Tuesday, April 29, 2008

[Pencerahan 24 # dari 365] Jalan Puisi

Penyair Guru, saya ingin menempuh jalan puisi, tetapi kenapa akhir-akhir ini saya merasa tambah asing dengannya? Padahal hampir tiap hari saya berupaya menikmati berbagai karya puisi dari buku, blog, milis, majalah. Saya seperti tidak sanggup meniti jalan tersebut, padahal saya sangat menginginkannya. Apa yang harus saya lakukan, Penyair Guru? Seringkali saya mengagumi ketika ada penyair menampilkan metafora-metafora yang memukau. Kapankah saya bisa membuat sesuatu yang Puisi?


Jangan berjalan di jalan puisi bila engkau merasa asing dengan puisi. Akrabilah dahulu puisi itu. Biarlah pelan-pelan keakraban itu yang mengajarimu melangkah. Jangan bertanya kemana langkahmu dibawanya. Nikmati saja.

Jangan terus-menerus engkau risau dan bertanya karena hendak memastikan dengan bertanya padanya, "inikah jalan puisi? Inikah jalanmu, Puisi?" Jangan bertanya, engkau akan rasakan ketika tahu jawabannya.

Jangan meragukan kesanggupanmu melangkah di jalan puisi. Jangan terlalu menginginkannya. Karena keinginan yang berlebih justru akan membuat langkahmu buru-buru. Engkau nanti akan jatuh tersandung banyak hal di jalan itu. Engkau nanti menyesal dan memilih berbelok ke jalan lain.

Nikmatilah Puisi, lebih dari sekedar engkau menikmati karya puisi. Nikmatilah puisi di mana saja tidak hanya di buku, blog, milis, dan majalah. Engkau bisa menemukan puisi di mana-mana. Di mana saja, dekati dia. Puisikanlah puisi itu. Hanya puisi yang memberi ilham kepada puisi.

Jangan membuat puisi karena engkau ingin orang mengagumi puisimu. Jangan membuat metafora dengan niat agar orang terpukau pada metafora itu.

Engkau bertanya kapankah saya bisa membuat sesuatu yang Puisi? Aku kira ketika kau bertanya begitu kau sudah kehilangan banyak kesempatan untuk melangkah menuju Puisi yang kau hendak tuju itu.

Gelman, Macarena, dan Cervantes



Pulanglah, Nak, Pulang/ Sebab mesti kukabarkan kematianmu.


Sebait sajak di atas ditulis oleh Juan Gelman. Kita bisa mengerti bagaimana bait itu lahir setelah membaca sekilas riwayat hidupnya. Ia lahir di Buenos Aires, di kawasan Villa Crespo, 3 Mei 1930. Dia anak ketiga dari imigran Rusia-Yahudi. Pada umur tiga tahun dia sudah belajar membaca. Seperti bocah lelaki kebanyakan dia menghabiskan masa kanak dengan bersepeda, main bola, dan membaca.

Sejak 1956, dia telah menerbitkan lebih dari 20 buku. Dan pada bulan April 2008, namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Cervantes 2007, sebuah penghargaan sastra dari Kerajaan Spanyol untuk karya-karya yang ditulis dalam bahasa Spanyol.

Dia dinilai layak mendapat penghargaan itu "untuk keteguhan komitmennya pada puisi, dimana keadilan dan perdamaian di dunia menjadi perhatian utamanya sebagai penyair". Dan bagi Gelman penghargaan senilai lebih dari Rp1 miliar itu, telah membela dan mempertahankan puisi agar tetap bertahan sebagai "pohon gugur daun yang bisa menaungi".

Gelman adalah sastrawan Argentina keempat yang menerima hadiah serupa, setelah Sabato (1979), Jorge Luis Borges (1984) dan Adolfo Bioy Casares (1990). Tahun ini Gelman mengalahkan para kandidat lain Nicanor Parra (Chile), Mario Benedetti (Uruguay), Blanca Varela (Peruvia) , Fina Garcia Marruz (Kuba) dan tiga nama dari Meksiko Elena Poniatowska, Margo Glanz , Jose Emilio Pacheco.

