Wednesday, October 31, 2007

[Majas # 008] Metonimia

METONIMIA. Menyebutkan sesuatu dengan tidak langsung, melainkan dengan menyebutkan benda atau sesuatu yang lain yang rapat hubungannya dengan sesuatu yang dimaksud itu.
Dalam kalimat biasa, majas ini lebih mudah dipahami dengan contoh berikut ini:
Raja mempertahankan mahkotanya dengan pedang dan tangan besi.
"Mahkota" adalah metonimia dari kuasa seorang raja atas sebuahkerajaan. "Mahkota" adalah benda yang dekat dengan kekuasaan seorang raja. Demikian juga "pedang". Ia dekat dengan cara memimpin yang menggunakan kekerasan, ancaman, atau ketegasan. Tapi, "tangan besi" bukan sebuah metonimia. Ia sebuah metafora, yang sudah kita bicarakan di bagian sebelumnya.

Kata sifat (kejam, sadis, dll) dan kata benda abstrak (kekuasaan, kekejaman, dll), kurang kuat mendorong terciptanya imaji dalam benak orang yang membaca. Dalam sajak, kata sifat dan kata benda itu bisa dicarikan pengganti berupa benda-benda yang bisa langsung mengingatkan pembaca kepada sifat dan benda abstrak yang dimaksudkan. Itulah salah satu fungsi majas metonimia.

Contoh:
a.

AMUK

ngiau! kucing dalam darah ia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena dia leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing

.......
("AMUK", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Sekilas baca, "kucing" dalam sajak ini adalah metafora atau simile dari "kerinduan dan pencarian" pada Tuhan. Tapi, penyair sebenarnya memakai majas metonimia dengan amat sempurna. Tidak ada bait dalam sajak ini yang menyebutkan "pencarianku adalah kucing yang mengamuk mencari Engkau" (metafora), atau "kerinduanku padaMu seperti kucing lapar yang mengamuk mencari daging" (simile). Sutardji langsung memulai dengan seruan ngiau sang kucing. Ia merasa kucing lapar yang mengamuk dapat mewakili dan dekat dengan dengan "kerinduan dan pencarian pada Tuhan". Kerinduan dan pencarian adalah kata benda abstrak, yang dikongkretkan Sutardji dengan "kucing".

b.
Burung Terbakar

Ada burung terbang dengan sayap terbakar
dan terbang dengan dendam dan sakit hati.
Gulita pada mata serta nafsu pada cakar.
Mengalir arus pedih yang cuma berakhir di mati.


("Burung Terbakar", W.S. Rendra, "Empat Kumpulan Sajak", Pustaka Jaya: Jakarta, 2003, Cet. ke-8)

Apakah yang hendak dikonkretkan penyair kita ini dengan "burung yang terbakar"? Yang pasti dia tidak, atau tidak sekadar, ingin bicara tentang burung yang terbang dengan sayap terbakar. Rasanya, dalam kenyataan yang sebenarnya, tidak akan pernah kita temui burung yang terbang dengan sayap berkobar api. Penyair telah mengolah bahasa. Ia telah sungguh-sungguh menyair, menggarap sajaknya.

"Burung yang terbakar" bisa saja kita artikan sebagai "kemarahan dan dendam serta hati yang panas berkobar bak api". Dengan majas metonomia, penyair memilih "burung" kemudian ia menguatkan wujud burung itu itu sayap, cakar, dan dengan itu sekaligus penyair juga menguatkan kehadiran "marah" dan "dendam" di dalam sajaknya, dan memang hal itulah yang ingin ia sampaikan.

c.
Pasir dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam plasmaku
Lalu di sana tersusun gurun
dan mungkin oase
tempat terakhir burung-burung


("Nota untuk Usia 40", Goenawan Mohamad, "Sajak Lengkap 1961-2001, Metafor: Jakarta, 2001)

Kata kunci dari sajak ini adalah "pasir". Apa yang ingin didekati penyair dengan menghadirkan "pasir"? Saya kira "pasir" boleh kita anggap dekat dengan satuan waktu terkecil yaitu detik. Pasir bermetonimia kepada detik waktu.

Lantas penyair menyusun bangunan sajaknya dari sana. Pasir dalam jam pasir (hour glass - gelas waktu), pasir itu menghambur (nyatanya pasir dalam gelas waktu memang jatuh lewat celah sempit, menumpuk di gelas bagian bawah). Tapi dalam sajak ini pasir itu menghambur ke dalam plasmanya, ke dalam unit terkecil - setelah sel - dari tubuh manusia. Demikianlah, sajak pendek ini tersusun utuh dan indah. Memancing imajinasi, dan menggoda untuk dimaknai.

d.
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
      berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan --- keduanya telah jatuh
cinta kepada sepasang telapak kaki itu.

.....

("Sepasang Sepatu Tua", Sapardi Djoko Damono, "Mata Pisau", Balai Pustaka: Jakarta, 2000, Cet. ke-6)

e.
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

....

("Celana 1", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung", IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan
meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.


("Celana 2", ibid)



Kabel 4
--- sehabis badai hujan

RENTANG kabel dan tegak tiang listrik itu berbincang
tentang tangan besar yang, "hendak memutusku" kata
si kabel, dan "nyaris menumbangkanku" kata si tiang.



Kabel 5
--- kwatrin kabel putus

DI rumah itu, ada gelap yang akrab, bertamu,
saklar di dinding, lampu di plafon, televisi,
dan kaset penyanyi lama itu saling berdiam,
padahal banyak sekali yang ingin dibicarakan.

Tiang listrik yang berdiri di simpang jalan,
tak jauh dari rumah itu ingin sekali berseru
mengabarkan nasib sahabatnya: kabel yang putus
yang kini lehernya menjuntai, tak berdarah.
 






Bersama Putu Wijaya di Bintan, 2005


Kabel 3

AKU telah jauh jatuh, memang, di reruntuhan jembatan,
mencari segumpal kabel yang kukira bisa menyelamatkan.

Segumpal kabel yang kusut, memang, tapi bila kelak ia
kubentang, maka alir air yang diseberanginya akan
sewarna Pelangi: warna yang terurai tujuh helaian
dari hujan tangisanmu dan sinar matatahari matamu.






Kabel 2

AKU bergantung pada ujung kabel kosong!
Kaukah mengulur pelangi dari ujung itu?

Hanya segumpal cahaya tua yang terjatuh.
Aku kira itu batu yang beku dari diammu.

Aku adalah kabel yang dilukakan cuaca.
Sejuta tahun membentang, di pucuk tiang.


Kabel 1

KENAPA belum putus juga kabel-kabel ini?

Ada yang mengalir deras dari silam zaman,
siapa mengitir kincir di huluan kenangan?

Masih akan lama: bertinju dengan bayangan

ini gelanggang, berpagar kabel telanjang,
kaki terelak jarak, tangan tertolak halang,
tapi leher yang tercekau, yang terpegang.

Kenapa belum putus juga kabel-kabel ini!

Tuesday, October 30, 2007

[Majas # 008] Aptronim

APTRONIM. Pemberian nama, atau penyebutan diri seseorang sesuai dengan keadaan, sifat atau pekerjaan orang tersebut.

Contoh:
a.
....
Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,"
kata orang-orang kampung yang membantu
mendorong perahunya.

....

("Perahu", Joko Pinurbo, ibid)

Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
dan menemukan sesobek surat: "Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil
dan buku tulis ini kepada anak-anakku

....

("Perahu, ibid)


b.
"Mau ke mana, Wuk?"
"Ke Selatan situ."
"Mau apa, Wuk?"
"Menangkap kupu-kupu."


("Tiga Sajak Kecil", Sapardi Djoko Damono, "Ayat-ayat Api", Pustaka Firdaus: Jakarta, 2000)

c.
"Selamat malam, ular," sapaku
Langit merayap di luar
bersama gerhana yang tak wajar


("Refrein Hotel", D Zawawi Imron, "Refrein Sebuah Dam", Bentang: Yogyakarta, 2003)

d.
....
Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa.
Aku gemetar. Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya.
Ibukata, temanilah aku.


("Malam Pertama", Joko Pinurbo, "Kekasih", KPG: Jakarta, 2004)

"Selamat malam, pasien." Tanpa bicara ia periksa mata saya.
"Dokter, apakah saya harus pakai kacamata."
Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.


