Monday, April 30, 2007

[Kisah] Aku

"ENAK sekali dia sekarang. Sudah bertahun-tahun menikmati kematiannya," katanya. Bicaranya pelan saja. Tapi cukup jelas kutangkap kalimat itu. Yang dia maksudnya dengan "dia" adalah Chairil Anwar. Ya, penyair hebat yang lekas mati itu. Dan dia yang bicara padaku itu adalah si "Aku". Inilah yang hendak kuceritakan padamu.

***
Kau pernah baca sajak "Aku", kan? Besar kemungkian kau akan menjawab, "ya". Sajak ini adalah kutipan wajib di setiap buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Demi kelancaran dan kemudahan cerita ini, anggap saja kau sudah pernah membaca sajak itu. (Catatan: "Anggap saja kau pernah membaca sajak itu", mestinya kalimatnya begitu saja. Karena dalam kata "pernah" terkandung kata "sudah").

Kemarin malam, aku sedang membaca "Aku". Ini bacaan yang entah ke berapa kali. Banyak kali. Aku sudah membaca sajak itu sejak sekolah dasar. Aku pernah menyalin sajak itu di buku harianku waktu sekolah menengah pertama. Dan waktu sekolah menengah atas sajak itu untuk pertama kalinya saya bacakan di depan orang banyak. Tepatnya saya membacakannya ketika pelantikan anggota Pramuka di sekolah saya. Ketika itu tiap anggota baru harus menampilkan atraksi seni. Aku tak bisa main gitar. Aku tak bisa menyanyi. Yang terpikir ya cuma satu hal itu: membaca sajak. Sajak "Aku".

Aku. Kalau kusampai waktuku. 'Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu.

Ketika itu, maksudku ketika aku membaca sajak itu, malam sudah sampai di tengahnya. Ia mulai basah. Ia juga senyap, senyap yang bikin lapangan perkemahan ini sepi sekali. Syahdu. Aku membaca tanpa teks. Aku hafal sajak itu sejak sekolah dasar. Nah, ketika selesai dan bahkan ketika aku sedang membaca sajak itu, aku merasa si "aku" dalam sajak itu ada menyaksikan aku membaca sajak itu. Bukan. Dia bukan si penyair. Aku tak yakin, tapi begitulah yang kuyakini dari apa yang kurasakan.

***

Ya, kemarin malam aku membaca lagi sajak "Aku". Ini bacaan yang entah yang keberapa kali. Aku tidak pernah menghitung, mungkin sudah seribu kali.

"Ya. Sajak itu sudah kau baca seribu kali," kata dia, yang tiba-tiba saja ada di kamarku. Dia itulah yang kalimatnya kutulis di awal cerita ini. Dia adalah "Aku". Sebagai pengarang, aku tidak terkejut dengan kehadiran dia yang mengaku sebagai "Aku" itu. Sebagai pengarang saya justru harus pandai menyusun kejutan-kejutan untuk orang yang kelak membaca cerita karangan saya.
Kata si "Aku", dia dan Chairil Anwar dulu sempat bertaruh. Menurutnya, maksudku menurut si "Aku", sajak itu tidak akan dibaca orang. "Sajak itu tidak akan disukai orang," kata si "Aku" mengulangi apa yang dulu dikatakannya pada Chairil. Tapi si Chairil bilang sebaliknya.
"Ini akan jadi sajak yang hebat" kata Chairil.

"Apa hebatnya? Isinya cuma omong kosong begitu saja. Kok ada sih orang yang mengaku sebagai binatang jalang. Eh mengaku pula dari kumpulannya terbuang!"

"Beginilah. Kita taruhan saja."

"Baik. Apa taruhannya?"

"Saya yakin, ini sajak yang hebat, karena itu akan ada seseorang yang membaca sajak ini sampai seribu kali."

"Baik. Taruhannya apa?"

"Aku" dan Chairil membuat peraturan taruhannya begini: 1. Di antara mereka pasti ada yang mati lebih dahulu. Siapa yang matinya kalah cepat, maka dia harus menunggu sampai ada seseorang yang membaca sajak itu hingga seribu kali, sebagai bukti bahwa sajak itu memang sajak yang hebat; 2 .Pihak yang kalah cepat matinya, baru bisa menyusul mati kalau sudah ada orang yang membaca sajak itu seribu kali; 3. Kalau tidak, maka dia yang matinya kalah cepat harus menunggu kematiannya sampai usianya seribu tahun.
"Begitulah taruhannya," kata "Aku" padaku.

***
"Sudahlah. Taruhan kami sudah selesai. Saya sudah boleh pergi mati. Terima kasih karena telah membuat saya tak harus hidup seribu tahun lagi. Terima kasih. Chairil benar. Sajak itu memang sajak yang hebat. Permisi," si "Aku" pun melenggang keluar kamarku.

Aku tak sempat berbasa-basi menjawab pamitnya si "Aku". Kalau tadi aku bilang aku tidak terperanjat, sekarang aku pelan-pelan terkejut juga. Terkejutnya itu bukan kejutan biasa. Sekali kejut langsung terkejut, dan sekali itu pula kejutnya hilang. Aku baru merasakan terkejut yang lain. Kejutannya pelan-pelan. Makin lama makin kejut. Dan kejutnya tak langsung hilang.

Setelah kejutan tadi bisa saya kendalikan, saya baru sadar si "Aku" sudah tak ada lagi di kamar saya. Ah, sialan. Padahal tiba-tiba saja saya ingin bertanya sajak itu sebenarnya ditulis oleh siapa? Benar-benar oleh Chairilkah? Atau oleh si "Aku" sendiri? Saya juga ingin titip salam untuk Chairil kalau mereka saling bertemu di sana.

Ah, sudahlah. Semoga dia bisa juga menikmati kematiannya.[]

Tiban Indah Permai, April 2007.



[Ruang Renung # 195] Tujuh Hakikat Chairil

BAGAIMANAKAH seorang penyair mengolah kehidupannya sebagai bahan sajak-sajaknya? Ini pertanyaan mendasar dan abadi. Tugas menyair adalah menjawab pertanyaan itu terus-menerus. Chairil Anwar ada menulis sebuah paparan yang sangat bisa kita teladani. Saya membuat tujuh butir kesimpulan dari pemaparannya itu. Penjelasan dari butir-butir berikut ini sepenuhnya adalah pemaparan dari Chairil Anwar. Anda tentu boleh membuat kesimpulan sendiri.

1. HAKIKAT POKOK & BAHAN. Yang penting adalah hasil sajak yang dicapai, bukan bahan yang dipakai untuk membuat dan mencapai hasil sajak itu.


Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dan sebagainya. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kwalitet cat dan kain atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukanlah bahan-bahan yang dipakai yang penting; yang penting adalah hasil yang tercapai.

2. HAKIKAT BENTUK & ISI. Hasil sajak bisa dinilai dari bentuk dan isi, tetapi kedua hal itu tidak bisa dipisahkan, keduanya bisa dilihat satu per satu tapi keduanya juga bisa dipandang sebagai satu hal yang padu.


"Hasil" ini pada umumnya "terbagi" dalam bentuk dan isi. Tetapi "pembatasan" yang sangat nyata dan terang antara bentuk dan isi tidak pula bisa dikemukakan, sebab dalam kesenian, bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama. Mereka gonta-ganti tutup menutupi. Karena hanyalah perasaan-perasaan si seniman yang benar-benar jadi bentuk dan caranya menyatakan yang istimewa, tersendiri yang sanggup membikin si penglihat, pembaca atau pendengar terharu - melambung atau terhenyak.

3. HAKIKAT 1 POKOK & 2 CARA MENYATAKAN. Satu pokok yang sama bisa menghasilkan dua sajak yang berbeda, sebab dua penyair yang berbeda memandang pokok yang sama tadi dengan perasaan yang berbeda, dan menyatakan perasaan tadi juga dengan perasaan yang berbeda.


Jika dua orang pelukis sama-sama melukiskan suatu bagian dari kota, bisa jadi kejadian yang lukisan satu mengagumkan kita, sedangkan lukisan yang lain kita rasa jelek. Perbedaan bukankah jadinya terletak pada "pokok", karena di sini pokok adalah sama. Perbedaan terletak dalam perasaan-perasaan yang mengiringi pemandangan di kota tadi, dan dalam cara bagaimana perasaan-perasaan itu mencapai pernyataannya.

4. HAKIKAT POKOK-POKOK & 1 SENIMAN. Penyair tidak bergantung pada satu pokok saja. Dari pokok-pokok yang berbeda jauh, seorang penyair bisa menghasilkan sajak yang sama mengharukan perasaan pembaca.


Sebagaimana suatu pokok bisa mengesankan pada dua orang pelukis, begitu juga sebaliknya, dua bagai pokok bisa meninggalkan keterharuan yang sama pada seorang pelukis. Lukisan yang sederhana dari sepasang sepatu tua bisa "sebagus" lukisan satu pot kembang yang berbagai warna. Karena yang tampak oleh kita bukanlah semata-mata sepatu tua itu, tapi adalah sepatu tua yang "terasa bagus" - dan karena si seniman sanggup menyatakan sepenuhnya dengan garis dan bentuk, karena itu pula maka bisa dia memaksa kita mengakui hasil keseniannya.

5. HAKIKAT TENAGA PERASAAN & PERKAKAS SAJAK. Bahasa menyediakan perkakas sajak bagi penyair. Perkakas itu hanya alat bantu yang berguna bila si penyair punya tenaga perasaan untuk mencipta pokok sajak menjadi sajak.


Jadi yang penting ialah: si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaannya. Perkakas-perkakas yang bisa dipakai oleh si penyair untuk menyatakan adalah bahan-bahan bahasa, yang dipakainya dengan cara intuitif. Dengan "memakaikan" tinggi-rendah dia bisa mencapai suatu keteraturan, dan dalam keteraturan ini diusahakannya variasi: irama dari sajaknya dipakainya sebagai perkakas untuk menyatakan. Lagu dari kata-katanya bisa pula dibentuknya sehingga bahasanya menjadi berat dan lamban atau menjadi cepat dan ringan. Dia bisa memilih kata-kata dan hubungan-kata yang tersendiri, ditimbang dengan saksama atau kata-kata itu menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya bisa dibikinnya menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya.

6. HAKIKAT KETERHUBUNGAN PEMBACA & POKOK SAJAK. Jika sajak yang istimewa sudah selesai, maka pembaca berhak menikmati keistimewaan itu. Kenikmatan yang diperoleh pembaca sajak tidak lagi ditentukan oleh hanya oleh perkakas yang dipakai oleh penyair, tetapi oleh kesamaan pautan perasaannya pada pokok sajak.


Dengan irama dan lagu, dengan kalimat dan pilihan kata yang tersendiri dan dengan perbandingan-perbandingan si penyair menciptakan sajaknya dan hanya jika si pembaca sanggup memperhatikan dengan teliti "keistimewaan" yang tercapai oleh si penyair, bisalah si pembaca mengertikan dan merasakan sesuatu sajak dengan sepenuhnya. Merasa sebuah sajak bagus tidaklah harus didasarkan atas suatu atau beberapa dari "perkakas" bahasa yang disebut tadi, tapi harus didasarkan atas kerja sama dan perhubungannya yang sama dengan "pokok".

7. HAKIKAT MEMILIH POKOK & KETERHARUAN YANG BERULANG. Penyair memilih - dengan sadar atau dengan tidak sadar - pokok-pokok mana yang ia ambil untuk ia sajakkan. Ia juga bisa digerakkan oleh satu pokok yang sama, lalu menyajakkannya berulang-ulang.


Bahwasanya pokok tidak menentukan nilai hasil kesenian, bukanlah berarti bahwa semua pokok bisa membawa keterharuan yang sama pada penyair. Sebaliknya malahan: sudah tentu saja bahwa berbagai peristiwa dalam alam dan dalam kehidupan manusia tidak kita hiraukan, karena dia tidak menduduki tempat yang "penting" dalam kehidupan kita. Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan, ketuhanan - inilah pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman.

* Tulisan ini disimpulkan dari sebuah tulisan dalam buku Chairil Anwar, Pulanglah Dia Si Anak Hilang, Kumpulan Terjemahan dan Esai, Granit, Jakarta, 2003. Tulisan ini dimuat dalam Internasional, No. 8 Juni 1949; dimuat juga dalam berita, 27 Juni 1949 dengan judul "Membaca Sajak, Melihat Lukisan".


ensiklopuisi: Anak

 anak: I. bisakah kau berkata tidak pada dia yang
       bersandar di dadamu dan berkata, "Bapak,
       bolehkah aku bermain dengan kawan hujan?"
       setelah padanya kau bercerita tentang keberanian,
       petualangan, keriangan, ujian dan kekuatan?