Sajaknya bertema kekayaan budaya Yahudi, keluarga, Argentina, keterusiran dan tango. Sajaknya merayakan kehidupan tetapi juga menyentuh dengan komentar-komentar sosial dan politik, refleksi dari kepedihannya sendiri akibat terlindas mesin politik di negerinya.

Ketertarikan pada puisi telah terbangun pada dirinya sejak usia dini. Ada lahir anekdot pada kurun usia kanaknya itu. Pada usia 11 atau 12, Gelman kerap mengigaukan puisi. Puisi yang ia rasakan luar biasa, yang sayangnya ketika ia bangun, tak sebait pun yang bisa ia ingat.

"Hari ini kita berkumpul di sini, untuk memastikan sekali lagi, bahwa puisi Anda bukan mimpi, tetapi kenyataan yang dahsyat, bergerak, dan tak terlupakan," kata Raja Spanyol Juan Carlos ketika menyerahkan medali simbol Hadiah Cervantes di Alcala De Henares, tempat kelahiran Miguel de Cervantes Saavedra, sang pengarang "Don Quixote" itu.

Pada usia delapan tahun ia sudah membaca karya Dostoevsky 'The Insulted and Humiliated'. Ketika remaja dia bergabung dengan beberapa komunitas sastra dan kemudian mendapatkan pekerjaan penting sebagai wartawan.

Sampai tahun 1975, dia menjadi aktivis politik yang gigih dan terlibat jauh dengan Mononeros, walaupun kemudian dia menjarakkan diri dengan kelompok itu. Setelah kudeta di tahun 1976, dia terpaksa melarikan diri dari Argentina, menjadi kaum eksilan, selama duabelas tahun.

Pada tahun 1976, anaknya Marcelo dan menantunya yang sedang hamil, Maria Claudia diculik, disembunyikanentah di mana dan kemudian mati dieksekusi. Dua orang terkasih yang hilang bersama ribuan orang yang dihabisi tanpa jejak selama rejim militer berkuasa di Argentina.

Dia menetap di Eropa hingga tahun 1988, dan ketika ia kembali ke Argentina dia bekerja untuk surat kabar terbitan Buenos Aires Pagina 12. Tahun 1997, Gelman menerima Hadiah Puisi Nasional Argentina, sebagai pengakuan atas karya sastranya. Saat ini ia tinggal Meksiko bersama istrinya dan tetap menulis untuk Pagina 12.

"Saya sudah mati berulang kali, dan lebih menderita lagi ketika mendengar berita kawan dan kerabat saya yang terbunuh dan hilang," ujar lelaki berambut kelabu, berbicara lembut dan bermata sedih ini.

Beberapa tahun kemudian di tahun 2000 di Uruguay, ia menemukan cucunya yang sempat dilahirkan sebelum sang menantu dibunuh. Bayi itu diadopsi dan dirawat oleh seorang keluarga yang propenguasa. Macarena nama anak itu. Anak perempuan itu segera mengubah nama belakangnya menjadi Macarena Gelman, dan dia dengan bangga menjadi penyaksi dari segelintir keluarga Gelman, saat kakeknya, sang penyair menerima medali simbol anugerah Cervantes.[]

Monday, April 28, 2008

Pidato JFK, Puisi dan Politik

DI depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "

Dia, John F Kennedy, berpidato seperti itu ketika meresmikan Perpustakaan Robert Frost, di Amherst College, 26 Oktober 1963, sembilan bulan setelah kematian sang penyair. Kalimat itu lantas dikutip dalam berita The New York Times sehari kemudian. Penyair itulah yang membaca puisi tepat sehabis pidato pertama Kennedy, setelah sang presiden dilantik.

Saya menemukan lanjutan dari kalimat tadi, kalimat yang sangat sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi: "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri." Tak berselang sebulan setelah pidatonya itu, pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak. Dan mati.
W. H. AUDEN
The Art of Poetry No. 17
Interviewed by Michael Newman
Issue 57, Spring 1974

INTERVIEWER: You have always been a formalist. Today’s poets seem to prefer free verse. Do you think that’s an aversion to discipline?

