Tapi, untunglah dia sudah teramat yakin saat itu bahwa hasil karyanya punya nilai. Mungkin karena itu pula dia kemudian melengkapi sajak-sajaknya dengan kredo bagi sajak-sajaknya seperti yang kita baca dalam kumpulan O, Amuk, Kapak. Mungkin dia letih setiap kali harus menjelaskan untuk meyakinkan orang lain, ihwal sajak-sajaknya.
Tapi, untunglah kemudian, ada seorang penyair lain di sebuah majalah sastra saat itu yang ngotot membela dan menerbitkan sajaknya. "Kalau tidak kita akan kehilangan besar, bukan?" kata penyair Ikranagara yang memberi kabar itu.
"Di majalah Horison saya tulis dalam 'curriculum vitae tarji' tentang penolakan HB Jassin terhadap puisi Tardji. Tapi redaktur lain, Taufiq Ismail ngotot untuk memuatnya. Dan Taufiq berhasil. Teew juga menolak," kata Ikranagara yang kini menetap di Bloomington dan berkabar lewat email dan sesekali singgah di situs Sejuta Puisi ini. (Terima kasih, Pak Ikra, HA).
Jadi, kalau yakin ada sesuatu yang istimewa dalam sajak kita, jangan jadi bimbang karena penolakan-penolakan redaktur media ke mana kita mengirim sajak. Mungkin saja seleranya sedang seragam. Atau kita berkompromi saja menulis sajak dengan selera mereka?[ha]