Sunday, August 31, 2008

.:. SELAMAT DATANG di BULAN RAMADAN 1429 H. Allah itu Baik. Ia ciptakan PUASA, sebuah rangkaian ibadah yang UNIK. Terima Kasih, Ya Allah .:.

Aku dan Arswendo (1): Dia Bilang, "Asyik"

Arswendo Atmowiloto (Foto: Ruang Film)

+ Selamat mengarang. Di dunia itu kita akan saling bertemu, berbicara, berdebat, membagi pengalaman. Itu kalimat terakhir dalam buku Mengarang Itu Gampang. Terima kasih, Mas eh Pak Wendo. Berkat buku yang saya beli tanggal 13 Oktober 1988 itu, saya bisa menulis. Saya Hasan Aspahani, Pak. Puisi saya hari ini ada di Koran Tempo. Maaf, saya dapat nomor Anda dari Om Danarto.

- Syukurlah. Ya saya sudah baca. Bagaimana buku menulis puisinya? Sukses?



+ Buku Menapak ke Puncak Sajak? Wah, itu mengarswendo banget. Kabar dari penerbit, sejauh ini penjualannya bagus. Tidak ada retur. Beberapa toko malah repeat order. Saya sudah dapat royalti Rp300 dari penjualan enam bulan pertama. He he he. Pada pengantar buku itu saya berterima kasih pada Anda.

- Asyik, selamat, ya. Saya suka sajak Sebelas Tahun Pernikahan.

+ Ya. Terima kasih. Saya senang karena sekarang Anda menerbitkan novel baru lagi. Saya juga mengoleksi Senopati Pamungkas. Itu tokoh pahlawan masa remaja saya.(bersambung)

Bicara Asyik

Sajak Ramdzan Minhat (Singapura)


          :hasan


aku bagai dirasuk tahyul kaum cina dibulan tujuh
sedang ramadhan datang merantai segala jenis iblis dan kuncunya

ketika bicara mu ku terima
yang mampu menerobos pemikir hati naluri penyair untuk jelata
termaktub dalam naskah kitab dini senja

kita harus tebarkan kalam bersahaja
sebelum menular amuk senusantara
menghenti bayangan kalimah mesra

aku asyik...berulang-ulang saat ku baca


/dzan

Wednesday, August 27, 2008

Enam Kata dari Jokpin

SAYA berkabar kepada Joko Pinurbo lewat SMS tentang keisengan permainan melempar kata dan kemudian bersama-sama menyajakkannya. Permainan ini sementara diikuti dengan asyik oleh Dedy Tri Riyadi, M Aan Mansyur, Ramon Damora dan saya.

Saya meminta kata darinya. Dia kirim enam kata dengan kalimat yang sudah jadi - khas Jokpin. Begini kalimatnya:

Biarlah penyair menggonggong
puisi tetap berlalu.


Nah, para penyair, mari kita sajakkan enam kata itu, boleh mengutipnya utuh atau memisah-misahkan katanya dan memakainya satu per satu. Sama asyiknya, bukan? Silakan!
menjelang breaking news di akhir tahun
Sajak Anwar Jimpe Rahman

         - mengingat hasan aspahani


hari ini, aku mendapat paket. isinya weker.

pak pos bilang, hati-hati. sejak dalam perjalanan,
ia sangka dadanya yang berdegup kencang.
padahal ia tak sarapan sepekat pun kopi.
semalaman juga hanya menikmati sunyi.

“ambil cepat. aku mau pergi.
masih banyak surat yang mesti mengetuk.
silakan meledak sendiri.
buka paketnya di kamarmu saja.”

hanya ancang-ancangnya yang tertinggal.
sisa derunya menempel di kelok terakhir
kompleks ini. tak sempat lagi pintu girang aku tutup,
empat pria berbaju serba hitam sudah mengepungku
di seluruh penjuru.

“angkat tangan! kami dari perusahaan pembuat kalender.
serahkan paketnya atau umurmu kami tebak!”

pintu girang segera kututup.
aku gagal meledak hari ini.