AUDEN: Unfortunately that’s too often the case. But I can’t understand—strictly from a hedonistic point of view—how one can enjoy writing with no form at all. If one plays a game, one needs rules, otherwise there is no fun. The wildest poem has to have a firm basis in common sense, and this, I think, is the advantage of formal verse.

Besok, Baiklah

I.   besok, kotamu akan menjadi semacam pantun
     orang boleh berdusta, berdalih itu sampiran
     dengar di kamar remang itu, karaoke melantun,
     "Kami minta Pance atau Ungu, lekas putarkan!"

II. baiklah, aku mungkin tak jadi datang ke kotamu,
     aku takut terjebak di langit, sungai, dan laut
     bukankah aku hanya akan datang sebagai tamu?
     pantun penyambut tak akan pernah bisa kusahut

Thursday, April 24, 2008

Seperti Membaca Cerita Rekaan

SEBAGAI buku, katamu,
belum pernah ada yang habis membacamu

Aku menatap ke sampul matamu, menduga,
kau simpan kisah itu pada halaman berapa

Kisah yang kemudian asyik kutebak

Tentang lelaki Turki,
dan perempuan muda bunuh diri?

Atau tentang perempuan pedalaman Brazil,
lelaki pelukis, dan petualangan
yang berakhir di menit ke-sebelas?

Bukan, katamu, bukan itu

Dan kau menyibak selembar,
lalu selembar,
halaman dengan ilustrasi gambar
seperti engkau ditafsir
pelukis dengan jemari gemetar

Aku seperti membaca cerita rekaan,
dengan plot yang seakan kekal,
beberapa kata sifat yang dimiringkan,
dan kata kerja yang dicetak tebal.

Wednesday, April 23, 2008

[Pencerahan # 23 dari 365] Keindahan Sejati

"Penyair Guru, saya merasa puisi saya belum mencapai keindahan sejati... Apakah keindahan sejati itu, Guru?"

"Sabarlah. Nanti, kalau puisimu sudah mencapai itu, kamu akan tahu... Teruslah melangkah bersama puisimu menuju ke sana."

"Bagaimana saya tahu kalau saya melangkah ke sana bersama puisi saya?"

"Nanti, kalau kau sampai ke sana, kau tahu mana langkahmu yang menuju dan tidak menuju ke sana..."

"Bagaimana kalau saya tidak pernah sampai ke sana?"

"Ah, lihatlah, nikmatilah keindahan sejati itu ada di sepanjang perjalananmu..."

Tuesday, April 22, 2008

Surat Untukmu

AKU kembalikan celana bekasmu lengkap dengan
dekil dan kumalnya. Oh ya, ada tambahan sedikit
tambalan di pantat dan di dengkul. Maaf, ya, Maaf.

Dulu kupinjam celana itu tanpa setahumu, Kawan.
Aku tahu kau tidak akan pernah merasa kehilangan,
kau suka sarungan, bahkan tak pakai apa-apa, bukan?

Ada bekas KTP lamamu di saku kirinya. KTP yang
sudah mati, dan fotomu nyaris tak mengenali aku. "Kamu
siapa? Aku dimana? Apakah penyairku sudah merdeka?"

Aku tak tahan mendengar pertanyaan itu. Nyaris saja
KTP itu kurobek dan kubuang. Dasar KTP penyair.
Sudah mati masih juga memikirkan kemerdekaan.

Aku tidak jadi membuang KTP-mu, karena tak lama lagi,
akan ada pemungutan suara. Aku takut suara pada
KTP-mu itu disalahgunakan, diselewengmanfaatkan.

KTP-mu lalu kuamankan di dompetku, di dekat kartu ATM,
di sebelah KTP-ku, dan berdempetan dengan Surat Izin
Mengemudi, Surat Izin Jalan Kaki, Surat Main Sulapan.