       II. adakah beban di kakimu dan getar di punggungmu,
       ketika dia memasang sepatu dan memikul ranselnya
       lalu mencium tanganmu dan memelukmu, sambil
       berkata, "Bapak, cuaca memang tidak menentu, tapi
       aku telah mengerti ceritamu, dan kini saatnya memulai
       petualangan sendiri yang kelak kukisahkan padamu,
       dan kusimpan untuk anak-anakku."


Saturday, April 28, 2007

ensiklopuisi

                                                    :  akmal nasery basral

umur:
apakah hari? Bumi berputar dan kita menua!
     apakah bulan? Bumi melingkar dan kita menunda!
     apakah tahun? Bumi tak beranjak, kita tak berduka!
     apakah umur? Kita bertanya sebanyak-banyaknya
     dan mencari jawaban sesempatnya saja.

     "Umur hanya menegaskan kita: betapa fana!"


hidup: buku besar yang kau robek selembar-selembar,
     diam-diam ada yang dengan tekun mengumpulkan,
     dan dia sangat kecewa ketika ditemukannya pada
     robekan itu kau tak menuliskan apa-apa. Dia ingin
     sekali mengingatkanmu:

    "Apa yang nanti bisa kubacakan untukmu ketika
     semua lembar di buku besarmu telah kau habiskan?



rumah : yang membiru di tubuh dan kaki petualang, melangkah
     pulang ke halaman dan tangga yang ramah ; yang berburu
     jauh pergi ke gunung ke lembah, mengembalikan
     tangan ke lumpur sawah ; yang berguru pada langit lepas,
     makin bisa merangkum semilir harum bunga tanah.

      "Dia berumah pada engkau, kaukah juga padanya?"


tangan: I. genggamlah lumpur persawahan, dapatkan bau perjalanan ;
     peganglah duri rotan, nikmati lukanya ; peluklah batang kayu
     hutan, bagikan detak jantung kehidupan; sentuh akar rerumputan,
     bayangkan ketabahan ; biarkanlah hinggap kupu-kupu, lalu
     lepaskan ; sentuh gerak sungai dan basah hujan, bentangkanlah
     sepi, lalu tadahkan; panaskan batu, lalu bikin api sekedar
     menyalakan malam.

     "Akan kucium dahulu, bila tangan-Mu & tanganku berpegangan!"

     II. di tangan anak-anak berilah kebebasan, dia akan menggambar
     dunia dengan garis-garis di telapaknya ; di tangan perempuan berilah
     sehelai kain dan setangkai bunga, dia akan menyulam indah
     huruf namanya dan mengabadikan wangi di ujung kukunya ;
     di tangan lelaki berilah kayu dan batu, dia akan mencari sebidang
     tanah lalu meletakkan batu sebagai tanda dan mendirikan tiang
     pertama sebuah rumah ; di tangan orangtua, dekatkan wajah dan
     bacakanlah kisah perjalanan yang dia tuliskan di sela-sela jarinya.

     "Di tangan-Nya, berikan tanganmu, berikan semua tanganmu!"




 

Friday, April 27, 2007

[Ruang Renung # 194] Harga Penyair

 HARGA penyair, ujar Asrul Sani, harus dinilai menurut buah tangannya yang terbesar dan bukan menurut buah tangannya yang paling kandas. Padanya diminta untuk memuatkan perasaan-perasaan dalam kalimatnya. Sampai ke mana ia dapat menggunakan bahasa untuk menyimpan perasaan ini yang nanti harus keluar kembali jika dibaca pembaca.

Sajak-sajak penyair Prancis Arthur Rimbaud ditulisnya pada selang usia pendek antara 16 hingga 19 tahun. Setelah itu ia tidak menulis lagi. Ia lalu mengikuti dinas tentara Hindia Belanda dan sempat ikut bertempur di Jawa. Ia melarikan diri dari kesatuannya. Ia menjadi penyeludup senjata di Ethiopia dan akhirnya dalam kemiskinan yang parah ia mati akibat penyakit di negerinya pada usia 37 tahun.

Sebagai apakah dunia kemudian mengenang Rimbaud? Sebagai pelopor gerakan Simbolisme. Sajak-sajaknya adalah peletak dasar-dasar bahkan pencapaian puncak dari faham estetika itu. Dia tidak dikenang sebagai prajurit pengecut yang lari dari kesatuan. Dia tidak dikenang sebagai penjahat pemasok senjata yang menyebabkan perang saudara di sebuah negeri, dia tidak dikenang sebagai gelandangan miskin dan kotor yang penyakitan.

Begitulah, Rimbaud diberi harga atas buah tangannya yang paling berhasil: Sajak, seperti yang dengan bijak disarankan oleh Asrul Sani. Asrul Sani bicara bukan tentang Rimbaud, tetapi sebagai pembelaan atas sahabatnya Chairil Anwar. Chairil -- saat Asrul menulis kalimat itu -- telah lima tahun dimakamkan. Dan kala itu serangan atas tuduhan plagiat pada beberapa karyanya tak juga mereda.

"Orang masih dapat menulis pelbagai disertasi perihal penyair ini," tulis Asrul. "Ia seolah-olah dapat dibandingkan dengan sebidang tanah luas yang kosong yang belum dikerjakan."[]

[Ruang Renung # 193] Yang Tak Selesai Dimaknai

 PENYAIR harus menulis puisi sampai selesai. Puisi yang belum selesai hendaknya disimpan dahulu untuk diselesaikan kelak. Puisi yang tidak selesai atau setidaknya dianggap belum selesai oleh penulisnya bukanlah puisi yang bagus. Tetapi, penyair boleh berubah fikiran. Ia boleh menganggap selesai puisi yang tadinya dinilai belum selesai. Joko Pinurbo sering menyimpan satu dua baris "puisi" yang disebutnya "telur" puisi yang harus dierami agak menetas jadi puisi. Tapi, kemudian beberapa "telur" itu dikirimnya ke surat kabar dan dimuat. Artinya apa yang dianggapnya "telur", ternyata dibiarkannya saja sebagai telur, tidak dia dierami lagi dan dianggapnya telah menetas dan menghasilkan makhluk puisi yang serupa dengan telur tadi.

Tetapi puisi yang terbaik, adalah puisi yang tak pernah selesai dimaknai oleh pembaca. Lebih tepat, ia tak akan pernah habis dimaknai. Ia selalu bisa mengulurkan benang-benang konteks ke berbagai peristiwa aktual. Dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri "Tanah Air Mata", adakah petunjuk yang jelas dia bicara soal apa persisnya? Orang bilang itu bicara soal kerusuhan menjelang reformasi, tapi sajak itu juga bisa mewakili derita bangsa Palestina. Begitulah, sajak yang amat bagus itu relevan dengan bangsa manapun yang tidak beres, yang rakyatnya tidak terayomi.

Sajak Sapardi Djoko Damono "Aku Ingin" adalah sajak yang sangat bagus. Bicara soal apa sajak itu sebenarnya? Tidak jelas. Tak ada petunjuk yang pasti. Dan begitulah seharusnya sebuah sajak yang baik. Dia tak pernah habis dimaknai. Sajak "Aku Ingin" bisa kita maknai sebagai pernyataan cinta yang luar biasa atau sebuah cinta yang apa adanya. Bisa juga ia dimaknai sebagai sebuah pernyataan cinta yang ikhlas, atau sebaliknya sebuah keinginan memiliki atau menguasai yang sangat kuat. Ia bisa dimaknai sebagai cara mencintai yang sambil lalu atau sebuah cinta yang dalam. Apapunlah, tapi yang pasti sajak itu memang menyentuh perasaan. Ia membangkitkan kangen, ia membuat cinta kita pada orang yang kita cintai seperti naik pasang tiba-tiba.[]

kamus satu kata: Rumah

rumah : yang membiru di tubuh dan kaki petualang, melangkah
         pulang ke halaman dan tangga yang ramah ; yang berburu
         jauh pergi ke gunung ke lembah, mengembalikan
         tangan ke lumpur sawah ; yang berguru pada langit lepas,
         makin bisa merangkum semilir harum bunga tanah.
         - Dia berumah pada engkau, kaukah juga padanya?

[Kisah] Kisah

MEREKA duduk berempat. Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi. Saya duduk di sebelah meja mereka. Saya mendengar mereka berdebat. Kedai kopi sedang tidak terlalu ramai. Rupanya mereka sedang bekerja sama membuat sebuah Kisah. Yang mereka perdebatkan adalah siapakah yang telah memberi sumbangan terbesar pada keberhasilan kerjasama mereka itu.

Saya saat itu sedang membaca membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Agaknya, orang yang ingin menjadi pengarang harus lebih tabah daripada yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain. Seorang dokter boleh bekerja di rumah sakit atau membuka praktek sendiri, apabila ijazah kedokteran sudah dalam kantongnya. Tidak demikianlah dengan seorang pengarang. Tidak ada universitas yang dapat memberikan ijazah sebagai pengarang kepadanya, walaupun di mana-mana terdapat Fakultas Sastra. Fakultas-fakultas itu hanya mengajarkan teori, tetapi praktek mesti dicari pengarang sendiri...

Sambil membaca saya mendengarkan juga pembicaraan di sebelah meja saya.

"Tentu saja saya yang punya peran paling penting," kata Si Tokoh. "Apakah ada kisah kalau tak ada tokoh? Tak ada tokoh, tak ada kisah," kata Si Tokoh.

"Okelah, tak ada kisah, tak ada tokoh. Tapi, kalau cuma tokoh, tanpa alur cerita, tokohnya mau bikin apa? Cuma narasi sendirian? Narasi saja sudah bisa jadi plot. Tanpa plot, tokoh mati. Tidak pernah bisa bikin kisah apa-apa," kata Si Plot.

"Sebentar dulu, Tuan Tokoh dan Tuan Plot. Anda berdua bicara soal tokoh dan plot. Anda berdua bergerak dalam cerita dari waktu ke waktu. Artinya kalian memerlukan saya," kata Si Waktu, "Anda jangan menyepelekan saya, dong."

"Ah, sebuah kisah kadang hanya menyebut 'pada suatu hari', atau 'pada zaman dahulu'. Jadi waktu sangat tidak penting. Waktu hanya pelangkap," kata Si Tokoh.

"Nah, apa yang kau sebut sebagai contoh tadi justru adalah bukti betapa pentingnya waktu. 'Pada suatu hari' dan 'pada zaman dahulu' itu adalah saya, adalah waktu. Mana bisa disepelekan," kata Si Waktu.

"Tunggu dulu. Kalian lupa sama saya?" kata Si Lokasi. "Lupa ya? Tokoh, Plot, Waktu, kalian boleh bikin kisah apa saja. Tapi kisahnya mau dihadirkan di mana?"

"Ya, bisa di mana saja. Di negeri antah berantah. Di sebuah kerajaan. Di negeri dongeng."

"Nah, di manapun itu, artinya kalian perlu lokasi. Perlu saya, 'kan?"

Saya tidak bisa membayangkan pembicaraan mereka itu akan berakhir seperti apa. Sebenarnya perdebatan mereka itu menarik sekali. Tapi, saya punya urusan lain. Saya ingin menyelesaikan membaca buku yang dulu saya beli di kedai buku di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, kedai yang dikelola oleh seniman Yoserizal Manua. Setelah menumbukkan puntung rokok ke asbak, saya membayar kopi dan saya pun keluar dari kedai itu. Saya lihat mereka berempat masih saja berdebat.

***

TENGAH malam Drusba datang ke rumah saya. Wajahnya nol. Seperti sedang kehilangan sesuatu yang penting. Saya tidak bertanya. Saya biarkan saja dia duduk bingung, saya lanjutkan membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Selain daripada itu fakultas-fakultas itu bukan hendak membentuk mahasiswa-mahsiswanya menjadi pengarang melainkan untuk mendidik agar mereka menjadi ahli sastra atau guru. Namun demikian tentu seorang pengarang yang mendapat kuliah di fakultas-fakultas serupa itu banyak manfaatnya. Kebanyakan di atara kita meski mencari sendiri. Akan tetapi pun mereka yang telah menamatkan universitas itu mesti terus mencari sebab pengarang adalah pencari ...

"San, kau tak bertanya apa masalah aku?" akhirnya Drusba buka suara.

"Tak aku tanya pun kau akan cerita sendiri. Kau kalau tak ada masalah tak akan datang ke rumahku ini, kan?"

Drusba terdiam.

"Baiklah, apa masalahmu?"

Drusba pun berkisah tentang rencanya menulis sebuah kisah. Tapi rencana itu tak pernah berhasil ia wujudkan sebab Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi yang ia ajak kerja sama membuat kisah itu diam-diam berkomplot mengkhianatainya.