[2007-2008]

Monday, August 25, 2008

[Kuis # 002] Tuhan Bilang, Jaga Kantorku

Pertanyaan: Seandainya kepada Anda Tuhan bilang, "hei, kamu, Aku mau pergi sebentar, tolong kamu jaga kantorku satu hari saja. Selama satu hari itu terserah kamu mau ngapain. Oke ya?" Nah, Anda tidak bisa menolak, karena itu kan perintah Tuhan. Saya mau tahu, apa yang akan Anda lakukan?

Kali ini tidak ada hadiah. Maaf. Meskipun saya akan menentukan pemenang nanti. Silakan mainkan imajinasi Anda, saya tunggu di KOMENTAR postingan ini....

Sunday, August 24, 2008

[Ruang Renung # 235] Penyair Merangkak Mengemis Kesempatan

DI blog M Aan Mansyur, seorang berkomentar begini: mengapa Anda masih saja mencuri lahan untuk penulis-penulis baru? Bukankah Anda sudah tiba di puncak dan lihatlah ke bawah, banyak yang masih merangkak. Mengapa tidak meluangkan sedikit kesempatan kepada mereka yang masih merangkak itu?

Komentar itu diberikan untuk kabar baik Aan tentang puisinya yang dimuat lagi di Koran Tempo minggu. Saya kira, itu komentar orang yang cengeng dan penakut. Pertama, dia tak menyebutkan namanya: anonim. Kedua, kalau sadar masih merangkak kenapa harus menyuruh orang yang sedang berlari untuk duduk diam? Bila ingin melampaui Aan, maka berlatihlah untuk berlari kuat dan kencang, lebih kuat dan lebih kencang dari Aan. Dengan demikian dan hanya dengan demikian, maka puisi Indonesia akan sehat jantungnya.

Kesempatan untuk tampil kok diminta. Rebut, dong. Ciptakan kesempatan itu. "saya mulai mengirim ke media nasional sejak 2004 dan muat pertama kali di Kompas 2006. Lama juga ya menunggu dua tahun..." kata Aan pada saya. Selama itu, tak terhitung berapa kali dia mengirim.[]

Saturday, August 23, 2008

Dialogam, 1

KITA tertimbun bimbang, Penambang Sayang,
gali bumi, gauli sunyi, cari yang sembunyi.

Hanya sejumput bijih timah pada setimbun tanah.

Penambang Sayang, waktu tinggal remah, terbasuh
dalam ke kubang kawah, kita makin mengunggun,
terbakar mudah, tinggal sulut sepercik marah.

Friday, August 22, 2008

Pemenang Kuis # 001

.: Pertanyaannya adalah: Bila Tuhan memberi Anda waktu sehari untuk melakukan apa saja tanpa risiko dosa atau pahala, apa yang akan Anda lakukan?


.: Ada 28 orang yang menjawab di dua blog saya. Saya memilih dua pemenang saja (maaf, tidak tiga, karena memang hanya dua itu yang memikat saya).

.: Mereka adalah:

1. Jeje: Saya minta Tuhan memgembalikan seperti keadaan semula, karena saya yakin, tak akan asyik hidup ini tanpa pahala dan dosa.

2. Aded: Biar adil, hari itu akan kubebaskan tuhan dari segala keluhan, hujatan juga permitaan, seperti Dia telah membebaskan ku dari dosa dan pahala.

.: Mohon keduanya menghubungi e-mail saya, dan memberi tahu alamat rumah plus nomor telepon genggam. Saya mau kirim hadiah.

.: Tunggu Kuis Berikutnya! :-)

- Hasan Aspahani

Thursday, August 21, 2008

Dua Bentang Tikar Sembahyang

AKU ingin kemeja lengan panjang yang kau jahit
dari lembaran langit senja: kita sama suka
warna yang amat sementara, selembut krim susu,
sebentar saja lalu jadi warna murung, segelap terung.

Dan di malam semalam sudah kupetik sembilan bintang
enam tersemat sebagai kancing dan jadi terang
Tiga buat perhiasanmu: liontin berkalung akar
dan cemerlang sepasang anting.

Kalau lagi nanti kita lewati angkuh pagar
pusat perbelanjaan maha besar
aku akan kenakan baju buatanmu,
baju tak bersaku itu, maka aku
terhindar dari curiga
pasukan satuan pengamanan yang
akan sibuk menekuri asbak sesak
dan terbebas dari rayuan
para perempuan penjaga gerai kemeja kasual
mereka lihai bersiasat dengan penjaga mesin kasir
mereka suka mengintip ke jauh saku,
mengira-ngira sejauh apa mereka bisa
selusupkan tangan ke dalamnya.