Kadang-kadang aku suka mendengar mereka bercakap-cakap.
"Sudah kamu bayar biaya kematiannya?" tanya KTP-ku,
kepada kartu ATM. "Ah, birokrasi yang lamban,"
kata kartu ATM menirukan gerutuanku. "Lho, kok aku
pernah juga dengar kata-kata itu?" kata KTP-mu.

Baiklah, aku kembalikan celana bekasmu, kawan. Lengkap
dengan darah bekas lukaku, coretan pedihku, dan biji tajam
rumput liar yang belum sempat aku cabuti. Maaf, ya...

Saturday, April 19, 2008

Beberapa Cara Menyajakkan Empat Kata Itu

           : Damora, Fachrizal

/1/
NASIB yang menggumpal, gombal,
tembus, terembus dari kanal ke panas kental
bara biru, puting kayu, pokok bakau, rawa payau
angin, mereken oksigen, dari tebal tuas bulu ayam
"Tuan Pandai Besi, boleh kupesan parang
tak berhulu? Sambung sambang, kujepit
jempol di sela telunjuk dan jari hantu,
parang pesananku memanjang di situ..."

/2/
DIA dia sangat mengenal, panas bara api
di tungku tua itu, seperti nafas naga, katanya.
Seperti nar neraka? Tidak. Aku hampir
tak percaya pada siksa, katanya. Maka, padanya
datanglah selalu para lelaki, dengan
sepotong mentah besi, dibungkus
segumpal gombal, yang kelak ia peram
di panas apinya.

Keras besi tak seperti kayu, panas ditempa,
memipih menajam, sebelum kokok ayam.

Dari jauh, orang orang akan mendengar
seperti suara gamelan, besi ditabuh,
bertalu, suara lenguh, dan selalu saja
ada selingan desis, besi panas yang dicelupkan
ke air sumur. Seperti suara ular besar. Lalu,
ketika lelaki pemilik besi datang lagi, maka
ia akan menerima sepotong pedang yang
menyimpan taring singa, hunus kuku jempol
seekor naga dan seekor ular di dalamnya.

/3/
DULU ada sekawanan unggas
pemberani, terbang mengacaukan awan,
mengembalikan hujan,
dan menghalang matahari.

Kamu kira garuda?

Bukan, mereka bukan garuda.
Mereka unggas yang bentang
sayapnya memutus pelangi.

Di antara kawanan itu, ada sepasang
yang sejak ditelurkan sudah berbeda.

Ketika menetas mereka berdua
membenci kawan-kawannya,
"kebengisan yang gombal," katanya.

Dua unggas itu tidak memangsa, tidak
ingin belajar terbang dan mereka menjinak
mendekat ketika dipanggil dengan
jentik jempol dan jari, dan membagi telurnya
untuk pak pandai besi, bahkan kelak ketika
beranak-pinak, mereka rela dijadikan sajian
di kenduri panen para petani.

Thursday, April 17, 2008

O

O,
ENGKAU
BUTUH
DUA F
UNTUK OFF

DAN HANYA
SATU N
UNTUK ON

"KENAPA
KAU TAK
MEMBERI
AKU
SATU R
SAJA?"

Beri Aku Sebuah P untuk Menghentikan Ini

STOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO
OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO...

Wednesday, April 16, 2008

[Kutipan] Mencari Apa yang Tak Tertemukan

TAPI mungkin dia ada di bukit sana, di bawah naungan dedaunan, atau di sebuah selokan di suatu tempat. Mungkin dia tak pernah ditemukan. Tapi apa yang kamu temukan, apa pun saja yang kamu temukan, selalu hanya bagian kecil dari apa yang pernah hilang, dan menulis sajak adalah cara yang ditempuh penyair untuk memastikan apa yang dia sudah temukan itu - Paul Engle

[Kutipan] Ayo Bikin Luka!