Saya teringat mereka waktu berdebat di kedai kopi. Saya katakan itu pada Drusba. Itulah terakhir kali saya melihat mereka. Saya katakan itu pada Drusba. Saya tak tahu kalau mereka sebenarnya sedang ada kerjasama dengan kawan saya ini. Saya katakan itu pada Drusba.

"Lantas kemana mereka pergi?"

"Saya tak tahu."

Drusba terdiam lagi.

Lama.

"Kau baca apa, San?"

"Kau mau dengar?"

Saya membaca dengan suara keras, buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... dalam menulis hendaknya jangan ditunda-tunda. Kalau kita menunda karangan -- lebih-lebih untuk masa yang lama -- suka sulit kita mengumpulkan lagi pikiran dan semangat untuk melanjutkannya. Maka seberapa dapat menulislah dalam satu jalan. Tetapi yang paling penting, kita harus hidup dalam ciptaan, dan jika pikiran sudah begitu hidup tidak mungkinlah jiwa mati. Itulah salah satu segi yang cemerlang dalam penghidupan pengarang bahwa jiwanya tidak mati, bahkan tidak mau melempem. Jiwa pengarang selalu memancarkan cahaya yang berbinar-binar....

"Drus...." Tak ada jawaban. "Drus?"

Aku lihat Drusba tak ada lagi.

Kemana dia? []

Tiban Indah Permai, April 2007.

Thursday, April 26, 2007

[Kisah] Kotakami

      TENGAH malam pintu rumahku diketuk seseorang. Aku menduga orang yang mengetuk pintu itu adalah Drusba. Temanku yang perangainya aneh. Ternyata benar.
     "Ada apa, Drus?"
     "Aku mau beli rokok. Tolong ganti ini dong?" katanya menyodorkan flashdisk. 256 megabyte. Sebenarnya saya sedang tidak memerlukan benda itu. Saya sudah punya. Tapi, ini bukan saat yagn tepat untuk menolak permintaan Drusba. Tidak pernah ada saat yang tepat, sebenarnya. Dia sering muncul tiba-tiba pada malam hari, seperti saat ini. Dan memberi sesuatu, atau minta tolong begitu saja.
     "Buat beli rokok aja, 'kan?"
     "Ya, kasihlah lebih sedikit. Kau tahukan berapa harga flashdisk dengan kapasitas sebesar ini?"
     "Ah, kau ini. Aku sedang tidak perlu."
     "Kau kan habis dapat honor. Dua minggu lalu kulihat puisi kau di surat kabar."
     Aku pun membayar, tepatnya memberinya selembar uang Rp50 ribuan-an. Drusba pun berlalu. Kantukku tiba-tiba hilang. Aku tak bisa segera tidur lagi. Aku hidupkan laptop. Siapa tahu dapat satu atau dua puisi. Buntu. Aku teringat flashdisk dari Drusba tadi. Tapi kuletakkan di mana ya? Aku cari kemana-mana, akhirnya kutemukan di balik bantal. Flashdisk itu kusambungkan ke laptop. Saya tidak berharap menemukan apa-apa, tapi di dalamnya ada satu arsip 90 kilobyte. Sebuah kisah. Bukan. Tepatnya semacam pendahuluan sebuah kisah.
     Ini dia isinya:
     ...................
     Kotakami adalah kota kecil. Penduduknya tak banyak. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih banyak dari penduduk Kotakami. Tapi juga tak bisa dibilang sedikit. Pasti ada kota kecil lain yang penduduknya lebih sedikit daripada jumlah penduduk di Kotakami. Kalau ada pendatang dari luar kota bertanya kepada penduduk Kotakami berapa jumlah penduduk Kotakami maka jawabannya selalu sama, "Saya adalah salah satunya." Mereka menjawab begitu dengan bangga.
     Kalau pendatang itu bertanya, "Apa buktinya?" Maka jawabannya, "buktinya Anda bertanya kepada saya berapa jumlah penduduk Kotakami. Kami sendiri tak pernah bertanya seperti itu. Kami selalu ditanya seperti itu oleh pendatatang seperti Anda." Kadang-kadang jawaban itu dilanjutkan dengan menunjukkan kartu penduduk Kotakami. Kartu itu tampak seperti sepotong kaca jernih, atau kartu plastik tembus pandang. Perhatikanlah, di dalam kartu itu terlihat wajah si pemilik kartu. Bukan, bukan gambar. Wajah itu hidup.Wajah itu tersenyum, mengedipkan mata, seperti si pemilik kartu sedang bercermin di sana.
     Kotakami adalah kota kecil yang selalu tampak sibuk. Tetapi ini bukan kota yang terburu-buru. Penduduk Kotakami selalu punya waktu untuk melakukan apa saja, karena mereka benar-benar tahu harus melakukan apa saja dalam sehari. Selalu ada penduduk berjalan atau berkendaraan yang terlihat di jalan, sepanjang tiga kali delapan jam. Ya, tiga kali delapan jam. Penduduk Kotakami lebih suka menyebut waktu sehari dengan 3 kali 8 jam. Bukan 2 kali 12 jam, bukan juga 1 kali 24 jam.
     Perhitungan waktu dimulai saat matahari tenggelam. Itulah waktu 00.00 waktu Kotakami. Delapan jam pertama mereka namakan Serafiana. Delapan jam kedua mereka namakan Kanyalania. Delapan jam ketiga mereka sebut Fatsawasya.
     Sekarang mari kuceritakan tentang kendaraan di Kotakami. Jangan bayangkan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Umumnya kendaraan di Kotakami adalah sepeda, beroda dua dan beroda tiga. Yang paling banyak yang beroda tiga. Bukan, bukan seperti beca. Sepeda roda tiga di Kotakami berbeda: satu roda di depan terhubung pada setang. Dua roda di belakang digerakkan oleh mesin berbahan bakar minyak dari sejenis tumbuhan. Sepeda roda tiga itu, namanya tripeda, bisa membawa seorang pengemuda dan seorang penumpang di belakangnya.
     Tengoklah peta Kotakami. Bentuknya semakin lama semakin seperti segitiga sama sisi. Meskipun tidak pernah ada yang bisa meyakini memang seperti itulah bentuk kota ini. Bentuk itu adalah rekaan yang paling mungkin mendekati bentuk sebenarnya. Ada tiga gerbang masuk ke Kotakami, tepat di titik tengah sisi setiap segitiga itu. Di titik-titik sudut segitiga itu didirikan tugu. Mereka memberi nama Tugu Angin, Tugu Air, dan Tugu Api.
     Begitulah aku sekelumitkan kisah Kotakami.
     Lalu siapakah aku? Aku semula adalah pendatang yang akhirnya diakui sebagai penduduk di Kotakami. Mendapatkan pengakuan itu sangat tidak mudah. Itulah yang hendak kukisahkan. Aku menuliskan kisah itu di halaman-halaman berikutnya di buku ini. Aku hendak berkisah tentang beberapa orang yang sangat menarik yang kutemui yang akhirnya mereka menjadi teman akrabku di Kotakami. Aku hendak berkisah tentang dongeng-dongeng yang hidup di Kotakami. Tiap tempat punya dongeng sendiri, tiap penduduk Kotakami punya dongeng masing-masing.
     ....................
    Ini kisah karangan Drusba? Saya mengambil telepon genggam dan menghubungi nomornya. Dia tadi sebenarnya inign memberi kisah ini kepada saya? Tapi nomornya tidak aktif. Terus-terang saya penasaran. Dia ingin saya melanjutkan kisah ini? Saya cari-cari mungkin ada arsip lain di flashdisk itu.
     Percuma saya mencari, itu memang satu-satunya arsip yang ada. Saya tertarik untuk melanjutkan kisah itu. Saya harus minta izin dulu pada Drusba. Saya yakin ini kisah dia yang mengarang. Saya coba menelepon dia lagi. Tak juga terhubung.
     Ah, sudahlah. Anda yang kebetulan berjumpa dengan Drusba, tolong katakan padanya, saya ingin membuat novel dari kisah itu. Atau kalau Anda ingin melanjutkan kisah itu, mintalah izin padanya. Tapi, apa benar itu kisah Drusba? Saya tidak tahu juga. Hanya Drusba yang tahu. Kalau Anda bertemu dia tanyakanlah. Kalau saya bertemu nanti akan saya tanyakan juga padanya. []

Tiban Indah, April 2007





Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu

                                                                          : Joko Pinurbo

/1/
Waktu singgah di rumahmu, engkau dengan bangga
memamerkan beberapa celanadalam istimewamu.

Saat kau lengah, kucuri salah satu celanadalam itu.

Di rumahku, aku langsung menjajal celanadalammu itu.

/2/
Harus kuakui celanadalammu memang istimewa. Enak
dipakai dan tidak membuat anuku nyelip ke mana-mana.

Saking enaknya, aku lupa menggantinya. Padahal, seenak
apapun celanadalam 'kan harus dicuci, supaya tetap suci.

Itulah mungkin sebabnya, sekarang aku terserang gatal-gatal.
Celanadalam yang enak jadi tidak enak. Anuku pun berontak.

"Bagaimana, Tuan? Anda sudah ketularan penyakit saya?"
tiba-tiba kuterima pesan pendekmu di telepon genggamku.

Petualangan Celanadalam

Setelah puas mengembara ia akhirnya pulang juga.
"Sudah saatnya mencuci celanadalam," katanya
kepada rumah yang dia tinggalkan sendirian.

Rumahnya nyaris tak mengenalinya lagi. Untunglah,
ada tanda khusus pada celanadalamnya, "Saya sering
melihat tanda itu ketika ia dijemur di halaman depan."

Susah juga membersihkan celanadalam. Ia nyaris putus asa.

Untunglah rumahnya masih menyimpan deterjen istimewa.
"Khusus untuk celanadalam petualang yang nyaris lupa
pulang," kata rumahnya, masih juga doyan menyindirnya.

Celanadalamnya pun bisa putih kembali seperti semula.

Waktu dijemur lagi, seharian, di halaman depan, ada pencuri
yang tertarik mencolong celanadalam itu. "Wah, musnahlah
celanadalam bersejarah kita," katanya kepada rumahnya.

Kini tanpa celanadalam, dia pun semakin kerasan di rumah.

[Ruang Renung # 192] Puisi yang Terbagus

PUISI yang terbagus, kata Goenawan Mohamad, tidak memberi petunjuk. Puisi yang terbagus hanya menghidupkan potensi yang baik dalam diri seseorang, pada saat ia tersentuh membacanya.

Puisi yang terbagus? Sedang puisi saja bisa diibaratkan dengan banyak hal. Tak ada yang paling benar. Puisi terbagus? Ya, sebab kelenturan batasan puisi memungkinkan siapa saja merasa bisa menuliskannya. Semua berhak menyebut apa yang dia tulis dengan niat menulis puisi itu sebagai puisi. Tapi, tidak semua puisi berhasil. Artinya ada puisi gagal. Pasti ada puisi yang buruk, dengan begitu tentu ada juga puisi yang bagus. Ada pula puisi yang terbagus.

Puisi yang terbagus, kata Goenawan Mohamad, tidak memberi petunjuk. Bagaimanakah puisi yang memberi petunjuk itu? Contoh petunjuk yang paling gampang adalah resep masakan. Resep masakan tak lain adalah sebuah petunjuk menghasilan masakan itu. Resep masakan dibuat mudah dimengerti. Kalau yang disebut dua butir telur maka yang dimasudkan adalah dua butir telur, bukan empat atau delapan. Kecuali kalau si tukang masak hendak membuat resep dengan kelipatan porsi yang ditunjuk. Kalau garamnya seperempat sendok teh, ya harus ditaati, kalau tidak mau hasil masakannya kemasinan. Puisi tidak begitu. Puisi bukan resep masakan.

Puisi yang terbagus, kata Goenawan Mohamad, hanya menghidupkan potensi yang baik dalam diri seseorang. Dengan kata lain, puisi itu menggugah, menyentuh perasaan. Ya, potensi baik itu hidup setelah si pembaca tersentuh saat ia membaca puisi itu. Jadi, puisi yang terbagus itu diuji oleh pembaca. Semakin banyak pembaca yang tersentuh ketika membaca sebuah puisi, semakin teruji puisi itu, semakin sah ia untuk dinobatkan sebagai puisi yang terbagus.




Wednesday, April 25, 2007

Steven Kurniawan
Celanadalam Penyair

                                      : Hasan Aspahani

bolehkah aku minta celanadalammu
untuk melindungi puisi dari jamahan waktu?


Epri Tsaqib
Perjalanan Celanadalam

                                      : HAH

Setelah berkelana kesana-kemari
celanadalam itu merasa lelah,
ia begitu rindu ingin pulang

"memang apa yang begitu ingin
kau lakukan begitu sampai di rumah?"
tanya celanadalam lain yang juga
merasa hampa dengan kesepiannya

: aku ingin memeluk erat rasa malu

Celanadalam Nabi

 Waktu Nabi menjahit celanadalamnya, datanglah Jibril
"Saya datang untuk membantumu," kata Jibril.