Kita bisa khusyuk berdoa di pasir ini saja
sujud dan rukuk di bawah langit terbuka
seperti mata lensa kamera raksasa
tapi tak apa jua, bila ada cukup sisa
jahitlah lembaran langit tadi untuk
sepasang tikar sembahyang:
     sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam
     sebentang untukmu, makmum yang paling kusayang.

Wednesday, August 20, 2008

Annabel Lee

Sajak Edgar Allan Poe

Tahun melampaui tahun,
Dulu ada di kerajaan lautan,
Kau mungkin kenal dia, pekerja rumah tangga
Annabel Lee namanya
Dan dia, tak ada kelebat lain di pikirannya
kecuali aku mencintainya dan dia mencintaku.

Aku bocah, dia masih kanak
Di kerajaan lautan;
Tapi kami saling mencintai dengan cinta yang lebih dari cinta-
Aku dan Annabel Lee-ku ;
Dengan sebunga cinta yang dicemburui
malaikat bersayap dari surga.
Dan inilah alasannya, lama melampaui lama,
Di kerajaan lautan ini,
Angin menghembus awan, menggigilkan
Si Jelita Annabel Lee-ku;
Maka penjemput dari keluarga bangsawannya pun datang
membawanya menjauh dariku
Mengurungnya di taman makam
di kerajaan lautan ini.

Para malaikat di surga tak pernah berbahagia,
karena mencemburi dia dan aku -
Ya! - itulah alasannya (seperti yang dimengerti semua lelaki,
di kerajaan lautan ini)
kenapa angin menembus awan malam,
menggigilkan dan membunuh Annabel Lee-ku.

Tapi cinta kami semakin kuat, lebih kuat dari cinta
mereka yang lebih berusia daripada kami -
mereka yang lebih dewasa daripada kami -
juga lebih kuat daripada cinta para malaikat di surga sana,
juga para iblis di dasar lautan itu,
tak akan pernah menjauhkan jiwaku dari jiwa
Si Jelita Annabel Lee-ku.

Bulan tak pernah bersinar bila tak membawaku ke mimpi
tentang Si Jelita Annabel Lee-ku;
Dan bintang tak pernah benderang tanpa mengingatkanku
pada mata cemerlang
Si Jelita Annabel Lee-ku;
Dan demikianlah juga, setiap laut pasang, aku berbaring di sisi
kekasihku - kekasihku - kehidupanku dan mempelaiku,
di makam itu, di sana itu, di lautan itu,
di kubur itu, di suara dari dasar lautan itu.

Tuesday, August 19, 2008

Dua Kesepekatan Denganmu

pertama: mari mendamaikan detak digital,
mendulang bijih waktu: detikmu-detikku

kedua: kita boleh sepakati nama lain hari,
dengan kata yang tak beralamat pada
kamus maut: taman makam makna.

Thursday, August 14, 2008

Barang Loakan, Pasar Kenangan

: bersama Dedy dan Aan

"KALAU sempat singgahlah di kedai ayahmu," kata Ibu padaku.

Aku saat itu sebenarnya hanya pulang singgah sebentar dengan
baju baru yang sudah bisa kukancingkan sendiri, tanpa jemari ibu.

Bukan karena takut kualat bila kakiku menuruti perintah ibu. Seperti
kuduga, di sana aku hanya bertemu ayah yang sedang tertidur
seakan sedang dininabobokan lagu dari radio gelombang AM.

Pasar loakan, barang kenangan. Pasar kenangan, barang loakan.

Aku kasihan membangunkannya. Aku rasa cukup kuperhatikan
saja pemandangan itu: seorang lelaki dengan kepala tenggelam
dalam topi, bersandar miring pada tumpukan surat kabar lama,
dan tebaran bak mega-mega: kantong plastik di depannya.

Suara anak-anak riuh di sungai yang arusnya tak bisa lagi jauh.

Tadi kulewati kebun pisang, dan empang kerontang yang dulu
bagi kami adalah kolam senang, kolam renang, kolam kubang.