SYAIR itu tidak ditulis, dia mengalir seperti pendarahan; Keluar dari kepala abstrak penyair. Kata-kata menetesi sajak di lembaran kertas; keluar dari dukacita, sukacita, dan amuk-marah - Paul Engle

Tuesday, April 15, 2008

Di Sebuah Bar tak jauh dari Shibuya Stasiun, Tokyo

Sajak Paul Engle (1908 - 1991)

Si Jepang di sebelahku di bar itu
menggigit mangkuk sake dengan gigi besar dan kacau
Di balik perisai kacamata (ia memakainya
seakan bagian dari busana yang elegan) matanya
kuning seperti anggur hangat yang ia tenggak.

Ke arahku dia berpaling seperti pintu dibuka
dan berkata dengan keramahan yang berlebihan, "U.S.A?"

Aku mengangguk, menebak apa warna pikirannya.

"Aku pernah parah terluka di Okinawa."
Kata-kata itu dengan malas tumpah dari mulutnya
seperti tetes anggur dari dasar botol itu.

Kuatur berat tubuh bertumpu di tumit-tumit kaki,
dan menjaga awas mata pada dua tangannya.
dia menarik lengan-lengan bajunya. Ada parut luka
menganga di sepanjang tangan itu, seperti tanda seru!
Apa yang bisa kau kata pada luka yang menuduh itu?
Dia menatap parut itu seperti menatap tuma
merayapi kulit, cemas dan benci,
berharap kuman itu segera enyah pergi.

"Maafkan aku," kataku. Kata-kata buruk dan tolol itu
bergetar hingar di terang lampu bar
lalu jatuh berderak , di lantai terserak

Dia melepas dan menggenggam kepal. Parut itu bergerak.

Kuangkat tangan. Aku telah siaga, seperti murid baru
gelisah di halaman sekolah, di hari pertama

"Dokter Amerika merawat lukaku dengan baik," katanya,
Dan keras raut wajahnya runtuh ke dalam senyum.
"Jika tidak, saya tak bisa mengangkat mangkuk sake sekarang."

Dia angkat lengkung manis mangkok bersepuh-biru,
dan gerak tubuh yang ramah, mendekat padaku.
Matanya segan, bergerak ke mataku seperti rangkulan tangan.
Kami pun minum.

Perlahan dia letakkan mangkok sake di meja bar,
gerakan ringan dan penuh keberanian, seakan itu bom,
lalu menunggu saat bom itu meledak di tangannya.

Lalu wajahnya pun pulang, sedatar wajah belaka.

Di luar, Tokyo mengaum, bagai macan cari mangsa.



Sumber: A Woman Unashamed (Random House, Inc., 1965).

Monday, April 14, 2008

[Pencerahan # 22 dari 365] Mati Berkali-kali

"PENYAIR Guru, sudah lama saya tidak baca puisimu di surat kabar. Kamu masih menulis puisi?"

"Pertanyaanmu membingungkan. Apa hubungannya antara: kamu baca puisiku, puisiku di surat kabar, dan saya menulis puisi atau tidak? Kamu masih bisa membaca puisi tidak di surat kabar kan? Kamu masih bisa membaca puisiku yang lama kan?"

"Ya, tapi dulu puisimu sering dimuat, kan? Saya menunggu sajak barumu"

"Ya. Lalu kenapa kalau sekarang jarang atau tidak pernah dimuat lagi? Chairil juga tidak menulis puisi lagi, bukan? Saya masih membaca Chairil."

"Oh, berarti Anda sudah mati seperti Chairil?"

"Ya. Saya sudah mati berkali-kali. Saya sebagai penyair, membunuh diri saya yang lama lalu bersusah berpayah melahirkan saya penyair yang baru. Sudah pernahkah kamu mati sebagai penyair?"

"Ah, maaf guru, rasanya belum lahir saya penyair itu....."
Telah terbit, sebuah novel
karya Hary B Koriun

Mandiangin

(Nominator Ganti Award 2007)

... Tetapi abah sebagai salah seorang bathin tetua adat, menolak kesepakatan itu. Menurutnya, yang bukan segala-galanya dalam kehidupan suku kami. Yang paling penting bagi kami adalah kehidupan bebas di alam yang tidak terikat oleh siapapun. Abah menolak tinggal di perkampungan tetap dan bersama kelompoknya memilih keluar dari hutan yang telah diserahkan kepada perusahaan itu berdasarkan kesepakatan para bathin yaaresng lain. Abah dan kelompoknya masuk ke dalam hutan baru ke arah Siak Dalam dengan perjalanan kaki dua hari dua malam. Setelah menemukan tempat yang dianggap pas, mereka kemudian mendirikan sebuah perkampungan baru yang kemudian dinamai Mandiangin.. .