("Dokter Mata", ibid)

Bukankah dia sendiri yang dulu menghadiahkan
topeng itu kepada saya? Saya periksa si culun,
wajahnya tetap saja begitu: dingin, menggoda, pemalu.

....

("Teman Lama," ibid)

Ibunya menepuk pantanya: "Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"


"Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,"
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.

......

("Dengan Kata Lain", ibid)

e.
Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.

Kebebasan. Akhirnya datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari, berabad-abad memikul kata: Makna,
....

hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.

....

("Kutukan Itu", Gus tf, "Daging Akar", Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2005)

Gus tf, pada contoh terakhir itu, dengan sangat baik memanfaatkan majas aptronim. Dia memberi nama kepada yang membisiki, yang mengatur takdir manusia. Siapa yang bisa menolak bahwa itu adalah pekerjaan Tuhan yang kita percayai ada? Siapa yang bisa menyalahkan kalau penyair kita ini lantas memberi nama Jurus Bisik, dan Juru Takdir kepada-Nya? Sebuah jurus menyair yang pintar, dan kita tentu boleh meneladaninya.

Sekilas, majas aptronim memang mirip dengan antonomasia. Lantas apa bedanya? Agak sulit mencari contoh penggunaan aptronim dalam sajak. Contoh aptronim yang paling mudah adalah penyebutan nama-nama seperti: Hasan Gerobak, untuk membedakan si Hasan yang tukang gerobak itu dengan Hasan Kebo atau Hasan Jagal, yang jelas-jelas kata Kebo dan Jagal itu merujuk ke pekerjaan si Hasan dan Hasan yang lain yang bukan Hasan Gerobak. Contoh lain misalnya nama Udin Nganga. Banyak sekali Udin, tapi hanya ada satu yang mulutnya kebanyakan selalu menganga, dia adalah Udin Nganga. Nganga merujuk ke sifat, atau keadaan si Udin, bukan pekerjaannya.

[Majas # 007] Antonomasia

ANTONOMASIA. Penggunaan status, sebutan kehormatan, nama kesayangan, atau gelar penghargaan seseorang, sebagai pengganti nama diri orang itu.

Contoh:
a.
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala, yang dikira orang mati di alam ini!
....


("Sajak Putih", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Grasindo: Jakarta, 1990)

b.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong.
melambai-lambaikan bendera.
"Gadisku, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi."


("Poster Setengah Telanjang", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung", IndonesiaTera: Magelang, 2001

c.
"Di sini tak ada teratai, Sayangku.
Ia tumbuh di dalam kalbu.
Biar mekar ia,
bunga yang purba,
semoga jadi lambang keabadian cinta kita."


("Kuungkapkan Lewat Bunga", Sitok Srengenge, "Kelenjar Bekisar Jantan", Garba Budaya: Jakarta, 2000)

d.
"Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?
"Aku mau cari jangkrik di kuburan."


("Pasar Sentir", Joko Pinurbo, "Celana", IndonesiaTera: Magelang, 1999)

e.
"Katakanlah, ki sanak, di manakah ini."
"Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya."


("Penangkapan Sukra", Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap 1961-2001", Metafor Publishing: Jakarta, 2001)

"Tidak, Gusti."
"Kausangka kau pemberani?"


(ibid)

Dalam sajak, selalu saja ada peluang untuk bermain-main memanfaatkan kreativitas. Lihatlah contoh yang saya ambil dari sajak Joko Pinurbo. "Pangeran" yang ia pakai sebagai pengganti sebutan seseorang, sesungguhnya bukanlah pangeran dalam arti sesungguhnya putra seorang raja. Joko Pinurbo sedang berolok-olok, membuat lelucon pahit sebagai tanggapan atas kehidupan yang hendak ia potret. Antomonasia, sebuah majas, yang mungkin secara tak sengaja ia berdayakan, di sajaknya itu, menambah kegetiran sajaknya.



Sajak Misbach
AKU MELIHAT DIA BERSALAMAN DENGAN NERUDA


                                                                                       : hah

ia bercerita tentang pertemuannya dengan pablo neruda
sambil membiarkan aku mereka-reka di mana kira-kira tempatnya

aku mencoba melacaknya
berdasar sehelai sajak yang nyangkut di rambutnya

di sebuah ruang kulihat ia dan neruda bertukar kata
namun aku tak cerita padanya

kelak saja, jika aku sudah bisa membaca
akan kuceritakan
bahwa aku telah mencuri biji-biji puisi
dari saku baju dia dan neruda
tepat saat mereka
saling bersalaman

jakarta, 31 oktober 2007

*) Kang HAH, selamat atas kemunculan bukunya

Pengantar untuk Buku "Bibirku Bersujud di Bibirmu"



Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda


Oleh Hasan Aspahani

YA, seandainya Pablo Neruda masih hidup, saya akan mencoba mencari alamat e-mailnya. Saya akan minta nomor telepon genggamnya, dan saya akan memperlancar bahasa Spanyol saya, supaya bisa mewawancarai dia lewat pesan pendek. Tapi, tentu pengagum dia bukan hanya saya, dan dia pasti sibuk sekali. Lagi pula, dalam wawancara dengan Paris Review dia bilang, dia tak mau memberi nasihat tentang penulisan puisi kepada penyair muda.

Baiklah. Tapi, kami - saya dan Pablo Neruda - akhirnya bertemu juga. Kami tidak tahu bahasa apa yang kami pakai. Tapi terasa bahasa itu indah sekali. Sebuah bahasa yang mudah. Yang terdengar seperti dinyanyikan dan kalimat-kalimatnya seprti puisi. Bukan bahasa Spanyol bukan Bahasa Indonesia. Kami bercakap-cakap dan saya harus menuliskan percakapan itu dengan bahasa Indonesia.

Hasan Aspahani (HAH): Don Pablo Neruda, saya menyukai sajak-sajak Anda. 100 Soneta Cinta, Kitab Pertanyaan, 20 Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Harapan, Ode...

Pablo Neruda (PN): Saya heran kenapa orang menyukai puisi, dan kenapa orang menyukai puisi saya...

HAH: Lho, memangnya Anda berharap puisi Anda tidak disukai orang?

PN: Bukan. Maksud saya, saya menulis puisi bukan untuk menyenangkan orang, tapi saya menulis puisi terutama untuk diri saya sendiri,...

HAH: Mungkin itu sebabnya, orang menyukai sajak Anda. Apa yang Anda puja, apa yang Anda gelisahkan, apa yang Anda pertanyakan adalah pertanyaan orang banyak itu.

PN: Tapi kan pemujaan, kegelisahan dan pertanyaan tentang kehidupan itu kan tidak harus dipuisikan? Bisa saja diekspresikan dengan cara lain?

HAH: Puisi lebih mudah mencapai hati orang banyak, Don Pablo. Karena itu panitia Nobel sejak awal memberi tempat yang sama bagi sastra dengan bidang lain. Ah, Anda sebagai salah satu penerima penghargaan itu tentu lebih tahu.

PN: Bagus. Bagus. Saya yakin Anda penyair juga. Setidaknya menyukai puisi.

HAH: Betul. Bahkan saya menggilai puisi. Karena puisilah itulah saya menemui Anda. Puisilah yang membawa saya pada Anda. Saya mau menerbitkan sebuah buku puisi. Saya sebenarnya tertinggal eh terlambat. Anda pada usia 20-an, sudah menerbitkan buku pertama. Anda gigih sekali memperjuangkannya, sampai jual perabot rumah.

PN: Anda sudah menjual perabot juga untuk buku yang hendak terbit ini? Oh, ya apa judul bukumu itu?

HAH: Oh, tidak, Ada seorang yang amat saya hormati, dan dia berbaik hati menerbitkan buku itu. Saya tahu dia juga mencintai puisi. Buku puisi saya itu judulnya "Bibirku Bersujud di Bibirmu".

PN: Hmm, kenapa memilih judul itu? Ini buku puisi pertamamu, bukan?

HAH: Judul yang hebat bukan? Itu judul salah satu puisi saya dalam buku itu. Puisi itu juga pernah saya bacakan di TIM, awal 2006 lalu. Ya, ini buku puisi pertama saya. Beberapa kali saya memang ikut dalam sejumlah antologi. Saya memang tidak buru-buru. Saya tidak seberuntung Anda. Ketika sekolah rendah saja Anda sudah mendapatkan seorang guru bahasa seorang peraih hadiah Nobel Sastra juga. Tapi, kenapa ya di antara sekian muridnya hanya Anda yang jadi penyair besar?

