Sunday, September 16, 2012

Tentang Dua Selendang

: Abdullah bin Abdu Nahm

DI liang lahadmu, seorang Nabi berkhotbah tentang keridhaan darinya dan dari Tuhan.

Di depan jasadmu, seorang Nabi berdoa, dengan pinta yang semua orang mengirikan dan menginginkan.

Di sepanjang jejakmu, masih akan terulur padaku, dua selendang, cukup dan mencukupkan.

Saturday, September 8, 2012

Bila Bilal

APAKAH batu yang mereka timpa-tindihkan di dadamu lebih keras daripada apa yang menyala di hatiku?

Apakah bisa kutebus-bebaskan diriku dari apa yang menuan lalu memperbudak aku dari dalam diriku sendiri itu?

Apakah sampai terbang camarmu ke hari hatiku? Apakah jerit panjang itu masih bisa tinggi menerbangkan aku?

Published with Blogger-droid v2.0.9

Friday, September 7, 2012

Menangislah, Hurairah

MENANGISLAH, Hurairah, untuk aku yang baru ingin belajar menangis, karena kaki dan hati yang lemah, perjalanan jauh yang semakin menjauh, dan bekal yang dangkal tak cukup sejengkal.

Mengangislah, untuk sakit pada punggung yang rawan, kayu bakar yang basah, dan jalan yang menyisih ke tepian sisihan. Menangislah, untuk aku yang baru ingin keluar dari pasar, mencari waris yang kau wariskan.

Published with Blogger-droid v2.0.9

Wednesday, August 29, 2012

Kemana Sebenarnya Aku Sedang Berjalan

AKU berjalan di belakang
lelaki yang berjalan di
belakang lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Aku tahu kami
akhirnya akan sampai di mana.
Di sana, kami tak lagi harus
sembunyi, di sana tak ada
sudut untuk bersembunyi,
dan di sana tak ada yang
bisa disembunyikan.

JAUH sekali jarak antara
aku dengan lelaki yang
kuikuti yang berjalan
mengikuti lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Tapi masih hangat
jejak-jejak mereka terasa
di telapak kakiku yang
berjalan telanjang, dan
aku tahu ini perjalanan
tak akan lama, tak selama
nanti waktu yang kami habiskan
di tempat sampai, dan
kami saling bertemu.

Aku berjalan di belakang
lelaki yang berjalan di
belakang lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Dari jalan ini, aku
kenal siapa lelaki yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan oleh lelaki yang
di belakangnya kini aku
berjalan. Dari siapa yang
aku tahu tentang si penunjuk
jalan, aku tahu kemana
sebenarnya aku sedang berjalan.


Tuesday, August 28, 2012

Tanda Bahwa Waktu Itu Ada 

...dan waktupun berlalu tanpa sepengetahuanku - Edgar Allan Poe


WAKTU itu tidak ada. Tapi ada. Pada garis-garis lipatan di sekeliling leherku, misalnya. Itu berbaris seperti tangga. Aku berjalan di situ, tak tahu sedang menaiki, atau menuruni tangga itu. 

Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada buli-buli lemak yang menggantung di luar kantung lambungku, misalnya. Pelan-pelan ia menggunduk. Menjadi begitu penuh di tempat yang tak seharusnya kubiar-biarkan.

Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada kusutnya kerutan di punggung lenganku, misalnya. Juga bayangan bekas luka-luka, yang rasa sakitnya sudah lama, teramat akrab. Kuterima. 

Juga pada rambut yang sehelai-sehelai menjadi bening, sewarna benang pancing, dan aku ikan yang cemas, merenangi usia sendiri - tanda bahwa waktu itu ada - yang mendangkal, menyurut, dan menyusut.  

Monday, August 27, 2012

Itulah Sebabnya Padamu Aku Kembali

SEPERTI jemari hujan memainkan bunyi di dedaunanmu,
mendentingkan kesunyian yang terlalu kental kukenali.

Aku pernah punya keberanian yang ternyata menakutkan.
Tanpamu, aku pengecut, sesat sudah pada langkah pertama.

Aku ingin menuliskan kalimat apa saja, dengan kata
seru "Oh.." pada awalnya. Dan "Ah..", pada akhirnya.

Aku bayangkan itu ada dalam lirih lirik, yang dilagukan
penyanyi - yang seperti aku - tak pernah pandai menari.

Adapun lagu itu - setelah takzim kau simak - berarti:
meninggalkan engkau, itu artinya aku meninggalkan
diriku sendiri. Itulah sebabnya hanya padamu aku kembali.




Thursday, June 21, 2012

“Saya Selalu Bertanya Sebanyak-banyaknya “

Dewi "Dee" Lestari (Foto Kapanlagi)
9 Pertanyaan untuk Dewi "Dee" Lestari

DEWI Lestari, atau Dee, nama yang ia cantumkan di sampul novel-novelnya, adalah salah seorang penulis terkuat Indonesia saat ini. Kekuatan itu ia buktikan dengan konsistensi menulis dan menjaga mutu karya-karyanya. Ia baru saja menerbitkan “Partikel”, rangkaian ke-4 dari serial Supernova, yang mulai banyak dipuji sebagai karya terkuat dari empat rangkaian itu. Ia masih ‘berutang’ dua seri Supernova lagi. Diluar serial itu, dia menerbitkan sejumlah karya yang sama kuatnya. Kenapa dan bagaimana ia menulis? "Saya selalu bertanya sebanyak-banyaknya," katanya dengan saya lewat beberapa kali berbalas email. Itulah dia, penulis dengan semangat ingin tahu dan mencari tahu yang kuat, seperti yang dia tuliskan di biodata akun twitternya (@deelestari): my curiosity could kill a lion. Inilah hasil tanya jawab tersebut:   

1. Saya ingin mulai dengan satu pertanyaan, semacam konfirmasi saja, dari petikan Milan Kundera. Dia bilang, "Spirit novel adalah spirit kontinuitas: setiap karya adalah jawaban karya terdahulu; setiap karya mengandung pengalaman novel sebelumnya." Saya kira yang dimaksud Kundera, selain novel yang kita tulis sendiri, adalah juga karya penulis lain yang kita baca. Secara sengaja, atau tidak sengaja, spirit karya siapakah yang Anda 'lanjutkan'? Atau Anda tak setuju dan tak peduli pada Kundera tadi?

 Sepertinya pendapat saya senada, walau tak persis sama. Saya sendiri percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki, demikian juga opini dan persepsi, sesungguhnya merupakan "kain perca" yang terdiri dari pecahan pengetahuan, opini, dan persepsi orang lain yang kita baca, dan seterusnya. Jadi, segala ide yang dimiliki oleh setiap orang selalu merupakan kontinuitas dari ide-ide yang hadir sebelumnya. Supernova, bagi saya pribadi, adalah bukti nyata dari kenyataan itu. Dia adalah karya yang organik, yang tumbuh bersama dengan penulisnya. Tidak ada pemikiran maupun karya tunggal yang saya teruskan, melainkan banyak karya dari banyak penulis. Agak sukar saya sebutkan terperinci satu demi satu. Untuk contoh saja, novel terbaru saya "Partikel", mengusung pemikiran Dr. Birute Galdikas, Graham Hancock, Andrew Collins, Terrence McKenna, Albert Hoffman, dan masih banyak lagi yang karya-karyanya menjadi bahan riset saya. 


2. Tanpa mengabaikan 'Filosofi Kopi', 'Perahu Kertas', 'Madre' dan 'Recto Verso' (yang terakhir ini satu-satunya karya Anda yang belum saya baca), empat seri 'Supernova' menunjukkan kelas Anda sebagai novelis. Apa dan atau siapa yang membuat Anda menulis? Saya curiga jangan-jangan Anda menulis karena muak dengan novel-novel yang pernah Anda baca? Semacam wujud kemarahan 'hei, begini seharusnya sebuah novel ditulis!'?

 Cukup tepat, sebetulnya. Walaupun energi yang muncul bukan kemarahan, melainkan gemas dan penasaran. Topik-topik yang selama ini saya angkat di Supernova adalah topik-topik yang selalu mengusik rasa ingin tahu saya, dan sangat minim diangkat dalam pustaka Indonesia . Setidaknya sejauh yang saya temukan. Karena itulah, saya setuju benar dengan apa yang dibilang Amitav Gosh: "Tulislah buku yang ingin kita baca." Ketika saya mendengar kalimat tersebut, rasanya itu merangkum semua yang saya lakukan selama ini. Baik di bidang musik maupun sastra. Saya semata-mata menulis buku yang ingin saya baca, dan membuat musik yang ingin saya dengar.