---Membaca novel ini seperti menyimak kisah yang benar-benar terjadi, dengan setting yang benar-benar ada. Selain masalah illegal logging, juga terselip kisah cinta yang haru-biru seorang perempuan fotografer dan seorang lelaki demonstran, dengan ending yang menyedihkan. Pada sisi lain, novel ini seperti mengetengahkan laporan jurnalistik dengan potret sosial yang juga berbahasa jurnalistik. ..---

* Zuarman Ahmad, Sastrawan dan Komposer Bandar Serai Orkestra

Saturday, April 12, 2008

...

AKU mencari, yang tak menjadi, jadi benci

Jangan Tertawan di Semak Jeruju

KE puncak Daik saja, Tuan, naik ke cabang
rawan. Kita 'kan pernah juga tergelincir,
bahkan terjatuh jauh, jadi lelaki pejalan,
dan tahu semua lambai itu cuma pura-pura.

Ke ombak ke gelombang, mereka membilang,
kita telah terusir ke kolong ke longkang.

*

KE puncak Daik saja, Tuan, singgah wudhu
dahulu di Lubuk Pelawan, lalu berburu,
memburu, diburu, terburu-buru, tapi jangan
tertawan di semak jeruju, sebelum hutan sagu.

Friday, April 11, 2008

Pompong tak Singgah di Bakong

                : I.K.


BAIKLAH, lekas naik selangkah ke Daik,
      sebelum dada cabik, sebelum dahi belah

dan patah cabang lain jatuh ke jantung laut
      ke bibir yang mengucap nama perahu hanyut

    Siapa yang membisikkan siasat itu padamu, Sultan?

MAKA tak ada peta pengungsian di lautan
      dan sekarang kita melangkah tanpa denah

tersandung batang rebah pangkal sagu busuk

aduh, ada duri tertikam di sela kuku ibujari
aduh, ada lebah menyengat ujung lidah, tapi
masih kita berlagu tudung periuk pandai menipu

    Siapa yang menikamkan khianat itu padamu, Sultan?

Sebagai tual-tual sagu, dirakit ke muara itu,
      bila hujan sebentar, tenggelam rumah pengulu
      tengok ada perahu datang dari teluk berhantu
      menjemput bocah lelaki lihai menghalau ragu


BAIKLAH, lekas naik selangkah ke Daik,
      sebelum mata lamur, sisa seruas umur

    Sultan, siapa yang bilang padamu ini sudah terlanjur?

Perihal Kejujuran dalam Berkarya

Bang Hasan,

Saya baru saja menulis puisi. Karya saya dimuat di media lokal. Mungkin saya adalah penyair golongan C. Satu minggu yang lalu, seseorang yang jam terbangnya sudah jauh dari saya, sebut saja penyair golongan B, mengkritik tulisan saya dan mengatakan saya belum jujur dalam berkarya.

Yang ingin saya tanyakan adalah, seperti apakah kejujuran dalam berkarya?
Apakah hiperbola adalah sesuatu yang haram? Bukankah hakikat sebuah fiksi adalah dusta (karangan)? Bagi saya kata jujur tersebut terlalu ambigu.

Saya teringat seseorang yang berkata begini, "saya adalah seorang pembohong besar." Apakah dia sudah jujur mengatakan bahwa ia pembohong? Apakah orang yang berkata bahwa ia jujur adalah orang yang jujur?