PN: He he. Artinya, bukan guru hebat yang menentukan. Tapi murid yang hebat. He he he. Saya, tetap berterima kasih pada Gabriella Mistral. Dia guru yang hebat. Saya tahu di Indonesia ada Rendra yang pernah saya lihat ketika dia membaca puisi. Wah, hebat sekali. Saya melonjak-lonjak melihat dia membaca puisi ketika itu. Anda berguru padanya?

HAH: Tidak. Saya bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Saya belajar otodidak saja. Nanti, saya kira saya juga bisa membuat Anda melonjak kalau saya bacakan puisi saya di depan Anda. He he he. Don Pablo, Anda mau memberi kata pengantar untuk buku itu?

PN: Wah, maaf, bukannya saya tidak mau. Tapi, saya kira puisi tidak perlu diantar. Nanti dia tidak bebas. Saya takut kehadiran saya sebagai pengantar justru mengganggu kemandirian sajak-sajak Anda.

HAH: Baiklah. Terima kasih. Paling tidak percakapan kita nanti saya transkripsikan. He he he. Dan saya sebenarnya ingin mempersembahkan sajak-sajak itu kepada Anda salah satunya, dan tentu kepada istri saya Dhiana Daharimanoza, istri saya. Sebuah persembahan yang belum sempurna, sebab belum bisa menggubah 100 Soneta seperti yang Anda persembahkan kepada Matilda Urrutia. Juga kepada anak-anak saya Shiela dan Ikra, dan teman-teman yang banyak mendukung kepenyairan saya. Ridak K Liamsi, orang baik hatiu yang saya hormati itu, dan tentu saja pada teman-teman di Yayasan Sagang. Harry Koriun, sang editor, dan FurqonLW, sang perancang wajah. Juga Pak Arwawi KH yang seleksi awalnya mempertajam keyakinan saya, bahwa memang ada sesuatu pada sajak-sajak saya.

PN: Terima kasih untuk ucapan persembahanmu kepadaku. Adakah kamu menulis puisi untuk saya? Eh, jangan lupa terima kasih untuk orangtuamu. Dia tidak melarangmu untuk menulis puisi kan?

HAH: Ya. Tentu juga buat mereka berdua. Saya juga tidak harus mengganti nama seperti Anda. Orang tua saya membebaskan saya untuk jadi apa saja. Puisi untuk Don Pablo? Belum. Belum.

PN: Baiklah. Saya tunggu. Berarti ada alasan kita bertemu lagi nanti. Saya ingin kamu membuat saya melonjak-lonjak, ketika kelak kamu bacakan sajak untukku itu di depanku.

HAH: Terima kasih, Don Pablo. Semoga saya bisa menjadi penyair sebesar Anda.

Sebenarnya saya ingin minta izin padanya untuk menerbitkan sajak-sajaknya yang sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi, kan ada pertemuan selanjutnya, jadi saya harus buru-buru mengetikkan percapakan kami, sebelum saya lupa. Saya tidak mencatat dan tidak membawa perekam.

Tiban Indah Permai, Oktober 2007



Monday, October 29, 2007

[Majas # 006] Sinestesia

SINESTESIA. Sebuah metafora yang memakai ungkapan berupa sesuatu hal yang berhubungan dengan suatu indera manusia yang dikenakan kepada indera lainnya. Menguraikan reaksi salah satu indera manusia dengan tanggapan yang pada keadaan sebenarnya adalah tanggapan dari indera lainnya.


Contoh:
a.

Wahai, sayap terbakar dan gulita pada mata.
Orang buangan tak bisa lunak pada kata.

....

("Burung Terbakar", W.S. Rendra, "Empat Kumpulan Sajak", Pustaka Jaya: Jakarta, Cet.1 1961, Cet. 8, 2003)

....
Katakanlah, Paman Doblang, katakanlah
dari hulu mana mereka datang:
manisnya madu, manisnya kenang.


("Ciliwung", ibid)

b.
...Lenganmu mengaji lagi, turun dari biografi tak terbaca ini....

("Saya Pulang Sekolah", Afrizal Malna, Arsitektur Hujan, Bentang: Yogyakarta, 1995)

Tetapi di sebuah pesta ulang tahun, dia adalah sejumlah pelukan bernyanyi...

("Saya Menyeterika Pakaian", ibid)


c.
....
dan batu-batu jalanan yang mengesalkan kaki
semoga tidak menyesalkan hati!

....

("Selamat Datang", D Zawawi Imron, "Bantalku Ombak, Selimutku Angin", Ittaqa Press: Yogyakarta, 1996)

Rohaniku semakin haus
untuk meneguk sejuk yang menumpang kata-katanya

....

("Di Tengah Hamparan Sawah", ibid)

....
menyilaukan mataku
hampir pula menyilaukan hatiku

.....

("Pertemuan dengan Pak Dirman", ibid)

....
Wangiku telah menjadi coklat tanahmu
Wangiku telah menjadi garam dalam lautmu
Wangiku akan selalu dikicaukan burung-burung

.....

(ibid)

....
Di sana kebiruan laut akan bicara bagai sebuah buku
....

(ibid)

....
sekilas memperdengarkan aroma sorga
....

(ibid)

Zawawi ternyata paling jago memainkan majas sinestesia. Lihat contoh ini:

Wangiku telah menjadi coklat tanahmu
Wangiku telah menjadi garam dalam lautmu
Wangiku akan selalu dikicaukan burung-burung

Wangi adalah aroma yang berkaitan dengan indera penciuman. Lantas dalam tiga baris berturut-turut apa yang seharusnya ditanggapi oleh indera  penciuman itu "diselewengkan" ke indera penglihatan (warna coklat), indera pengecapan (garam), dan indera pendengaran (kicau). Dahsyat!

Sunday, October 28, 2007

[Majas # 005] Antropomorfisme

ANTROPOMORFISME. Metafora yang menggunakan sesuatu kata yang berhubungan dengan manusia - seringkali itu berupa tubuh atau bagian dari anggota tubuh manusia - untuk hal yang bukan manusia.

Contoh:
a.

Ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa: betapa sengit
cinta kita


("Ketika Jari-jari Bunga Terbuka", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

mengapakah pelupuk mawar selalu
berkaca-kaca, sementara tangan-tangan lembut
hampir mencapainya (wahai, meriap
rumput di tubuh kita)


(Bunga-bunga di Halaman, ibid)

bibir-bibir bunga jadi pecah-pecah
mengunyah matahari


("Jangan Ceritakan", ibid)

mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel


("Mata Pisau", ibid)

ia membayangkan rahang-rahang laut dan
rahang-rahang bunga terkam-menerkam


("Catatan Masa Kecil 2", ibid)

b.
Pantai mengangakan rahang, menelan waktu
yang datang bertubuhkan
gelombang


("Pada Sebuah Pulau", Goenawan Mohamad, "Misalkan Kita di Sarajevo", Kalam: Jakarta, 1998)

Tapi di luar, kenyataan
merayau batas. Seperti kejaran
desir hujan
pada muka kolam:
rutin air yang seakan membentuk bekas,
beribu lingkaran.
Riak, kilau, biru.
Mungkin juga bunyi. Janji.


("Sirkus", ibid)

c.
....
kugoreskan napsu ke perut bumi
- aku sungguh tak nyeleweng dari janji -

....

("Belukar", Subagio Sastrowardoyo, "Keroncong Motinggo", Balai Pustaka: Jakarta, 1992)

malam rebah
di punggung
sepi
ku
gigir gunung
susut di kaca
....


("Haiku", ibid)

...
dengan tak sabar kuku maut
telah menusuk merihnya

...

("Matinya Pandawa yang Saleh", ibid)

....
Tinggal lagi jari yang merapa dan lidah yang menjilat
tubuh pengalaman

....

("Gerimis", ibid)

Majas antropomorfisme ini adalah jurus yang jarang dipakai oleh penyair kita dalam sajak-sajaknya. Antropomorfisme mungkin memang harus diberdayakan dengan hati-hati sebab bisa terjebak pada metafora mati. Apa itu? Yaitu metafora klise yang nyaris tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah metafora, dan orang sudah lupa bahwa itu metafora. Misalnya? Lengan kursi, kaki gunung, mulut gua, bahu jalan, dll.

