Monday, January 31, 2011

Cermin

LANGIT adalah Mahacermin, yang sekeping menjatuhkan diri 

Maka jadilah kami. Kamilah cermin di bumi. Kami menyimpan
cahaya langit dalam mata kami. Kami menyimpan suara  langit
dalam dada kami. Kami menyimpan wajah langit dalam diri kami

Engkau tak tahu. Kami juga menyimpan tajam tepian waktu
dalam diam kami. Kami menyimpan kedap gelap di balik
wajah bening kami, di belakang engkau yang kami cahayakan

Kami cermin di bumi mencari-cari engkau! Dari wajah ke wajah
Hei, jangan sembunyikan wajahmu! Jangan takut menatap kami

Kami cermin di bumi menyilaukan engkau! Dari mata ke mata
Hei, jangan pejamkan matamu! Mari lagi kita bertukar tatapan  

Jangan belah kami, sebab kau akan belah tersayat tajam kami!
Jangan hempas kami, sebab kau akan kesakitan tertusuk kami!


Kami adalah wajahmu sendiri! Hei, bagaimana kau bisa lupakan
kami? Sebab kami yang memastikan rapi rambutmu, kami yang
mematut jatuh dasimu, kami yang menekukkan kerah bajumu!

Jangan lupa kami, sebab kami akan lekas mengingatkan engkau   

Sebelum langit menjatuhkan keping yang bukan cermin, menimpa
engkau, memecah cermin palsu di wajahmu, dan menampakkan
wajah kami, kepingan cermin yang mestinya tak engkau lupakan!


 

Friday, January 28, 2011

Lelaki ke-15 dan Seorang Perempuan yang Tak Sempat Ia Ajak Menulis Sajak Bersama

                                                      :  Totot dan Djenar

1. KAFE kecil itu adalah gelas besar. Melarutkan buntu malam. Kita, yang singgah lama di sana, adalah prajurit-prajurit catur terlempar, nyaris ke batas garis luar.
 
2. Meja kayu tak bertaplak, tak berpetak, berbisik pada papan catur, "hilangkan saja garis batas, antara hitam dan putih itu." Tapi, kita perlu tegas berbeda, kita suka ada banyak beda: kotak warna di papan yang sama.

3. DI dinding, siluet tebal, lelaki berambut gimbal, mendongeng tentang perang, persaingan dagang, bagi menguasai biji kopi Toraja, sambil memastikan seduhan kesekian gelas untuk kita itu telah cukup kental. 

4. Semalam ada penyair di sini. Lari dari sepi: rumah dinas yang menyendirikannya. Malam, di sana, kerap menjadi seperti waduk kosong, jika dada yang tipis itu tak lagi tertanggul.

5. Malam adalah pengasuh yang enggan, tapi adakah lain pilihan? Kita anak-anak kehidupan hilang ayah dan tak tahu dimana ibu, sampai nanti, pagi memulangkan kita ke panti, di mana harapan yang piatu itu diasuh dan dibesarkan.

6. Siapa di rak buku itu? Nama kita, nama yang melupakan kita. Tiap napas: sepasang hirup dan hembus, adalah kalimat tidak sederhana, dengan gumpal tanda tanya di ujungnya. Kita tak bisa berhenti bertanya, kita terus mempertanyakan pertanyaan kita.

7. Kita yang lama mengawani sunyi, tak pernah baik mengenal sunyi. Berpapasan dengannya, kita ragu dan kecut, tapi tak bisa menghindar. "Kesunyian dan kesendirian adalah cabang filsafat yang tak pernah selesai dirumuskan," kata profesor yang tertinggal ajarannya, padahal sudah beberapa jam lalu dia pulang entah ke rumah yang mana.

8. Aku suka menghabiskan, pisang goreng dengan keju yang ditaburkan. Seperti jatuh kembang kelapa, saat lebat hujan. Aku penyungkal tunas kata. Mana alamat kebunmu? Mari kuantarkan ke sana dan kutanam apa yang kujunjung di kepalaku ini.

9. Bagaimana sebuah kota meninggalkan jejaknya dalam serbuk teh? Lalu melangkah ke gelas kita? Mari minum, sebelum seduhan ini meranum. Seteguk dahulu, lalu endapkan di sudut mulut. Seteguk lagi, sama pelannya, agar sezarah sejarah tak membuat kita mendadak tersedak.

10. Kita membicarakan, seseorang yang tidak bisa berbahagia. Dia yang memaki juru parkir, mengeluhkan internet yang lelet. Aku sangka ada getah pisang bajunya. Seperti di bajuku juga.

11. Kita membayangkan pohon berbeda, tumbuh dari papan catur yang melebar, mengejar tepi cakrawala! Maafkan, jika pohonku cuma pohon pisang: yang ini kali kutambah tetes darah pada kelepak kelopak jantungnya. 

12. Sudah pukul berapa? Siapa yang akhirnya bertanya? Jam yang tak peduli, hampir saja bunuh diri, tapi pertarungan kita dengan waktu juga hanya sia-sia. Satu per satu, bidak didepak, disingkirkan.

13. Kafe kecil ini, adalah dapur dari rumah yang jauh, walaupun di sini tak ada ibu, dan bunyi laci mesin kasir itu seperti pisau rajang, mencincang rimpang waktu.

14. Aku melihat kamu, perempuan. Bertepuk tangan untuk sebuah pertempuran. Skak-mat yang menjatuhkan! Ia bayangkan jari dan telapak tangannya memercikkan darah! Semalam, bermalam-malam, telah ia rekam adegan untuk sinema yang tak akan pernah bisa kau saksikan.
 
15. Aku kira, ada satu puisi yang bisa kutulis bersamanya, bergantian: bait-bait tentang papan catur; tentang bidak-bidak kata yang riang melompati petak-petak, mempermainkan makna kita, menggembirakan resah bahasa.