"Permisikan aku anakmu, Ayah," kataku, dan kuselipkan kartu nama
di lemari kecil di belakangnya, lemari berisi bendera tua, yang ingin
sekali mencapai tarap pusaka, juga barang-barang bekas lainnya,
sepatu lars, baju loreng, selongsong peluru, granat kosong, pistol
berkarat, lencana tak berkancing, bambu yang pernah runcing,
ransel bolong...

Pasar loakan, barang kenangan. Pasar kenangan, barang loakan.

Kakiku kini membawaku lagi, ke entah mana. Aku tak terkejut
bila nanti ada sekawanan capung terbang lalu menjatuhkan
kartu-kartu nama kosong. Begitulah cara ayahku dan aku saling
mengingatkan. "Kau jajakan barang loakan dari pasar kenangan,"
katanya, "kau jual barang kenangan di pasar loakan," jawabku.

Wednesday, August 13, 2008

"Inilah siaran radio lama, disiarkan dari jauh, dari masa lalu kita..." Seperti pernah akrab ia dengan suara sang penyiar. Dia ingin meminta diputarkan lagu, yang dulu ia nyanyikan dalam longmarch, sambil memanggul batang ubi dan senjata.

"Merdeka!"
"Merdeka!"

Seribu teriak merdeka.

"Kenapa tak lagi kata itu punya gema?"

Dikurung Kepungan

Sajak Mahmud Darwis


DI sini di kemiringan perbukitan,
bertatapan dengan debu dan meriam waktu
tak jauh dari taman bayang-bayang patah
kami perbuat apa yang bisa diperbuat para tahanan,
apa yang bisa diperbuat para pengangguran:
Kami bertani harapan.


*

Sebuah negeri menyiapkan sebuah fajar.
Kami tumbuh tapi tak punya banyak kepintaran
untuk menyaksikan jam-jam kemenangan:
Tak ada malam pada malam-malam kami
yang diterangi nyala geranat
musuh kami tak lepas awas dan nyalanya cahaya kami
ada dalam kegelapan ruang bawah tanah.


*

Di sini tak ada "aku".
Di sini Adam terkenang debu dari tanah tubuhnya.


*

Di ambang maut, dia berkata:
Aku tak tinggalkan jejak yang kelak terhapus:
Bebas, aku begitu dekat dengan kebebasanku.
Masa depanku ada di tanganku sendiri.
Segera aku masuki kehidupanku,
Dan seperti namaku aku akan memilih
huruf-huruf biru selangit biru...


*

Engkau yang berdiri di lorong itu, masuklah.
Teguk kopi arabika bersama kami
dan kau akan tahu, engkau lelaki seperti kami
Engkau yang berdiri di lorong rumah itu
keluarlah di pagi-pagi kami,
kita akan merasa ditenteramkan
karena kita jantan seperti engkau!


*

Ketika pesawat terbang lepas pandang, putih,
putih merpati lepas terbang dan membasuh
pipi-pipi firdausi, dengan sayap tak terjerat,
menjemput cahaya, menjemput apa yang jadi hak kita,
dari zat kehidupan, dan dari permainan. Makin tinggi,
lebih tinggi, putih, putih merpati, terbang.
Ah, seandainya hanya langit saja
yang nyata ada (seorang lelaki, melintas
di antara dua bom, padaku ia berkata).


*

Pepohonan sipres di belakang serdadu,
menara-menara kecil menjaga langit dari
keruntuhan. Di belakang pagar baja
serdadu buang-urine di bawah tatapan mata tank -
Hari-hari musim luruh yang cemerlang menghabiskan
pengembaraan di jalan lebar selebar gereja
sebubar ibadah Minggu....


*
(untuk seorang pembunuh) Bila engkau renungkan
wajah para korbanmu itu, dan memikirkan lebih jauh,
engkau akan mengenang ibumu di kamar gas racun,
kau akan bebas dari alasan untuk mengokang senapan,
dan pikiranmu akan berubah: ini bukan lagi jalan
untuk menemukan jati diri, diri sendiri.


*

Kepungan ini adalah periode penantian. Penantian
pada kemiringan tangga di tengah amuk badai.