3. Menelisik empat seri Supernova, saya yakin banyak sekali perjalanan yang harus Anda lakukan untuk novel-novel Anda. Pertanyaan saya, perjalanan itu Anda lakukan mengikut rancangan kisah dalam novel Anda atau sebaliknya, Anda bepergian saja ke berbagai sudut dunia, lalu dari sana tumbuh gagasan-gagasan, tokoh-tokoh dalam cerita Anda?

Sayangnya, tidak banyak perjalanan fisik yang saya lakukan. Sungguh, saya amat berharap bisa mengunjungi tempat-tempat yang saya tulis. Kenyataannya, sebagian besar tempat tersebut belum saya kunjungi langsung. Tapi, saya merasa dianugerahi bakat untuk menulis dengan cukup meyakinkan, hehe. Menurut saya itu tergantung angle dan porsi deskripsi yang tepat. Tanpa terlalu berlebihan membeberkan, atau terlalu minim deskripsi. Jika pas, maka pembaca akan merasa mereka berada di sana , dan imbasnya mereka juga ikut percaya bahwa saya pasti pernah berada di sana . Plot saya selalu berjalan sesuai dengan kebutuhan gagasan yang ingin saya sampaikan ke pembaca. Jika gagasan tersebut kemudian membutuhkan perjalanan tertentu, ya, akan saya buat. Terlepas saya pernah melakukan perjalanan yang sama atau tidak. Sering kali juga cerita bertumbuh saat ditulis. Kalau tiba-tiba tokoh saya butuh kedalaman psikologis tertentu, dan untuk itu dia harus melakukan perjalanan ke satu tempat atau bertemu karakter yang spesifik, ya, akan saya ciptakan.

 4. Bagaimana Anda menemukan atau menciptakan tokoh dalam cerita Anda, memilih dari (saya yakin ada) sekian banyak, mengembangkan karakternya, menjaga konsistensinya, dan nanti bagaimana menghabisi mereka? Adakah tokoh yang merupakan 'pecahan' dari diri Anda? Atau diri Anda yang Anda inginkan seperti karakter cerita Anda tersebut?

Ketika sudah ditulis, sejujurnya saya tidak bisa lagi membedakan. Kadang-kadang dengan sadar dan sengaja saya mencomot orang-orang di sekeliling saya, yang saya kenal baik atau cuma kenal sekilas, atau bahkan hanya fisiknya saja tanpa saya kenal sama sekali. Namun, kadang-kadang proses itu sudah tidak disadari lagi. Pastinya ada bagian-bagian diri saya yang masuk ke dalam karakter, tapi tidak pernah seutuhnya. Bagi saya, itu otobiografi terselubung, dan bukan itu saya inginkan dalam fiksi-fiksi saya. Sama seperti plot, tokoh pun bertumbung seiring dengan ditulisnya cerita. Kadang ada yang tiba-tiba jadi antagonis, padahal niat awal saya tidak demikian. Hanya ketika ditulis, secara intuitif saya merasa tokoh tersebut harus membuat "twist". Ada juga tokoh yang di rencana awal saya hanya jadi pelengkap, tapi ketika ditulis mendadak dia punya dimensi menarik yang akhirnya menuntut saya untuk memperbesar porsinya. Kejutan-kejutan seperti itulah yang membuat proses menulis menjadi sangat menarik dan seru.

5. Ini soal teknis, saya yakin Anda mewawancarai banyak orang-orang untuk novel-novel Anda, seperti jurnalis untuk sebuah liputan investigasi. Atau lebih daripada itu. Bagaimana Anda mengatur hasil wawancara itu: data, foto-foto (yang tak akan ditampilkan di novel), rekaman, juga kesan-kesan yg terekam di hati. Anda mencicil pekerjaan menulis Anda? Atau menumpuknya untuk dituntaskan setelah mengaanggap semua bahan telah cukup?

 Ya, karena saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengunjungi berbagai macam tempat secara langsung, akhirnya saya banyak melakukan wawancara. Saya tidak pernah persis tahu apa yang saya butuhkan untuk cerita hingga tiba waktu menuliskannya. Saya paling hanya terbayang garis besarnya saja. Untuk itu saya selalu bertanya sebanyak-banyaknya. Untuk mengetahui sebuah tempat, misalnya, saya bertanya sampai ke rasa udaranya bagaimana, lembap atau kering; air di sana bagaimana, jernih atau keruh; bagaimana rupa pepohonan dan tetumbuhan di sana , dsb. Untuk riset pustaka kurang lebih begitu juga, saya baca sebanyak-banyaknya. Satu buku bisa mencabangkan saya ke banyak buku lain, dan saya cerap saja semua informasinya di memori. Begitu tiba saatnya saya menulis, biasanya pengetahuan tersebut akan terseleksi, mana yang dituangkan dan mana yang tidak. Untuk Partikel, saking sudah lamanya saya mengumpulkan materi, saya harus membuat outline dulu. Berdasarkan panduan plot tersebut, maka dipilihlah informasi yang sekiranya menunjang cerita. Tapi, tentu pada pelaksanaannya proses tersebut berjalan organik dan banyak unsur spontanitas.

 6. "...Supernova hanya menjamin satu hal: perubahan cara pandang kita terhadap dunia akan berdampak besar pada dunia, melampaui apa yang bisa kita bayangkan." Ini petikan dari "kredo" Supernova. Saya melihat itu tersirat amat sublim dalam 4 rangkaian karya Anda: ajakan untuk lebih arif, mengubah cara pandang, melihat dunia dgn cara yg lebih luas. Sejauh mana ajakan itu disambut oleh pembaca Anda?

 Saya tidak pernah mengadakan riset atau polling resmi jadi tidak bisa menjawab secara pasti, hehe. Yang jelas, dari apa yang disampaikan pembaca saat kami bertemu, atau via internet, media sosial, dan lain-lain, banyak yang merasa hidupnya ikut diubah karena membaca buku-buku saya. Kadarnya sudah pasti berbeda-beda. Dan tentu bukan saya yang mengubah hidup seseorang secara langsung, melainkan persepsi merekalah yang kemudian bergeser atau berubah akibat apa yang mereka baca. Itu juga apa yang saya sebut di Supernova, bahwa cara pandang kita terhadap hidup otomatis mengubah hidup kita. Life is all about perception.

 7. Apakah sejak awal memang Supernova dirancang jadi enam seri? Kenapa enam? Anda menyisakan dua seri lagi. Sekarang kalau boleh buka rahasia sebagai pengarang, apakah Anda sudah punya cara menutup rangkaian serial ini?

 Sebetulnya mengapa Supernova menjadi enam adalah perkembangan yang terjadi ketika proses menulis berjalan. Sejujurnya, konsep awal saya adalah tiga buku. Trilogi. Buku kedua akan bercerita tentang 4 tokoh baru yakni: Akar, Petir, Partikel, dan Gelombang. Namun, ketika saya mulai menulis Bodhi, saya sadar bahwa materi Bodhi sendiri volumenya sudah cukup untuk satu buku. Dan untuk menjaga konsistensi, maka ketiga teman lainnya pun juga harus masing-masing ditulis dalam satu buku. Akhirnya episode kedua berubah menjadi empat buku. Dan yang tadinya trilogi menjadi heksalogi. Bagaimana saya menutupnya? Saya sendiri tidak tahu persis, hehe. Sudah ada bayangan, tapi sifatnya masih sangat cair, jadi masih bisa berubah walaupun saya sudah punya ancer-ancer. Untuk sementara ini saya rasa lebih baik soal penutup dibiarkan menjadi misteri.

 8. Baluran sains dalam karya Anda sebenarnya berpotensi untuk bikin 'tidak laku'. Pembaca kita tak akrab dgn isu-isu sains, bukan? Ini saya kira pertaruhan besar di edisi awal Supernova. Dan Anda memenangkan pertaruhan itu. Keberhasilan itu apakah kemudian ini ada pengaruhnya dalam proses penulisan serial berikutnya?