Wednesday, January 26, 2011

[ GUMAM #001 ] Meragukan Keyakinan

TERHADAP banyak hal dalam hidup ini, saya percaya tapi saya ragu. Saya terus-menerus meyakinkan diri saya atas apa yang saya percayai itu, saya melawan keraguan saya itu. Saya ingin yakin. Tentu saja nyaman sekali berada dalam keyakinan, memegang teguh apa yang kita yakini.

Tapi, keraguan tak akan pernah habis. Saya kira dalam beberapa hal dalam hidup ini keyakinan itu justru berbahaya. Ragu yang baik adalah ragu yang memberanikan kita, bukan ragu yang menggentarkan kita. Ya, saya Cuma mengira, saya tidak yakin.

Keyakinan kepada apa saja – seperti iman dalam masing-masing agama kita – grafiknya memang turun naik bukan? Pasang dan surut seperti air laut. Keyakinan pada apa saja, seperti dalam agama, seperti iman, tidak mudah. Ia dihadapkan pada ujian. Artinya, ia dihadapkan dengan keraguan. Semakin besar ragu yang mampu dilawan, semakin besar tambahan peluru keyakinan yang kita punya untuk menghadapi keraguan berikutnya.[]

Saturday, January 22, 2011

Sebuah Timbangan Buah di Sidi Bouzid

                                            : Mohamed Bouazizi

DI Sidi Bouzid
kota yang tak tersebut
dalam brosur wisata Tunisia
ia dimakamkan

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

Dilingkari zaitun
dan kaktus gurun
juga mekar kembang pohon badam

*

Di Sidi Bouzid
ia berjalan dua kilometer
dengan timbangan tua
buah dan sayur sepenuh gerobak kayu
setelah belanja di pasar besar
sampai ke kampung-kampung miskin Tunisia

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

Ia penjual buah
keras bekerja dan perangainya ramah


*

Pada tiga tahun usianya
Telah yatim ia
Abang yang pertama
Jauh meninggalkan rumah yang sesak
Ke kota-kota lain di Tunisia
Kota yang sama miskinnya

Ayah tiri yang sakit dan tua
hanya bisa mempertegas
betapa miskinnya mereka

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

Terusir dari sekolah
tapi hidup mempertahankannya

Tanpa ijazah
Kesatuan tentara tegas menolak dia
Lembaga negara menutup pintu gerbangnya
Negara yang 23 tahun lamanya
dikuasai oleh presiden
yang sibuk memperkaya
kerabat dan keluarga
lupa
kepada satu juta
empat ratus ribu
pemuda
seperti dia

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya


*

Maka,
demi Sidi Bouzid
demi timbangan tua
demi buah dan sayur sepenuh gerobak kayu
demi lima saudara perempuan
dan ibu yang semakin tua

Pemuda yang didewasakan jalanan
ia lawan
polisi yang congkak
di negara yang rusak
Ia menolak
400 dinar pajak
karena itu sama saja memaksa ia
dua bulan tidak makan sanak-beranak

Ia lawan penghinaan yang telah memuncak

17 Desember, kalender baru saja terkoyak

Seorang polisi perempuan,
mencegatnya di jalan
menyita timbangan
karena tagihan pajak tak ia hiraukan!

Dengan keberanian
yang 26 tahun ia tumbuhkan
Ia melawan!

Ia sebenarnya tidak melawan
Ia hanya mempertahankan kehidupan

Tapi ada yang tak tertahankan
dalam hidup seorang lelaki
yang di pundaknya
bertahun-tahun
telah memberat beban
Yaitu ketika tangan Fedya Hamdi
tangan seorang perempuan
Seorang polisi bersalut kecongkakan
ditamparkan ke wajahnya

Ketika kaki-kaki lain
Kaki sekawanan polisi Tunisia
diinjakkan ke tubuhnya
Ia telah dipermalukan
Tepat di depan kantor polisi
dan gedumg birokrasi kota

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

Demi marah di dadanya
dan lapar di perutnya
ia meminta, "kembalikan timbangan saya!"

Tapi, tersumbat sudah semua telinga
Karena sibuk pejabat rapat
dan keluar makan siang

Tak akan terdengar lagi
seperih apa pun teriakan

*

Dengan sisa di dinar di saku celana
Ia membeli sekaleng minyak lalu
Ia siramkan ke tubuh sendiri

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

Ia menjemput api!

Lihatlah, kemarahan menabahkannya
Lihatlah, tak terlihat ia menahan sakit
Lihatlah, ia yang tahan mengemban kemiskinan
tapi hati jerami kering
mudah terbakar oleh penghinaan!

Api, menjalar ke seluruh Tunisia
ke Kasserine,
ke Thala,
ke Menzel Bouzaiene

*

        AKU pergi, Ibu. Maafkan aku
        Tak ada yang harus disalahkan

        Tersesat di jalan yang lepas dari tanganmu
        Maafkan aku, bila kuabaikan kata-katamu, Ibuku

        Salahkah waktu, dan jangan salahkan aku
        Aku pergi, dan aku tak akan pernah kembali

        Kerap aku menangis dan airmata menderas di mataku
        Tak ada yang berguna dipersalahkan
        di zaman kita yang dikangkangi orang-orang khianat

        Aku lelah, Ibu, dan segalanya lepas dari pikiran
        Aku pergi dan mencari apa yang bisa membuatmu lupa



*

4 Januari. 2011
Seperti kita kenal
angka tanggal itu
Seperti masih hangat
bilangan tahun itu
 
Ini bukan sejarah lama, ya,
- meski terasa seperti terbaca dari buku tua -

Ajal menjemputnya
di ranjang rumah sakit
setelah lepuh api di seluruh kulit:

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya

*

Dua minggu setelah kobar api itu,
adalah sangat terlambat
bagi Presiden yang alpa
yang buta sebelum buta
dan tuli sebelum tuli
diperlupakan
oleh kuasa,
23 tahun lamanya
 
Terlambat sangat untuk menjenguk
Terlambat sangat untuk menyelamatkan muka
Terlambat sangat untuk mempertahankan dusta

*

DI Sidi Bouzid
kota yang tak tersebut
dalam brosur wisata Tunisia
Dilingkari zaitun
dan kaktus gurun
juga mekar kembang pohon badam

Seorang martir dimakamkan

Bouazizi namanya
Mohamed nama depannya
 






Friday, January 21, 2011

Aku Coba Mengerti Galaumu, Galau Kita Itu

                                                         : Aan M Mansyur

KALAU engkau galau, aku akan engkaukan aku. Galau kita itu, ia datang dari segala kala, ia singgah dari seluruh walau.