Tugas penyair adalah menghidupkan metafora baru. Melahirkan antropomorfisme yang segar, sebelum apa yang ia ciptakan itu pun kelak mati dan layu atau bisa juga bertahan lama.

Friday, October 26, 2007

[Majas # 004] Metafora

METAFORA. Pemadanan langsung satu hal dengan hal lain, atau melihat sesuatu dengan perantaraan sesuatu yang lain, tanpa menggunakan kata-kata hubung pembanding.

Bila simile seakan perbandingan yang ragu, maka metafora adalah penyamaan yang tegas. Bila
simile berpola A seperti B, maka metafora berpola A adalah B. Menurut I.A. Richards dalam "The Philosophy of Rhetoric" (1936), metafora terdiri dari dua bagian: tenor dan vehicle. Tenor adalah subjek yang hendak dijelaskan dengan sifat-sifat tertentu. Sedangkan vehicle adalah subjek lain yang sifat-sifatnya dipinjam untuk memperjelas. Ini hanya sekedar istilah. Penulis lain memakai istilah ground untuk tenor, dan figure untuk vehicle.

Sesunguhnya metafora itu lebih luas pembahasannya. Terlalu sempit tempat untuk metafora kalau ia hanya dibahas sebagai sebuah majas atau gaya bahasa. Metafora menuntut tempat istimewa dalam pembahasan Bahasa itu sendiri, secara luas. Metafora - dalam puisi - pun berhak untuk diberi perhatian lebih untuk digarap secara amat serius.

Contoh paling dahsyat untuk memahami metafora adalah sajak berikut ini:

a. Aku ini binatang jalang
    Dari kumpulannya terbuang

    Biar peluru menembus kulitku
    aku tetap meradang menerjang


("Aku", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, 1986)


"Aku" ini (adalah) "binatang jalang". Metafora ini dihadirkan Chairil setelah dalam dua bait sebelumnya dia jelaskan apa yang ia tekadkan. Metafora itu mempertegas dan sekaligus dipertegaS oleh kehadiran dua bait itu: Kalau sampai waktuku / kumau tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu.

Bait selanjutnya masih merupakan bagian dari bangunan metafora "Aku" Chairil (adalah atau sebagai) "binatang jalang" :
Luka dan bisa (a)kan (a)ku (karena aku adalah binatang yang jalang) -bawa berlari/ Berlari /  Hingga hilang pedih peri

Lebih dari sebagai majas, metafora dalam sajak ini adalah bangunan utama, yang mengukuhkan tegak berdirinya sajak. Tenaga sajak ini akan lembek kalau Chairil memilih menggunakan majas simile: Aku ini seperti binatang jalang.

Contoh lain:
     Rumahku dari unggun-timbun sajak
     Kaca jernih dari luar segala tampak


("Rumahku", Ibid)

b. mungkin juga
     dikaulah puteri tujuh
     yang tanpa lelah
     mengumpulkan air matamu
     kemudian disulingkan
     sebagai minyak bumi


("kisah pagi ini", Taufik Ikram Jamil, "tersebab haku melayu", Yayasan Membaca: Pekanbaru, 1995)

     hatiku meleleh di selat tebrau
     sia-sia kuhisap
     sejak 1824
     sejarah menjadi topan di kepalaku


("sejak 1824", ibid)

c.  alif, alif, alif!
     alifmu pedang di tanganku
     susuk di dagingku, kompas di hatiku
     alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
     hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
                                               terang
                                               hingga aku
                                               berkesiur
                                               pada
                                               angin kecil
                                               takdir-
                                               mu


("Zikir", D Zawawi Imron, "Madura, Akulah Darahmu", Grasindo: Jakarta, 1999)

     aku bayangkan
      sebuah bisul yang membesar menjadi gunung
     setelah pecah
     di puncaknya muncul kaldera

      aku bayangkan
      sebuah luka yang meluas menjadi laut
      yang airnya darah bercampur nanah


("Aku Bayangkan", ibid)

d. Bulu matamu: padang ilalang
    Di tengahnya: sebuah sendang.


("Bulu Matamu: Padang Ilalang", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung")

     Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
     di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun
     sepanjang waktu.


("Tukang Cukur", ibid)

Dua contoh di atas, dipilih untuk menunjukkan bagaimana Joko Pinurbo memakai metapor sebagai majas (contoh pertama) dan metapor sebagai bangunan utama bahkan ruh dari sajak yang ia tulis (contoh kedua). Pada contoh pertama, si penyair masih membimbing kita perlahan mengikuti atau menelusuri makna yang hendak ia tawarkan lewat majas metapor yang ia gunakan dan sekaligus metafora yang ia ciptakan. Pada contoh kedua, ia langsung menghadapkan kita pada metapor yang seakan-akan sudah jadi. Ia tidak menyebut rambut (tenor) tetapi langsung menghadirkan "padang rumput" (device) yang kita tahu itu adalah metafora dari rambut karena si tukang cukur membabat padang rumput yang tumbuh subur di kepalanya itu.

e. Udara jernih berkibaran bagai gaunmu terawang,
     tubuhmu delta, bertaut dua muara kenang:
     coklat tanah dan getah katulistiwa
     rona merah daun-daun mapel subtropika.


("Sonnet, Sonya, dan Nannet", Sitok Srengenge, "Nonsens", Yayasan Kalam: Jakarta, 2000)

     Kota yang cantik,
     pelacur yang cerdik,
     membuka diri
     tapi menutup hati
              Di jantungnya sebuah danau beku,
              di palungnya ingin kujangkau kau, tenung masa lalu.



("Zeedijk", ibid)

Pada contoh pertama, bila metafora menjadi perhatian kita, maka simile di baris pertama (udara jenih seperti terawang gaun), hadir untuk mendukung metafora (tubuhmu adalah delta), yang dijelaskan dengan "bertaut dua muara kenang". Tenor dan devicenya jelas. Sedangkan pada contoh dari Sitok yang kedua, metafora hadir di bait "Di jantungnya sebuah danau beku". Apakah yang ingin dijelaskan dengan "danau beku"? itu? Jantungkah? Atau hati yang ditutup itu? Bukan keduanya, tetapi suatu keadaan. Bukan jantung itu yang beku, tetapi ada sesuatu atau keaadaan di jantung itu yang dingin sepeti danau beku. []
To conclude, poetry can be translated by those who have deep interest in poetry and who possess the poetic feel and sensation, in addition to their mastery of the other language. The poet, in this regard, is a leading translator. But, how many poets, who master a foreign language, can be found?

Poetry Translation
by Hashim G. Lazim,
Assistant Professor,
Ajman University of Science and Technology Network, UAE
hashim_lazim[at]yahoo.com


[Majas # 003] Simile

SIMILE. Perbandingan langsung dengan menyamakan suatu hal dengan hal lain menggunakan kata awalan se-, kata penghubung atau kata pembanding (seperti, layaknya, bagaikan, bagai, seumpama, sebagai, umpama, bak, laksana, sepantun).

Simile menurut Rahmat Djoko Pradopo ("Pengkajian Puisi", Gajah Mada University Press: Yogyakarta, Cet. 9, 2005) dapat dikatakan sebagai majas yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak.

Contoh:
a. Waktu seperti burung tanpa hinggapan
    melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan
     sayap-sayap mu'jizat terkebar dengan cekatan

     Waktu seperti butir-butir air
     dengan nyanyi dan tangis angin silir
     berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.


("Waktu", W.S Rendra, "Empat Kumpulan Sajak", Pustaka Jaya: Jakarta, Cet.8, 2003)


b. Ia merasa seperti menyusuri lingkaran
     tak menemukan bangku panjang.


("Lirik untuk Improvisasi Jazz", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

    Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
     memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
     sampai pada suatu hari
     kita lupa untuk apa.


("Yang Fana adalah Waktu", ibid)

c. Malam ini. Sebuah perapian menyala di kejauhan
    seperti bayang-bayangmu bergerak di pintu depan


("Dari Rembang ke Rembang", Abdul Hadi WM, "Tergantung pada Angin"; Budaya Jaya: Jakarta, 1977)
    
      Seseorang atau mungkin senandungmu yang hilang
     bergerak seperti perahu di atas ombak tak berjalan.