Iya, karena memang awalnya saya sendiri tidak peduli buku itu akan laku atau tidak. Saya menulis Supernova untuk kado ulang tahun saya yang ke-25, jadi menghadiahi diri sendiri. Saya sudah senang menulis sejak kecil, dan sering berkhayal bahwa satu saat akan punya buku sendiri. Saya menerbitkan Supernova untuk memenuhi impian itu. Waktu itu, saya nggak peduli apakah 7.000 buku yang saya cetak itu akan habis dalam setahun atau sepuluh tahun. Topik sains dan spiritualitas memang menjadi ketertarikan saya. Namun, saya tidak mengulang sains di Akar karena memang kebutuhan cerita Bodhi tidak ke sana arahnya. Demikian juga pada Petir. Baru pada Partikel, unsur sains muncul kembali. Jadi, ciri khas Supernova memang bukan pada sainsnya, melainkan penelusuran spiritualnya.

9. Apakah Supernova sekarang jadi beban atau berkah bagi kepengarangan Anda? Maksud saya, ketika nanti Anda merencanakan menulis karya lain diluar rangkaian Supernova.

Saya sudah menulis karya lain selain Supernova sejak 2006, melalui Filosofi Kopi. Dan sesudah itu saya mengeluarkan tiga buku lain yang juga tidak dalam rangkaian Supernova. Jadi, isu tersebut sepertinya sudah tidak relevan. Waktu akan merilis Filosofi Kopi memang sempat deg-degan, karena itulah kali pertama saya menulis di luar dari Supernova. Namun, ternyata sambutannya cukup baik. Malah Filosofi Kopi menjadi lima besar di Khatulistiwa Award dan menjadi karya sastra terbaik tahun 2006 pilihan majalah Tempo. Saya, sih, tidak ada beban untuk berkarya apa pun. Cuma saya nggak tahu apakah akan menulis serial sejenis Supernova lagi atau tidak.***

Wednesday, June 20, 2012

Ini Hanya Pagi yang Tak Hanya Pagi

PAGI adalah cara bumi mengajari aku bagaimana mencintai engkau, apa yang sepertinya rutin aku lakukan, tapi sesungguhnya tak pernah berulang sama.

Pagi adalah cara matahari mengajari aku setia pada engkau. Ia tak pernah diam tapi tak beranjak dari dirinya. Demikianlah, cinta sesungguhnya adalah cinta yang tak bertanya.

Pagi adalah cara embun mendongengi aku tentang ketulusan, dan ia ingin aku meniru. Ia hanya akan sebentar ada. Tapi pada daun-daun itu, jejak ceritanya tetap terbaca.

Pagi, bumi, matahari, dan embun, adalah caraku melakukan sesuatu untukmu, yaitu menemukan diriku pada yang bukan aku, seperti yang kudapat dari cintaku padamu.



[Kolom] Samudera Biru Fast Company


BELAKANGAN saya banyak membaca buku-buku dan majalah bisnis dan entrepreneurship. Selain Fortune yang sejak dua tahun lalu sudah terbit dalam edisi Indonesia, saya membaca Fast Company, Inc., dan Entrepreneur. Tiga yang terakhir ini agak susah mendapatkannya tapi kebetulan dalam beberapa bulan terakhir saya sering bepergian, dan menemukan ketiganya di toko buku Periplus yang jaringannya ada di Bandara Soekarno Hatta.  Saya agak boros belanja di situ.






Majalah-majalah tersebut seperti diatur jenjang kebutuhannya. Mula-mula, Entrepreneur. Ini adalah majalah untuk para wirausaha pemula. Laporan-laporan utamanya antara lain: Berbisnis Mandiri: Bagaimana Caranya Sukses Membangun Bisnis Anda Sendiri; Besarkan Merekmu - Rahasia Keberhasilan 10 Merek yang Paling Terpercaya di Dunia;  Ciptakan Peluang:  Tinggalkan Pekerjaanmu, Langgar Aturan, Luncurkan Merekmu!  Dan pada yang terbaru, edisi Juni lalu laporan utamanya adalah bagaimana Richard Branson membangun Imperium Bisnis. Branson adalah pebisnis yang memulai usaha sejak SMA, dan kini meraksasa dengan mereka Virgin. Usahanya membentang jauh dari perusahaan rekaman, maskapai VirginAir, dan dalam laporan itu juga dijelaskan bagaimana dia menawarkan plesiran ke luar angkasa, jauh sejauh ini masih konsep yang terus-terang saja masih setengah matang, tapi Anda tahu, orang sudah antre bayar di depan untuk jadi turis wisata ‘nyeleneh’ tersebut.

Lalu, majalah Inc.. Ini tentu singkatan dari Incorporation atau Incorporated. Majalah ini kira-kira melayani pengusaha yang sudah jalan dan tentu mereka perlu banyak inspirasi terus-menerus bagaimana cara bertahan dan tumbuh. Laporan-laporannya antara lain:  Kenapa Tokoh Ini tak pernah Berhenti Berinovasi?; Bagaimana Menjadi Bos yang Hebat; Bagaimana Mempertahankan Bisnis yang Sudah Dimulai; Pelajaran dari Persaingan Bisnis yang Paling Keras; Inilah Perusahaan-perusahaan Periklanan Paling Keren;  Segala Hal yang Anda Perlukan untuk Menyempurnakan Penawaran Bisnis Anda!

Adapun majalah Fortune, adalah majalah yang laporan-laporannya adalah tentang bagaimana perusahaan-perusahaan besar dikelola. Wawancaranya selalu dengan para CEO terpilih. Sebagai pembaca yang belum lama, saya menemukan CEO Coca-Cola, Google, Amazon, Microsoft.  Pada edisi Indonesia pun yang tampil di sana adalah CEO perusahaan ternama seperti Garuda, Bank Mandiri, Telkom, Unilever, P&G, dan di edisi terbaru laporan utamanya adalah hasil wawancara Sukanto Tanoto, raja pulp Indonesia, yang sekian tahun lamanya tak pernah mau ditemui wartawan.

Tingkat majalah. Tiga tingkat perkembangan usaha. Dengan kata lain semua level kebutuhan informasi wirausaha terpenuhi.  Lalu majalah seperti apa lagi yang dibutuhkan? Ada banyak majalah bisnis lain dari Amerika.  Tapi, saya tertarik dan belakangan juga rutin membeli majalah Fast Company. Majalah ini dengan jeli menawarkan satu hal lain yang jika tidak ditawarkan olehnya, maka kita tidak tahu bahwa kita perlukan itu. Fast Company tampil dengan semangat yang sama sekali lain: bisnis adalah seni. Strategi bisnis adalah jurus-jurus yang bisa dilakukan dengan sangat indah.

Fast Company, misalnya dengan penuh percaya diri bisa saja membuat laporan utama tentang rekaman wawancara dengan Steve Jobs dua puluh lima tahun yang lalu, dan selama ini tak pernah disiarkan. Apa menariknya rekaman “basi”  yang sudah dianggap hilang itu? Setelah pendiri Apple Inc. itu meninggal, apapun yang berkaitan dengannya menjadi sangat menarik.  Pada kali lain majalah ini melaporkan tentang segala hal ihwal di dalam tubuh Facebook menjelang penjualan saham perdanya.  Pada edisi lain dengan otoritas penuh tim redaksi Fast Company menentukan 100 Orang Paling Kreatif di bidang bisnis masing-masing. Bukan hanya orangnya, mereka juga yang menentukan sendiri apa bidang bisnisnya, yang tentu tak pernah terpikir oleh media lain, atau mungkin juga oleh sosok yang terpilih itu sendiri.

Saya menyimpulkan satu hal yang sama: para penggagas, pendiri, dan pengelola majalah-majalah bisnis di atas adalah pebisnis yang hebat.  Saya kira memang begitulah seharusnya seorang pebisnis: dia harus tahu apa yang dibutuhkan oleh konsumennya, dan dia harus piawai membuat produk yang memenuhi kebutuhan itu. Pebisnis hebat, bagi saya, dekat dengan kejeniusan dalam bentuk yang lain.

Kisah bagaimana Fast Company lahir harus saya kutip dalam kolom ini untuk mendukung kesimpulan saya di atas.  Adalah Allan Webber yang pada suatu titik  berada di puncak kariernya  dan juga di puncak kejenuhan.   Dia bergaji tinggi, disegani, dan memimpin majalah bisnis akademi yang paling berwibawa Harvard Business Review.   Pembuktian kemampuan, kesuksesan, ternyata tak lagi bisa dinikmati oleh Alan.

