Friday, November 21, 2003

Tentang Seorang Tukang Bikin Kartu Ucapan

DIA sangat mencintai waktu. "Waktu itu tak ada, tapi ada," ujarnya seperti tertulis dalam salah satu kartu buatannya yang tak pernah dibeli pelanggan. Dia memang hidup dari kartu dan waktu. Tepatnya siklus waktu. "Bayangkan kalau tidak ada siklus waktu, tidak ada ulang tahun yang diulang-ulang tiap tahun. Tak ada hari Raya Idul Fitri, dan tak ada Natal dan Tahun Baru atau perayaan tahuhan lainnya. Lah, saya mau hidup dari apa, Saudara?" ujarnya.



YA, dia sangat mencintai kartu. Di sudut komplek pertokoan itu, dia sudah bertahun-tahun buka kios khusus melayani jasa pembuatan kartu ucapan. Kartu bergambar dan tentu saja kalimat yang ingin disampaikan. Pelanggannya sangat suka dengan kata-kata yang yang dituliskannya. Maklum saja, tak banyak yang datang ke kios itu dengan membawa coretan sendiri. "Terserah Anda sajalah, pokoknya saya tahu kalau Anda jago menyusun kata-kata," begitulah umumnya mereka menjawab kalau ditanya mau dituliskan kata-kata apa.



JAGO? Ah dia tersenyum sendiri membaca kalimat-kalimat yang pernah dituliskannya di kartu. Jika engkau menutup pintumu bagi semua kesalahan, kebenaran akan terhalang masuk. Itu salah satunya. "Wow, filosofis sekali, Saudara!" Kata si pemesan kartu yang katanya mau mengirim kartu lebaran buat kolega-koleganya. Ya, ya. "Tapi ini harga khusus lho! Saya tidak akan membuatkan kata yang sama untuk pembeli lainnya." Oh, ya tak apa apa. "Saya bayar berapa saja yang Saudara minta." Lalu si pembuat kartu itu tersenyum sendiri, berterima kasih dalam hati kepada Tagore yang dia kutip aforismanya itu.



LAIN waktu dan di lain kartu dia buat kalimat ini: Dan esoknya terbukalah gapura. Pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga. Pelanggan lainnya tentu saja suka dengan kalimat itu. Dan orang yang sedang senang jadi gampang mengambur pujian dan mudah mengeluarkan isi kantong, bukan? Lalu katanya, "Saudara sebaiknya jadi penyair sajalah." Dia pun lagi-lagi hanya tersenyum. Sambil diam-diam di hatinya berterima kasih kepada Goenawan Mohammad yang dia pinjam bait-bait sajaknya.



PENYAIR eh si tukang buat kartu itu memang penggemar puisi juga. Katanya, Waktu itu fana, dia abadi dalam Puisi. Dan Puisi itu fana, dia abadi dalam Kartu. Lalu pada suatu waktu, ada penyair yang dapat kiriman kartu dari kerabatnya. Dia tersenyum-senyum sendiri membaca puisinya tertulis sebait dalam kartu itu. "Ah, rupanya sajak-sajakku dibaca orang juga," katanya dalam hati.



Batam, menjelang Idul Fitri 1424.