("Seperti Perahu", ibid)

d. Suratmu masih saja indah kubaca
     bagai ricik kali dan taman bunga
     di padang tandus cintaku


("Neraca Perjalanan", Sitok Srengenge, "Kelenjang Bekisar Jantan", Garba Budaya" Jakarta, 2000)

     Sebab kau seakan kelam yang selalu mau aku memasukimu,
     sembunyikan cemas sekaligus kebebasanku


("Memasukimu", ibid)

e. Aku tak tahu siapa yang mengantar pulang jasadnya,
    tapi setiap membaca koran aku seperti sedang
    mengantar jenazah loper koran malang itu,


("Loper Koran", Joko Pinurbo, " Pacar Senja"; Grasindo: Jakarta, 2005)

     Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
     di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya
     yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung
     dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan
     di meja perjamuan.


("Bayi dalam Kulkas", ibid).

Ada simile yang kuat. Ada simile yang efektif mengutuhkan sajak. Ada simile yang lemah. Ada juga yang sia-sia. Ada juga yang membingungkan. Ada yang tidak terasa kehadirannya, karena begitu pas ia dipadankan. Ada yang  justru mengganggu. Simile memang jurus yang paling sering dipakai, tapi ia tetap harus dipakai dengan hati-hati.

Thursday, October 25, 2007

[Majas # 002] Alusio

ALUSIO. Pemakaian ungkapan atau kutipan yang tidak diselesaikan karena ungkapan atau kutipan itu dianggap oleh penyair sudah dikenal maksudnya. Penyair pun ingin menyampaikan maksud sajaknya secara sembunyi-sembunyi dan dengan demikian ia juga membumbui sajaknya dengan rempah penambah rasa estetika.

Contoh:
a. Pesan terakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan
    The Beatles: Mother....


("Panggilan Pulang", Joko Pinurbo, "Telepon Genggam", Penerbit Kompas: Jakarta, 2003)

b. Nafsu hidup telah berhenti
     bersama nyanyian anak
     yang surut tatkala nyala bulan redup mati,
   
  "Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis semilir..."

("Variasi pada Tema Maut IX: Lir-ilir", Subagio Sastrowardoyo, "Dan Kematian Makin Akrab", Grasindo: Jakarta, 1995)


c. Hari itu kita masih ingat: tulisan cakar-ayam
    di sebuah buku lusuh
     yang ditinggalkan orang:

           
Bersatulah buruh dunia, bersatulah!
           Kita yang dimiskinkan....


     Kita melihat jam besar di dindong pabrik itu
     gemetar
     dan buruh-buruh yang pucat
     p enyap tersandar.


("Internasionale", Goenawan Mohamad, "Sajak-sajak Lengkap 1961-2001", Metafor Publishing: Jakarta, 2001.)


d. Tapi banyak yang nekad berjudi mimpi
    Seperti dihembus oleh lagu Koes Plus:

    
 Ke Jakarta aku 'kan kembali...
     Walaupun apa yang 'kan terjadi...


("Bang Ali dan Jakarta Tahun 1920-an", Zeffry J. Alkatiri, "Dari Batavia Sampai Jakarta 1616-1999", IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Dengan jurus majas alusio ini, penyair-penyair kita yang dipetik contoh sajaknya di atas tak perlu menuliskan lengkap syair lagu "Mother"-nya The Beatles, pendapatnya Karl Marx, lirik lagu rakyat, dan lagu pop. Mereka hanya menghadirkan petikannya, dan itu dianggap sudah cukup. Dan memang cukup. Yang dihadirkan bukan lagi sekadar kata dan makna kata itu, tetapi dengan petikan tersebut penyair ingin membangun suasana dan pendapat, atau makna yang hendak ia tampilkan dalam sajaknya.


Wednesday, October 24, 2007







Hasan Aspahani, di FKY lagi (Foto oleh Hasta Indriyana)

Tuesday, October 23, 2007

[Majas # 002] Alegori

ALEGORI. Pengunaan cerita, petikan dari cerita (terutama nama tokoh dan nama tempat dalam cerita itu) sebagai lambang untuk menjelaskan atau menyampaikan sesuatu yang mengandung ajaran atau nilai-nilai kehidupan.

Contoh:

a. Kamu Sangkuriang, bukan? Cinta bisa mengubah darah!"

("Libido Sangkuriang", Sitok Srengenge, "Nonsens" Kalam: Jakarta, 2000)

b. ...Teleponlah aku pada jam pulang kerja, sebelum melepas tali sepatu, seperti balladamu yang penuh sabun: Cinderella, Toffler, Nasibitt...

("Sebuah Kantor dan Warna-warni", Afrizal Malna, "Kalung dari Teman", Grasindo: Jakarta, 1999)

c. Sekali akan turun lagi
    kapal Nuh di pelabuhan malam
    tanpa kapten
    hanya Suara yang berseru ke setiap hati:
    "Mari!"

("Kapal Nuh", Subagio Sastrowardoyo, "Simphoni", Pustaka Jaya: Jakarta, 1975)


d. kueja setia, semua pun yang sempat tiba
    sehabis menempuh ladang Kain dan bukit Golgota
    sehabis menyekap beribu kata, di sini
    di rongga-rongga yang mengecil ini

("Prologue", Sapardi Djoko Damono, "DukaMu Abadi", Bentang: Yogyakarta, Cet.2. 2004)


e. Dikutuk-sunpahi Eros
    Aku merangkaki dinding buta,
    Tak satu juga pintu terbuka

("Lagu Siul", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)

Sangkuriang, Cinderella, kapal Nuh, ladang Kain dan bukit Golgota, Eros, adalah tokoh dan nama tempat dalam cerita yang masing-masing mengandung nilai-nilai kehidupan. Penyair tidak sekedar menempelkan nama-nama itu di bait-bait sajaknya. Penyair tentu telah mempertimbangkan keutuhan sajaknya, dan kepadatan makna yang hendak ia sampaikan di dalam sajaknya, dengan menggunakan nama-nama itu, memanfaatkan khazanah alegori itu.

Monday, October 22, 2007

Sejumlah Helai Kenangan pada
Beberapa Lembaran Kartu Pos


[Shania Saphana mengirimkannya untuk kekasihnya, Kavi Matasukma]

/1/
AKU kirimkan kartu pos, bergambar sekawanan itik,
kartu pos hadiah edisi khusus National Geographic.

Aku tak bisa menggambar awan terang, awan kembang,
yang kulihat di sisa petang, di langit sebentang.

Sebuah bom lagi jatuh, sebuah kota lagi diserang.
Hujan cahaya makin jauh sembunyi di anganku rapuh.

Serapuh bulu-bulu pertama anak-anak unggas, yang
terbakar bersama induk di sarang, tak sempat terbang.


/2/
AKU kirimkan kartu pos, warna matahari yang hijau,
aku ingat, kau pernah membisikkan sajak untukku,
sajak tentang hijau yang bukan sembarang hijau,
tapi hijau yang pukau, tapi hijau yang berkilau.

Aku tertawa ketika itu, kukira penyair sepertimu,
mengidap semacam kanker jiwa akut, stadium lanjut.

Tapi, ketika kulihat kartu pos hijau itu, aku ingat
kamu dan sajakmu itu. Apakah aku tertular virusmu?

/3/
AKU kirimkan kartu pos, bergambar potret penyair
yang aku hanya tahu namanya. Kau tentu bisa melacak
di Wikipedia, aku tak peduli sajaknya seperti apa,
aku hanya tahu kau pasti akan sibuk mencari sajaknya,
sampai kau tahu dia ada di Kutub Sapardi atau Rendra.

Ah, sajak dan senja, adalah komposisi yang berbisa,
bagi hati yang sedang diluapi cinta. Ketika itu,
aku meminta kau membaca "Nyanyian Suto untuk Fatima",
tapi kau menawarkan "Aku Ingin" atau "Dalam Doaku"

"Kenapa kau tidak menulis sajakmu sendiri untukku?"

Lalu semalam itu kau habiskan berburu imaji dan kata
Lalu kau gugah aku pukul 04.00, untuk mendengarmu
membacakan sajak terindah yang pernah kau gubah.

Tapi, aku harus pergi ketika itu, karena bahkan
pada sajak berbait kuat tak akan membuatku terikat.


/4/
AKU kirimkan kartu pos, bergambar siluet diriku,
juga sebuah alamat yang ragu. Aku tak tahu, pantaskah
bila aku berharap, suatu waktu kau pergi menjemputku?

