Saturday, February 28, 2004

[Ruang Renung # 69] Puisi Lahir Ketika....*

     Puisi lahir ketika....



     Ketika seorang prajurit yang gagah di medan laga menjadi seorang raja. Dia ingin mengenangkan pertempuran-pertempuran yang dia menangkan. Dia ingin rakyatnya membanggakannya. Lalu seseorang yang kalau sekarang disebut penyair pun diminta untuk menyusun kisah pujian dalam kata-kata yang terindah yang bisa ditatanya. Sebuah panegyric. Saat itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika dulu, kerajaan-kerajaan ingin mengabadikan semangat tempur prajurit-prajuritnya dalam lagu yang dinyanyikan ketika menuju ke pertempuran berikutnya. Seorang yang kalau sekarang mungkin disebut penyair dititahkan untuk menyusun syair lagu itu. Syair puja-puji, penggugah hati, pengobar semangat, pengingat kepada janji setia atas raja-raja, atau ringkasan sejarah kejayaan kerajaan. Saat itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika...



     Sejarah minta diabadikan. Dalam syair-syair lama, kisah kepahlawanan bisa dikenang. Bisa dikaji ulang. Pencatat sejarah ketika itu adalah mereka yang mungkin kini kita sebut penyair saja.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika huruf belum lagi jadi budaya manusia. Bahasa yang susunan kata-katanya indah begitu mudahnya diingat. Lalu, mereka yang kalau sekarang mungkin disebut penyair itu tiba-tiba disergap bosan. Hatinya tergoda menyairkan perasaannya tentang batu karang, gunung, laut, hutan, sungai, tentang kekuatan gaib dan misteri alam, tentang rasa gentar manusia, tentang dewa-dewa, dan makhluk halus. Juga tentang dongeng-dongeng dan kepercayaan yang luar biasa liar imajinasinya. Ketika itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika ....



     Penyair telah menemukan dirinya sendiri. Memberi makna tak tergugat pada predikatnya itu sendiri. Puisi tak lagi menghamba pada apa-apa, kecuali pada puisi itu sendiri. Ia bebas. Ia mengundang tafsir datang pada dirinya sendiri. Penyair berburu, mencari, mencoba, bereksperimen dengan bahasa dengan puisi-puisinya. Pembaca juga bebas menafsir, jatuh cinta, atau mencampakkan puisi yang mana saja, hasil kerja penyair mana saja. Saat itulah puisi juga lahir. Dan akan terus lahir.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika kita tak berhenti memperdebatkannya. Ia tak peduli.



* Diilhami oleh tulisan Thomas Love Peacock (1785-1866), The Four Ages of Poetry (1820)