"Ah, bikin malu saja. Saya bisa menjahit sendiri, kok," kata Nabi.

Tuhan pun tertawa.

"Sialan, aku dikerjain Tuhan," kata Jibril.
Selipkan Saya di Celanadakammu

Saya tak pantas berada di surga
saya juga tak sanggup kalau harus nyemplung ke neraka

Selipkan saja saya di celanadalammu.



Celanadalam Penggembala Bebek

Kumalnya sudah kenal semua lumpur sawah, tak apa
Bolong-bolongnya sudah menambal sendiri, berulang kali, tak apa

Dia sebenarnya hanya malu sama bebek-bebeknya
"Telurmu itu, Tuan Gembala," kata bebek yang paling tua.
"Perlu kami ajari bagaimana cara menelurkannya?"

[Kisah] Lupa

Kisah Hasan Aspahani

     KETIKA terbangun dari tidurnya yang risau pagi itu Ny. Nredom mengeluh padaku bahwa ia ingin sekali pada suatu hari yang lain dia terbangun dan dia saat itu tidak tahu sedang berada di mana dan tak tahu pada jam berapa hari apa bulan apa dan tahun berapa.
     "Kenapa begitu?" tanya saya. Saya bayangkan Ny. Nredom di seberang jalur telepon itu sedang duduk di tempat tidurnya yang mewah, lebar, empuk, dan menyimpan sejuk mesin pengatur suhu udara. Saya bayangkan dia masih dengan baju tidurnya yang nyaman, rambutnya yang sudah 10 persen putih tentu acak-acakan. Dia tak pernah puas dengan rambutnya itu.
     "Saya hanya ingin lupa sebentar saja. Saya ingin lupa," katanya.
     Ingat rupanya jadi beban Ny. Nredom.
     "Pergilah ke suatu tempat yang Anda tak tahu namanya. Tinggallah di sana tanpa menghitung berapa hari dan tak usah berencana kapan Anda kembali," kata saya. Ny. Nredom setuju. Dia minta aku mengatur kepergiannya itu. Saya bilang padanya ini semacam permainan melupakan. Jadi semuanya harus dimulai tanpa ia ketahui.
     Aturan permainannya begini: Ny. Nredom akan patuh sepenuhnya pada saya sebagai - sebutlah penguasa permainan. Saya akan membeli tiket ke kota yang dia tak perlu tahu. Dia akan menutup telinga selama di pesawat agar tak mendengar ketika awak pesawat menyebut nama kota tujuan atau sedapat mungkin dia akan berusaha tidur. Kami akan naik pesawat lagi dari kota itu. Lalu naik pesawat lagi. Kota tujuan berikutnya saya tentukan secara acak di bandara tempat kami singgah sementara.
     Ny. Nredom tak membawa bekal apa-apa. Kecuali paspor dan belasan kartu kredit. Di tiap bandara dia akan berganti pakaian yang bisa dibeli di bandara. Pakaian lama ditinggalkan di toilet bandara. Kami berusaha tak banyak bicara. Semua transaksi dilakukan lewat kartu kredit Ny. Nredom. Akhirnya di suatu tengah malam saya putuskan mengakhiri perjalanan melupakan itu. Dia menginap di sebuah hotel dan langsung tidur. Saya pulang tanpa setahu dia. Saya membawa serta paspor dan kartu kreditnya. Ini bagian dari permainan.
     Akhirnya? Mengakhiri? Justru permainan baru saja dimulai.

***
     SUDAH sebulan berlalu sejak saya tinggalkan Ny. Nredom. Tak ada kabar dari dia. Apakah dia sudah benar-benar lupa? Seminggu yang lalu petugas hotel tempat saya meninggalkan Ny. Nredom ada menelepon saya. Saya memang meminta pada pihak hotel supaya jangan bertanya apa-apa pada dia. Semua hal ihwal dia saya minta ditanyakan ke saya. Saya sudah membayar sewa kamar untuk sebulan. Pihak hotel bertanya apakah masa sewa diperpanjang. Saya langsung membayar biaya sewa untuk sebulan lagi.
     Sudah setahun berlalu. Saya kira Ny. Nredom sudah benar-benar berhasil lupa. Saya pun perlahan tak terlalu memikirkan dia lagi. Urusan Ny Nredom sejak enam bulan lalu sudah saya serahkan kepada Nn. Agnew, sekretaris pribadi Ny. Nredom. Nn. Agnewlah yang selama ini mengurusi bisnis Ny. Nredom, terutama bagian 50 saham pada perusahaan besar warisan suaminya. Ny. Nredom tidak punya anak dari suaminya itu. Dari Nn. Agnew saya tahu beberapa kali Ny. Nredom menggunakan kartu kreditnya untuk transaksi pembelian barang di beberapa toko, berobat di rumah sakit - dia memang mengidap sejumlah penyakit ringan - dan pengambilan uang tunai.

***
     DRUSBA membawa laptopnya ke toko tempatnya membeli dulu yang juga melayani layanan purnajual. Laptopnya sudah lama rusak. Sudah hampir tiga tahun. Rusaknya sebenarnya sepele saja. Cuma program pengoperasinya saja yang perlu dirakit ulang. Data-data di dalamnya masih tersimpan baik. Selama laptop itu rusak ia mengetik di komputer.
     "Beres," kata teknisi di toko itu. "Semua data masih ada."
     Di rumah, Drusba menghidupkan laptop itu dan menemukan arsip cerita Ny Nredom yang belum ia selesaikan. Belum selesai? Tunggu. Drusba melihat ada sebuah arsip bernama "kepadapengarang.txt". Drusba tak pernah merasa membuat arsip itu. Dan memang tak pernah. Dia klik saja: "PENGARANG YTH. SAYA NY. NREDOM. TERIMA KASIH SUDAH MEMBUAT CERITA SAYA. SAYA KIRA SAYA SUDAH BISA MELUPAKAN SEMUA APA YANG PERNAH SAYA INGAT. CUKUPLAH CERITA ITU. JANGAN DILANJUTKAN. SAYA SUDAH BERBAHAGIA KINI SEBAGAI SAYA YANG BARU. JANGAN DITERUSKAN CERITANYA. SAYA MOHON. TERIMA KASIH. NY. NREDOM."
     Drusba menutup arsip aneh itu. Lalu dihapusnya. "Ah, tidak penting," katanya. Kisah itu pun menurut Drusba tidak menarik. Itu sebabnya dia tak pernah menyelesaikan kisahnya itu.
"Kalau kamu mau lanjutkanlah," katanya padaku lewat surat-elektornik yang ia kirimkan padaku.
     Aku terus terang saja amat tertarik. Karena tadi pagi rasanya aku bertemu dengan seseorang yang mungkin adalah Ny Nredom yang sudah menjelma jadi seorang nyonya baru. Kepadaku ia mengaku sebagai Ny. Dremon.[]

Monday, April 23, 2007

Liburan Celanadalam

Celanadalammu dan bikiniku jalan-jalan di Kuta
"Sebentar lagi matahari tenggelam," kata bikiniku.

Ada sepasang turis sedang tenggelam dalam pelukan,
si lelaki tanpa celanadalam si perempuan tanpa bikini.

"Celanadalam & bikininya dicuri matahari," kata senja kita.


Celanadalam dari Jogja

Ada gambar matamu tepat di depannya,
kalau dipakai terbalik, matanya memejam saja.

"Daripada kelilipan, mendingan
merem seharian," kata mata itu.

Celanadalam yang Lain

Kesetiaan Celanadalam

"Bagaimana kau nanti akan mengenangku, setelah kematianku?"
"Akan kusisakan kain kafanmu, dan kujadikan celanadalamku."



Di Makam Celanadalam

Ada sepasang manusia berziarah, menabur kembang gelisah.

Kemaluan mereka mula-mula mereka ganti jadi Kebanggaan,
tapi lama-lama mereka malah jadi Kehilangan. "Tolong lihatlah
dan pastikan wahai Kuburan, apakah kami sekarang telanjang?"



Celanadalam untuk Bulan

Karena bulan terang selalu telanjang, ia copot celanadalamnya,
dan ia minta bulan mengenakannya. Tapi bulan menolak, "kau
lebih memerlukannya," kata bulan sambil mengembalikan
celanadalam yang kini bercahaya, kecipratan terang bulan.

Pelan-pelan, dia pakai lagi celanadalamnya. "Nah, sekarang,
kau bercahaya seperti Ratu Kunang-kunang," kata bulan.

Dia melenggang pulang. Diiringi lagu ribuan kunang-kunang:
"Lihatlah, lihatlah airmatanya bercahaya bagai cahaya bulan!"



Celanadalam Presiden

Ada lambang garuda di labelnya
"Ayo mana yang lebih jago, kamu
atau aku?" kata garuda
kepada burung yang tiap hari ditongkronginya



Celanadalam Penerjemah Puisi

Ada dua label di tepi jahitannya
satu berbahasa asing satu berbahasa ibu

kedua label itu suka bertengkar hebat
"kau salah menerjemahkanku!" kata label yang satu
"kau yang tak menemukan padananku" bantah label lainnya

Kadang-kadang celanadalam itu terselip juga
di halaman kamus Inggris-Indonesia

Saturday, April 21, 2007

[Ruang Renung # 191] Enam Diktum Goenawan

DIMANAKAH letak nilai puisi? Yaitu, antara kemampuannya berkomunikasi dengan pembaca dan bagaimana dia bisa menjadi ajang si penyair untuk unjuk gaya; Antara puisi terang-benderang dan puisi gelap; Antara puisi yang selempang pengumuman dan puisi yang rumit tak dimengerti; Antara puisi yang terlalu menghamba pada pembaca dan puisi yang tak peduli pada pembaca. Ada rumusan sangat bagus dari Goenawan Mohamad soal nilai puisi dan bagaimana puisi harus bisa berkomunikasi dengan pembaca. Saya menyimpulkannya dalam enam butir dan memberi penjelasan --- tepatnya penafsiran semampunya --- sebagai berikut ini:

Pasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi. Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada orang lain, pembacanya.


Penjelasan: Penyair percaya bahwa pembaca puisinya bisa menerima bahkan menikmati puisi dan pesan yang ada dalam puisinya. Niat awal dari penyair adalah keinginan untuk berkomunikasi dengan pembacanya lewat puisi, bukan sekadar unjuk gaya, berakrobat kata-kata. Ini tentu saja bukan sebuah komunikasi yang praktis, seperti komunikasi kita dengan penjaga kios rokok di tepi jalan, ketika kita ingin beli rokok.

Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada dalam komunikasi.

Penjelasan: Pencapaian penyair tidak diukur dari seberapa mudah atau seberapa susah puisinya berkomunikasi dengan pembacanya. Puisi harus secara wajar berkomunikasi. Komunikasi itu adalah kemutlakan karena puisi bukan seperangkat kata untuk tebak-tebakan juga bukan rumus kode judi buntut. Prestasi penyair atau kematangan penyair tercapai apabila penyair bisa memeragakan gaya ucap yang khas dalam puisi-puisinya. Gaya ucap itu pun harus tumbuh secara wajar, bukan gaya yang sekadar beda dari gaya penyair lainnya.

Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang tidak pantas dihargai.

Penjelasan: Komunikasi dalam sajak adalah komunikasi yang iklas dan wajar. Bukan komunikasi yang memaksa. Penyair tidak lebih tinggi posisinya di hadapan pembaca. Penyair bahkan tidak berada di hadapan pembacanya. Ia bersisian dengan pembacanya. Karena itu sajak yang memaksa --- dengan demikian juga penyair yang menuliskan sajak itu --- tidak pantas mendapat penghargaan.

Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya bagi dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair bukanlah orang yang berada pada posisi untuk mengelabui pembaca puisinya. Penyair bukan seorang yang mengacaukan kepingan fuzzle untuk disusun kembali menjadi gambar yang utuh oleh pembacanya. Penyair adalah ibarat pelukis. Dia bisa melukis obyek dengan gaya abstrak, realis, atau figuratif. Lalu dia memasang lukisannya di ruang pameran. Pembaca adalah orang yang mengamati dan menikmati lukisan itu tanpa dihalang-halangi oleh garis pengaman dan dengan pencahayaan yang cukup. Tentu saja si pelukis boleh saja menyimpan sendiri maksud atau niat awal yang menggerakkannya melukis obyek lukisannya. Tapi bukan itu yang membuat lukisannya bernilai. Pelukis harus bergirang hati dan ikhlas menerima tafsir yang bebas dan bermacam-macam dari penikmat lukisannya. Lukisan yang baik seharusnya selalu menggerakkan hati siapa pun untuk menikmati dan memaknai.

Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi percaya pada dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair dan sajaknya memang diberi lisensi puitika untuk menyimpangkan, menciptakan, dan menggandakan arti dari gramatika yang lazim. Tapi jurus-jurus itu dipakai untuk membuat asyik dan menarik komunikasinya dengan pembaca, bukan sekadar sengaja bikin gelap dan membuat pembacanya merasa bodoh dan tak berdaya. Kebanggaan penyair bukanlah apabila sajaknya susah dimengerti oleh pembaca.

Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara "kegelapan-supaya-tidak-dimengerti" dan "tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca", tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.

Penjelasan: Ada titik di ujung kanan, dan titik lain di ujung kiri. Di antara kedua titik itulah penyair harus meletakkan sajaknya. Tidak pernah ada titik yang pasti. Proses menyair adalah percobaan yang terus-menerus. Ada percobaan yang berhasil, ada yang nyaris berhasil, dan ada yang gagal. Penyair hanya harus menyadari ada dua titik itu dan harus pula ia sadar akibat-akibat yang bisa kena pada puisinya bila ia melampaui titik itu.

* Disarikan dari "Pada Mulanya adalah Komunikasi" tulisan Goenawan Mohamad dalam buku "Kekusastraan dan Kekuasaan", PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.

Friday, April 20, 2007

Yang Dicopot & Yang Dicampakkan

"Ini menyiksa sekali," keluh Hawa kepada Adam
sambil mencopot dan membuang  celanadalamnya.

Tapi, setelah persetubuhan pertama, malam itu,
Hawa bertanya pada Adam, "mana celanadalam,
yang kemarin kucopot dan kucampakkan?"



Teks Iklan Celanadalam

 Tahukah Anda, kenapa Hawa merindukan Adam?

Tanggalkan Celanadalam Anda

Peringatan di pintu depan
sebuah rumah ibadah: Sebelum
masuk, tanggalkan celanadalam
Anda! Tinggalkan di tangga.

Khutbah abadi pemuka agama
di mimbar sebuah rumah ibadah:
Lupakan celanadalam Anda yang
tadi Anda tinggalkan di tangga.






Celanadalam yang Paling Dalam

Telah kulepaskan celanadalam yang paling dalam
ah, kenapa aku belum juga bisa merasa telanjang?


Tugas Pertama Adam

"Saya hendak mencari dimana Hawa berada, Tuhan."
"Bukan, pertama harus kau temukan celanadalam!"


Di Toko Celana Dalam

"Celanadalam model apa yang paling cocok
untuk saya?" tanya seorang lelaki tua, kepada
nona pramuniaga.

"Celanadalam sekali pakai, habis dipakai
langsung dikuburkan, bersama pemakainya
sekalian," jawab sang nona pramuniaga.






Thursday, April 19, 2007

Celanadalam Siapa?

Aku masuk ke dalam celanadalam
sekarang aku berada di dalam celanadalam

wah, ini celanadalam-Mu atau celanadalam-Ku?



Bertukar Celanadalam

Setelah berkencan habis-habisan
kami bersalaman lalu bertukar celanadalam
dia menjenguk ke dalam celanadalamku
aku menjenguk ke dalam celanadalamnya.

Bagaimanapun kami masih saja saling curiga.



Penjaga Celanadalam


Pintu luar celana dalam tidak lagi terkunci
"kuncinya di bawa pergi penyewa terakhir,"
kata juru kunci tua yang setia.

Sejak itu tak ada lagi yang mau
menghuni ruang dalam celana dalam
juru kunci tua pun tak pernah berani
melongok ke dalam celanadalam.



Warna Celanadalam

Apa warna celanadalamMu?
tanyaku pada-Nya

"Lihat saja sendiri," kata-Nya
sambil memlorotkan  sarungku



Celanadalam Penyair

"Mana celanadalamku?" tanya penyair
kepada keranjang pakaian kotor.

"Mungkin sedang mencuci diri, menghilangkan
daki setelah dipakai berhari-hari,"

"Wah, gawat. Kemarin ada puisi
hebat kucatat di bagian dalamnya."


Yang Baru & Yang Istimewa

"Aku akan datang bersama celanadalam baru,"
kata lelaki itu mengirim pesan kencan pada pacarnya

"aku akan menyalakan celanadalam
istimewaku sebagai tanda di depan jendela," balas pacarnya

tapi kencan batal total
si lelaki diragukan kebaruan celanadalamnya
si perempuan tak bisa juga menyalakan
celana istimtewa di depan jendelanya

"Dasar pasangan amatiran,  kencan kok pakai celana," kata
telepon genggam yang mengirim dan menerima pesan kencan. 


Dari Sebuah Surat-e

Salam hormat, saya (disamarkan), tapi Bapak bisa memanggil saya (disamarkan), saya saat ini berkuliah di (disamarkan), jurusan Sastra Inggris. Melalui e-mail ini saya ingin memohon izin kepada Bapak untuk menggunakan salah satu karya puisi terjemahan Bapak sebagai bahan untuk tugas kuliah saya. Puisi yang saya maksud adalah puisi Dylan Thomas. Yang akan saya lakukan terhadap puisi itu adalah melakukan analisis terhadap terjemahan puisi dalam Bahasa Indonesia yang Bapak buat.

Tentu saja saya setuju. Kalau memang terjemahan itu ditelaah, saya akan senang hati menunggu hasilnya.





Wednesday, April 18, 2007

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P

PAGUT: kita berpeluk-lepas, tidak juga bayang
yang berdekapan, hanya letih tangan mengulur,
menjulur, seperti harapan yang meminta, tak
pernah sampai pada apa yang ingin benar-benar
terasa. Aku: pagar terkunci, kau: pintu enggan
membuka. Jalan di halaman menyemak setinggi
badan. Sedang melambai pun aku telah enggan, kau
tak akan menoleh: terus lurus menatap kesunyian.

PAHUT: pohon itu telah tinggi sekarang, dulu
kutanam anakan yang kubawa sepulang dari
sebuah petualangan yang tanggung. Di halaman
kita berduaan, sepasang batu dingin pada rabaan.
"Dia akan tumbuh, lebat, disiram musim yang
mengancam," ujarku. Kau seperti memindahkan
bayangan kembaran pohon itu ke hatimu. "Kau
tahu di mana aku hendak melebatkannya?"
tanyamu. Aku menggeleng. "Yaitu," katamu,
"pada suatu hari ketika aku harus menetak batang
lalu memanjati tingginya, memastikan berapa
jauh sudah kau meninggalkan aku."

PAGAS: Maka, pulanglah lelaki yang bimbang.
Mata yang tajam, sepi yang kejam. "Dengan apa
aku hendak memangkas semak ini? Memenggal
sesat jalan ini?" Dari jendela rumah, kulihat kau
menyalakan pelita, bau minyak kelapa, dan kayu
bakau kau apikan di tungku dapur. Aku melihat
ke kebun di samping rumah, seperti pisang matang
sebatang, minta ditebang.

PANCAKA: Tapi aku telah jadi lelaki pemuja kaki.
Pemuja sepatu. Tak mengenali lagi bau api. Hanya
ingat kobar yang menjilat, di tempat membakar mayat.
Ketika tengah malam hampir, perempuan melempar
bakau terakhir, ia rapatkan semua jendela, ia buka
hati bagi putus asa. Dia tahu, jika mati nanti, ada
yang akan datang dengan sesal yang bakal kekal.

Semak Menahanku dari Laju Mengejar Engkau

matahari menyala, pagi menyala, langit menyala
ini semarak membangun dari lalai yang memukau
kupagas segala, kutebas segala, kutimpas segala
ini semak menahanku dari laju mengejar engkau

kutebarkan kabut seperti cahaya mawar kemilau
tamanku mengerling ke ufuk fajar baru memulai
kukabarkan kau bagai penawar harga kemarau
tanganku lama kering dari memeluk hujan-badai

Tuesday, April 17, 2007

UJIAN NASIONAL PUISI

Penyair itu lulus dengan nilai 9
padahal waktu ujian dia tertidur lelap
"Saya kan nyontek dari mimpi," katanya.
PUISI MATI

aku mau bunuh diri
yang mati malah puisi

padahal kami sudah janji
saling menziarahi.



KUBURAN


"kita akan pergi ziarah,"
kataku pada puisi
"Siapa sudah yang mati?" tanya puisi.
"Di kuburku, batu nisannya
tertulis engkau: Puisi," kataku.



ZIARAH

aku lagi tidur
puisi datang lewat mimpi pintu belakang
katanya, "aku mau kembali ke kuburanku
di dalam tidurmu



KUBURAN PUISI


"Aku datang untuk membacamu," kataku
"Mana bisa begitu.
Kau harus mati dulu," kata puisi.



AKADEMI PENYAIR DALAM NEGERI

Dadanya sudah kebal diterjang sepi
tangannya selalu terkepal menggenggam sunyi
dia tidak lulus, karena keburu dijemput
oleh Malaikat Pencinta Senyap

"Aku mau diwisuda oleh-Nya, dan
menjadi Pegawai Negeri Surga, " katanya.



PELAJARAN SEKS PERTAMA
DI MALAM PERTAMA



Mempelai pria membaca
mantra pembuka pintu gua

Mempelai wanita mengingat tips
di majalah wanita:
cara mudah melunakkan daging.

Sunday, April 15, 2007

Parodi Cinderela

/1/
MALAM selesai, sisa pesta belum dibereskan,
semua perempuan undangan menanggalkan sepatu,
meninggalkan yang sebelah kanan.

"Bersihkan, dan bakar saja segalanya," kata Pangeran,
"saya tak akan lagi terpedaya kisah dari dongeng lama."

/2/
"APAKAH itu harus saya musnahkan juga?" tanya pelayan,
menunjuk pada sebuah kutang sutra terpercik darah
tertinggal di tajam jeruji besi, di pagar gerbang istana.

/3/
DI kamarnya, Pangeran menciumi wangi susu bercampur
bau darah dari dada perempuan luka, yang tak dikenalnya
pada dada ibunya. "Siapakah perempuan yang semalam
pulang dengan gaun koyak di muka, bertelanjang dada?

Di kamarnya, Cinderella memegangi nyeri di dada. Seperti
dirasakannya, dengus dan hirup nafas seorang lelaki, dan
luka lain, luka pertama yang nanti hendak ia persembahkan.

Tiba-tiba dia rindu pada suatu kelak, ketika ia menyusui
anak lelakinya sendiri. "Wajahnya seperti Pangeran yang
kulihat di pesta istana, yang semalam hanya kusaksisan
dari kejauhan, dari luar pagar, dari balik halangan."

/4/
AKHIRNYA dongeng pun berakhir bahagia. Cinta yang
sederhana mempertemukan Pangeran dan Cinderella, setelah
lama digelar Sayembara Kutang Sutra, dan para perempuan
bersiasat mencakari dada sendiri, melukai payudara.

[Ruang Renung # 190] Mengisi Hidup, Menjaring Inspirasi

DARI mana datangnya inspirasi untuk sebuah puisi? Bagaimana mendapatkan inspirasi? Inspirasi itu harus ditunggu atau diburu? Kenapa seringkali kalau diburu-buru inspirasi malah mati? Kenapa banyak peristiwa hebat dan unik tidak menggerakkan seseorang menulis puisi? Kenapa ketika seseorang sudah bersiap dengan komputer aktif dan tangan siaga di papan ketik, eh puisi tak juga tercipta karena inspirasi tak datang-datang juga? Inspirasi puisi itu berasal dari rasa hati atau dari nalar pikiran?

Apakah hidup yang rutin harus dilabrak agar inspirasi mengalir? Apakah penyair harus menjadi bengal agar dari kebengalan lakunya itu ia mendapatkan inspirasi? Atau penyair harus merenung sendiri, menyepi menjauh dari kehidupan? Apakah penyair harus menghindari keteraturan hidup? Apakah kemoratmaritan hidup adalah lahar subur bagi inspirasi?

Saya tidak bisa tidak kecuali setuju saja dengan apa yang dipaparkan oleh W.S. Rendra. Soalnya, kata beliau, bukan bagaimana mencari inspirasi itu, tapi bagaimana pengarang harus membuat hidupnya berisi, sehingga ia akan selalu kaya akan rangsangan-rangsangan untuk membuat karangan-karangan. "Ia harus selalu berhadapan dengan masalah," kata Rendra.