[Majas # 001] Menapaki Jejak Bahasa Kias

Majas adalah gaya bahasa adalah bahasa kiasan adalah figurative language. Mudahnya seperti itu. Kok begitu? Ya, begitulah, karena dengan alasan yang kuat, gaya bahasa dan bahasa kiasan bisa dibedakan. Sekali lagi, untuk kemudahan saja, maka mereka kita anggap sama.

Majas berasal dari Bahasa Arab, artinya kiasan. Dalam buku-buku teori pengkajian puisi majas biasanya dibahas dalam bab KATA, bersama khazanah kata (KOSAKATA), pemilihan kata (DIKSI), gambar angan atau citraan (IMAJI), dan hubungan kata dengan faktor GRAMATIKA.

Dalam analisa puisi dengan metode struktural, majas adalah salah satu unsur dari struktur fisik puisi. Menurut metode ini, selain memiliki struktur fisik, puisi juga terbangun atas struktur batin. Jika dikuasai dan dimanfaatkan maksimal, maka majas yang fisikal itu bisa mendukung kekuatan struktur batin puisi.

Secara umum, majas atau gaya bahasa adalah upaya untuk memanfaatkan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan baik secara lisan maupun tertulis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).

Uraian pengertian di atas tampak menggabungkan pengertian gaya bahasa dan gaya ucap. Tiap pengarang atau penyair yang baik, akhirnya pasti dan seharusnya bisa menemukan gaya ucapnya sendiri. Gaya ucap itulah yang mungkin tepat untuk disebut sebagai kekhususan atau keistimewaan atau idiosincracy.

Sekali lagi, kita anggap saja, majas itu sama dengan gaya bahasa, sepantun dengan bahasa kiasan dan setali tiga uang dengan figurative language. Dan kemudian, kita sepakati bahwa kecenderungan atau kegandrungan memanfaatkan majas tertentu adalah salah satu yang menentukan gaya ucap seorang penyair. Beri garis bawah pada frasa "salah satu".

Secara khusus, majas itu di dalam puisi diberdayakan untuk (1) kenikmatan imajinatif, (2) menghasilkan tambahan makna, (3) menambah intensitas dan menambah konkret sikap dan perasaan penyair, (4) memperpadat ungkapan makna dalam sajak.

Penyair adalah orang yang pandai menggunakan dan lihai memanfaatkan kekayaan dan kekuatan bahasa syairnya. Penyair yang baik harus mengetahui dan menguasai semua unsur tersebut, untuk kemudian dimainkan, dikhianati, dilanggar, juga dipergunakan secara maksimal sebagai sarana puitika, dan menghasilkan puisi yang segar. Ia pun suatu saat kelak harus bisa menciptakan gaya bahasa sendiri, untuk disumbangkan untuk menyegarkan dan memperkaya khazanah bahasanya!

Para peneliti, pengkaji bahasa dan sastra, punya berbagai cara yang berbeda dalam menelaah gaya bahasa. Tujuannya sama saja, supaya mudah dipahami. Gunawan Sudarsana, dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (IndonesiaTera: Magelang, 2007) merangkum dan menyusun 57 majas terbagi atas empat kategori, yaitu:

- Majas Perbandingan, 23 jenis.
- Majas Sindiran, 5 jenis.
- Majas Penegasan, 24 jenis.
- Majas Pertentangan, 5 jenis.

Pas, semuanya 57 jenis. Banyak juga ya? Nah, mari tarik nafas dulu. Kita akan menelurusi pengertian majas-majas itu satu per satu, dan kita cari contoh-contoh bagaimana majas-majas itu dimanfaatkan oleh penyair Indonesia dalam sajak-sajak Indonesia.

Bacaan:
1. Rachmat Djoko Pradopo; Pengkajian Puisi; Gadjah Mada Universitu Press: Yogyakarta, Cet.9, 2005.
2. Kinayati Djoyosuroto; Pengajaran Puisi: Analisis dan Pemahaman; Penerbit Nuansa: Bandung, 2006.
3. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan; Penerbit IndonesiaTera: Magelang, 2007.

Friday, October 19, 2007

Komentar untuk Sebuah Calon Buku



* Sampul ini desain saya. Tim Desain penerbit buku itu sedang merancang yang jauh lebih baik!

     Buku ini disajikan dalam bentuk tanya jawab imajiner antara seorang yang ingin jadi penyair dan seorang penyair-guru yang menjawab segala jenis pertanyaan. Semacam Frequently Asked Questions-nya puisi lah. Nah. Kalau banyak guru-guru sastra yang, alih-alih membuat siswanya pandai bersyair, malah membuat siswa-siswinya takut dengan puisi/sastra, maka buku ini memperlakukan puisi sebagai sesuatu yang bisa didekati dengan santai, jenaka, tapi intens. Dijamin, belum ada buku tentang puisi yang senakal ini!

* Wawan Eko Yulianto, penerjemah, tinggal di Malang

     Membaca buku ini ibarat melakukan sebuah napak tilas sebuah perjalanan. Banyak sekali hal yang dimunculkan yang menyegarkan kembali ingatan pada hal-hal yang banyak dilewatkan di sepanjang proses penulisan puisi. Dan mendalami arti sebuah karya seni berbentuk puisi itu sama sekali tidak pernah saya dapatkan pada sekolah-sekolah formal. Ini buku yang bisa benar-benar mengajarkan betapa puisi begitu bermakna dalam setiap proses penulisannya!

* Dedy Tri Riyadi, orang iklan di Jakarta, dan pengelola blog Toko Sepatu

     Ratusan pertanyaan yang menyusun buku ini sempurna mewakili pertanyaan mereka yang ingin mengenal, mencintai dan menulis puisi. Jawaban Hasan Aspahani atas pertanyaan-pertanyaan itu sangat memuaskan saya--juga tentu saja pembaca lainnya. Buku ini tidak hanya harus dibaca oleh penyair dan orang yang ingin jadi penyair tetapi juga penting bagi siapa saja termasuk orang yang hanya suka membaca puisi. Sehabis membaca buku ini memang tidaklah membuat kita serta-merta bisa jadi penyair, namun dijamin akan membuat kita jatuh cinta kepada puisi.

* M Aan Mansyur, pengelola kafe baca Biblioholic di Makassar, pemilik blog Pecandu Buku


Thursday, October 18, 2007

Diskusi Empat Buku Puisi di Utan Kayu

KOMUNITAS Utan Kayu mengundang Anda  untuk hadir dalam diskusi Empat Buku Puisi Terkini di Teater Utan Kayu (TUK) Selasa 30 Oktober 2007 pukul 19.00 WIB.

Acaranya: Diskusi EMPAT BUKU PUISI TERKINI
(Karya Iyut Fitra, Mardi Luhung, Mashuri, Zen Hae)

Pembicara: Arif Bagus Prasetyo & Kris Budiman Moderator: Akmal Nasery Basral.

Puisi Indonesia dewasa ini terus bergerak di antara kutub-kutub yang seakan tak berubah: antara kerumitan dan kesederhanaan ungkapan, antara kepekatan dan kejernihan imaji, antara karnaval dan kesunyian. Tentu saja para penyair tak serta-merta hanya bergerak ke salah satu kutub itu. Bahkan sejumlah penyair tampaknya menemukan semacam ramuan pribadi yang mencoba mempertemukan (atau menabrakkan) ekstrem-ekstrem yang berlawanan itu, atau mengolah berbagai anasir dari sumber-sumber yang kian beragam: dari tradisi kampung halaman hingga hiperrealitas dunia media, dari yang esoterik hingga yang pop, dari humor hingga horor.

Bagaimanakah hasilnya?

Tawaran estetik dan tematik apa sajayang telah diajukan oleh para penyair terkini? Akan melaju ke manakah kerja penciptaan puisi yang berlangsung dalam bahasa Indonesia hari ini? Pertanyaan-pertanya an ini penting dan menarik, tapi tentu memerlukan penyelidikan yang memadai untuk mendapatkan jawabnya. Setidaknya dengan mendiskusikan sejumlah buku puisi yang terbit belakangan ini, kita bisa beroleh sedikit gambaran tentang keadaan perpuisian Indonesia kini. Untuk itulah kami mengundang dua pembicara, Kris Budiman (peneliti dan kritikus sastra dari UGM) dan Arif Bagus Prasetyo (penyair dan esais), untuk membicarakan empat kumpulan puisi yang terbit belum lama ini. Kris Budiman akan membahas Musim Retak (Iyut Fitra) dan Ngaceng (Mashuri), sedangkan Arif Bagus Praseyo akan mengulas Ciuman Bibirku yang Kelabu (Mardi Luhung) dan Paus Merah Jambu (Zen Hae). Moderator diskusi ini Akmal Nasery Basral.