*

Sendiri, kita hanya sendiri jauh di bawah sedimen
yang tidak akan pernah disinggahi pelangi.


*


Kita punya saudara di balik ruang luas ini.
Saudara yang cemerlang. Mereka mencintai kita.
Mereka melihat dan meratapi kita.
Lalu, dalam gerakrahasia, mereka saling bisik:
"Ah, seandainya kepungan ini telah dipernyatakan ..."
Mereka tak selesaikan kalimat yang hendak diucapkan,
"jangan tinggalkan kami, jangan abaikan kami."


*


Kami kehilangan: dua hingga delapan martir tiap hari.
Dan sepuluh orang cidera,
Dan dua puluh rumah hancur.
Dan lima puluh pohon zaitun tumbang...
tambahkanlah semua itu ke dalam struktur cacat itu,
apa yang kelak datang dalam puisi, teater, dan
kanvas yang tak terselesaikan.


*


Seorang perempuan berkata pada awan:
selimuti kekasihku, karena pakaianku
basah terbilas merah darahnya.


*


Bila engkau bukan hujan itu, sayangku
jadilah engkau pohon,
lebat dengan kesuburan, jadilah pohon.

Bila engkau bukan pohon, sayangku
jadilah batu
jenuh dengan kelembaban, jadilah batu

Bila engkau bukan batu, sayangku
jadilah bulan
dalam mimpi perempuan terkasih, jadilah bulan
(Seorang perempuan meratap
di pemakaman anaknya)


*


Oh serdadu yang berjaga, tidakkah engkau letih
berbaring menunggu nyala cahaya garam kami
dan takkah kau letih menunggu pijar mawar
yang tumbuh dari nganga luka kami?

Tidakkah kau letih, Oh serdadu yang berjaga?


*

Sedikit saja dari biru yang mutlak dan
tak berbatas ini telah jadi cukup
untuk menyalakan beban waktu ini
untuk mencuci lumpur di tempat ini.


*


Serahkanlah pada jiwa yang datang dari gunung itu
dan dengan kaki sutranya melangkah,
bersisiaan, berpegang tangan, seperti dua
sahabat lama, berbagi santap roti lama
minum anggur dari gelas antik yang sama.

Bisakah kita melangkah di jalan ini bersama
dan kemudian hari-hari kita menuju
arah yang berbeda:
Aku, melampaui alam raya, dalam persimpangan
akan memilih berlutut di sebuah batu karang.


*


Di atas reruntuhanku, bayangan jadi hijau,
dan serigala tertidur sejenak dalam kulit kambingku
dia bermimpi seperti mimpiku,
seperti mimpi para malaikat itu,
bahwa kehidupan itu ada di sini, bukan di atas sana.



*


Dalam kurungan kepungan, waktu menjadi ruang
menusuk ke keabadian

Dalam kurungan kepungan, ruang menjadi waktu
yang tak kehilangan kemarin dan keesokan.



*


Para suhada melingkariku, setiap hari aku
hidup dalam hari yang baru
Dan mereka bertanya: di mana kamu? Ambil semua kata
engkau harus kembalikan kami ke kamus-kamus
dan membebaskan mereka yang terlelap dari dengung gema.



*


Para suhada mencerahkanku: Di selampau ruang lapang ini
aku tak mencari
perawan yang hidup abadi bagi cinta hidupku
di bumi, di tengah pohon kurma dan pina,
tapi aku tak bisa mencapai itu, lalu, pun aku membidiknya
dengan apa yang terakhir kupunya: darah dan tubuh biru.



*


Para suhada memperingatkanku: jangan percaya lolongan mereka
percayalah bapaku ketika ia meratap, dia menatap potretku
bagaimana kita bertukar nasih, anakku, bagaimana bisa
kau mendahului aku. Akulah yang pertama,
seharusnya aku yang lebih dahulu!



*


Para suhada melingkariku: tempatku dan perabotan sederhana
adalah segala apa yang aku punya.
Aku bawa seekor gazel ke ranjangku,
dan bulan sabit di jemariku
agar tenteramlah deritaku.


*

Kepungan ini akan berakhir agar kita teryakinkan
bahwa kita harus memilih sebuah penghambaan
yang tak menusukkan luka, dalam kebebesan sepenuhnya!