Ya, saya sepenuhnya setuju pada Tuan Rendra. Buatlah hidup kita berisi, dan kita harus senantitasa berhadapan dengan masalah. Itulah kuncinya. Kita tidak mencari masalah, sebab hidup toh selalu bermasalah. Menghadapi masalah, berarti menyadari bahwa masalah itu ada dalam hidup kita. Kita tidak perlu menghindarinya, kita tidak boleh mengabaikannya, kita jangan pura-pura melupakannya. Tapi kita juga tidak boleh berlarut-larut dalam sebuah masalah.

Ya, hadapilah masalah. Dengan gagah tapi tidak dengan pongah. Dengan begitu, hidup kita akan berisi. Terus-menerus terbaharui. Dari kehidupan yang penuh dan membaru itu, kita menjadi kaya dan rangsangan untuk membuat karangan: puisi-puisi dan kisah-kisah, terus mengada. Terus mengada, tapi tidak mengada-ada.

Friday, April 13, 2007

Sastra = Olahbahasa

Kenapa bertanya, "sastra itu rekabahasa ataukah rekaarti?" Seolah bahasa dan arti atau makna adalah dua hal yang terpisah. Padahal ilmu linguistik merumuskan bahasa sebagai sistem yang memadukan dunia bunyi dan dunia makna. Bahasa bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara kacau tidak beraturan. Artinya makna tidak bisa dipisahkan dari bahasa.

Bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatika, dan subsistem leksikon. Ketiga subsistem itulah yang menyusun struktur sistem bahasa. Pada ketiga subsistem itulah berpadu dunia bunyi dan dunia makna. Bayangkanlah ada dua lingkaran besar. Satu lingkaran adalah dunia bunyi, dunia "fonetik". Lingkaran lain adalah dunia makna, dunia "semantik". Pada irisan kedua lingkaran itulah dibangun struktur bahasa yang tersusun dari tiga subsistem tadi. Ketika subsistem tadi tidak bisa tidak padanya terkandung aspek semantis dan fonetis, aspek makna dan bunyi.

Lantas apakah sastra? Saya lebih suka memaknainya sebagai terjemahan dari kata "literature". Secara harafiah artinya "cirikhas yang dikenali lewat tulisan". Kata itu berasal dari bahasa Latin "littera" yang berarti "ciri khas tulisan seseorang".

Jadi sebenarnya yang hakiki pada sastra adalah "cirikhas" atau karakter. Bentuk sastra bisa macam: puisi, prosa, drama, dan esei. Dan bila pertanyaanya, "apakah sastra itu rekabahasa?", saya bilang ya, apapun makna dari rekabahasa yang Anda sebutkan itu. Saya memaknainya olahbahasa sajalah. Kata "reka" sepertinya sudah merosot nilainya terpejorasi bersama kata "rekayasa" yang kini sepertinya berkonotasi pada "akal-akalan untuk tujuan buruk". Seperti kita rasakan pada kalimat, "Ah, itu sudah direkayasa..."

Ya, saya menyikapi sastra sebagai olahbahasa. Tujuannya? Pertama, supaya bahasa saya sehat, dan keterampilan berbahasa saya menangkas dan menerampil. Kedua, saya bisa mencapai apa yang terkandung pada makna dasar kata "literature", yaitu "ciri khas". Saya menulis sajak dan dengan sajak itu saya ingin menciptakan "ciri khas" bahasa dalam puisi-puisi saya. Ini mungkin bisa dipadankan dengan apa yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri sebagai "mencipta bahasa".

Thursday, April 12, 2007

Ben Abel menulis sajak berikut ini sebagai tanggapannya atas tulisan saya Ruang Renung # 187.

Bedebah Cinta & Rayuan Penyair
[demi hasan aspahani]

ketika ia diperkosa
dan perempuannya terkena aib
dan rahim tercipta
si jabang menari-nari di dalamnya
sementara di luar sana
orang menuding-nuding bundanya;
pembawa malapetaka
akan melahirkan anak haram, jadah!

ketika hukuman orang ramai
tak cuma sampai disitu
di padang sangar bawah matahari
tubuh indah bunda
dicabik sambit batu-batu

tangan penyair bergetar
matanya dibutakan, terima
namun hatinya benderang
merekam dan menerkam semua

di kawah bingar suara
hujan batu dan pekik hina
tubuhnya hancur tak terkata

sang penyair tegar sehat sentosa
dengan seluruh darah jiwanya
tertimbun tumpukan semua saksinya

terpotong lidah
untuk berkata: itulah cinta

kusampaikan semua kepadamu
sebagai rayuan penyair

sebab akulah si anak haram
bunda yang mati dibatu khalayak

jika bunda musnah karena pemerkosa
lalu penyair mati karena kenyataan

aku kan hidup seribu tahun lagi
karena cinta
dan puisi
isi sanubari

[ben abel, Apr.2007]

Sajak-sajak Komik di Koran Tempo

8 sajak saya yang bertema komik terbit di Koran Tempo, 15 Januari 2006. Berikut ini satu di antaranya.

Komik Strip, 2


BAGAIMANA menyusun kau, aku dan langit
dengan pendar selembut satin
dan balon percakapan yang penuh jerit?
--di meja gambar: potret pengantin--

SKETSA robek, bergumpal kertas
pensilku patah, tinta hitamku tumpah
"Aku harus belajar lagi membuat garis,
aku harus melupakan komik yang lirih."

--GAMBAR saja close-up malam, ujarmu
gambar saja arsir-arsir kelam--
aku pun mencelup kuas ke hitam matamu
tunggu, sayang, jangan dulu terpejam.

[Ruang Renung # 188] Benda Ajaib di Pelelangan Unik

SAJAK tidak menawarkan kebenaran dengan harga mati. Sajak mungkin seperti sebuah benda ajaib di sebuah pelelangan yang unik. Ada penawar tertinggi dengan harga tertinggi, ada penawar yang menaksir dengan harga rendah, ada peserta lelang yang menganggap benda itu sama sekali tak berharga - dan dia tidak mengajukan penawaran. Semua peserta lelang menaksir semampunya, sesuai kesanggupannya menawar dan memberi nilai pada benda ajaib yang tengah dilelang itu. Ketika juru lelang berkata, "terjual!" maka semua peserta lelang membawa pulang benda yang sama yang nilainya sesuai dengan penawaran masing-masing.

[Ruang Renung # 189] Lima Paradigma Subagio

Pasal 1. Jangan menyekatkan perhatian hanya kepada diri sendiri.

Penjelasan: Perhatikanlah diri kita, tapi perhatian kita jangan hanya tersekat pada kepada diri sendiri. Sehebat apapun, kita hanya punya satu kehidupan yang amat sempit dibandingkan betapa banyak kehidupan di luar diri kita. Perhatikan kepada kehidupan lain di luar diri kita akan memperkaya kita dan juga membuat lebih mengenal siapa kita sesungguhnya.

Pasal 2: Sajak yang hanya berisi sedu-sedan dan keluh-kelah bukan sajak yang cukup berarti.

Penjelasan: Sajak seringkali suka menempuh jalan sunyi. Sajak kerapkali berisi perayaan atas sedih dan duka. Sajak acapkali seperti meruapkan aroma darah yang menetes dari hati yang luka. Tapi sajak yang baik tidak menjadikan kesunyian, dukalara dan luka itu sebagai alasan untuk jadi cengeng, tersedu-sedu dan mengumbar keluh-kesah. Sunyi, duka dan luka di dalam sajak hendaknya bisa mengingatkan bahwa memang mereka adalah bagian mutlak dari kehidupan. Sunyi, duka dan luka di dalam sajak yang penuh bermakna mampu menghadirkan alasan bahwa hidup memang berharga untuk dilanjutkan.

Pasal 3: Penyair harus mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.

Penjelasan: Mempertalikan diri berarti kita menaruh perhatian, meluangkan waktu untuk melihat gerak-gerik dunia: alam, binatang, benda mati, langit, dan manusia, sesempatnya. Pasti ada yang luput dari perhatian kita, tapi selalu saja ada yang hanya kita sendiri yang melihat gerak-geriknya. Kita yang memberi makna pada gerak-gerik yang remeh itu. Setiap kali menemukan sesuatu dari dunia luas yang sedang diperhatikan maka kita sedapat mungkin terpandang juga pada diri sendiri, yang ternyata ah betapa kecilnya.

Pasal 4: Tema cinta abadi dalam sajak.

Penjelasan: Kupaslah sajak sampai ia telanjang bulat, maka yang tersisa adalah Cinta. Bawalah sajak jauh mengembara, maka ia selalu bisa dikembalikan pada Cinta. Yaitu Cinta pada indahnya kebenaran, kedamaian, dan damba untuk mewujudkan keadaan terbaik yang paling mungkin untuk dicapai.

Pasal 5. Sajak adalah catatan pengalaman batin dalam menangkap dan merasakan cinta.

Penjelasan: Cinta yang ditangkap dan dirasakan oleh penyair adalah pengalaman batiniah. Menulis sajak adalah menjasmanikan rasa cinta itu. Sajak adalah catatan dari apa yang dialami oleh batin yang merasakan cinta itu. Di dalam sajak penyair tidak melulu hanya mencatat cinta, cinta, cinta dan cinta itu saja. Dalam sajak, cinta pun kadang hanya hadir sebagai rasa. Ia bisa dirasakan dari apa-apa yang dicatatkan oleh penyair. Sajak yang baik bisa menawarkan pengalaman batin bagi pembaca, dan si pembaca juga bisa menangkap dan merasakan cinta yang ada di dalam sajak itu atau bahkan cinta lain yang berada tidak pada sajak itu.

* Diolah dari "Kata Pengantar Penyair", Subagio Sastrowardoyo pada buku "Dan Kematian Makin Akrab", PT Grasindo, 1995.

[Ruang Renung # 187] Sajak, Cinta dan Penyair.

1. Apabila kau mempermainkan cinta, untuk mendapatkan ilham bagi puisi-puisimu, itu artinya kau sebenarnya juga sedang memperolok-olok puisi-puisimu, dan merendahkan dirimu sendiri.

2. Apabila kau memanfaatkan puisi untuk mendapatkan cinta, maka kau akan kehilangan keduanya: kau tak akan pernah mendapatkan cinta sejati, dan puisimu hanyalah sekedar puisi palsu.

3. Tuliskanlah sajak-sajak cinta terbaikmu bagi orang yang benar-benar kau cintai. Karena cintamu, kau akan menghasilkan sajak-sajak sejati, dan kemudian karena sajakmu itu, dia yang kau cintai tahu betapa murni cintanya engkau padanya.

4. Cinta dalam sajak cinta sebaiknya dihadirkan tidak hanya dalam tubuh sajak, tetapi yang terbaik adalah ia juga hadir mengada dalam jiwa sajak.

5. Bagaimanakah cara memuji orang yang kau kasihi di dalam sajak cinta? Caranya, jangan pujian itu merendahkan dirinya di hadapanmu, dan jangan pula merendahkan dirimu di hadapannya. Pujianmu harus mendekatkan dirimu dan dirinya.

6. Sajak cinta tidak hanya berisi pujian. Sajak cinta harus dapat menempatkan cinta itu di tempat terbaik dalam kehidupan. Cinta tempatnya memang di dalam kehidupan yang luas, jangan sampai sajak cinta menjauhkan cinta dengan menyempitkannya di dalam cinta itu saja.

7. Ketika kau menulis sajak cinta karena kau mencintai dia, dan dia juga saat itu mencintaimu, maka kau mestinya tetap bisa menuliskan sajak cinta karena kau tetap mencintai dia, walaupun dia dengan alasan yang bisa kau terima, tidak lagi bisa meneruskan cintanya padamu.

8. Kepada orang yang kau cintai dengan tulus, dan dia pun tulus mencintamu, sajak terbaik yang bisa kau berikan adalah: Cintamu! Ya, cintamu itu.

9. Pada dasarnya seluruh sajak digerakkan oleh Cinta. Sajak tentang kematian adalah penghayatan atas kecintaan kepada kehidupan. Sajak tentang negeri yang buruk adalah pernyataan cinta agar negeri buruk itu menjadi lebih baik. Apatah lagi sajak tentang Cinta.

10. Sajak adalah pernyataan Cinta penyair kepada kehidupan yang ia cintai, ia hayati, ia beri makna pada setiap jejak yang di mata orang yang tidak mencintai kehidupan adalah jejak yang sia-sia yang tak berharga utnuk diberi makna.

11. Penyair dan sajak seharusnya dipertemukan oleh Cinta. Tanpa cinta penyair dan sajak masih bisa hidup bersama. Tetapi sajak yang dihasilnya adalah sajak yang berpura-pura, dan penyair yang hidup bersama sajak yang berpura-pura adalah penyair yang sibuk berpura-pura betapa ia mencintai sajaknya. Padahal dengan membaca sajaknya saja orang sudah langsung bisa menyimpulkan kepura-puraan cinta si penyair pura-pura itu.