Terima kasih, Arif Rizki


Arif Rizki,

Terima kasih atas pertanyaanmu. Saya tanggapi pertanyaan terakhirmu. Ketika ada orang berkata kepada saya bahwa dia adalah seorang pembohong besar, atau sebaliknya dia adalah orang jujur, apa perlunya saya menguji ucapannya itu? Apa perlunya saya menetapkan orang lain itu pembohong atau orang jujur? Saya bisa berteman saja dengan dia tanpa harus menetapkan dahulu dia pembohong atau jujur.

Kalau saya tahu dia pernah berbohong maka saya akan memilih-milih mana omongannya yang saya percaya dan mana yang dianggap angin lalu saja. Kalau ketidakmampuan saya memastikan bohong dan jujurnya dia bisa berakibat buruk pada saya, maka saya sebaiknya menjauhi dia.

Nah, sekarang saya jawab pertanyaanmu tentang kejujuran dalam berkarya. Sayang kamu tidak sertakan sajakmu yang dicap tidak jujur itu.

Apakah jujur? Jujur itu tidak bohong. Berkata apa adanya. Ketika kamu lapar, dan orang bertanya, "apakah kamu lapar?" lalu kamu bilang, "ya, saya lapar", maka itu berarti kamu telah jujur. Keadaan kadang membuat kejujuran itu sulit dilakukan. Misalnya kamu berhadapan dengan seorang yang kamu tahu hanya punya sepotong roti dan kamu tahu dia lapar sekali, lebih lapar dari kamu. Ketika dia bertanya, "apakah kamu lapar?" dan dia seakan hendak membagi rotinya denganmu, maka mungkin kamu saat itu akan berkata tidak jujur. "Tidak saya tidak lapar, silakan kamu makan saja, saya kira kamu lebih memerlukan roti itu." Dengan demikian, kamu sudah berbohong. Dosakah kamu dengan kebohonganmu itu? Ah, saya tidak tahu, tapi saya kira saat itu kamu pasti merasa jauh lebih enak daripada kamu jujur mengatakan bahwa kamu lapar dan kemudian dia membagi rotinya denganmu.

Begitulah saya memandang bohong dan jujur. Saya tidak tahu apa maksudmu dengan kejujuran itu ambigu. Kita bisa diskusi lagi nanti soal ini. Saya selalu ingin berada pada situasi yang memungkinkan saya bisa jujur pada siapa saja. Karena itu saya tidak mau mencuri. Mencuri itu bisa membuat saya tidak jujur. Jujur adalah bekerja sendiri, mendapatkan apa yang memang menjadi hak untuk kita.

Saya kira begitulah kejujuran dalam berkarya. Karya apa saja. Karya itu kerja bukan? Bekerjalah untuk menghasilkan sesuatu. Bekerjalah untuk menciptakan puisimu. Jangan "mencuri" dan mencuri karya orang lain. Itu tidak jujur. Kamu tidak akan pernah menghasilkan puisi yang benar-benar puisimu kalau kamu mencuri.

Perihal Fiksi

Baiklah kita sederhanakan bahwa puisi itu sah berada di wilayah fiksi. Soalnya ada juga yang memasukkan puisi tidak pada fiksi, tapi penjarakan (distansi). Ah, ini kita bicarakan lain kali.

Saya suka sekali dengan tulisan pendek almarhum Kuntowijoyo di Kompas, dulu sekali. Dia bilang fiksi atau prosa adalah strukturalisasi dari tiga hal yaitu pengalaman, imajinasi dan nilai-nilai.

Bila kamu tidak pernah menyentuh dinginnya salju, artinya kamu tidak pernah punya pengalaman langsung dengan salju. Memang, kamu bisa tahu tentang salju dari baca buku, melihat foto atau menontonnya di televisi. Tetapi saya yakin itu semua tidak pernah bisa menggantikan apa yang bisa kamu dapat dari pengalaman langsung bersentuhan dengan salju.

Pengalaman adalah salah satu dari bahan fiksi. Pengalaman itu kemudian diolah dengan imajinasi. Kenapa imajinasi? Karena bila tidak maka yang kamu tulis adalah fakta. Misalnya kamu ingin bikin cerita setelah kamu punya pengalaman berada di tengah hujan salju. Kamu imajinasikan bahwa kamu di sana berdua dengan seorang perempuan yang kamu kasihi. Nah, itu wilayah imajinasi. Itu bukan dusta bukan bohong. Imajinasi adalah alat untuk mengolah pengalaman tadi.