Jims Collins, penulis buku legendaris “Good to Great”, menggambarkan keadaan Webber saat itu kira-kira begini: semakin lama bertahan, semakin sukses dia. Semakin sukses, semakin besar harga yang harus ia bayar untuk meninggalkan pekerjaannya. Semakin besar harga yang harus ia bayar untuk meninggalkan pekerjaan, maka kesuksesannya semakin terasa menjadi seperti penjara!

Alan Webber kira-kira sedang berada dalam kawasan ‘samudera merah’ karirnya sendiri. Samudera merah adalah istilah bisnis yang menjadi sangat popular setelah diperkenalkan konsepnya oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne.  Bacalah buku “Blue Ocean Strategy”, yang di Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Serambi.  Istilah ini diperkenalkan dengan jeli untuk menggambarkan kondisi pasar, dan persaingan untuk menguasai pasar tersebut.

Dalam samudera merah, kata Kim dan Mauborgne, batasan-batasan sudah tertakrif dan diterima, aturan-aturan persaingan sudah diketahui. Siapa lawan sudah jelas. Jika ingin menang, kalahkanlah lawanmu. Siapapun kita yang ada di pasar merah tersebut, pada pihak yang kuat ataukah yang lemah, kebosanan bisa menyergap. Saya bayangkan itlah yang dirasakan oleh Allan Webber.

Dia lalu tinggalkan pekerjaannya yang sedang ada di puncak itu, dan membuat majalah baru dengan konsep yang kuat. Itu terjadi di tahun 1995. Mula-mula ia menyimpulkan tiga tren besar yang sedang terjadi di dunia, dan dengan demikian juga dalam bisnis, yaitu: digitalisasi, globalisasi dan demokratisasi. Dengan kejelian membaca tren itulah Fast Company lahir, dan sukses besar.

Dengan demikian, kira-kira, lagi-lagi merujuk ke konsep Kim dan Mauborgne, Alan dan --- oh ya dia dalam persiapan didorong dengan mitra yang sama-sama menjadi editor di HBR dan ‘sintingnya’, yang lebih dahulu berhenti  --- (yaitu)  Bill Taylor, menciptakan ‘samudera biru’-nya sendiri.  

Samudera biru – tulis Kim dan Mauborgne – adalah ruang pasar yang belum terjelajahi, penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan.

Fast Company, disebutkan  oleh Collins dalam pengantar buku yang merangkum artikel-artikel terbaik dalam sepuluh tahun majalah itu, disejajarkan dengan majalah ‘Rolling Stones’. Yang terakhir ini berhasil menangkap spirit rock ‘n Roll, tidak hanya sebagai satu aliran musik, tapi terlebih sebagai budaya tanding kaum muda, semangat perlawanan pada budaya yang mapan dan itu membosankan, alias kawasan samudera merah kebudayaan.  

Apapun samudera birunya, majalah-majalah bisnis yang saya sebutkan sekilas di atas menyenaraikan satu pesan yang sama: bisnis itu keren!  Menjadi entrepreneur adalah pilihan yang hebat. Atau dengan kalimat Jim Collins yang menjelaskan hal lain, tapi izinkan saya pinjam untuk saya pakai seabgai kesimpulan  atas empat majalah di atas, yaitu: entrepreneur adalah sebuah konsep hidup, bukan sekadar konsep bisnis.

Kelahiran Fast Company adalah contohnya. Kejenuhan pada kerja, pada keberhasilan yang makin terasa bagai penjara, adalah personal, soal hidup dan kehidupan seseorang yang kebetulan bernama Alan Webber. Keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai upaya mencari kesegaran semangat baru, melahirkan satu ‘samudera biru’, satu bisnis baru. Bukan hanya bisnis yang cemerlang, tapi Fast Company juga melahirkan pemikiran gagasan-gagasan bisnis hebat sejak ia mulai diterbitkan.***    

Wednesday, June 13, 2012

[Kolom] Indonesia Kuat: Sebuah Gagasan

 
PADA mulanya adalah sebuah ide.  Sebuah pikiran.  Sebuah gagasan.  Saya sangat percaya bahwa sebuah ide sekecil dan seremah apapun pada awalnya, ia bisa tumbuh, membesar.  Jadi jika kita punya ide, coba lebih dahulu mewujudkan gagasan itu dalam imajinasi. Beri dia wujud dalam pikiran.

Ada teori yang dirumuskan oleh Malcolm Gladwell tentang hal ini. Dia memberi nama ‘tipping point’. Penjelasannya ada di buku yang berjudul sama.  Intinya adalah, gagasan kecil, ketika itu dimunculkan pada saat yang tepat,  di tempat yang pas, diterima oleh orang yang benar, maka gagasan itu bisa bergulir menjadi hal besar, tak tertahankan, membuat perubahan besar, bahkan menyelamatkan sebuah bisnis yang nyaris bangkrut. 



Gladwell memberi banyak contoh, salah satunya adalah sejarah kekalahan sebuah pasukan perang. Kira-kira penyebab kekalah itu adalah sebuah hal kecil: ada rakyat biasa dari pihak musuh yang mendengar pembicaraan ringan anggota pasukan itu tentang rencana penyerangan. Si pendengar lantas meneruskan ke orang lain, karena dia juga tak punya akses ke pasukan tentara negerinya.

 Informasi itu terus berjalan sehingga sampai ke komandan pasukan negeri yang hendak diserang.  Mereka mempercayai informasi itu, menyiapkan sebuah rencana pencegatan, dan dengan gemilang berhasil menaklukkan pasukan penyerang. Sebuah informasi sepele, dari orang yang pasti tak dianggap punya reputasi intelejen dan informasinya mungkin dengan mudah dianggap tak valid karena berasal dari seseorang yang entah siapa dia dan tidak kredibel.  
*
Saya punya ide tentang sesuatu yang saya namakan saja Gerakan Semangat Indonesia Kuat. 8 Juni lalu saya mulai meluncurkan ide itu di media sosial Twitter.

Saya berjejaring dengan banyak akun milik orang-orang besar, juga orang-orang biasa yang melakukan hal-hal besar meskipun mereka menolak dikatakan hebat, tapi di mata saya mereka semua hebat. Dari mereka saya dapat stimulus gagasan tentang banyak hal.

Tentu saja di Twitter juga banyak orang yang hanya menyampah. Saya tetap mengiringi mereka karena buat saya keberagaman linimasa saya adalah sesuatu yang menarik. Linimasa saya seperti kamera jarak jauh yang dari situ saya bisa memantau banyak kehidupan.  Tak pernah ada media yang membuat pertukaran ide - bahkan caci-maki - menjadi sedemikian meriah, seperti saya temukan di mikroblog bernama Twitter yang ditemukan oleh Jack Dorsey ini.   

Menurut data paling mutahir, ada lebih dari 15 juta pengguna Twitter di Indonesia saat ini. Ini adalah angka yang luar biasa besar. Maka, tak heran jika dari situ banyak kisah cemerlang tercipta. Ada anak muda yang meraih omzet berjualan keripik singkong miliaran dengan mengandalkan Twitter. Ada sosok anonim yang tahu banyak hal dan dengan sangat cerdas menjelaskan banyak hal yang kadang karena kendala regulasi, kode etik, tak tersentuh oleh media umum. Twitter adalah media. Medium. Dia bidang tengah. Dia netral. 

Artinya dengan batasan akal sehat, moral, etika, siapa saja bisa ambil manfaat di situ.
Ide saya adalah mengumpulkan, merumuskan, lalu menyebarkan semangat positif. Saya ingin mengajak kawan-kawan saya di Twitter melihat apa saja di negeri ini dengan kaca mata yang jernih. Saya menyebarkan ide itu lewat tagar #IndonesiaKUAT.  Avatar saya, akhir-akhir juga bertema itu.
Rumusan apapun yang saya maksudkan untuk membentuk Indonesia yang kuat harus tuntas dalam 140 karakter. Ini tantangan yang menarik. Pemikiran jadi tersarikan menjadi satuan kecil yang bernas. 

Setidaknya, begitulah yang saya harapkan. Dan sejauh ini inilah ide-ide tentang Indonesia yang kuat itu:

1. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia dengan pagi yang cemerlang dan masih menyempatkan kita saling menyapakan, "Selamat pagi, Kawan!"

2. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang kota-kotanya tumbuh menjadi diri sendiri, tak terseragamkan, karena memang menolak diseragamkan.

3. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang tak memberi kesempatan pada penguasa yang lalim, lalai, lamban, dan lemah!

4. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang tak hanya tersibukkan perkara-perkara besar, tapi juga tak terlalaikan oleh hal-ihwal yang remeh.

5. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang ramai memperdebatkan ide-ide dalam suasana kecendekiaan yang mencerahkan, bukan saling meniadakan.

6. #IndonesiaKUAT yang kuat adalah Indonesia yang merdeka dan dalam kemerdekaan itu kebebasan digunakan untuk maslahat, bukan mudarat.

7. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang ringan langkah di jalan  menuju kebaikan, lantang suara ketika menyeru pada kebenaran!

8. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang menangis dan tertawa, menangis karena hati yang lembut, tertawa karena jiwa yang dewasa.

9. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang tak henti menumbuhkan etos kerja, keberanian dan semangat berbagi.

 10. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang bijak mengedepankan keutuhan akal, arif mengetengahkan keteguhan hati, cermat mengerahkan kekuatan badan.

11. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang mencipta, menyumbangkan  ciptaannya pada dunia, tak hanya bisa bangga memakai yang dicipta bangsa lain.

12. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang belajar pada hutan hujan tropis: di sana berbagai flora, fauna, bahkan mikroorganisme  tumbuh bersama.

13. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang tak sekadar memuja-muja apalagi sampai menyembah tapi juga tak pernah menghinakan sejarahnya sendiri.

14. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang belajar dari kesalahan, menjauh dari kebodohan, keluar dari kurung sempit pikiran!

15. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang besar, membesar, semakin  besar, karena terus melahirkan dan dibesarkan oleh orang-orang besar!

16. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yang besar tapi tak pernah merasa terlalu besar besar untuk mengecilkan orang-orang kecil.

17. #IndonesiaKUAT adalah Indonesia yg sehat tanahnya dan airnya, menyehatkan manusianya, hinga bisa menjaga tanah dan airnya senantiasa sehat!

Itulah sementara ini ide-ide sederhana tentang Indonesia yang kuat. Masih dangkal dan tentu saja mentah. Saya melihat di Twitter ide itu sudah mulai menyebar. Tak terlalu luas. Jumlah mereka yang mengetwit ulang tak terlalu ramai dibanding misalnya ketika twit saya tentang sajak cinta. Ada juga beberapa yang menyumbangkan ide, harapan, dan rumusannya sendiri tentang Indonesia yang kuat.

Jumlah ide-ide itu akan terus dan terus bertambah. Saya tak tahu sampai berapa, karena pasti banyak sekali harapan kita tentang negeri ini dan setiap harapan yang baik adalah sumbangan untuk Indonesia yang kuat.
Saya tidak akan menyatakan bahwa ide-ide itu nanti milik saya sendiri. Karena saya merumuskannya dari pemikiran banyak orang yang saya petik di Twitter. Saya hanya penggagas awal. Karena itu, saya nanti akan berterima kasih pada banyak orang, pada banyak nama yang belum ingin saya sebutkan sekarang.

Kenapa di Twittter? Saya tak tahu harus memilih media apa yang lebih praktis. Adakah? Saya bisa menulis buku, tapi terus terang saja saya tak punya kapasitas untuk menulis buku membahas topik yang mungkin akan jadi terasa sangat serius itu. Lagi pula apa salahnya dengan Twitter?  Bagi saya kecepatan ide ini menyebar jauh lebih penting daripada bagaimana ide ini diberi bentuk. 

 Nah, ide-ide ini anggap saja informasi dari rakyat jelata dan orang itu adalah saya, yang sekarang sedang saya sampaikan pada banyak orang agar sampai pada banyak orang. Saya tak tahu selanjutnya kemana dan akan s ampai dimana ide ini bergerak atau entah nanti akan mati di suatu tempat entah di mana tak pernah sampai ke mana-mana.  Saya tak peduli dan akan terus pasang kuping, menangkap ide, merumuskannya, dan mengetwitkannya.  Anggap saja ini nanti jadi kado perayaan hari kemerdekaan Indonesia Agustus nanti.[]  



Tuesday, June 12, 2012

Cinta yang Sehat di dalam Hati yang Kuat

SEKUAT apa hatiku mencintai kamu? Aku tak tahu, tapi aku tahu bagaimana cintaku padamu telah menguatkan hatiku, menguatkan aku
Sedekat apa aku mencintai kamu? Aku tak tahu, tapi kini aku tahu tak akan pernah ada lagi jarak antara di mana hatiku dan hatimu.  

Seberani apa aku mencintai kamu? Aku tak tahu, tapi aku tahu bagaimana cintaku padamu menghilangkan rasa takutku kehilangan kamu.

Apa lagi yang bisa kutanyakan, tentang cintaku padamu? Mungkin sebuah pertanyaan yang jawabanya adalah, "Cinta yang sehat terdapat di dalam hati kuat!" 

Pengakuan Seorang Mantan Pencuri

RUMAHKU adalah rumah-Mu. Rumah-Mu adalah rumahku. Sekarang, kalau aku hendak masuk, aku tak perlu lagi membongkar jendela-Mu.

Tapi, tadi malam aku mencoba mencuri lagi di rumahku sendiri. Diam-diam menyelinap ke dalam hati-Mu, dan berharap Kau memergoki aku.  




Saturday, June 9, 2012

Kepada Cintaku Itu, Cintaku Padamu Itu

CINTAKU padamu: puncak yang hendak kutuju. Mencintaimu adalah pendakian yang akan melelahkan, tapi aku tak akan berhenti.

Cintaku padamu: embun yg kutunggu setelah kering malamku. Nanti sepanjang hari aku menangis, membayangkan airmataku adalah embunmu itu.


Cintaku padamu: spora jamur kapang yang di hatiku menyebar, menebar, melebar. Hatiku tahu berapa suhu terbaik bagi tumbuh cinta itu.

Inilah Segala Cinta yang Aku Punya

APA yang kulakukan ini?
Merumuskan cintaku padamu dengan huruf tak cukup dan kalimat yang buruk?
Cinta yang tak akan habis terumuskan itu?

Aku sedang mencintaimu. 
Membawa cintaku itu dalam diriku. 

Aku terbawa kemana-mana oleh cintaku dan tak pernah jauh dari kamu.


Mencintaimu adalah meninjau cintaku itu, setiap waktu, dengan tanya baru. 
Aku tidak ragu, hanya ingin yakin bahwa aku yakin.


Beginilah caraku mencintaimu.
Cara yang lebih sederhana dari yang paling sederhana. 

Aku menabung cintaku, sepeluk-sepeluk.


Aku menabung cintaku, setiap waktu.
Seakan nanti kita membutuhkan sejumlah cinta untuk sebuah bekal perjalanan.
Sangat panjang.


Aku tak mengagungkan cinta, tapi tak berani sedikitpun mengecilkannya. 
Cintaku bukan segalanya, tapi itulah segala cinta yang aku punya.

Wednesday, June 6, 2012

[Ruang Renung #265] Hujan Turun Sepanjang Sajak (2 - habis)

BAGAIMANA sebenarnya Sapardi mempermainkan atau dipermainkan hujan? Bagaimana hubungan keduanya bisa sedemikian mesra?  Ketika menulis sajak "Hujan Turun Sepanjang Jalan", sajak yang diakui Sapardi sebagai salah satu sajak yang dia suka, seakan ada suasana yang merasuk.

"Saya menuliskan saja apa yang merasuk ke dalam diri saya itu. Maka yang lahir yang suasana hujan itu. Bukan semata hujannya," kata Sapardi. Itu sebabnya, sedemikian lembut bait-bait sajak itu, dan sebegitu kuatnya suasana sajak itu merasuk ke benak pembaca.



Sajak-sajak Sapardi adalah sajak suasana. "Sajak imajis," kata Sutardji Calzoum Bachri mengembalikan alamat penyebutan itu ke istilah yang lebih umum.  Ini merujuk ke sebuah gerakan estetis sekelompok penyair di Inggris yang menulis sajak dengan semangat memangkas kecenderungan figurasi pada bait-bait sajak seperti era romantik.

Salah satu kredo sajak imajis adalah pengucapan yang apa adanya, memetik langsung dari apa yang terhampar di depan mata. Dari situlah kekuatan penyair diuji. Apa yang dia petik apakah bisa membangun imaji, atau suasana yang kuat? Atau sekadar laporan mentah yang tak menawarkan apa-apa? Sapardi adalah penyair imajis, yang muncul pada saat yang tepat. "Dia menautkan kembali sajak Indonesia kepada lirik, pada saat yang tepat," kata Goenawan Mohamad.

