan terus saja masuk ke dalam perangkap puisi kita.

    Mereka yang menikmati keterperangkapan itu malah marah atau tidak suka kalau kita di pintu gerbang puisi kita memasang papan pengumuman: di sini daerah bebas perangkap. Mereka akan mencari daerah lain untuk dijelajahi.

    Tetapi, perangkap adalah perangkap. Perangkap yang baik selalu memberi kejutan. Dia tersamar di balik bayang pohon, batang rumput, unggun tanah, luruh daun, dan patahan ranting dan apa saja. Dia seolah tidak ada di sana. Dia seolah bukan perangkap, tapi dia perangkap. Perangkap yang tak pernah luput memerangkap.

    Tetapi perangkap adalah perangkap. Dia bukan sekadar kubangan-kubangan lumpur kotor atau jerat-jerat tali dang pembingkasnya yang belum apa-apa sudah kelihatan dan malah bikin si pembaca takut untuk sekadar melintasi apalagi menjelajahi daerah puisi kita.

   Selamat membuat perangkap. Selamat memerangkap diri sendiri.[hah]