Ya, galau itu adalah walau, bukan kalau. Walau yang mudah dihalau. Kalau kelak menawarkan atau, bagi aku dan bagi engkau.

Kenapa Tak Pernah Selesai Aku Merumuskan Cintaku Padamu?

                                                             : Dhiana

CINTA adalah jaket hujanmu yang kusimpan lagi di ransel perjalananku. Aku tak tega bila apa yang dimendungkan langit itu kelak membasahinya.

CINTA adalah kita menangis bersama: kau terbebas dari sakit, aku yg tak bisa ambil sakit dari sakitmu itu, dan anak kita yg baru mendunia.

CINTA adalah jarum gaibku, pada jam gaibmu, yang tak berputar, tapi ia berdetak ke segala arah, memenuhi waktu kita.

CINTA adalah sajak yang kutulis di lembar kertas-kertas kecil, bait-bait belajarku dan yang mengajari aku mencintaimu.

Beberapa Bait yang Aku Tulis dari Kicauan Beberapa Kawan dan Aku Kira Nanti akan Kusajakkan dalam Bait-bait yang Lebih Panjang

1. DI pasar malam, aku kenang gerimis dan kau, si manis penjual arumanis. Aku berkali-kali beli, hingga uang jajanku habis.

2. MALAMKU mengasihi rasa bosanku. Keduanya tak saling memiliki. Ya, mengasihi, tak berarti itu memastikan bahwa kau termiliki.

3. LEGENDA itu begitu: kukupas kulit pahamu jadi tifa, dan kutarah tulang lenganmu jadi seruling. Harus berjogetkah aku?

4. AKU dan kopi. Kami saling membiarkan. Aku takut meneguk lagi, setelah hangat dan gelas itu mengingatkanku padamu.

5. TENGOKLAH, di sepasang belah luka ini tumbuh tunas sayap yang lain. Terima kasih, untuk sakit yang tak singkat ini!

Aku Dengar Abu Hurairah

KITA berwudhu, Anakku, karena air mengingatkan kita
pada perkasihan angin di Angkasa dan tanah di Bumi.

Kasih yang ikhlas, tanpa ingin dilihat seperti begitu:
menerima dan memberi, saling berganti, tanpa ada janji

Musim bukanlah tanda, tak ada yang lekas atau terlambat.

Apa yang ingin dibersihkan oleh hujan? Hujan, adalah
saat Bumi berwudhu, membasuh diri, lalu ia meneruskan
sembahyang panjang: lingkaran rukuk, sujud, dan qiyam

*

KITA bentangkan, putih sehelai surban, cukuplah untuk
meletakkan tujuh titik tubuh, di saf panjang yang kita
lempangkan, saf panjang yang menjaga dan menguatkan.

Aku dengar Abu Hurairah, dari mimbar kecil dan megah

Anakku, sebagai apa aku kelak meninggalkanmu? Apa yang
kelak kutinggalkan untukmu? Menjariahkah alir amalku?

Seperti siklus hujan yang dulu kupelajari di kelas SD,
dari guru jujur-berbakti, mengajar ilmu alam pasti?

*

KITA sembahyang, Anakku, karena butir air pun harus
sejenak mengudara-menguap-mengawan, tapi tak lupa pada
kelok sungai yang mengalirkan, hamparan muara yang
mengombakkan, akar-akar dan tanah yang menyimpankan.

Thursday, January 13, 2011

Amaradhana

KAMI catut nama-Mu di lembar uang kami, Tuhan. Berapa sebenarnya harga-Mu? Kami lebih peduli pada angka-angka di uang kami.

Engkau saksikankah setiap kali kami bertukar harga? Ini perdagangan kami, Tuhan. Ini jual beli kami. Engkau, nama yang tak kami baca.

Di pasar, aku pernah melihat Kau dijual. Dengan harga yang lekas jatuh saat ditawar. Tuhan, mereka membeli-Mu sebagai suvenir.
James Thurber

JANGAN melihat ke belakangan dengan kemarahan,
jangan melihat ke depan dengan ketakutan,
lihatlah ke sekitar kita dengan kepedulian.


Wednesday, January 12, 2011

Sang Ayah

Pablo Neruda














Sajak Pablo Neruda

AYAHKU yang lusuh datang, ia pulang
dari gerbong-gerbong.
Kami kenali suara itu
kala malam
lengking
lokomotif
melubangi hujan
dengan erang
mengambang,
ratapan malam hari,
dan kemudian
pintu menggigil
terbuka.
Angin yang buru-buru
datang menyertai ayahku,
dan di antara jejak dan bayang gamang
rumah
berguncang,
pintu-pintu terkejut
menyalak bersama kering
lengkingan letusan pistol,
tangga gelisah,
dan suara nyaring,
menyemburkan keluh, gerutu,
sementara gelap yang liar itu,
tumpah air hujan,
menderu di genteng
dan, perlahan,
mengenggalamkan dunia
dan semua bisa saksikan angin
bertempur dengan hujan.

Begitulah dia, setiap harinya.
Kapten kereta apinya, sejak fajar dingin,
dan lebih lekas matahari tiba
mulai menampakan dirinya,
daripada dia dengan misainya,
dengan merah dan hijau
bendera, lampu-lampunya,
mesin batubara dalam neraka kecilnya,
stasiun dengan kereta dalam kabut,
dan tugas geografinya.