Sajak-sajak dari kelompok imajisme, dengan terus terang mengakui bahwa mereka terinspirasi oleh sajak-sajak klasik Tiongkok dan haiku Jepang.  Kedunya memang bak lukisan cat air yang dengan sabar, hemat, membangun gambar nyata, menghamparkan suasana. Ada sebuah haiku misalnya, menggambarkan si penyair berkuda di musim salju, mendekat pada lampu yang minyaknya membeku. Begitu saja. Tapi, dengan begitu suasana musim dingin, dan kesunyian jadi sangat terasa.

Begitulah sajak imajis. Sajak Sapardi, terutama sajak tentang hujan yang sedang kita perbincangkan ini, sesungguhnya tak lagi sepenuhnya taat pada kredo imajisme. Pada bait pertama, ya. Itu sepenuhnya adalah gambaran pemandangan apa yang terpandang oleh penyair. hujan turun sepanjang jalan, /  hujan rinyai waktu musim berdesik-desik pelan /kembali bernama sunyi /  kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali.

Si aku dalam sajak itu kita bayangkan ada di balik jendela rumah, memandang keluar. Hujan turun di sepemandangan jalan yang tampak dari jendela. Angin sedikit membuat jatuhan hujan tempias, lalu kembali seperti itu. Tak ada suara lain kecuali suara hujan dan bising itu membuat sunyi suara-suara lain. Dan pohon pun basah. Tak ada yang luar biasa dari laporan pandangan mata itu. Tapi, suasana kuat telah terbangun.

Tapi pada bait kedua, perasaan dan pendapat penyair mulai dipersatukan dengan apa yang telah dipaparkan di bait pertama. Sapardi sendiri pernah membuat satu rumusan sebuah sajak imajis yang unggul adalah ketika si penyair dengan cermat bisa menyatukan imaji alam yang datang dari luar, dengan kilasan perasaan yang datang dari dalam dirinya. Dengan sajak ini ia telah memberi contoh bagaimana mewujudkan rumusan itu. []

Tuesday, June 5, 2012

[Ruang Renung #264] Hujan Turun Sepanjang Sajak (1)

hujan turun sepanjang jalan
hujan rinyai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali

tak ada yang menolaknya. Kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angin basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru

(Hujan Turun Sepanjang Jalan, "DukaMu Abadi", 1967)

INILAH sajak ke-7 dari buku Sapardi Djoko Damono yang pertama "DukaMu Abadi". Inilah sajaknya yang pertama di buku itu, yang menggunakan hujan sebagai alat ucap. Inilah sajaknya yang pertama yang sepenuhnya larut dalam hujan.

Di buku pertamanya itu, di sajak ke-5 (Sehabis Mengantar Jenazah), ada hujan disekilaskan: Hujan pun sudah selesai / sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap / di bawah bunga-bunga menua, musim yang senja. Kemudian, di buku pertamanya itu, ada lima sajak lain lagi - dari 42 sajak - yang padanya kita menemukan hujan dan variannya: gerimis.

Lalu, di buku kumpulan puisinya yang ke-2 "Mata Pisau", sajak-sajak yang dimulai penulisannya pada tahun 1969, kita pun makin kuyup oleh berbagai jenis hujan. Tiga sajak bahkan serial dengan judul yang saya kira pada waktu itu belum ada yang menyajak dengan cara itu. Judulnya: Hujan dalam Komposisi, 1, hingga serial yang ketiga.  Kita kutip sepenuhnya sajak yang ke-3 dari serial itu: dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya: / terpisah dari hujan. Sudah. Begitu saja. Memang hanya sependek itu.

Nanti akan kita lacak lagi, di buku-buku yang berikutnya, bagaimana penyair kita ini bermain-main terus dengan hujan, dengan berbagai macam permainan.  Yang pasti, sejak sajak itu, Sapardi melekat pada hujan. Sejak sajak itu, hujan seakan menjadi milik Sapardi.

"Apakah Sapardi tak pernah bisa beranjak dari hujan?" tanya seseorang. Saya tanyakan itu ke dia. "Hujan itu alat. Alat ucap. Alat untuk membangun imaji. Alat untuk menyampaikan apa yang ingin saya ucapkan," kata Sapardi. Itulah jawabannya. Ia mau bilang, sebagai alat, posisinya bebas. Ia bisa pakai atau tidak. Ia tidak bergantung pada alat itu. Ia tidak dikuasai oleh alat itu. Ia yang menguasai alat tersebut.

*

Kenapa hujan sedemikian memikat Sapardi? Ibarat pendekar, seorang penyair, siapapun dia, akhirnya menguasai dengan sangat mahir, satu senjata pamungkas. Dalam hal Sapardi, senjata yang paling ia kuasai dan dalam banyak pertarungan ia pertontonkan adalah "hujan".  Tentu ini bukan satu-satunya. Sapardi bisa kita lihat, juga piawai memainkan jurus dan senjata yang lain.

Chairil ada menyebut hujan dalam beberapa sajaknya, tapi kita susah sekali mengingat itu pada sajak yang mana.  Karena apa? Karena kita terpukau oleh senjata lain yang dipermainkan Chairil, bukan senjata "hujan" itu.

Sebagai alat, sebagai senjata, "hujan" telah menyatu dengan pendekar Sapardi. Sesederhana apapun jurusnya, gerakannya memikat. Bahkan ketika ia letakkan senjata, kemudian ia bersilat dengan tangan kosong, kadang-kadang terbayang juga kelebat bayang-bayang "hujan" itu.

Ini sungguh merepotkan bagi pendekar yang muncul belakangan. Hujan, seakan-akan, telah terumuskan habis oleh Sapardi.  Sedikit saja menyentuh hujan, maka di ujung jalan basah itu seakan-akan terdengar kekeh pendekar sepuh bernama Sapardi. "Rasakan, kalian tak bisa mengelak dari jurus-jurus hujanku," seakan begitu kalimat yang teterjemahkan dari kekeh itu. (bersambung)





Sunday, June 3, 2012

[Ruang Renung #263] Nuh pada Perahu Kertas Sapardi

 Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya
      "Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
      dan kini terdampar di sebuah bukit."


(Perahu Kertas, 1983)


Foto: Kompas/Yuniadhi Agung

SAJAK 'Perahu Kertas' yang kutipannya memulai tulisan ini, ada di buku berjudul sama. Buku itu Ini adalah buku ketiga Sapardi Djoko Damono, setelah debutnya dengan "Duka-Mu Abadi", yang dengan gemilang menempatkannya pada posisi penting dalam peta kepenyairan di Indonesia.



Puisi 'Perahu Kertas' memain-mainkan imaji permainan anak-anak, yakni melipat kertas menjadi perahu, melayarkannya di tepi kali, lalu membiarkannya (atau membayangkannya) hanyut sampai ke lautan. Dari imaji anak-anak, Sapardi lantas membelokkannya ke kisah Nabi Nuh yang mengakui menggunakan kapal itu dalam sebuah banjir besar.

Sapardi pernah menulis sebuah esai cemerlang tentang kepenyairannya yang batasnya adalah antara tidak sekadar bermain-main imaji sebagai kanak-kanak, tetapi juga tak sampai menjadi nabi yang membebani larik-larik sajaknya dengan sabda. Itulah wilayah kepenyairan Sapardi yang teguh ia jaga sampai hari ini.

Saya mengingat kembali sajak 'Perahu Kertas' setelah bertemu lagi dengan sajak terbaru Sapardi berjudul 'Nuh', di Kompas (Minggu, 3/6/2012). 29 tahun kemudian

Nuh bilang, kita harus membuat perahu.
Mimpi kita tumpah: banjir besar itu
apa sudah direncanakan sejak lama?
Ambil beberapa huruf yang cekung,

agar kita bisa tertampung.
Persiapkan juga beberapa yang tegak
dan miring, dan sebuah titik.
Ke mana kita terbawa muntahan ini?

Susun dalam sebuah kalimat yang kedap air
agar kita sampai ke sebuah bukit.
Mimpikah sebenarnya muntahan ini?
Agar kita bisa menelan masa lalu.

Kenapa Nuh, Pak Sapardi? Apa hubungannya sajak 'Nuh', dengan 'Perahu Kertas'? "Itu lanjutannya," kata Sapardi sambil terkekeh ketika saya menyapanya dan bertanya lewat telepon, setelah saya baca sajak itu.  Dia bercanda. "…ya, bukan lanjutannya. Saya ya menulis saja," katanya meralat candanya.

