Saturday, November 22, 2003

[Ruang Renung # 35] Penyair Sebagai Anjing

OBITUARI -- aku hanya seekor anjing luka/panah berbisa tancap di dada/matiku takkan berarti apa-apa// takkan ada air mata/hanya anyir nanah/dan nyinyir lidah.(Dikirim oleh TS Pinang lewat pesan pendek).

Adalah Thomas Dylan yang menulis memoirnya dengan judul A Portrait of A Young Poet as a Dog. Sebagai anjing. Kenapa anjing? Bukankah binatang itu identik dengan keburukan laku dan rupa? Bukankah tak ada kebanggaan sama sekali ketika nama binatang itu disebutkan?

Ada kata-kata yang karena nilai-nilai sosial dalam masyarakat menjadi bermakna miring. Pejoratif. Anjing tidak lagi bermakna sekada nama seekor binatang. Tetapi, menjadi kata makian. Diperalat untuk menunjukkan keburukan atau menjadi alat stempel untuk menjelekkan orang lain yang bukan anjing. Kata lain adalah: monyet. Dengan puisi, kita bisa mengembalikan kata yang telah diselewengkan maknanya itu. Kita bisa mengembalikannya, memberinya tenaga makna baru, memakainya secara arif, pas dan sedap ke dalam puisi kita.

Jangan terbawa arus, memakai kata-kata malang itu sebagai makian juga di dalam puisi kita. Kecuali kalau kita memang hendak memaki, dan untuk tujuan itu, tolong jangan salah gunakan puisi.[ha]