Penjaga Rel Kereta adalah pelaut di bumi
dan di pelabuhan kecil tanpa garis laut -
kota-kota hutan - kereta lari, lari,
tak terkekang dunia,
menuntaskan navigasi buminya.
Ketika gerbong panjang datang singgah,
kawan-kawan datang bersamaan,
masuklah, dan pintu masa kecilku terbuka,
meja gemeretak
digebrak tangan Si Penjaga Rel Kereta
kacamata tipis kawanku tercampak
dan pantulcahayanya
memancar lepas
dari mata anggur.

Ayahku yang keras dan malang,
di sanalah dia di sumbu hidupnya,
persahabatan jantan, gelasnya penuh terisi.
Hidupnya pasukan gerak cepat,
dan di antara lekas datangnya dan perjalanan,
di antara tibanya dan gegas pergi,
suatu hari, lebih lebat hujan daripada hari lainnya,
Si Penjaga Rel Kereta, Jose del Carmen Reyes,
menaiki kereta kematian, dan sampai kini ia tak kembali.




Tuesday, January 11, 2011

Apa Kabar, Gayus?

HALO, Bung. Apa kabar? Aku lihat kamu gemuk sekarang. Jauh lebih gemuk dibandingkan saat aku lihat kamu di pasfoto yang banyak beredar setelah namamu menjadi sangat terkenal di negeri ini. Berapa berat badanmu sekarang?

Di pasfoto lama itu, kamu tidak keren. Rambutmu kucluk, dengan kemeja, dasi dan jas itu tampak sekali amat murahan. Ekspresi wajahmu tak berubah, Bung. Kamu harus belajar tersenyum. Tapi, saya suka tatapanmu: tatapan anak muda penuh harapan, tatapan orang yang tenang dan berani ambil risiko.


Kamu sehat, bukan? Aku melihat kamu menangis di persidangan. Aku sesekali tertarik juga melihat tayangan sidang-sidangmu. Kamu bilang, kamu keluar tahanan - dengan membayar petugas-petugas yang seharusnya menjagamu agar tak bisa keluar bebas - karena kangen pada istrimu. Hm, aku percaya kamu sayang sekali pada istri dan anak-anakmu. Saya yakin, karena merekalah kamu ambil risiko, manfaatkan kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dan menumpuk di rekeningmu. Berapa itu? Rp100 miliar? Banyak ya? Kamu bayar zakat tidak? Zakat profesi? Setahuku tidak ada zakat korupsi. Kamu infakkan berapa ya dari harta kekayaanmu sebanyak itu?

Gayus, kamu di foto lama itu kurus sekali dengan latar belakang kain merah. Itu pasfoto tahun berapa ya? Itu foto kamu pakai untuk melamar jadi pegawai negeri ya? Kamu waktu itu baru lulus STAN sepertinya? Tahun 2000? Ya, waktu sepuluh tahun cukup untuk membuat kita menjadi gemuk, apalagi kalau pekerjaan kita bagus, posisi kita basah.

Aku tak mengerti tataorganisasi di Ditjen Pajak tempatmu bekerja sebagai pegawai negeri golongan III A. Tapi, sepertinya namanya memang basah: Bagian Penelaah Keberatan pada Seksi Banding dan Gugatan Wilayah Jakarta II Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Indonesia.

Oh, ya, Anda sudah dipecat ya? Hmm, tapi tabunganmu sudah banyak sekali, bukan? Aku hanya mencoba menghitung-hitung: berapa kamu pakai untuk menyuap petugas di rumah tahanan Brimob, berapa kamu bayar untuk dapatkan paspor palsu atas nama Sony Laksono (betul dia lahir tanggal 17 Agustus?), berapa yang kamu bayarkan untuk pengacaramu. Hm, masih banyak sisa ya? Itu kalau usul Ketua MK Mahfud MD tidak bersambut. Dia usulkan agar koruptor seperti kamu dimiskinkan saja. Bisa saja hartamu disita oleh negara, bukan? Supaya kolega sejawatmu tidak tertarik untuk meniru apa yang kamu lakukan, Gayus.

Gayus, jaga dirimu. Di tahanan jangan lupa sembahyang ya. Perbanyak tahajud dan salat dhuha, supaya rezekimu makin lancar. Perbanyak zikir. Aku suka kamu bilang di sidang bahwa kamu ingin membantu KPK membongkar mafia pajak di negeri ini. Tak usah jadi staf ahli ya? Cukup beri data saja, beri kesaksian yang sahih saja. Sebutkan nama-nama penyuapmu. Paparkan perusahaan yang pajaknya kamu bantu untuk dimanipulasi.

Tapi, aku cemas, Bung. Aku cemas kamu tahu terlalu banyak, dan itu artinya cukup alasan bagi banyak pihak untuk menghabisi nyawamu.

Jangan banyak-banyak bepergian lagi, Bung. Para petugas pasti masih mau saja menerima suapmu, membantu kamu lolos dari pemeriksaan apapun. Kami mungkin diberi model wig dan kacamata yang lain. Ah, di Indonesia, saat ini, dengan uang sebanyak yang kamu punya, apa sih yang tak bisa dibeli? Tapi, jangan-jangan nanti di pesawat kamu akan diracun. Dan kamu akan meregang nyawa bersama segala data dan hal-hal yang kau ketahui. Aku cemaskan itu, Bung.

Gayus, terima kasih. Aku ingin dengan tulus mengucapkan itu. Kamu sendiri, dengan apa yang sudah kau lakukan, sudah cukup untuk menunjukkan pada dunia, betapa compang-campingnya hukum di negeri ini. Kamu sudah dengan sangat baik membuat banyak orang di negeri jadi putus asa, tak punya harapan lain bahwa perbaikan di negeri ini masih mungkin dilakukan!