Wednesday, April 11, 2007

[Ruang Renung # 186] Penyair dan Badut

Setelah memenangkan sebuah pertempuran yang hebat, seorang raja di sebuah kerajaan ingin menggelar sejumlah acara untuk memperingati kemenangan itu. Para pekerja mendirikan sebuah panggung besar di alun-alun kerajaan.

"Panggil badut yang paling lucu," kata Raja itu. Maka malam itu rakyat kerajaan itu pun berkumpul di alun-alun tertawa oleh sebab lawakan-lawakan sang badut. Raja ikut menyaksikan lawakan itu, ikut tertawa, lalu di tengah lawakan ia menyampaikan pidato pamit, dan meminta badut untuk meneruskan lawakan.

Esok pagi, Sang Raja memanggil Perdana Menteri agar memanggil pujangga terbaik. "Saya ingin kemenangan kita dalam pertempuran terakhir yang kita menangkan itu diabadikan dalam kisah dan syair," katanya. Maka dipanggillah sang pujangga.

Berhari-hari kemudian raja mengisahkan pertempuran yang ia pimpin dan ia menangkan itu. Si pujangga mencatatnya. Raja menceritakan pertempuran batinnya selama pertempuran itu berkecamuk. Si pujangga mencatatnya. Raja menyebut nama-nama prajurit terbaiknya yang gugur di medan tempur. Si pujangga mencatatnya.

Apa yang dicatat oleh si pujangga kemudian digubah menjadi syair, menjadi hikayat, menjadi riwayat, dan menjadi babad. Pujangga itu diam-diam menyelipkan juga teguran, dan secara halus mengingatkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sang raja, dan ancaman perang berikutnya.

Begitulah, badut dan pujangga menjalankan peran yang berbeda. Meskipun, ada juga badut yang karena ketajaman nuraninya, dan keberaniannya diam-diam juga menyelipkan teguran dan peringatan bagi raja yang berkuasa. Meskipun badut dan pujangga sama-sama bisa menghadapi ancaman hukuman dan kehilangan nyawa karena selipan-selipan teguran dan peringatannya kepada Raja si penguasa itu.

Begitulah. Selalu saja ada pujangga yang mengharamkan kakinya menginjak istana. Ia mencatat, menyairkan apa yang ia lihat di tengah kehidupan rakyat. Selalu juga ada badut yang hanya ingin mendatangi sekelompok petani di sore hari, di bawah pohon tempat bernaung, di sana si badut mengisahkan leluconnya dan petani membagi tawa dan bekal teh pahit terakhir yang tersisa di ceretnya.

Monday, April 9, 2007

[Ruang Renung # 185] Mencapai Sajak

Dia membaca lagi peringatan Subagio Sastrowardoyo: Penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.

Dia baca lagi sajak-sajaknya. Dia bertanya-tanya, mana sajak-sajaknya yang justru menyekatkan dirinya sendiri pada dirinya sendiri? Mana sajak-sajaknya yang hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah? Mana sajak-sajaknya yang menawarkan cukup makna?

Dia bertanya-tanya, bagaimana caranya mengatasi perhatian pada diri sendiri itu? Lalu bagaimana dia mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas? Mungkin begini: Perhatikanlah dirimu sendiri, secermat-cermatnya. Subagio menulis "mengatasi" bukan "melepaskan" atau "meniadakan", tapi "mengatasi". Sajakmu tentu berpunca dari dalam dirimu. Rangsang boleh datang dari luar. Sajak adalah tanggapanmu atas rangsang itu. Cara menanggapi itulah yang khas pada sajak dan pada tiap penyair.

Bila kau kesal atas perilaku buruk politikus yang duduk di kursi enak atas nama rakyat, bukan lantas kau harus menumpahkan kata-kata makian saja dalam sajak-sajakmu. Bukan dengan cara itu kau bisa sudah melaksanakan amanat Subagio. Bukan begitu caranya bila kau ingin merasa telah mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas. Kalau itu yang kau lakukan, apa bedanya dengan surat pembaca di surat-surat kabar atau majalah itu? Sajak bisa dan harus mencapai lebih dari itu. Sajak harus mencapai Sajak, mencapai Puisi.

[Ruang Renung # 184] Melapukkan Daun, Kelopak dan Ranting

PENYAIR adalah dia yang duduk di sebuah kursi di bawah pohon berbunga. Dedaunan jatuh, ia pandangi. Kelopak jatuh, ia perhatikan. Ranting patah, ia saksikan. Beberapa daun, kelopak dan ranting ia pungut, ia kumpulkan.

"Sajak yang baik bukanlah, rangkaian dari daun, kelopak dan ranting yang saya pungut ini," katanya. Dan ia benar. Sehebat apapun dia merangkaikannya, rangkaian tadi tetaplah benda mati. Dia pernah ada di pohon itu, tapi dia tak lagi hidup bersama pohon itu.

Sajak yang baik dihasilkan ketika dia kumpulkan serasah dedaunan, jatuhan kelopak, dan patahan ranting. Lalu dia menunggu, ia lapukkan menjadi humus. Pada humus yang menuju kematangan, masih bisa dibedakan mana bahan yang berasal dari daun, kelopak, dan mana yang berasal dari ranting.

Pada humus yang sempurna, tak penting lagi bagi kita untuk membeda-bedakan bagian-bagian itu. Yang penting adalah humus bisa ditaburkan kembali ke pohon asal darimana dia berasal atau pohon lain, atau disebarkan untuk menyuburkan rerumputan. Sama saja, humus akan menyuburkan tanaman apa pun.

Sunday, April 8, 2007

Yang ke-7 di Kompas

Sejak Desember 2005 Kompas memberi kesempatan banyak sekali pada saya untuk menyiarkan puisi-puisi saya. Berikut ini jejaknya:

Kompas, 8 April 2007
Kompas, 7 Januari 2007
Kompas 15 Oktober 2006
Kompas, 10 September 2006
Kompas, 18 Juni 2006
Kompas, 26 Februari 2006
Kompas 18 Desember 2005 (tak dimuat di situs Kompas).

Terima kasih, Kompas, dan Hasif Amini, redaktur puisi. Mana Tilas-nya lagi, Bung?

Saturday, April 7, 2007


[Proyek 100 Soneta Neruda # 022] Gelak Tawa, Jilat Kilat, Sambar Halilintar

Komentar itu selengkapnya begini:
jamil @ 10:07PM | 2007-04-06| permalink

boleh nanya nggak? sajak-sajaknya neruda yang lengkap (100 soneta) yang sudah berbahasa Indonesia kira-kira sudah ada/dibukukan belum? kalau iya bisa saya dapat dimana? thanks buat bantuannya

Saya jawab:
HAH @ 3:48PM | 2007-04-07| permalink
belum ada. mudah-mudahan terjemahan ini bisa saya selesaikan dan ada penerbit yang berminat. belilah nanti. Thanks.

Ya, setahu saya memang belum ada. Makanya saya menerjemahkannya. Buat apa? 1. Buat saya sendiri. 2. Buat mengisi blog ini.  Butir pertama penjelasannya:  1. Saya ingin belajar.  2. Saya ingin menikmati keindahan soneta beliau. 3. Saya ingin belajar bahasa Spanyol.  4. Siapa tahu ada penerbit berminat menerbitkan. 

Jadi, nikmatilah:

Soneta ke-51

Gelakmu mengingatanku pohon yang terkuak,
dijilat kilat, disambar halilintar perak
menyala dari cakrawala, memecah gelas kaca,
mengiris-iris pohon itu dengan pedangnya.

Hanya di tinggi puncak itu dedaunan bersalju
ada riang tawa bagai gelakmu yang kucinta itu,
angkasa tertawa, melepas gelak tinggi di sana,
begitulah, kekasih, seperti pinus araucaria,

oh pegununganku, perempuan vulkan negeri Cile
tebaskan tawamu menembus bayang-bayang itu,
pada malam, bagi pagi, dan madu rembulan

dan burung-burung dedaunan luncas ke udara
ketika gelak tawamu lepas memapas batasan
ada cahaya pecah menembus sinar kehidupan


Soneto LI

Tu risa pertenece a un árbol entreabierto
por un rayo, por un relámpago plateado
que desde el cielo cae quebrándose en la copa,
partiendo en dos el árbol con una sola espada.

Sólo en las tierras altas del follaje con nieve
nace una risa como la tuya, bienamante,
es la risa del aire desatado en la altura,
costumbres de araucaria, bienamada.

Cordillerana mía, chillaneja evidente,
corta con los cuchillos de tu risa la sombra,
la noche, la mañana, la miel del mediodía,

y que salten al cielo las aves del follaje
cuando como una luz derrochadora
rompe tu risa el árbol de la vida.



Sonnet LI

Your laught: it reminds me of a tree
fissured by lightning streak, by a silver bolt
that drops from the sky, splitting the poll,
slicing the tree with its sword.

A laugh like yours I love is born
only in the foiage and snow of highlands,
the air's laugh that burst loose in those altitudes,
dearest: the Araucanian tradition.

O my mountain woman, my clear Chillan volcano,
slash your laugter through the shadows,
the night, morning, honey of the noon:

birds of the foliage will leap in the air
when your laugh like an extravagant
light breaks through the tree of life.


Friday, April 6, 2007

Diskusi 3 Novel: Sendalu, Payudara, Aotar



Chavchay Syaifullah (kanan) dan saya di Toko Buku Gramedia DC Mall Batam. Wartawan Media Indonesia itu berbagi sejam waktu mengurai proses kreatifnya menghasilkan tiga novelnya: Sendalu (Gramedia Pustaka Utama), Payudara (Melibas), dan Aotar (Ilden). Diskusi digagas oleh Porosastra Batam.


9. Bila Aku Boleh Bermimpi

apakah memang pantun yang kutuliskan ini,
      manakah baris pembayang dan mana yang isi?
apakah santun bila kutanyakan padamu kini,
      aku ini hanya bayang atau di hatimu berhuni?

bila memang pantun yang pernah kau pinta dulu,
       aku mencari sampiran terindah di diriku sendiri
bila memang aku telah lama ada dalam mimpimu
      aku ingin bermimpi: kau-aku menyama mimpi.

Yang Sabar dan Yang Diam

ni kelebat bayang atau tirai kegelapan
      atau kau sebut gerhana yang berterusan
ini lebat hujan atau jatuh dedaunan
      atau rambut dan peluh kita berguguran

ada kerlip bintang yang amat ingin bertahan
     awan menipis, bulan menutup sebelah wajah
ada sakit yang kutahu, terus kau pertahankan
     yang sabar, yang diam: adakah yang kalah?

Wednesday, April 4, 2007

Berburu Berita

Iseng-iseng saya ber-google-ria. Ini hasil perburuannya:

Republika, Minggu, 5 Februari 2006
Pikiran Rakyat Sabtu, 21 Oktober 2006
Suara Merdeka, 15 Desember 2006
Kompas, Jumat 16 Agustus 2002
Kompas, Minggu 10 September 2006
Hayam Wuruk, March 28, 2007
Lampung Post, Rabu 23 Agustus 2006


Tuesday, April 3, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 021] Matilde, Matilde, Matilde

100 Soneta Cinta ini ditulis sebagai persembahan Neruda kepada Matilde, istri tersayangnya. Ada beberapa sajak yang menyebut nama itu dalam larik-lariknya. Soneta ke-23 ini salah satunya. /Begitulah sudah, begitulah kini, begitu juga nantinya, / Cinta liar cinta manisku, engkau Matilde terkasihku, / hingga waktu mengirim isyarat kiamat bunga-bunga: /

Tak di semua soneta Matilde disebutkan, tapi ia ada di semua soneta itu. Kita akan bertemu Matilde lagi di soneta lain. Hasta pronto!

Soneta ke-23
Nyalakan cahaya api dan roti mendendam bulan
melati menabur rahasianya bagai terang bintang
dan dari cinta yang hebat, lembut & murni tangan,
damai ke mataku, matahari ke inderaku, tertuang.

O cinta, alangkah lekas, dari sebuah reruntuhan
kau tegakkan bangunan keteguhan yang nyaman
kau taklukkan yang cemburu dan yang memangsa
dan inilah kita: sekehidupan, berhadap pada dunia.

Begitulah sudah, begitulah kini, begitu juga nantinya,
Cinta liar cinta manisku, engkau Matilde terkasihku,
hingga waktu mengirim isyarat kiamat bunga-bunga:

hingga tak ada lagi engkau, aku, dan cahaya,
hingga terlampaui bumi, terlampaui bayangan,
kegemilangan cinta kita akan hidup berterusan.


Sonnet XXIII
The fire for light, a rancorous moon for bread,
the jasmine smearing around its bruised secrets:
then from a terrifying love, soft white hands
poured peace into my eye and sun into my senses.

