Tengah Malam Jam*
Sajak Sutardji Calzoum Bachri
duabelas malam jam
duabelas angin jam
duabelas sungai jam
duabelas riam jam
duabelas hunjam jam
duabelas rahang jam
duabelas mukul mukul duri
duebalas neriak kapak
ribubelas babi nyeruduk lengang badan
1977
* Dari O Amuk Kapak, Penerbit Sinar Harapan, 1981.
   MUNGKIN puisi bisa juga kita anggap sebagai sebuah atau beberapa buah perangkap. Pembaca atau para pembaca adalah orang yang harus kita giring ke daerah puisi kita, lalu hap, kalau dia atau mereka masuk perangkap, maka puisi kita berhasil! Semakin banyak orang yang terperangkap, artinya semakin berhasil puisi kita. Dan semakin berhasil lagi apabila orang-orang yang sudah pernah terperangkap itu datang dan datang lagi. Dan terus saja masuk ke dalam perangkap puisi kita.
    Mereka yang menikmati keterperangkapan itu malah marah atau tidak suka kalau kita di pintu gerbang puisi kita memasang papan pengumuman: di sini daerah bebas perangkap. Mereka akan mencari daerah lain untuk dijelajahi.
    Tetapi, perangkap adalah perangkap. Perangkap yang baik selalu memberi kejutan. Dia tersamar di balik bayang pohon, batang rumput, unggun tanah, luruh daun, dan patahan ranting dan apa saja. Dia seolah tidak ada di sana. Dia seolah bukan perangkap, tapi dia perangkap. Perangkap yang tak pernah luput memerangkap.
    Tetapi perangkap adalah perangkap. Dia bukan sekadar kubangan-kubangan lumpur kotor atau jerat-jerat tali dang pembingkasnya yang belum apa-apa sudah kelihatan dan malah bikin si pembaca takut untuk sekadar melintasi apalagi menjelajahi daerah puisi kita.
   Selamat membuat perangkap. Selamat memerangkap diri sendiri.[hah]