*


Perlawanan berarti meyakinkan diri sendiri bahwa
jantung akan tetap keras berdetak, testikel masih
penuh sperma, dan ada wabah ganas berjangkit:
wabah harapan.


*


Dan dalam apa yang tersisa dari fajar, aku berjalan
keluar luar rumah.
Dan dalam apa yang tersisa dari malam, aku dengar
ada langkah kaki di dalam diriku.


*

Bersapaan dengan sesorang yang denganku ia berbagi
sapaan, pada cahaya yang mabuk, cahaya kupu-kupu,
dalam kegelapan terowongan ini!



*

Bersapaan dengan seseorang yang bergantian memakai
kacamata denganku, dalam kekepekatan malam menikam
dua ruang: bersapaan dengan apa yang asing padaku.



*


Kerabatku selalu mempersiapkan pesta perpisahan untukku,
Sebuah kuburan duka dalam bayang pohon oak
epitap waktu pada batu marmer
Dan aku selalu membalas mereka di pemakaman:
Siapa lagi yang mati, siapa lagi?


*


Tulisan, adalah si muda congkak menggigit kekosongan
Tulisan, melukai tanpa jejak darah.


*

Gelas mangkuk kami. Burung, pepohonan hijau
dalam bayang biru, matahari melompat dari
dinding ke dinging seperti gazel
Air di awan tak berbatas bentuknya, apa
yang tersisa bagi kita dari angkasa. Dan
hal lain dari kenangan yang terbendung
terbuka di pagi ini, menderu deras,
bertamu ke keabadian, dan itulah kita.



(Diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris oleh Marjolijn De Jager, lalu ke Bahasa Indonesia oleh Hasan Aspahani).

Puisi yang Ditakuti Perdana Menteri




BISAKAH puisi kini menggentarkan seorang perdana menteri? Bisa. Itu terjadi di Israel. Perdana Menteri Ehud Barak tahun 2000 lalu, menolak proposal Menteri Pendidikan Yossi Sarid yang mengusulkan agar sajak-sajak penyair Mahmud Darwis dimasukkan kurikulum untuk dibaca dan dipelajari murid-murid sekolah di negeri Yahudi itu. "Masyarakat akar rumput belum siap membaca sajak-sajak itu," kata Ehud Barak.

Siapakah Mahmud Darwis? Di paspor lelaki berkaca mata tebal dan perokok berat itu menyebut diri seorang Arab (sebagaimana ia tegaskan dalam sajaknya, "catat, saya seorang Arab") tapi sesungguhnya ihwal kewarganegaraan di dalam jiwanya tampaknya sulit dirumuskan.

Pada usia tujuh tahun ia harus meninggalkan kampung kelahirannya di Palestina. Tentara Israel datang menjajah dan mengangkangi wilayah itu hingga ia meninggal 9 Agustus lalu. Ia mengungsi ke Lebanon bersama keluarganya. Ketika Israel membangun kamp penampungan, keluarga itu kembali tapi ayahnya yang sebelumnya tuan tanah tak mendapatkan lagi hak atas lahannya. Ia belajar membaca dari kakeknya, sedang ibunya buta huruf.

Mahmud tumbuh dalam situasi kejiwaan seperti itu: tinggal di tanah sendiri tetapi dengan identitas yang kacau. Lahir dari keluarga Sunni, di tanah yang dikuasai Yahudi. Ia fasih berbicara dalam bahasa Ibrani, Inggris dan Prancis, tetapi teguh menulis sajak dalam Bahasa Arab.

Ia mulai menulis sajak sejak sekolah menengah. Buku kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1960 ketika dia masih berusia 16 tahun. Empat tahun kemudian, ia memantapkan reputasi sebagai penyair lewat buku kedua Awraq Al-Zaytun (1960).

Setelah tamat sekolah ia pindah ke Haifa dan ambil bagian dalam aktivitas politik di negeri itu dengan bergabung dengan partai komunis Israel, Rakah. Ia menghidupi diri dengan bekerja sebagai jurnalis. Sejak itu mulai pula ia berkenalan dengan penjara dan kerap dikenakan tahanan rumah, salah satunya karena kerap bepergian keluar Israel tanpa izin penguasa.

