SEBENARNYA panegyric ini hendak kuberi judul: Apa Kabar Apa Hari Ini, Pak Sapardi? Seperti judul buku puisi termutakhirmu. Tapi, yang lebih mengganggu adalah saran seorang kritikus. Katanya, kau dengan karya-karya yang masih jadi milikmu dan sudah pula terwariskan kepada kami para pencinta puisi dan pecintamu, tidak jadi memberkahi. Tetapi malah membebani. Karena itu untuk membentangkan panorama sastra yang lebih memberahikan: kau harus dibunuh!
   Mungkin sang kritikkus itu ada benarnya. Karena kau juga sudah jadi semacam mitos. Menulis puisi sepertinya telah termaksudkan apabila puisi itu kami tulis seperti puisi-puisimu. Bahkan di mata sang kritikus, dengan mata yang tajam, bisa dia lacak, mana yang menulis puisi dengan merumitkan gayamu, dan mana yang memperluaskan karya-karyamu.
   Tak ada yang berada di luar kepungan bayangmu. Lihat, betapa sang kritikus itupun telah pula terjebak dalam kebesaranmu. Mungkin benar, kau memang pohon paling teduh yang berbunga kata-kata indah. Dan bahkan daunmu yang jatuh adalah puisi lain yang menawarkan dan menyimpan makna yang sama indahnya.
   Ada berkali-kali, aku kirimkan puisiku ke alamat emailmu. Ada yang kau balas. Kau memuji puisiku, dan kau bilang itu bukan memuji yang basa-basi. Selebihnya mungkin hanya kau baca. Sebagai seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi, tentu kau sibuk. Saya maklum. Apalagi saya tahu kau juga menggagas Jurnal Puisi yang tiap tahun memberi penghargaan kepada beberapa puisi terbaik yang terbit di Jurnal itu. SIH Award namanya. Maka izinkan saya untuk sesekali mengganggumu lagi dengan kiriman puisi, memenuhi inbox dalam alamat emailmu.
   Saya tak ingin membunuhmu.
   Saya hanya ingin terus menulis puisi.
   Terus menulis.
   Seperti engkau.[hah]