Aku masih terus mencoba belajar mencintai negeri ini. Negeri yang sudah kunikmati uluran tangannya lewat sekolah Inpres di kampungku dulu. Negeri yang mengirim puksesmas, mantri kesehatan dan dokter ke kampungku, kampung yang dibangun sendiri tanpa bantuan pemerintah oleh kakekku dan kawan-kawannya, para lelaki pemberani, penakluk rawa, perambah hutan bakau dan dengan gigih mengubahnya jadi perkebunan kelapa.

Gayus, tahukah kau dengan uangmu itu, dan uang-uang pajak lain yang pasti sangat banyak digelapkan dengan berbagai cara pasti rasio panjang jalan di negeri ini terhadap luas wilayah bisa mencapai lima persen. Saat ini, bung, rata-rata panjang jalan di negeri ini di bawah empat persen dari luas wilayah. Kita miskin sarana transportasi, Bung.

Kalau uang negara, termasuk uang pajak utuh seluruhnya tertagih dan dimanfaatkan untuk membangun, pasti listrik bisa lebih merata dialirkan. Saat ini, hanya Jakarta yang 100 persen tingkat elektifikasinya. Disusul Yogya yang mencapai hampir 85 persen, dan selebhnya dibawah 80 persen. Di Kepri, hanya 55 persen penduduk yang menikmati listrik. Dan di NTT, Bung, kamu tahu? Di sana hanya seperempat penduduk yang bisa memanfaatkan listrik.

Ini negeri kita masih parah kondisinya, Bung Gayus. Tolong kamu berubahlah. Jadilah motivator antikorupsi. Nanti, setelah beres segala proses hukummu, setelah kau jalani masa hukumanmu, hiduplah sederhana saja. Jual saja apartemen mewah senilai Rp600 juta di kawasan Cempaka Mas hadiah perkawinan dari mertuamu itu. Harga jualnya sekarang pasti sudah berkali lipat, bukan?

Lalu, kau jadi penceramah, terutama di kantor tempatmu bekerja dahulu. Sadarkan mereka: Jangan menggelapkan pajak, jangan korupsi, jangan layani perusahaan yang mengajak kalian memanipulasi hitung-hitungan pajak. Jadilah contoh, bahwa orang bisa hidup tanpa korupsi. Berceramahlah juga di pengadilan. Ajaklah berceramah juga para hakim-hakim yang dipecat karena terlibat kasus bersamamu itu.

Untuk hidup kamu bisa berbisnis dengan jujur saja. Dengan sisa hartamu, pasti kamu bisa jalankan bisis dan punya pendapatan lebih dari Rp12 juta, senilai gaji terakhirmu sebagai PNS, sebelum kami dipecat.

Rp12 juta? Aku rasanya bisa hidup dengan sangat cukup dengan penghasilan sebesar itu, Bung. Sesekali, aku bisa sedikit menolong orang yang tak mampu, mengeluarkan zakat harta, dan nah ini gaya hidupku yang paling boros: membeli buku-buku bagus! Celakanya rakus buku ini menular ke dua anakku.

Bung, aku sangat bersyukur karena masih punya waktu untuk membaca. Kamu suka baca? Nanti kusarankan beberapa judul yang layak kamu baca. Mungkin serial buku karya Richard Templar cocok untukmu. Oh ya, Warren Buffet dalam satu DVD dokumenter yang aku tonton - ini hobi baruku, Bung - mengeluh karena kemampuan membacanya sekarang sangat lambat. Dia sudah tua, memang.

Kamu masih muda, Bung, delapan tahun lebih muda dari aku.  Jadi, saya kira kamu memang bagus kalau memulai kebiasaan baru: membaca. Siapa tahu kamu bisa menulis juga nanti. Ini cara halal untuk jadi tambah kaya. Mulailah dengan membaca suratku ini. Sekian. Wassalam.

Sunday, January 9, 2011

Pada Suatu Pantai, pada Suatu Malam

Walt Whitman (May 31, 1819 – March 26, 1892)

 Sajak Walt Whitman  

PADA suatu pantai, pada suatu malam.
Berdiri berbagi sisi, anak dan ayahnya
memandangi langit timur, langit musim gugur
 
Tinggi menembusi kekelamanan,
Awan disesaki gagak, awan penguburan, menyebarkan hitam
rendah dan murung, lekas melintangi, menuruni langit,
di tengah sabuk gas tertembus cahaya tersisa di timur itu,
meninggi terang dan perlahan: Jupiter sang bintang-raja,
Dan malam di genggam tangan, sejengkal saja di atas itu,
berenang riang, para gadis manis: Kartika.

Di pantai itu, si anak menggenggam tangan ayahnya,
Awan-sekelam-makam itu merendah, segera melahap segalanya,
si anak itu, menyaksikan dan diam-diam ia menangis.

Jangan menangis, anakku,
Jangan menangis, sayangku,
Dengan ciumanku ini, biarkan kuhapus airmatamu,
Awan gagak hitam tak akan lama mengalahkan kita,
Mereka tak akan lama menguasai langit, mereka menelan
       bintang-bintang hanya sekelebat hantu lewat saja,
Jupiter akan bangkit lagi, sabarlah, lihat malam lainnya,
       Kartika akan bangkit lagi,
Mereka tak akan mati, semua bintang emas dan perak itu
       akan memancarkan sinarnya lagi,
Bintang yang besar dan kecil akan memancarkan sinar lagi,
       mereka bisa lama bertahan
Matahari abadi yang tak sendiri itu, dan tafakur bulan itu
       akan memancarkan sinarnya lagi

Maka, anakku sayang, meratapkah kau hanya untuk Jupiter?
Kau sendiri sajakah yang berduka bagi bintang-bintang mati?
 
Ada sesuatu di sana,
(Aku dekatkan bibirku, melembutkan bisikan,
aku beri ia nasihat yang pertama, tantangan, tapi bukan pengarahan)
Sesuatu yang juga imortal melebihi bintang-bintang,
(Banyak kematian, siang dan malam, berlaluan,)
Sesuatu yang bertahan lebih lama melebih kemilau Jupiter
Lebih lama dari matahari dan satelit yang beredar,
atau adik-adik manis Kartika yang bermandi cahaya.