ARIF BAGUS PRASETYO lahir pada 30 September 1971. Aktif sebagai penulis dan kurator. Telah menghasilkan, antara lain, buku puisi Mahasukka, buku kritik sastra Epifenomenon dan buku kritik seni rupa Melampaui Rupa. Tinggal di Denpasar, Bali.

KRIS BUDIMAN  adalah penulis yang sudah bahagia dengan novel tipisnya, Lumbini (Yogyakarta: Jalasutra, 2006); mengajar antropologi dan semiotika di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.

***

BLOG ini membahas dua dari empat buku itu. Silakan klik, mungkin bisa jadi bekal pembanding sebelum mengikuti diskusi tersebut.



Mardi Luhung (Foto oleh Kinoe)

1. Aku Tersandung di Sajak Mardi Luhung



Iyut Fitra  (Foto oleh Kinoe)

2. Makam Tak Perlu Lagi, Makna Tak Harus Lagi




Wednesday, October 17, 2007

Dua Bait Sajak Tiga Larik




       AKU batang lilin dan kau sumbu,
api yang menyala itu tak tahu bahwa
terang cahayanya adalah cinta kita.

       AKU akar pohon dan kau dedaunan,
tangkai yang rapuh itu tak tahu bahwa
bunga yang mekar padanya adalah cinta kita.

      

Monday, October 15, 2007

Beberapa Catatan Kaki untuk
Sebuah Puisi yang Tidak Ada



1. AKU belum mengenal dia. Aku pernah mendengar
dia menyebut namanya, mungkin, di kantor kecamatan.
"Liris," katanya. Nama yang tak lazim, kukira. Dan aku
tak mendengar dengan jelas ketika ia menyebut nama
belakangnya.

2. DI kartu keluarga itu hanya ada namaku. Aku menatap
kosong pada kolom-kolom melompong yang terbentang,
serasa amat luas, di lembar resmi itu. Kolom yang seharusnya
berisi nama-nama lain, dan di lajur berikutnya seharusnya juga
terisi penjelasan tentang hubungan nama-nama itu dengan
namaku: istri, saudara kandung, anak kandung......

3. AKU tak percaya pada kebetulan, tapi kukira nasib
memang kadang memberi juga semacam keajaiban.
"Ya, pertemuan ini kebetulan yang ajaib," kataku padanya.
Kami bertemu di sebuah toko hewan peliharaan. Aku hendak
membeli biji-bijian untuk hamster, dia membeli sepasang
kura-kura kecil, ikan kecil yang lekas menetaskan telur.

4. KAMI bertemu di restoran bogabahari, tak jauh dari
sebuah pelabuhan. Kami memulai dengan permainan. Aku
memesan makanan, tanpa setahu dia, dan dia memesan
dalam catatan rahasia. Kepada pelayanan kami minta
hanya membaca, lalu menyiapkannya. Sambil menunggu
kami bercerita tentang riwayat namaku dan namanya.
Kami ternyata memesan menu sama: kerapu asam pedas!

5. "LARIK," katanya, menebak cerita di balik namaku.
"Kukira, ayahmu penyair yang suka puisi kongkret".
Aku tertawa, dan kukatakan, "ibumu penyair imajis."

6. KAMI bercerita rahasia kesegaran rasa asam pada
kerapu yang nyaris tandas. Aku sudah menghabiskan
bagian kepala, ia menyantap merayap dari ekornya.
"Parut saja segarnya tomat. Larutkan dalam air hangat."
kataku. Lantas ia memberi saran soal takaran tapioka agar
kentalnya kuah pas dalam cecap syaraf lidah yang peka."

6. KAMI bercerita bergantian tentang kerepotan mengurus
KTP di kantor kecamatan, dan kolom-kolom mubazir
di kartu keluarga. Aku bayangkan, kelak ada nama-nama
seindah puisi di sana, dan ia menyebutkan dua nama,
"Ballad untuk anak lelaki, dan Sonnet bila ia wanita."

7. NAH, begitulah. Telah kurampungkan, catatan kaki.
Dan kau mengerti, kenapa kusebutkan pada judul sajak ini,
bahwa aku menullis untuk sebuah puisi yang tidak ada?

Sunday, October 14, 2007

[Ruang Renung # 231] Melihat yang Tak Terpandang, Mendengar Nyanyi


O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata,
Menghubung hati,
Kalbu nelayan di laut bercinta...



(J.E. Tatengkeng, "Nelayan Sangihe")



dan dari debu yang bertumpuk atas sisa arang
kudengar kaunyanyikan duniamu yang akan datang.



(Abdul Hadi W.W., " Dari Rembang ke Rembang")



PENYAIR itu pendusta? Apakah benar ia bisa melihat tali yang tak terpandang oleh mata? Tali yang menautkan kalbu nelayan dengan laut? Apakah benar ia bisa mendengar suara orang menyanyi pada tumpukan debu atas arang?

Penyair bicara dengan perlambang. Penyair adalah orang yang cermat menyusun sebuah sistem kecil lambang-lambang dari yang tampak biasa saja dalam pandangan mata yang bukan penyair. Puisi yang ditulis penyair berhasil apabila ia bisa menawarkan sebuah gugusan lambang baru, yang bisa dimaknai oleh pembaca dan dari situ pembaca bisa memetik hikmah yang bermakna buat kehidupannya.

Kerja sebagai nelayan bukanlah sebuah kerja yang nyaman. Ia harus akrab dengan dingin udara lautan dan ganas angin. Nelayan tak selalu bisa menangkap ikan setiap kali ia pergi melaut. Nelayan adalah dia yang mencintai pekerjaannya, mencintai laut, mencintai para pembeli ikan yang kelak membeli hasil tangkapannya. Semuanya tak terucap oleh nelayan tersebut. Semuanya - dalam bahasa penyair - dilambangkan dengan sebuah tali yang tak tampak mata, yang menautkan hati nelayan dengan laut. Tali itu, laut itu, adalah lambang yang dengan sederhana dan ringkas, tetapi dalam dan penuh makna, telah menjadi alat ucap yang dengan cerdas dimanfaatkan oleh penyair.

J.E Tatengkeng, menyiarkan sajak "Nelayan Sangihe" dalam buku "Rindu Dendam" yang terbit pertama kali tahun 1934.

Abdul Hadi W.M, penyair yang lebih kemudian, menyiarkan sajak yang kutipannya kita sanding di awal tulisan ini pada tahun 1977. Jika dibaca dan ditelan mentah sebagai apa yang wadak kata sajak itu maka yang ia tulis adalah dusta juga. Bagaimana bisa mendengar suara nyanyian seseorang dari debu yang bertumpuik atas sisa arang?

Tapi yang ditawarkan Abdul Hadi adalah kemauan - dan kemampuan - kita melihat menembus jasad kata itu. Manusia, akhirnya hanya akan jadi debu. Kembali ke tanah. Itulah nyanyian, berulang, yang diam-diam dinyanyikan oleh tiap manusia - entah didengarnya sendiri atau tidak - yaitu kesadaran bahwa dirinya akan kembali ke dunia yang akan datang. Dunia setelah kematian. Dunia yang akhirnya sama saja: kembali ke debu, bertumpuk di atas arang!

Tak ada dusta. Kalau pun penyair dianggap sebagai pendusta, maka benarlah apa yang dikatakan oleh ..... bahwa penyair adalah pendusta yang selalu bicara tentang kebenaran! Bila sajak kita belum sampai pada k3ebenaran, maka kita belumlah menjadi penyair yang sebenar-benarnya penyair. Kita adalah hanya pendusta.

Apa Kabar, Cik Yusof?

CIK Yusof, kami hendak kau bawa melancong kemana?
Ke menara kembar? KLCC? Genting Highland? Putrajaya?
Atau singgah makan siang di Restoran Baba-Nyonya?

"Kita akan lewati lebuh raya, menuju Negeri Malaka."

Aku duduk di belakang, bus pesiaran seperti melayang,
membaca nomor plat Proton Saga dengan ejaan Malaysia.

Aku teringat pelayan, tadi di rumah makan Hindustan,
ia bilang, "Aku dari Pacitan, suamiku pengangguran."