Bagaimana dengan nilai-nilai? Nilai yang kamu kandung dalam hidupmu pasti berbeda dengan nilai orang lain. Orang Eskimo yang punya belasan nama yang berbeda untuk berbagai jenis salju lain cara memandang salju dengan caramu karena kamu berasal dari wilayah tropis. Karena itu, kalau kamu berdua ingin menulis sebuah cerita dengan pengalaman yang sama itu, maka nilai-nilai yang berbeda tadi akan membuat cerita yang berbeda.

Begitulah. Saya kira, hakikat fiksi itu bukan dusta. Dengan menulis fiksi, kamu tidak hendak berdusta dengan pembaca, bukan? Bukan dusta itu tujuanmu membuat fiksi. Karl May, punya imajinasi yang luar biasa, sehingga tanpa pengalaman langsung dia bisa membuat cerita petualangan dari dalam penjara. Ia hanya rajin menggunting koran dan lihai membaca peta. Dia tidak ingin membohongi orang dengan karyanya.

Sekarang soal hiperbola. Itu adalah gaya bahasa. Ada banyak gaya bahasa. Beberapa contoh bisa kamu lacak di blog saya. Gaya bahasa adalah salah satu alat dalam membangun puisi. Ada berbagai macam alat.

Chairil bilang, "aku mau hidup seribu tahun lagi." Ini saya kira adalah contoh gaya bahasa hiperbola. Bohongkah Chairil? Mungkinkah orang hidup seribu tahun? Wajarkah keinginan orang untuk hidup seribu tahun? Saya kira bait itu tidak benar kalau dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Bait itu adalah bait puisi yang bisa dimaknai dengan cara lain dan itu lebih bermanfaat.

Sekian, semoga mencerahkan.

Hasan Aspahani

Monday, April 7, 2008

Dan Juga Kutipan

MENJADI penyair itu sebuah kondisi, bukan profesi ~ Robert Frost


Kutipan yang Lain

PENYAIR itu seperti pesulap, mencari mantera agar bisa menarik keluar kelinci dari jiwa pembaca sajaknya ~ Glade Byron Addams

PUISI adalah seni meneguhkan bayang-bayang ~ Edmund Burke

PUISI seperti bulan, tidak mengiklankan apapun ~ William Blissett

Sejumlah Kutipan

TUHAN adalah penyair yang sempurna ~ Robert Browning

PUISI adalah gema, yang mengajak bayangan menari ~ Carl Sandburg

PUISI adalah kehidupan yang dimurnikan ~ Gwendolyn Brooks

PUISI adalah pikiran yang bernafas, kata-kata yang terbakar ~ Thomas Gray

Friday, April 4, 2008

Ia: Seseorang

DENGAN lapar yang tak akan pernah kenyang
dia kunyah sebatang dari semangkok kentang

Dengar, ketuk di dadanya, siapa yang datang?
"Ia yang bisik puisi di telingaku. Ia: Seseorang"

---------

Segera Terbit
Buku Puisi Sindu Putra
DONGENG ANJING API


Tuesday, April 1, 2008

Lagu Lama dengan Syair yang Berbeda

Seperti burung
dia berharap
ada hinggap
sebuah kecup,
di bingkai bibirnya.

Burung itu menyiulkan
sebuah lagu masa kecilnya,
dengan syair yang berbeda:
"Siapa yang melukis
senyum manis
di bingkai bibirmu itu, Dara?"

Merebut Ubud

      : serasa semalam ada di sana


DI rambutmu, angin berebut dengan jemari.

"Hanya begini, aku tak pernah bisa menari,"
katamu, dan tanpa aku bertanya mengapa,
kau bilang, "karena mataku lekas senja."

KAU mengerling, ke arah galeri, mungkin
di sana pernah digelar pedih lukisan Murni.

DI rambutmu, untukku, angin mencuri wangi.