Apa yang Harus Aku Katakan pada Anak Lelakiku?

Carl Sandburg  (January 6, 1878 – July 22, 1967)


Sajak Carl Sandburg

AKU menatap pada anakku, menjelang lelaki dewasa,
Aku bertanya, "Apa yang harus kukatakan padamu?"
'Hidup ini keras; jadilah baja, jadilah batu cadas.'
Dan ini mungkin bisa meneguhkan engkau dari bala-badai,
          dan menghiburkan engkau dari kejemuan hati dan monotoni
          dan menuntun engkau saat dikepung pengkhianatan tiba-tiba
          dan menguatkan engkau di saat-saat jatuh dan lemah.
'Hidup ini bongkah tanah liat; lembutkan, mudahkan.'
Dan ini juga akan bisa mengisi jiwamu.
Si buruk perangai terlembutkan kala kekang lepas
Tumbuhnya bunga rapuh pada setapak mendaki itu
          kadang mampu menghancur dan membelah cadas.
Keteguhan itu berharga. Juga kuat hasrat itu.
Juga kehendak yang lembut dan kaya itu.
Tanpa keinginan yang kaya, tak akan ada yang tiba.
Kukatakan padamu uang berlimpah itu bisa membunuh
          dan engkau akan mati bertahun-tahun sebelum dikuburkan:
          Perburuan harta yang melampaui kebutuhan
          mengubah para lelaki bijak bestari
          menjadi cacing kering tercampakkan
Kukatakan padamu waktu mudah habis terbuang
Kukatakan padamu merasa bodohlah engkau sesering mungkin
          dan jangan malu karena ada yang bodoh dalam dirimu
          Ambil satu pelajaran dari setiap kesalahanmu
          tapi jangan mengulang kesalahan-kesalahan murahan
          lalu sampailah engkau pada pemahaman yang akrab
          bahwa dunia dibentuk oleh banyak kesalahan.
Kukatakan padamu untuk menyendiri, masuk ke dalam diri
          dan di atas semua itu jangan mendustai diri sendiri
          walaupun putih dusta itu, sempurna terlindungi,
         dan walaupun engkau mampu mendustai orang banyak.
Kukatakan padamu sendiri itu berdaya cipta kalau engkau kuat
          dan kata akhir diputuskan di ruang-ruang sunyi.
Kukatakan padamu jadilah berbeda dengan orang lain
          bila itu datang dari dalam jiwa dan tak menyusahkanmu.
Kubiarkan engkau lewati hari malas agar tumbuh semangat hebat.
Kubiarkan engkau mencari tempat di mana engkau merasa terlahir lagi.
          Lalu, engkau bisa memahami Shakespeare
          Wright bersaudara, Pasteur, Pavlov,
          Michael Faraday dan imajinasi-imajinasi bebas
          yang membawa perubahan ke satu dunia yang kini sedang berubah.
                 Engkau akan menjadi sendiri, cukup sendiri saja,
                 agar bisa meraih waktu dan dharma
                 yang engkau tahu pasti, sepenuhnya, itu adalah milikmu.
 

Saturday, January 8, 2011

Jika

Joseph Rudyard Kipling(30 December 1865 – 18 January 1936)


Sajak Rudyard Kipling


JIKA engkau mampu jaga tegak kepalamu, ketika semua orang
di sekelilingmu kehilangan itu dan menyalahkan engkau;
Jika engkau percaya diri sendiri, saat engkau diragukan,
Dan membalas dengan kerja, hingga mentah keraguan mereka:
Jika engkau bisa menunggu dan tak terlelahkan penantian,
Atau ketika dusta mengepungmu, dan kau tak ikut berdusta,
ketika kau dibenci dan kau tak membalas dengan kebencian,
Dan engkau tak mematut baik diri, tak asal bijak bicara;

Jika engkau mampu bermimpi - bukan mewujudkan mimpi tuanmu;
Jika engkau mampu berpikir - tak memikirkan tujuan-tujuanmu;
Jika engkau mampu hadapi riuh Kemenangan dan bala Bencana,
dan engkau tangani kedua penyemu-tipu itu sesama-samanya:
Jika kau sanggup mendengar kebenaran yang kau telah ucapkan
diperdustakan oleh bajingan untuk mengakali si bodoh pandir,
Atau menyaksikan apa yang engkau pertaruhkan dengan hidupmu,
hancur, dan kau punguti, kau bangun lagi dengan perkakas patah

Jika engkau mampu menyatu-tempatkan semua kemenanganmu.
dan mempertaruhkan segalanya dalam satu giliran permainan,
Dan engkau kalah, tapi engkau mulai lagi dari permulaanmu,
Dan tak pernah mengeluhkan sekatapun tentang kekalahanmu:
Jika engkau mampu memaksa jantungmu, syarafmu, otot-ototmu,
untuk segera bermain, setelah lama kau hilang kesempatan,
Dan terus bersiaga ketika tak ada apa-apa yang tersisa,
kecuali Keinginan yang menyeru mereka: Teruslah, Bertahan!

Jika engkau mampu bicara pada kerumunan dan tetap santun,
Atau berjalan bersama para Raja, tak hilang kerendahatian,
Jika tak ada lawan dan kawan terkasih bisa melukai engkau,
Jika semua orang memperhitungkanmu, dan itu tak berlebihan:
Jika engkau mampu mengisi menit-menit tak termaafkan
dengan menghargakan enampuluh detik, jarak tertaklukkan,
Maka, bagimulah Bumi dan segala apa yang ada padanya,
Dan - terlebih penting lagi - Kau 'kan jadi lelaki, anakku!
 

