X : Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti
disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri, tak
harus merancang perjalanan, memburu tiket dan
berebut tempat duduk di kendaraan yang selalu
pura-pura ramah? Kenapa kita tidak menyimpulkan
saja bahwa di sekarang kita ini, adalah rumah yang
tak harus kita tinggalkan lagi?
Y: Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
tamu juga di setiap terminal, stasiun dan bandar-bandar
yang kita temui dalam perjalanan kita? Kenapa kita tidak
merindukan saja setiap kejutan, menemukan kita yang lain
yang menceritakan perjalanan sendiri yang tak pernah
ada dalam rute petualangan kita?
X: Kenapa tidak kita akui saja bahwa kita sudah lelah,
usia dalam ransel yang tak sempat kita hitung lagi,
entah di mana tercecernya? Entah sudah kita tukar
dengan apa, entah kita sia-siakan dengan siapa...
Y: Kita memang lelah. Tapi ini bukan soal menang atau kalah.
Ini soal melangkah, hidup yang harus diberi jawaban, juga
hidup yang terus menerus mengajukan pertanyaan. Dan usia?
Apa lagi yang ingin kita tanyakan perihal hitung-hitungan yang
kelak pasti akan selesai juga urusannya?
X: Kenapa kita tidak kita akui saja bahwa kita sudah terlalu tua,
untuk menyebut kalimat: "Lihat, aku masih terlalu kuat, telah
kutaklukkan dia Waktu sang Goliath, telah kubuktikan siapa
yang akhirnya menang, siapa selamat, siapa sekarat!"
Y: Kita memang telah tua. Tapi ini bukan menutup kemungkinan
kita untuk menabur biji-biji asam di tepi setiap jalan yang
memberikan diri bagi lalunya kita, setiap jalan yang menyapa:
"Selamat Datang, Saudara, Selamat Jalan, Saudara. Supaya
abadi, jejak sepatumu akan kami titipkan saja pada hujan yang
kelak akan lewat. Dia atau Engkau yang nanti menunggu
di muara? Ah, terserahlah saja. Yang penting hati-hati, ya."
X: Nah, lihat! Kenapa kita tidak berhenti membuat orang lain
mencemaskan kita?
Y: Lalu kapan kita bisa berhenti mencemaskan diri sendiri?
Nov 2003