Saturday, November 29, 2003

Tentang Seorang Pengemis

SUBUH enggan mempertegas diri. Samar. Sesungguhnya dia memang selalu ragu. Seperti pengemis itu. "Tapi, kali ini, aku harus datang," ujarnya. Datang ke istana penyair yang siang nanti hendak membagi-bagi puisi. Maka, tanpa apa-apa, dia pun berangkat dari gubuk masa kininya. Menuju ke tempat yang kelak di sana berkumpul para pengemis, yang mengharapkan pembagian sehelai puisi, dari seorang penyair yang sudah berkibar mahsyur namanya kemana-mana. Yang sudah menebarkan wangi, keindahan syair-syairnya dari kota ke kota.



PAS menjelang siang. Dia datang. Tepat waktu, teng! Dia melihat penyair itu berdiri anggun di podium di depan rumahnya yang dibangun oleh murid-murid epigon-epigonnya. Seperti hendak berpidato atau berdeklamasi tampaknya. Ah, tak ada salahnya, kata pengemis itu, aku mendengar barang satu dua tumpuk basa-basi sebelum dapat sehelai puisi. Melihat banyak saingan yang datang, pengemis itu mulai gentar, jangan-jangan si penyair kondang itu tak punya stok puisi yang cukup banyak untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh pengemis itu. Dia melihat pengemis-pengemis yang lain juga mulai berdesak-desakan ingin lebih dahulu dapat kesempatan menerima sehelai puisi gratisan. Seperti dirinya: semua tampak takut tak kebagian.



"SAUDARA-SAUDARA...." ujar penyair kondang itu, akhirnya. Lautan massa hening. Seperti samudera menjelang datang badai. "Sebentar lagi, kami akan membagikan sehelai puisi...."; Tiba-tiba ada yang berteriak, "Toloooong jangan injak sayaaaaaa..."; Lalu kepanikan pun menjalar seperti bubuk mesiu tersulut api; "Saudara-saudara..."; Aaaah... Ada yang terinjak-injak, nih!; "Tenang-tenang, Saudara..."; Lalu semua terkejut oleh sebuah bentakan kasar: Bubar...bubar!; Bererapa salak pistol: Dor! Dor!; Dan, "Kami dari polisi, pengerahan massa ini tak ada izinnya, tolong segera dibubarkan..." Tapi, "Wah, kami belum dapat sehelai....!!"; Menyelinap di antara: Siapa yang bertanggung-jawab?; Ditingkahi suara: "Dor! Dor! Dor!; Dan teriakan: Ini bukan kampanye, Pak! [Bubar! Bubar!] Saya ini cuma penyair; Ada juga: Hati-hati, Pak, waktu pembagian sarung dan zakat kemarin ada empat orang yang mati; Tapi akhinya: Bubaaaaaaaaaaaar! Kalian dengar tidak!



SI PENGEMIS yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukani penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.



Nov 2003