Thursday, January 6, 2011

Kata yang Mungkin Baru Kali Ini Kau Mengucapkannya

1. ANANA. Adalah panjang dari ujung ke ujung jari, saat tanganmu direntang disedepakan. Adalah dadaku yang mengosongkan dan mengisikan udara. Aku mencarimu, dari kamus ke kamus ketaktahuanku, aku menemukanmu di lembut ucap halus lidahku.


2. PAVNA. Adalah arus di Maharashtra yang menyungaikan angkasa. Mengaruskan angin dan udara. Adalah kita menangis, memurnikan mata, menyucikan airmata. Yang tak henti-hentinya dialirkan waktu, membersihkan segalanya, terantar segala ke muara.

3. PADAVI. Adalah garis dari jejak kaki, di permukaan kenangan, di sekenang panjang jalanan. Adalah titik tempat aku berhenti, tapi tak berdiam diri, tempat aku mengomakan diri.  Adalah jalan yang dicipta oleh perjalanan. Adalah arah yang termundurkan lagi.

4. VANATI. Adalah ucapan yang menyatukatakan segalanya: cinta, suka, hasrat, keinginan, harapan, Tapi terlalu fitrahkah lidahmu, hingga tak kau ucapkan jua ia? Atau terlalu najiskah telingaku untuk  mendengar kau sebutkan itu?

Dari Beberapa Orang, Tentang Beberapa Orang

1. KAUKAH itu, Prama? Mengalirkan ketenangan sungai, ke buntu waktu di dada kami yang cemar oleh kemarau sekemarinan itu?

2. LENNON, daging yang becek oleh darah di lukamu, oleh peluru dari pistol itu, terbebatkah masih? Sakitkah masih?

3. SELAMAT malam, Tohari! Obor mati, tak berminyak lagi. Tak bersumbu lagi. Kuncup mayang di hutan enau kita, tersadapkah?

4. APAKAH gerangan kenangan itu, Hamzah? Genangan garam di Istana, mengalir hingga ke makam, liang amat dalam

5. APA ini, Arundhati? Acar airmata? Potongan perih dalam pekat cuka, mengasam dari luka kita sendiri?

6. HAI, Gogh! Aku bawakan kanvas yang luka. Kau, lukiskan saja di situ setengah malam kita, dengan cat hitam yang encer saja! 

Renik, Tuan Richard

HAI, Tuan Richard! Dan kau menoleh aku. Kita sedang berjalan searah, ke 
satu kawasan di mana hutan diliarkan, paru-paru yang memar itu ditentramkan.

Kuucapkan juga apa yang matang terperamkan, sampai ke sini, aku berjalan
tanpa sepatu, tanpa payung dan baju. Aku adalah renik, mengurai jasad sendiri.    

Wednesday, January 5, 2011

[kolom] Saya Percaya pada Demokrasi

BAGI saya, kesederhanaannya mengesankan. Lelaki berpostur kecil itu amat bersahaja. Kulit wajahnya bersih tapi legam. Rambutnya seakan hanya disisir sekenanya, begitu saja, sama sekali tak ada tampak sentuhan penataan khusus. Dia berbatik, kemeja yang paling sering ia kenakan di banyak kesempatan, resmi ataupun tak resmi.

"Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga hukum produk era reformasi yang paling berhasil," katanya di depan kami peserta pertemuan Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup.



Saya hadir di forum itu. Dia, lelaki yang bicara dalam suasana akrab jauh dari formal itu adalah Profesor Mohammad Mahfud M.D. Dia, Ketua MK yang kedua, sejak lembaga itu berdiri tahun 2003. Ia meneruskan tugas Professor Jimly Asshiddiqie, ketua MK yang pertama.

Apakah MK? Menurut UUD 1945, lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir - dan putusannya bersifat final, jadi tidak ada urusan naik banding - untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan hasil Pemilihan Umum.

Bagi orang kebanyakan, inilah peran MK yang paling banyak diketahui: mengurusi Pilkada. Pernah MK dikritik, kenapa terlalu sibuk mengurusi Pilkada saja? Pengritik seharusnya membaca lagi UUD 1945 yang sudah diamandemen. Ini memang wewenang yang diberikan pada MK.

MK juga wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Nah, secara singkat itulah MK. Beberapa negara ASEAN datang ke negeri ini belajar bagaimana kita membentuknya. Ini tentu saja, seharusnya membanggakan kita.

*

Sepanjang tahun 2010, MK memang disibukkan dengan sengketa pemilihan umum. Sepanjang tahun itu lembaga ini telah menerima 366 permohonan perkara. Apa materi permohonan itu? Ada pengujian undang-undang (UU), sengketa pilkada, juga sengketa kewenangan lembaga negara.

Sebagian kecil permohonan itu ditolak. Ada 312 diantaranya yang diregister, dan - nah ini dia - 73 persen dari perkara itu adalah sengketa Pilkada, dengan kata lain ini adalah sengketa dalam penyelenggaraan demokrasi.

Ya, demokrasi kita masih lemah. Tepatnya, sistem penyelenggaraan demokrasi kita masih lemah. Ini adalah kesimpulan dari laporan akhir tahun Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyimpulkan, kelemahan itu terlihat baik di sisi penyelenggaraan, pengawasan, institusi penegakannya, serta aturan mainnya.

"Jika sistem penyelenggaraan demokrasi sudah kuat dan baik, tentu semua pelanggaran pidana dan administratif akan tuntas sebelum perkara diajukan ke MK," kata Ketua MK Mahfud MD, sebagaimana dikutip Kompas (Selasa, 4 Januari 2011).

Di Hotel Ciputra, siang di bulan November tahun lalu itu, Mahfud bercerita betapa sibuknya para hakim konstitusi. Mereka menggelar sidang secara maraton. Lalu, saat itu mereka dihantam lagi dengan isu suap yang diterima oleh salah satu hakim konstitusi. "Saya sudah siapkan surat mundur. Kalau terbukti ada suap, saya tinggal teken, saya mundur," katanya, ringan, tanpa beban.