Bila kemudian ia dikenal sebagai aktivis PLO dan penyair Palestina yang paling keras terdengar suaranya, ia dianggap paling fasih menerjemahkan keterusiran dan harapan rakyat Palestina - ia menulis lebih dari 30 buku sajak dan delapan prosa, dan diterjemahkan ke 20 bahasa - maka sesungguhnya ia menulis dengan obyek sajak yang sama dengan penyair Israel Yehuda Amitchai, penyair yang ia kagumi. Ia menyebut nama-nama tempat yang sama, seakan memuja tanah air yang sama. "Kami seakan bersaing, siapa yang menuliskannya dengan lebih baik," katanya.

Ah lukaku yang degil!
Tanahairku bukan jas-jubah
Aku bukan musafir
Aku kekasih dan tanah air ini belahan jiwa.

Tema-tema utama sajak Darwis adalah takdir tanah kelahirannya. Darwis memberdayakan kosa kata yang sederhana dalam sajak-sajaknya, imaji-imaji berulang: nganga luka, darah, cermin, batu, dan perkawinan.

Darwish kerap menyapa pembaca sajaknya dengan hujah yang sengit, semacam pembelaan, atau pertahanan, seperti suara ramalan dari sebuah paduan suara orang banyak.

Karya-karya awalnnya banyak mengambil dua tema: cinta kasih dan gejolak politik. Perlahan tema cinta pada lawan jenis beranjak lebih luas menjadi hubungan tak terpisahkan antara penyair dan tanah kelahirannya.

Ia berkata, "Saya akan terus mempermanusiakan orang pun bila ia seorang musuh. Guru pertama yang mengajar saya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam hidup saya adalah pada seorang gadis Yahudi. Hakim pertama yang memvonis saya masuk penjara adalah seorang hakim wanita Yahudi. Jadi, sejak awal saya tak melihat Yahudi sebagai iblis jahat, atau malaikat, tapi sebagai manusia. Saya menulis beberapa sajak untuk kekasih saya orang Yahudi. Sajak itu tentang cinta kasih, bukan tentang perang."

Nyaris sepanjang hayat Darwis hidup nomaden. Sebelum kembali ke kampung halamannya yang telah diduduki Israel pada tahun 1996, selama 26 tahun ia menjadi orang eksilan di Lebanon, Ciprus, Tunisa, Yordania, dan Prancis.

Dengan pengaruh di kalangan politik - ia pernah memimpin lembaga penting di PLO, ia tetap percaya bahwa sastra pun bisa jadi jalan perjuangan. Ia memimpin Al-Karmel, majalah sastra dan Kebudayaan Palestina. Ia percaya dan bilang sabar menunggu perdamaian yang ia yakini akan datang di Palestina, tapi tak urung ia juga sempat putus asa juga pada puisi.

"Dulu saya pikir puisi dapat mengubah segalanya, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan manusia. Saya kira ilusi demikian sangat penting untuk mendorong penyair agar terlibat dan percaya, tapi sekarang saya yakin puisi hanya bisa mengubah penyairnya," katanya.

Saudara, ada air mata di tenggorokanku
ada api di mataku:
Aku orang merdeka."

Ia melepas dan meninggalkan kegiatan politiknya setelah kecewa demi kecewa, termasuk ketika Yaser Arafat, Simon Peres, dan Israel Yitzhak Rabin bersama mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pata tahun 1994.

Pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya Darwis percaya bahwa akhirnya nilai penting puisi tidak diukur dari apa yang hendak dikatakan penyair, tetapi bagaimana penyair mengucapkannya. Ia berkutat pada estetika puitika, dan tak lagi hanya peduli pada tema. Maka ia tidak lagi hanya meratapi tanah kelahirannya tetapi sajak-sajaknya bernada introspektif dan seperti penuh mimpi. Ia meminjam khazanah Yunani, Persia, Romawi dan mitos-mitos dari bibel. "Saya percaya penyair sekarang mesti menuliskan apa-apa yang tidak tampak," katanya.