Sapardi ingin mengatakan bahwa satu tema besar seperti terkandung dalam kisah Nabi Nuh bisa menjadi garapan kreatif.  Apa yang ingin disampaikan, atau apa yang tersampaikan dari sajak 'Nuh'? Kesungguh-sungguhan mempersiapkan sesuatu yang kita ikhtiarkan agar kita sampai pada apa yang ingin kita raih.  Ini bukankah sebuah tema yang umum? Yang bagi seorang motivator bisa jadi bahan seminar sepanjang tahun dengan ribuan peserta?

Kerja penyair bukan kerja motivator dalam seminar. Penyair bergulat dengan bahasa. Maka lahirlah pengucapan-pengucapan unik khas Sapardi: ambil beberapa huruf yang cekung, agar kita semua bisa tertampung. Ini bait jenius: sekadar mengambil dari apa yang ada di seperjangkauan tangan, kata-kata yang biasa saja, tapi kemudian tersaji sebagai bait yang cemerlang. Huruf yang cekung, ini dengan efektif membangun imaji perahu, bukan? Ah, cara ucap yang unik. Menggiur, mengundang tafsir.

Begitulah, Sapardi yang tahun ini sudah 72 tahun, masih bekerja untuk puisi. Mengirimkannya ke surat kabar, meski itu baginya mungkin sudah tak menarik lagi. Saya katakan, dengan cara itu, dia terus-menerus mempermalukan penyair muda yang malas! []

Saturday, June 2, 2012

Apakah Rasanya

     APAKAH rasanya menjalani cinta padamu sebagai hukuman? Aku berkali-kali naik banding, meminta agar vonis ini diperberat dan diperlama.

     Apakah rasanya mencintai kamu sebagai tawanan? Aku bahagia karena kamu adalah sipir yang tak pernah jauh dari ruang tahananku.
 
     Apakah rasanya mencintai kamu sebagai semacam pengampunan? Aku tak peduli, cinta tetap cinta, tak peduli terbukti salah atau benarkah ia.

[Ruang Renung #262] Lingkungan Bahasa

Menulis sajak atau membina sebuah persajakan adalah membangun satu lingkungan bahasa. Sajak menyaring siapa yang bisa masuk ke lingkungan bahasa yang terbangun itu. Semakin luas lingkungan yang terbangun dari sebuah sajak atau dari sebuah persajakan seorang penyair, semakin baik sajaknya, semakin banyak pembaca teraih.
  
Tapi, bukan keluasan lingkungan, atau banyaknya pembaca terangkul yang menjadi ikhtiar utama seorang penyair ketika menyajak.  Tugas utama penyair adalah membangun lingkungan bahasa tadi, seunik-uniknya. Sesegar-segarnya. Itulah imbal jasa penyair pada bahasanya. []

Kita adalah Sepasang Kekasih, dan Hei, Lihat! Banyak Sekali Sepasang Kekasih Lain Seperti Kita

SEPASANG kekasih adalah sepasang lidah yg mengucap kata bergantian, kata yg sama, yang bergerak dari mulut ke mulut mereka.

Sepasang kekasih adalah sepasang mata yang tak pernah muak saling pandang, saling lirik, saling memejam, dalam terang dan kelam. 

Sepasang kekasih adalah dua pengembara yang saling mencari, dan tabah menunggu hingga akhirnya saling menemukan.

Sepasang kekasih adalah sepasang nama yang saling meminta tempat dalam ingatan, agar tak hilang dalam kehilangan.

Sepasang kekasih adalah sepasang petani yang bergegas ke ladang tak menunggu reda hujan, sebab cinta adalah pagi yang subur.

Sepasang kekasih adalah sepasang mata dalam malam, ada cahaya menjuntai indah, dan ada harapan yang astaga, merajalela.

Sepasang kekasih adalah dua larik pada sebait gurindam, rindu dalam dendam, saling buka dan tutup, mengusik, meredam.

Sepasang kekasih adalah sepasang tangan yang saling rindu, mengulur ke hampa, seakan hendak mengusapkan cinta di dahi penuh peluh.

Sepasang kekasih adalah sepasang hati yang sekilas saja, meremang bulu roma, ketika membayangkan rindu yang akan sangat menyiksa.

Sepasang kekasih adalah sepasang buku yang saling sambung, Buku pertama, berlanjut ke buku kedua, dan juga sebaliknya. 

Sepasang kekasih adalah sepasang buku yang saling kagum pada sampul, sebab teramat tahu apa yang tertulis pada diri mereka.

Sepasang kekasih adalah dua buah buku, saling menuliskan dan saling membaca, tanpa pernah tertukar halaman-halamannya.

Misalkan Aku Tak Perlu Lagi Berandai-andai

MISALKAN kita di kedai Starbucks, aku akan datang dengan tangan bergetah, tongkat pramuka, dan seekor luwak yang buta.

Misalkan kita di Seven Eleven, aku akan datang dengan pagi yang lapar, dan saku yang gelisah ketika terlalu lama di sekitar mesin kasir.

Misalkan kita di kantor sebuah biro iklan besar, mereka akan bilang di sini malam tak pernah cukup untuk berbagai linimati.

Misalkan aku di matamu, aku akan tahu bagaimana engkau melihatku, dan jika aku menangis, aku harap itu adalah juga tangismu.

Pengumuman Orang Hilang

         RADIO itu kepalaku sendiri. Yang akhirnya berhenti pada satu frekuensi, yang terus-menerus memutar ulang hal sama: pengantar akhir siaran.

         Aku seperti memutar kenop frekuensi radio, mencari entah siaran apa yang sedang ingin kudengar. Mungkin pengumuman seseorang yang hilang.

Debu (Ya, Benar Debu) Bulan Juni

           JUNI bersembunyi dari aku, pada lembar kalender yang terlupakan di dinding dapur itu. Aku, sia-sia saja mengelak dari debu. Debu, tak peduli pada Juni di kalender yang tak pernah kumiliki itu.

           Aku dan Juni, nyaris saja tak saling kenal lagi. Aku dan debu, masih saja bersapaan, hanya sekadar sebagai basa-basi. Debu dan Juni seperti biasa, tetap saja saling menipu diri, menguning di kertas itu.

 

Aku Telah Dihukum Mencintai Kamu dan Bait Lain yang Sepertinya Tak Saling Berhubungan

1. CINTAKU padamu adalah naluri liar yang tak bisa aku jinakkan. Mencintai kamu adalah keterampilan sederhana tapi tak pernah sanggup aku kuasai.


2. Kata-kata dalam sajak cintaku yang buruk pasti akan lekas membosankan kamu. Tapi aku tidak akan pernah jemu mencintai kamu. 

3.  Lidah pada otakmu lupa pada rasa kata-kataku. Kamu mengucap aku dengan nama lain yang bukan aku. Lidahmu dan lidahku, lupakah kamu, adalah satu hati ibu.

4.  Seperti penguasa lalim itu, aku telah dihukum mencintai kamu dalam sebuah sidang tanpa pembela. Seumur usia hidupku. Aku hanya menerima vonis itu. 


 

Sunday, May 27, 2012

Variasi pada Tema Cinta

RINDUKU mungkin bisa cukup kukabarkan lewat berita singkat di situs yang lekas. Meskipun cintaku adalah liputan investigasi yang tak akan pernah habis kutuliskan.

Karena mencintai kamu itu seperti aku sedang diwawancarai oleh kehidupanku sendiri, aku menghadapi banyak pertanyaan pelik, yang dengan lancar bisa kujawab


Wednesday, May 23, 2012

Petugas Jaga Piantan Pialu

RINDU adalah anak pungut yang mau tak mau harus terus kita pelihara, karena kita telah menerima Cinta yang telah melahirkannya.

Rindu adalah petugas jaga piantan-pialu, ia tak punya pos gardu, ia dentangkan tiang tiba-tiba saja, mengejutkan kita bila-bila saja.

[Kolom] Permen Karet untuk Mata itu Namanya Televisi


BARU-BARU ini saya membeli sebuah kamera. Saya sedang perlu kamera yang masuk akal. Harganya masuk akal. Spesifikasi teknisnya juga masuk akal.  Kamera sekarang menurut saya harganya sudah tidak masuk akal buat saya. Ada sebuah kamera diiklankan di suplemen DL yang menyertai The Straits Times, koran negeri  jiran kita. Saya jatuh hati pada pandangan pertama pada kamera itu.  Ketika saya minta kawan-kawan  kantor untuk mengecek berapa harga kamera itu di Indonesia saya terkejut: Rp33 juta! Sebenarnya itu wajar, mengingat kemampuan yang ditawarkan.  Tapi, saya sedang tidak perlu kamera sedemikian canggih dengan harga sedemikian mahal.