Saya mengingat-ingat lagi pertemuan dengan lelaki kelahiran Sampang, Madura, itu, setelah berjalan keluar dari TPS 13, Tiban Indah, dengan bekas tinta di kelingking. "Akankah Pilwako Batam ini juga akan dibawa ke MK?" saya bertanya-tanya sendiri. Saya berharap jawabannya adalah tidak.

Datang ke TPS bersama istri saya, memilih salah satu dari lima kandidat walikota yang saya yakini terbaik untuk memimpin Batam, secara sadar, bagi saya adalah bagian dari proses demokrasi. Betapa pentingnya sistem ini, tapi rasanya saya sebagai anak bangsa tak banyak diajari bagaimana memahaminya dan bagaimana ikut terlibat menyelenggarakannya sehingga itu bermaslahat buat bangsa.

*

Kepastian hukum dan demokrasi itu seperti darah dan tubuh. Jika demokrasi adalah tubuh, maka kepastian hukum adalah darahnya. Demokrasi akan kuat jika hukum ditegakkan dengan setegak-tegaknya. Dua dari sebelas prinsip-prinsip dasar demokrasi adalah persamaan di depan hukum, dan proses hukum yang wajar.

Apa yang kita hadapi di negeri ini adalah hukum yang oleng. Beberapa tiangnya miring. Itulah tugas kita, orang per orang, lakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk sama-sama menegakkan tiang itu. Ini proses yang menyakitkan, melelahkan dan mudah sekali bikin kecewa.

"Setelah setiap transformasi dari sistem otoriter ke demokrasi, ada tahap euforia dan kemudian tahap kecewa. Dan itu fenomena biasa," kata Vaclav Havel dalam wawancara di Kompas, minggu lalu. Havel adalah sastawan politisi yang menggerakkan Revolusi Beludru yang membebaskan Cekoslovakia dari rezim komunisme pada tahun 1989, dan kemudian negara itu terpecah menjadi dua: Ceko dan Slovakia. Ia adalah presiden Ceko yang pertama.

Kita, sebagia besar dari kita, pasti ada pada tahap yang disebut oleh Havel: kita sedang kecewa. Kecewa dengan apa saja yang tak juga beres di negeri ini. Tapi, kita tak boleh berhenti.

Kita - sejak awal berdirinya negara ini - memilih sistem demokrasi untuk menata urusan bersama di negeri ini. Ya, demokrasi, kata yang dibentuk dari dua kata "demos" yang berarti "rakyat" dan "kratos" yang berarti "kekuasaan", sebagaimana diperkenalkan oleh Aristoteles.

Secara sederhana kita memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM - jauh sebelum agama-agama besar diwahyukan - di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena. Jadi, demokrasi bukan dari Amerika, meskipun sekarang, negara inilah yang paling getol mempromosikannya. Amerika, dengan trauma sejarah, perang saudara ratusan tahun, sudah meyakini inilah sistem penyelenggaraan negara yang paling mungkin.

Demokrasi pasti tidak sempurna. Ada sekelompok orang dengan pikiran ekstrem bahwa demokrasi adalah sampah. “Itu adalah pemikiran manusia, dan setiap yang datang tidak dari Allah adalah sampah buat saya,” kata seorang yang saya kenal dalam sebuah perbincangan. Dia membayangkan sebuah negara dengan sistem lain. Dia amat yakin, dengan system ideal yang ia yakini itu, dunia akan damai, masyarakat makmur, hokum tegak. Saya tidak membantahnya. Demokrasi, yang sekarang saya yakini dengan segala kelemahanya, memungkinkan orang berpikiran seperti itu.[]

Monday, January 3, 2011

Aku Kavi Matasukma, Di Mana Kau, Shania?

3. Dalam Kicauan Tanda Bunyi, Spasia, dan Tanda Baca

DI linimasa, seperti taman perumahan, atau bulevar keteduhan,
burung-burung berhinggapan, Shania, kau tahu aku bisa riang di sana 
meski tak pernah ke sana, dan engkau tak akan bisa aku temukan

Aku hanya semakin tahu, bahwa ternyata cinta - seperti apa yang 
mengikat aku padamu - yang menenagai Neruda menulis seratus
soneta kepada kekasih sehayat-semautnya:  Mathilde Urrutia



Aku Kavi Matasukma, Di Mana Kau, Shania?

2. Kita Penonton Berseberang Tribun 

JAUH sekali, kita penonton terpisah diagonal stadion,
jarak yang tak sampai, pulang-pergi diseberangkan
tribun: o, hiruk-pikuk, o, hijau-sejuk, o, hampa-peluk. 

Aku lihat kau: sosok dalam film bisu. Memeragakan
adegan tubuh yang tak pernah aku mengerti. Inilah
gambar sinema, diperangkap kamera, tanpa sutradara. 

Yang kubayangkan hanya bidang putih seluas mata kita
berdua, sunyi mengalasinya, remang membiasinya, dan kita
merayakan setiap getar jala, gawang yang mengurung kita

Aku Kavi Matasukma, Di Mana Kau, Shania?

1. Aku Kira Seharusya Hari Itu Hujan 

KITA anak-anak pulang, riang seusai sekolah petang

Mencari jalan lain di bukit pintasan, semak mawar cina
Putih dan merah warnanya, angin yang paham, ia tahu
Betapa rapuhnya tangkai itu, bertahan dari petikan usia

Kita anak-anak pulang, menemukan pintu rumah rahasia,
rumah berlantai kaca, membarangkalikan segala terbaca

Kita anak-anak pulang, tiba-tiba berubah bertubuh kaca

"Kita seperti kerasukan hujan yang aku kira seharusnya
hari itu ada," kataku, mengambang bersamamu, di naung
pergola, dikembangi liana, lalu kusunggi engkau ke tangga.
Ke tinggi. Menangga. Meninggi. Sehingga tak tersangga!