Darwis tidak mendapat anak dari dua kali pernikahan yang keduanya berakhir dengan perceraian. Darwis meninggal pada 9 Agustus 2008, setelah operasi jantung di Memorial Hermann Hospital Houston, Texas. Setelah sebelumnya, dua kali dia menjalani operasi yang sama. Perdana Menteri Palestina Mahmud Abbas menyatakan negeri itu berduka tiga hari.

Hingga akhir hayatnya, perkara warga negara masih rumit baginya. Ia punya amanat sederhana - tapi repot untuk diwujudkan - agar jasadnya dimakamkan di tanah kelahirannya Ramallah yang masih dikangkangi Israel.

Sebagai penyair Mahmud Darwis telah menuntaskan tugasnya, menuliskan sajak-sajak yang membela orang yang tertindas, melawan orang yang menzalimi sambil membesarkan harapan akan perdamaian.

Hidup dan karyanya pasti tidak sia-sia. Bukan salahnya bila perdamaian itu terasa masih akan jauh dan lama datangnya. Setelah kematiannya, Israel kembali membuka wacana agar sajak-sajaknya dikurikulumkan untuk dibaca oleh pelajar-pelajar di negeri itu, dan mereka bisa menangkap pesan-pesan damainya.***

Tuesday, August 12, 2008

Bundaku

Sajak Mahmoud Darwish (1941-2008)


AKU kangen pada roti buatan bundaku
aku kangen kopinya
sentuhannya
kenangan kanak-kanak tumbuh dalam diriku
dari hari ke hari
aku harus memberi harga pada hidupku
pada jam kematianku
seharga air mata bundaku.

Dan bila pada suatu hari nanti aku pulang
jemput aku seperti cadar bulumatamu
kafani tulangku dengan rerumputan
beri berkat dengan jejak-jejak kakimu
erat-pautkan kita bersama
dengan semat rambutmu
dengan panjang benang lepas dari jubahmu
aku serasa akan hidup abadi
menjadi sekekal tuhan
bila kusentuh kedalaman hatimu.

Bila aku datang pulang
jadikan aku kayu bakar dalam apimu
jadikah tali jemuran di atap rumahmu
tanpa sayang tanpa kasihmu
aku terlalu lemah untuk dapat tegak.

Aku kini telah tua
beri aku lagi peta bintang dari masa kecilku dulu
lalu, dengan demikian itu
bersama burung-burung layang-layang
dapat kugambar setapak jejak
kembali pulang ke sarang-penungguanmu.

Friday, August 8, 2008

[Kuis # 001] Apa yang Akan Anda Lakukan?

Pertanyaan:
Bila Tuhan memberi Anda waktu sehari untuk melakukan apa saja tanpa risiko dosa atau pahala, apa yang akan Anda lakukan?

Ketentuan kuis:
1. Tulis jawaban Anda pada fasilitas komentar di blog ini, sebelum tanggal 20 Agustus 2008.
2. Jangan lupa sertakan alamat e-mail. Saya akan menghubungi pemenang lewat e-mail.
3. Tiga pemenang mendapatkan buku puisi saya “Orgasmaya” dan kumpulan cerpen “Para Pecinta Selat Philips.
4. Para pemenang akan diumumkan dan dihubungi lewat e-mail pada tanggal 21 Agustus 2008.
5. Kuis ini juga diumumkan di blog http://hasanaspahani.com, dan tidak berlaku buat pemilik kedua blog yaitu saya sendiri.

Thursday, August 7, 2008

Enambelas Larik Anambas

kau lembingkan mata ke angka kosong angkasa
tertikam pada jantung kelelawar betina

sepotong bulan matang sekuning belimbing
malam belum beri embun ke kaca jam
angin laut anambas bikin kening kering
berdua dengan pelabuhan kau berebut diam

tadi petang kau datang cuma mau antar bimbang
dari pelantar kau angkat tunjuk ke cengkeh di seberang
kau bilang, bertahun-tahun terlantar tak berbunga
aku bagai dengar kalimat lain, "apa? tak berguna?"

ada tiang dan bendera partai di ujung dermaga
kau ingat bunga raya bagi sepasang pengantin jepang
ke kedai kopi dulu, menunggu kapal ke ranai, ke jemaja,
nanti bila kau kembali apa ada spanduk selamat datang?

kau tembuskan pandang ke gelang gelombang
renung terumbu, renang sebarisan ikan karang