Saya sudah punya kamera saku digital. Tapi, kamera itu sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan saya. Maka lewat perburuan sedikit intens, mengecek barang di toko, memperbandingkan harga di situs khusus yang menjual kamera dan perangkat-perangkatnya secara online saya menemukan sebuah kamera yang pas: Olympis, PEN EPL-1.  Di toko, sepertinya ini barang sisa yang kurang laku. Penjualannya dipaketkan dengan televisi layar datar. Harga televisi itu di atas satu jutaan. Harga kamera itu jadinya lumayan murah. Kebahagiaan seorang pembelanja adalah ketika menemukan barang yang dibutuhkan dengan harga yang jauh dibawah anggaran. Maka, bahagialah saya.  Kamera 'masuk akal' itu antara lain saya gunakan untuk memotret selama lawatan saya di Eropa.
*
Masalahnya adalah, di mana kami meletakkan televisi yang kami dapat dari bonus beli kamera ini. Kami sudah punya dua televisi dan itu cukup, termasuk televisi bekas yang bersejarah, karena televisi pertama yang kami beli selama tinggal di Batam.  Televisi gemuk itu ada di kamar tidur, dengan antena dalam. Penutup panel tombolnya sudah tak bisa dirapatkan lagi. Seandainya televisi bekas itu kami letakkan di gudang, pasti juga dia tak akan marah.  Jadi mempertahankantelevisi itu hanya melankoli kami saja. Ah, dasar manusia, kadang dijerat oleh perasaannya sendiri.   

Sebagai hasil tukar pikiran dengan istri saya, maka televisi itu akhirnya kami pasang di dapur. Mengingat ruang dapur yang tak terlalu luas, maka televisi itu harus dipasang di dinding, agar tak bikin dapur terasa makin sempit.  Kami memanggil tukang, untuk memasang televisi itu, sekalian memasang antena luar. Aduh, televisi gratis ini menuntut pengeluaran juga rupanya. Kami jadinya harus beli dudukan televisi untuk dipasang di dinding, kabel, tiang antena, dan tentu saja antena luar. 

Dari televisi bonusan itulah, kami menyaksikan siaran langsung tiga jam, resepsi pernikahan Anang-Ashanti.  Nama programnya "Jodohku".  Itu dari judul lagu yang dinyanyikan duo Anang-Ashanti.  Sehari sehabis siaran langsung itu, saya buka e-mail, dan dari satu milis yang saya ikuti, bertubi-tubi masuk email yang mendiskusikan soal siaran langsung Anang-Ashanti. Pertanyaan awalnya begini: layakkah peristiwa ini jadi siaran langsung di jam tayang utama, pada Hari Kebangkitan Nasional, tiga jam pula? 

Sebagian besar penanggap saya simpulkan mengatakan: "tidak!" Tapi, inilah industri. Begitulah dipermaklumkan. Penonton ternyata tak peduli dengan segala idealisme: tak peduli bahwa kanal televisi adalah saluran publik yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik, tak peduli nilai edukasi apa yang bisa didapat dari tayangan resepsi Anang-Ashanti. Toh, nyatanya, seorang peserta milis mengutip hasil survei Nielsen malam itu: acara tersebut dapat rating 7 dengan meraup persentase penonton  lebih dari 30 persen. Artinya, malam itu, lebih dari sepertiga penonton televisi di Indonesia menyaksikan Anang-Ashanti (dalam busana hijau tua keemasan) menyalami lebih dari lima ribu tamu undangan. 

"And everybody happy," kata seorang peserta milis lain. Anang-Ashanti dapat bayaran dari menjual hak siar resepsinya, pemasang iklan senang karena iklannya disaksikan oleh banyak mata, dan pengelola televisi senang karena berhasil menangguk banyak uang malam itu, dengan biaya produksi yang amat murah. Murah? Ya, para artis yang tampil konon, sama sekali tak dibayar, kecuali mungkin MC, dan musisinya.
Membosankankah acara resepsi itu? Secara umum, ya. Tapi, ada juga sedikit drama. Yakni ketika Krisdayanti dan Raul Lemos, datang bersama putri mereka. Mereka bersalaman layaknya tetamu lain, berfoto bersama, dan kamera seperti mendapatkan momentum paling dramatis ketika Raul menyalami Anang lalu mereka bersalaman, dan Raul tampak membisikkan sesuatu. Orang kita memang lucu. Katanya yang dibisikkan oleh Raul adalah begini, "kalau bosan nanti buat saya lagi, ya..." Ini tentu saja tidak benar. 

Anang-Ashanti tentu tak mengharapkan itu. "Jangan ada yang ganggu-ganggu lagi," kata Aurel Hermansyah, putri sulung Anang dari Krisdayanti. Dari televisi juga kita tahu bahwa Anang sangat mendengarkan pertimbangan Aurel, putrinya ini. Aurel yang menetapkan kriteria ibu barunya harus lebih tinggi dari Krisdayanti, harus putih, dan dia pula yang 'menolak' Syahrini, gebetan pertama Anang, selepas resmi bercerai dengan Krisdayanti. 

Keesokan pagi, di sebuah tayangan infotainmen, di televisi di dapur kami itu, saya juga menyaksikan wawancara Anang-Ashanti tentang malam pertama mereka! Oh, Tuhan! Hal-hal begini juga ditayangkan televisi? Tunggu, ini jawaban Anang-Ashanti, bahwa malam pertama mereka tidur bersma Azriel, anak lelaki Anang, yang katanya tak mengerti situasi, dan masih tak juga mengerti meskipun sudah ditegur oleh Aurel. Ini mungkin jawaban sudah disiapkan oleh Anang.
*
Anang memang jago memanfaatkan televisi. Ia tampak sudah mempersiapkan segalanya. Pertemuan pertamanya dengan Ashanti, kencannya kemana saja, umroh bersama, melamar, pertemuan Anang dengan keluarga Ashanti, pendekatan Ashanti kepada anak-anak Anang, perjalanannya ke Kalimantan meminta Bupati Kutai Timur menjadi saksi nikah, sampai pernikahan dan resepsi, seperti rangkaian liputan dokumenter yang lengkap.

Harus kita akui Anang adalah manajer dan produser yang luar biasa, termasuk untuk dirinya sendiri. Dulu ia adalah orang yang dengan rela menarik diri ke belakangan layar mengatur karir Krisdayanti istrinya. Maka kita menemukan seorang Krisdayanti dengan karir yang mencorong. Kebintangannya selalu terang. Sampai kemudian datang 'gangguan-gangguan' seperti yang dengan amat dewasa disebutkan oleh Aurel, putri Anang yang di televisi tampak sangat dewasa untuk ukuran gadis belasan tahun. Ah, Aurel, kau juga dibesarkan televisi, Nak? 

*
Saya tak tahu dalam konteks apa seorang arsitektur hebat bicara soal televisi dengan nada buruk. “Televisi adalah permen karet untuk mata,”  kata Frank Lloyd Wright. Saya kira saya bisa memahami itu dengan cara begini: permen karet bukanlah makanan utama, dan tak jelas apa manfaatnya, kecuali ya sebagai kunyahan saja. Ia hanya kita santap di kala iseng,  sampai habis manis sintesis yang dikandungnya, lalu tersisa karetnya yang pahit, dan kita buang sebagai sampah. Dan itu sama sekali tak membikin kita kenyang.  Mungkin begitulah hakikat televisi. Kita tak akan dapat tambahan pengetahuan, tak akan jadi manusia yang lebih arif, lebih bijak, jika hanya berharap dari televisi. 

Ya, kita tak bisa berharap banyak dari permen karet bernama televisi itu.  Pakar semiotika dan novelis besar italia Umberto Eco menyimpulkan itu dengan kalimat lain (yang seperti kalimat-kalimat Eco yang lain, selalu bernas dan jenaka), katanya, “Jika Anda ingin memanfaatkan televisi  untuk mengajari seseorang, maka yang harus Anda lakukan pertama-tama  adalah ajari orang itu bagaimana memanfaatkan televisi!”***