Friday, February 13, 2004

[Ruang Renung # 63] Bila Shakespeare tidak Lahir di Inggris

Shakespeare, etsa Ralph Steadman

    ADA yang tidak bisa memahami puisi yang ditulis dalam satu bahasa. Dia lebih menikmati puisi dalam bahasa lainnya. Bahasa memang memiliki karakter dan kemampuan berbeda ketika digunakan sebagai alat berekspresi. Karakter dan kemampuan yang berbeda itu, sebaiknya tidak dipakai untuk mengadili si bahasa. Keduanya - karakter dan daya bahasa tadi - bisakah dia kita gunakan sebagai kekuatan puisi-puisi kita.

    Memang, sebuah bahasa adalah sebuah produk budaya. Dulu pernah diragukan apakah Bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa pengantar yang baik bagi ilmu dan bahasa untuk kesusastraan. Sebab pada awalnya, dia adalah bahasa perdagangan. Sampai kini pun, terutama untuk sains, keraguan itu masih ada. Tetapi, ketimbang ikut meragukannya, para pujangga-pujangga perintis kita justru merambah belantara bahasa itu untuk membuka jalan baru, jalan ke arah pencapaian baru. Jalan yang kini kita nikmati kelapangannya. Bukankah puisi, adalah jalan menuju ke masa depan bahasa-bahasa?

    Lalu, bahasakah yang membuat seseorang jadi penyair?

    Apakah Chairil Anwar akan jadi penyair bila dia tidak lahir di Indonesia? Bila seorang Shakespeare tidak lahir di Inggris apakah dia tetap jadi seorang pujangga? Juga bila Pablo Neruda tidak lahir di Chili akan jadi penyair jugakah dia? Mungkin ya. Tetapi pasti mereka akan jadi pujangga yang berbeda dari yang kita kenal sekarang. Karena, seperti Neruda, dia memaparkan banyak hal yang mempengaruhi proses dia menyair. Pengaruh yang terutama adalah alam negeri Chili yang dikepung pegunungan Andes. Jadi bukan bahasa Spanyol yang ia gunakan untuk berkarya.

    Jadi, menyairlah dengan bahasa apa pun yang menyelesakan kita.[hah]