O love, how quickly you built a sweet
firmness where the wounds had been!
You fought off the talons and claws, and now
we stand as a single life before the world.

That's how it was, how it is, hot it will be,
my wild sweet love, my dearest Matilde,
till time signals us with the day's last flower:

then there will be no you, no me, no light,
and yet beyond the earth, beyond its shadowy dark,
the splendor of our love will be alive.



Soneto XXIII
Fue luz el fuego y pan la luna rencorosa,
el jazmín duplicó su estrellado secreto,
y del terrible amor las suaves manos puras
dieron paz a mis ojos y sol a mis sentidos.

Oh amor, cómo de pronto, de las desgarraduras
hiciste el edificio de la dulce firmeza,
derrotaste las uñas malignas y celosas
y hoy frente al mundo somos como una sola vida.

Así fue, así es y así será hasta cuando,
salvaje y dulce amor, bienamada Matilde,
el tiempo nos señale la flor final del día.

Sin ti, sin mí, sin luz ya no seremos:
entonces más allá del la tierra y la sombra
el resplandor de nuestro amor seguirá vivo.


Sebuah Sofa, Akuarium, dan Lelaki Bersuara Lembut

                                                              : chrisye

SOFA itu menduga  si lelaki bersuara lembut masih di sana,
"Dia memandangimu," katanya pada ikan di akuarium itu.

"Dia ingin mengajarimu bernyanyi," kata air kepada ikan itu.

Sofa itu melihat ada lelaki lain yang menyandar di sebelah
si lelaki bersuara lembut itu. "Aku tak pernah mengajarimu
bernyanyi, Anakku," kata si lelaki tua itu. "Aku juga belum
menuliskan sebuah lagu buatmu, Ayahku," kata si lelaki itu.

Lalu sofa itu melihat dua lelaki itu berjalan pelan. Berangkulan.

"Hei, tengok mereka kini berenang bersamamu," sofa itu
berseru kepada ikan itu, kepada air itu, kepada akuarium itu.
Si ikan pun tiba-tiba merasa pandai bernyanyi. Lagunya
mengiringi tarian dan gelak tawa kedua ayah dan anak itu.


Betapa Kuingin Kesabaranmu

Unggas yang mengendap di senyap semak
       mencari arah angin yang menebar aroma manis
Kau yang tergelak, tawa yang menyeberbak
       Betapa kuingin kesabaranmu, kautahan tangis

Ada sekawanan bocah memasang perangkap
       menaruh umpan di tengah bentang tali jerat
Bila kau ingin, ada dadaku tempat airmata terusap
       aku pun persembahkan 2 tangan dan pelut erat


[Proyek 100 Soneta Neruda # 020] Rayuan Gombal di Dua Bait Terakhir

/segalanya hidup karena itu aku pun mampu hidup: / tanpa beranjak kemana, segala pun bisa kusaksikan: / dalam hidupmu, kusaksikan segalanya berkehidupan /

Dua bait terakhir dari sebuah soneta aturannya berisi perasaan. Perasaan itu beranjak dari apa yang dipaparkan di dua bait pertama. Begitulah aturannya. Dan inilah soneta cinta. Dua bait pertama Neruda memaparkan dia yang ia cintai dengan ibarat-ibarat. Lalu berdasarkan senarai pengandaian itu, ia meluncurkan jurus rayuan gombalnya di dua bait terakhir. Kutipan di awal tulisan ini adalah bait terakhir yang paling gombal. Begitulah soneta, begitulah Neruda.

Soneta ke-8
Jika terang matamu dan bulan tidak serupa warna,
tak warna lempung siang, hari kerja, tak warna nyala,
dan sebab kekangmu aku tak setangkas gerak udara,
jika kau pun bukan hari sepekan berwarna amberia.

Jika kau bukan momentum itu, saat kuning mewarna,
ketika musim luruh memanjat tumbuhan merambat itu,
Jika kau bukan hangat roti yang menebar wangi bulan itu,
mengalis, memercikkan serbuk tepung ke silang angkasa.

O, kekasih terkasih, aku tak mencintaimu sebegitu!
Tapi ketika kau kudekap, terdekaplah semua itu,
pasir, waktu, dan pangkal pepohonan hujan,

segalanya hidup karena itu aku pun mampu hidup:
tanpa beranjak kemana, segala pun bisa kusaksikan:
dalam hidupmu, kusaksikan segalanya berkehidupan


Soneto VIII

Si no fuera porque tus ojos tienen color de luna,
de día con arcilla, con trabajo, con fuego,
y aprisionada tienes la agilidad del aire,
si no fuera porque eres una semana de ámbar,

si no fuera porque eres el momento amarillo
en que el otoño sube por las enredaderas
y eres aún el pan que la luna fragante
elabora paseando su harina por el cielo,

oh, bienamada, yo no te amaría!
En tu abrazo yo abrazo lo que existe,
la arena, el tiempo, el árbol de la lluvia,

y todo vive para que yo viva:
sin ir tan lejos puedo verlo todo:
veo en tu vida todo lo viviente.


Sonnet VIII

If your eyes were not the color of the moon,
of a day full of clay, and work, and fire,
if even held-in you did not move in agile grace like the air,
if you were not an amber week,

not the yellow moment
when autumn climbs up through the vines;
if you were not that bread the fragnant moon
kneads, sprinkling its flour across the sky,

oh, my dearest, I could not love you so!
But when I hold you I hold everything that is ----
sand, time, the tree of the rain,

everything is alive so that I can be alive:
without moving I can see it all:
in your life I see everything that lives..

Monday, April 2, 2007

Kita Lelah Berciuman

/1/
KITA lelah berciuman,
tinggal dua bibir yang gemetaran
seperti tak berkesudahan
menyebut-nyebut sebuah pengakuan.

Dan lemah tangan, masih berpegangan.

Aku berhadap dengan cemasku
Aku menatap kepada wajahmu,
dengan mataku: 70 per 100 pejam.
dan perih hati tak berbilangan.

Dua buku belum selesai saling baca
terbuka berhadapan, berbagi cahaya,
redup, tinggal basah di sumbu lampu.

Kukira aku telah sampai membuka,
yang paling rahasia dari halamanmu.

"Bukan, bukan itu," katamu. "Ada
halaman putih di sebuah lipatan,
di sana boleh kau tuliskan bait pujian
atau dongeng kepedihan."

Kau mengingat dua nyawa
berpelukan di penyeberangan.

Tubuh yang tenggelam di selat, laut
yang memisahkan dan mempertemukan
hasrat lelaki dan naluri perempuan.


/2/
MARI kita buat batasan:
Aku bukan lelaki nelayan,
kau bukan perempuan menunggu di pelantar.

Walau yang kutempuh di hadapan
adalah juga laut hitam: dengan badai khatam
dan gelap lebih pekat dari seribu malam.

Dalam perjalanan,
aku menuliskan kisahmu malam penghabisan,
dongeng Negeri Pedih dan Penguasa Bodoh.

orang-orang malang yang tekun merawat perih,
tiap kali luka mengatup, dusta baru diturih.

"Melihat tubuh yang terbelah luka,
seperti merah semangka di meja,"
begitulah, seperti kau akhiri cerita.

Aku, waktu itu diam-diam sudah lepas dari dekap,
mengendap, seperti yang kau inginkan,
kau tak ingin menangis karena harus melambai
ke ujung jalan. Padahal masih lemah tangan,
dan belum habis gemetar di bibir. Aku tahu,
saat itu, siapa nama yang kau sebut-sebutkan.

Sunday, April 1, 2007

.:. Melacak "Repih" di Dua Kamus

Kamus Dewan (Edisi ke-3) menguraikan kata "repih" dalam dua bagian.  Repih yang pertama dijelaskan sebagai: mudah dipatahkan atau dipecahkan (seperti roti kering dll), rapuh; digunakan dengan awalan "me" menjadi "merepih" yang berarti menggetas (mematahkan, memecahkan, dll) kecil-kecil. Contohnya: merepih roti. Sebagai kata benda "repihan" berarti pecahan (sobekan, potongan, dll) yang kecil-kecil, serpih. Contoh: banyak orang yang terbunuh kena repihan bom.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan ke-16) menguraikan "repih" hanya dalam satu penjelasan yaitu: mudah dipecahkan (seperti roti kering, dsb);

Dengan lema tadi, kedua kamus itu saya kira tidak membuat jelas pada saya apa maksud "repih" yang dipakai dalam lagu Chrisye "Merepih Alam". Kedua kamus juga menjelaskan kata "repih" bersinonim dengan "repis".

Ada uraian kedua, dalam Kamus Dewan. "Repih" ini menurut kamus itu dipakai hanya di Pahang dan Perak. "Merepih" artinya menebas semak, rumput dll. Juga berarti mencuci ladang, atau merumput. Uraian ini tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Rasanya, inilah "repih" yang dimaksudkan oleh "merepih" dalam lagu "Merepih Alam" yang dilantunkan oleh Chrisye, yang ia ciptakan bersama Yockie Suryo Prayogo dan Eros Jarot , salah satu lagu dalam album hebat "Badai Pasti Berlalu": Merepih alam di malam berselubung kabut gelap, wajahmu meredup tercermin haus cahaya, meremang gulana, menatap reruntuhan dalam duka.

[Proyek 100 Soneta Neruda # 019] Perempuan Sempurna, Gairah Khuldi, Bulan Berkobar

/Plena mujer, manzana carnal, luna caliente,/ --- versi asli.
/Full woman, flesh-apple, hot moon,/ --- versi Stephen Tapscott.

Bagaimana seharusnya menerjemahkan bait pertama yang dahsyat ini? Ini bait amat masyhur. Ada sebuah buku kumpulan sajak-sajak cinta Neruda yang diberi judul bait ini. Sajak-sajak dalam buku itu dibacakan oleh pesohor Hollywood. Jadi bagaimana menerjemahkan bait itu sebaiknya? Oh ya saya menemukan terjemahan dalam Bahasa Inggris versi lain (saya lupa ini terjemahan siapa): /Carnal apple, Woman filled, burning moon,/

Menarik sekali membandingkan dua versi Inggris itu. Full woman. Woman filled. Saya jadi berani menebak-nebak, meraba-raba dengan rasa. Mungkin yang dimaksud adalah "perempuan sempurna?" Aha, ya saya pakai itu saja: /Perempuan sempurna, gairah khuldi, bulan berkobar,/ Asyik juga membayangkan apa yang muncul terbayang ketika ketiga hal itu disejajarkan. Begitulah, selanjutnya, seterusnya, silakan menimbang hasil terjemahan saya.

Soneta ke-12

Perempuan sempurna, gairah khuldi, bulan berkobar,
pekat aroma alga, luluh lumpur dan lebur cahaya
rahasia apa yang terang, kau buka di antara pilar-pilar?
malam apa yang purba disentuh lelaki, mengikut rasa?

Oh cinta, perjalanan berbasah air dan bintang berpancar
dengan udara yang menenggelamkan dan serbuk badai
cinta adalah sebabak pertarungan antar halilintar
dan karena satu matahari madu, dua tubuh takluk terkulai

Kecup ke kecup kujelajahi kau, kecil - tak berujung hitung
perbatasan tubuhmu, sungaimu, perkampungan mungilmu,
dan api auratmu: bersalin ke rupa baru, ke nikmat itu.

lekas laju mengejar, di jalan kecil, di jalan darah
hingga menyiram sendiri, lebat, bagai anyelir malam
hingga ada tak ada kecuali petir dan bayang kelam.



Sonnet XII

Full woman, flesh-apple, hot moon,
thick smell of seaweed, mud and light in masquerade,
what secret clarity opens through your columns?
What ancient night does a man touch with his senses?

Oh, love is a journey with water and stars,
with drowning air and storms of flour;
love is a clash of lightnings,
two bodies subdued by one honey.

Kiss by kiss I travel your little infinity,
your borders, your rivers, your tiny villages;
and genital fire---transformed, delicious---

slips through the narrow roadway of the blood
till it pours itself, quick, like a night carantion, till it is:
and is nothing, in shadow, and a flimmer of light.


Soneto XII

 
Plena mujer, manzana carnal, luna caliente,
espeso aroma de algas, lodo y luz machacados,
qué oscura claridad se abre entre tus columnas?
Qué antigua noche el hombre toca con sus sentidos?

Ay, amar es un viaje con agua y con estrellas,
con aire ahogado y bruscas tempestades de harina:
amar es un combate de relámpagos
y dos cuerpos por una sola miel derrotados.

Beso a beso recorro tu pequeño infinito,
tus márgenes, tus ríos, tus pueblos diminutos,
y el fuego genital transformado en delicia

corre por los delgados caminos de la sangre
hasta precipitarse como un clavel nocturno,
hasta ser y no ser sino un rayo en la sombra.