Hei, siapa yang bersenandung irama lagu Rasa Sayange?
Aku teringat Sinyo Dino manyanyi & badansa rame-rame!

Cik Yusof menyebut nama Raja, yang sekarang bertakhta,
ia bercerita tentang negerinya, dalam Bahasa Indonesia.


*

APA kabar, Cik Yusof? Aku teringat engkau, ketika
memandangi wajahku di paspor yang telah mati lama,
dan ketika kutemukan sobekan iklan Sipadan-Ligitan,
dalam brosur wisata buatan Kementerian Pelancongan.

"Kalau mau berbelanja, di seberang sana ada 7 Eleven,"
katamu memperingatkan, "tapi jangan lupa bawa paspor
dan kunci penginapan. Ingat, di sini, paspor Tuan
seperti Nyawa Cadangan." Dan Polis Diraja Malaysia
adakah mereka itu semacam malaikat pencabut nyawa?

*

AH, apa kabar, Cik Yusof? Kapan kita bisa sama tertawa?
Sambil menengok-nengok gambar kartun majalah Gila-gila?

Tuesday, October 9, 2007

Apabila engkau menutup pintumu bagi semua
kesalahan, bagaimana kebenaran hendak masuk?

- Rabindranath Tagore

Selamat Hari Raya Idul Fitri,
Mohon Maaf Lahir dan Batin.






Judul Sajak Ini Tak
Berkaitan dengan Isi


KADANG-kadang aku hanya ingin menulis
sebuah sajak yang biasa-biasa saja,
yang kata-katanya sudah sering kupakai
untuk mengumpat, memaki, juga menyalahkan
orang lain, dan dengan kata yang sama
aku lantas memuji, menunjukkan kehebatan,
dan menyatakan dirikulah yang paling benar.

KADANG-kadang aku pun berniat menulis
sebuah sajak yang tidak ada istimewanya,
yang bait-baitnya adalah kalimat permohonan
maaf yang kusembunyikan dari seseorang
padahal seharusnya sudah berkali-kali kuucapkan
karena telah begitu banyaknya kesalahan yang
sengaja-tak-sengaja kubuat dan kubuat-buat.

KADANG-kadang aku sangat hendak menulis
sebuah sajak yang tidak dibaca dengan teriak,
yang baris-barisnya adalah kalimat ancaman
yang kugubah ulang, kalimat menakut-nakuti
yang disusun lagi, dan kedua kalimat itu
dalam sajak yang bersahaja itu menjadi syair
yang menghapus murung di mata mendung.





Bagi-bagi Mimpi Puisi

BILA malam-malam sepi begini, ia ingin sekali
ngelilingi negeri, bersisinggah di rumah-hati.

"Selamat malam, apakah Anda sedang membaca puisi?"

Bila si empunya rumah menjawab 'ya', maka ia akan
memberi sekecupan di ujung jari. Lalu ia minta
izin untuk menangis dua-tiga tetes airmata saja.

Ia pun meminta si empunya rumah untuk bercerita,
lalu kisah itu langsung ia gubah jadi hadiah: puisi.

"Sebagai bonus, kubagikan sebuah sajak ringan-renyah
yang telah lama kuolah, kupilih dan semoga sesuai untuk
menemani Anda dan sepi yang kelak hendak bertamu lagi."

*
BILA malam-malam sepi begini, ia kerapkali tertidur
dan ia selalu saja lupa mematikan pesawat televisi.







Monday, October 8, 2007

[Kutipan] Tak Bisa Bohong



Menulis, menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita, adalah proses yang minta pengerahan batin. Dalam pengerahan batin itu seorang seakan-akan menghadapi dirinya sendiri, seakan bercermin. Si penyair mungkintak akan tahu apakah yang ditulisnya nanti jelek, tapi ia akan tahu apakah yang ditulisnya palsu. Ia tak bisa bohong, ia harus otentik.

- Goenawan Mohamad






Sunday, October 7, 2007

Teks-teks untuk Dialog dalam Film yang
Tak Ditayangkan Dini Hari di Televisi



"MAMPUKAH kita menampung semua yang ia minta?"
tangan kanan itu bertanya kepada tangan kiri.

"Aku bahkan tak tahu buat apa dia minta semua itu,"
kata tangan kiri. Kedua tangan itu masih saja
ditengadahkan. Doa-doa masih terus dipanjatkan.

*

"Bukankah seharusnya kau saat ini ada di tempat lain?"
"Ah, aku pun tak tahu kenapa aku saat ini ada di sini?"

"Untukmu, kupersiapkan banyak sekali tiket kosong..."
"Dan setiap saat, ada kereta yang tiba dan berangkat."

"Tiket, penjaga loket, petugas piket, bangku kosong,
percakapan tentang perjalanan, doa yang dibaca sebelum
berangkat, sejumlah perhentian yang kelak jadi alamat,
ah, kau akan tahu apa hakikat berada di sebuah tempat..."

*

"Masihkah kita sempat, berpeluk erat, sebelum berangkat."
"Apa yang ingin kau tinggal di punggungku? Elusan ragu?"

"Aku hanya ingin memastikan jantungmu pada jantungku"

"Kau ingin mengucap juga semacam doa? Biar kuingat
sepanjang kepergian, kusebut amin yang tak terhingga."

*

"Hei, sudah berapa tangan erat kau jabat," tanya
tangan kiri kepada tangan kanan. Ini perjalanan
menghabiskan tiket kosong yang tak berkesudahan.

Kedua tangan itu tak lagi sempat ditengadahkan,
kereta selalu berguncang, penumpang harus selalu
berpegangan. "Kau sadarkah?" tanya tangan kanan
kepada tangan kiri, "dalam perjalanan, banyak sekali
yang terkabulkan, doa-doa disimpan, para penumpang
diam-diam saling mendoakan, saling mengaminkan."

"Ya. Kukira, karena Tuhan ada di mana-mana, maka Ia
menyukai perjalanan kita. Dari tangan ke tangan."




Friday, October 5, 2007

Perempuan dalam Dekap Cinta

 Sajak Rainer Maria Rilke

Ini jendelaku. Baru saja
perlahan aku terjaga
Kukira, aku seperti sedang terambang.
Telah seberapa jauh, hidupku tertempuh,
dari manakah semalam malam bermula?

Kukira segala
yang ada di seputarku adalah aku juga;
seperti yang tertembus cahaya dalam di dalam kristal,
mengelam dan diam.

Kukira bisa kubawa bintang-bintang
ke dalam diriku, luas terang
secemerlang hatiku; semarak banyak
serentak seperti aku yang ingin mengejar dia

dia yang mungkin harus mulai
kucinta, mungkin harus kupeluk segera.
Terasing asing, tak terbaca pada peta
seperti takdir yang hadir.

Siapakah aku yang berbaring di sini
di bawah langit yang tak berbatas,
seperti aroma harum padang rumput
maju bergerak, mundur serentak,

berteriak dan cemas menyesak,
dan ada seorang mendengar aku memanggil,
dia yang bersiaga, dia yang menghilang
ke dia yang selain dia.


A Woman in Love

That is my window. I
just awoke so gently.
I thought, I'm floating.
How far does my life reach,
and where does the night begin?

I could think that everything
around me is me;
like the transparent depth of a crystal,
darkened and mute.

I think I could bring the stars
inside of me, so large
does my heart seem; so very much
does it want to let go of him

whom I have perhaps begun
to love, perhaps to hold.
So strange, so uncharted
does my fate appear.

Who am I who lies here
under this endless sky,
as the sweet scent of a meadow,
moving back and forth,

at once calling out and anxious,
that someone might hear my call,
destined to vanish
in another.



Thursday, October 4, 2007

Sejumlah Pertanyaan Kavi Matasukma

APAKAH aku yang sekarang sama dengan
aku yang kelak hidup sesudah matiku?

Bukankah teramat sia-sia luas alam raya,
kalau kehidupan hanya ada di bumi saja?

Berapa lama Adam dan Hawa mengawang
di ruang hampa, sebelum tiba di bumi?

Ketika Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga
jangan-jangan waktu itu bumi belum ada?

Apakah Tuhan menciptakan dunia pada
awalnya sangat mirip dengan surga?

Apakah di surga Adam dan Hawa
pernah bersetubuh?

Kapankah Adam dan Hawa bersetubuh
pertama kali di dunia?